Setelah pendaftaran calon gubernur senin lalu, Fauzi Bowo
ternyata tidak terlebih dahulu mengambil nafas. Setelah perjuangan
panjang mencari wakil, ia langsung menyerang lawan-lawan politik. Dan
diluar dugaan, yang diserang pertama adalah Ir. Joko WIdodo, bukan Alex
Noerdin. Memang, Jokowi adalah orang yang membuat skenario besar Foke
hancur.
Ir. Joko Widodo, sesuai dengan isu yang dihembuskan oleh Foke, dianggap
tidak pantas menjadi Gubernur DKI karena tiga hal. Pertama, dia bukan
warga DKI Jakarta, yang berarti dia tidak kenal dengan Jakarta.
Argumennya adalah, Jakarta akan diacak-acak. Kedua, Jakarta berbeda
dengan Solo, jauh lebih besar. Tidak ada jaminan Jokowi akan mampu
mengulang prestasinya di Solo di DKI Jakarta. Ketiga, Jokowi adalah
pemimpin yang tak punya integritas, meninggalkan amanah rakyat di Solo
untuk mencari-cari jabatan. Ambisius dan politisi kutu loncat. Nah, mari
kita bahas satu persatu.
Untuk isu pertama, masalah kekenalan dan status Jokowi
sebagai non warga DKI Jakarta. Hal ini sebenarnya udah saya singgung
juga di tulisan sebelumnya, tentang identitas
pluralitas dan keterbukaan Jakarta.
Sejarah membuktikan, tidak pernah ada masalah dengan hal tersebut.
Jakarta dibangun oleh mereka yang mempunyai visi masa depan untuk
Jakarta, bahkan sebagian besar (hampir semua) bukan berasal dari Jakarta
itu sendiri. Yang terpenting adalah visi dan keteguhan untuk membangun
Jakarta.
Bahkan untuk Jokowi, jika ketidakkenalan yang dimaksud berkaitan dengan
harapan untuk Jakarta. Dengan Jokowi,kita akan mempunyai pemimpin yang
mempunyai standar yang tinggi. Dari pada berharap pada Fauzi Bowo yang
ahli dan kenal, namun mengatakan “hopeless untuk mengubah ibu kota”
karena masalahnya sudah parah dan menyalahkan pendahulu, lebih baik kita
mengimpor pemimpin dengan visi yang jelas dan tidak punya excuse untuk
hal tersebut. Jokowi sebagai pemimpin selama ini memang dikenal dengan
etos kerja yang tinggi, satu jam di kantor dan sisanya di lapangan.
Terkait dengan ketidakkenalan masalah dan budaya Jakarta, hal ini perlu
diluruskan kembali. Anda bisa tanyakan kepada ahli-ahli perkotaan,
seperti Marco Kusumawijaya misalnya, untuk menguji pernyataan Jokowi
bahwa masalah perkotaan dimana-mana itu sama saja, yang membedakannya
hanya besar kecilnya saja. Jika suatu masalah bisa diselesaikan Jokowi
di Solo dengan skop kecil, maka berarti masalah yang sama bisa
diselesaikan dengan skop besar. Kenapa?, karena yang terpenting dari
pemimpin adalah visi dan pendekatannya. Jangan anda bayangkan Jokowi
mengatur DKI dengan membawa birokrasinya (yang kecil) dari Solo. Dia
tentu akan memakai SDM birokrasi di Jakarta, yang tentu lebih besar dan
lebih baik untuk mengurus Jakarta. Namun birokrasi ini dibersihkan dan
sudah mempunyai visi pemimpinnya, yang tentu lebih powerful.
Terkait budaya, sekali lagi, budaya Jakarta bukanlah budaya betawi saja.
Budaya Jakarta adalah pluralitas, penghargaan terhadap perbedaan
(seharusnya), dan budaya ini sudah mengarah pada arah yang benar menuju
Jakarta sebagai kota Besar Internasional. anda bisa tanyakan ini
langsung kepada Ridwan Saidi, budayawan betawi. Saya pernah berdiskusi
pribadi dengan beliau, dan menurutnya jika seseorang sudah memiliki jiwa
keterbukaan sekaligus tahu diri, maka dia sudah menyelami jiwa Jakarta.
Alasan yang kedua, bahwa Jakarta jauh lebih besar dari
Solo. Hal ini sebenarnya sudah disinggung juga di alasan pertama,
tentang besar kecilnya masalah. namun untuk lebih jelasnya, dan bisa
menjawab makna kepemimpinan, proses lahirnya pemimpin.
Pemimpin tidak serta merta diciptakan dan tiba-tiba bisa memimpin. Ada
proses-proses yang harus dilalui. Untuk menjadi pemimpin perusahaan
misalnya, atau pemimpin Redaksi koran, anda pertama-tama mungkin
beranjak dari karyawan kecil/reporter. kemudian naik (jika berprestasi)
jadi manager/redaktur, jika berprestasi lagi naik jadi direktur dan
selanjutnya sampai menjadi CEO/Direks/Pemred. Inilah proses sistem alami
pengkaderisasi pemimpin dimana jika seseorang berprestasi di tingkat
yang lebih kecil dia berhak mendapat promosi skup yang lebih besar. Ini
alamiah. Menghalang-halangi ini seperti melawan hukum alam. Anda sama
saja dengan membunuh potensi perusahaan, dengan tetap menahan seorang
sarjana menjadi tukang ketik, meskipun kapabilitasnya sudah bisa jadi
manajer bukan?
Sekarang kita tengok diri sendiri, siapa diri kita sekarang, apakah anda
seorang karyawan, seorang manajer, seorang buruh atau mahasiswa? adakah
mimpi untuk jadi lebih maju, mempunyai mimpi menjadi CEO atau jabatan
yang lebih tinggi. Jika anda bilang anda punya, dan suatu saat anda
pasti bisa, maka hak yang sama ada untuk Joko Widodo. Yang berprestasi
layak untuk promosi.
Alasan ketiga, Integritas dan meninggalkan masa
jabatan. praktis jika kita melihat calon dari partai (dan ingat partai
di pemilukada DKI hanya menyodorkan kader yang menurut mereka berhasil),
hanya Fauzi Bowo yang diuntungkan dari isu ini. Alex Noerdin
meninggalkan pemilihnya di Sumsel, Jokowi meninggalkan pemilihnya di
Solo, dan Hidayat Nur Wahid (garisbawahi) adalah anggota DPR yang juga
meninggalkan konstituennya. bahkan untuk HNW jauh lebih parah, karena
jika mundur ia akan digantikan oleh orang lain, sementara jika
walikota/gubernur masih digantikan wakilnya yang masih dipilih rakyat
dengan jumlah suara yang sama.
Alasan ketiga tentu masih berkorelasi dengan alasan kedua, dimana yang
berprestasi layak dapat promosi. Namun alasan yang dicari-cari ini
diperburuk dengan melibatkan masyarakat Solo dan Sumsel. Rakyat Solo
diadu domba dengan rakyat Jakarta. Negara macam apa ini. Kita harus
ingat bahwa Jakarta adalah ibukota, etalase bangsa, jika Jakarta buruk
maka buruklah Indonesia di mata internasional. Jakarta milik bangsa ini,
bukan milik warga Jakarta saja. Apa salahnya mengangkat orang dari luar
Jakarta untuk mengatur Jakarta, dan bersaing dengan pemimpin yang
dilahirkan harfiah oleh Jakarta?
Justru kita harus salut dengan masyarakat Solo (mungkin juga Sumsel),
yang merelakan pemimpinnya untuk memperbaiki bangsa. Dan yang seharusnya
girang dan bersyukur adalah masyarakat Jakarta sendiri, bukan malah
bersikap anti pati dan termakan isu-isu yang menyesatkan.
Tiga alasan yang disampaikan untuk menghalangi Joko Widodo, menurut saya
terjawab sudah, hanya sebagai alasan yang dibuat-buat politisi. Dan
dimakan dengan baik oleh masyarakat yang belum terbuka hatinya. Jika
memang ada alasan lain, saya akan dengan senang hati untuk ikut
memikirkan dan merevisi lagi tulisan ini.
Tapi sejauh ini jika ada yang bilang Jokowi tidak pantas jadi Gubernur DKI, saya akan tanyakan.
Kenapa lagi?