Jumat, 17 Agustus 2012

3 Alasan Jokowi Tak Pantas Jadi Gubernur DKI

 




Setelah pendaftaran calon gubernur senin lalu, Fauzi Bowo ternyata tidak terlebih dahulu mengambil nafas. Setelah perjuangan panjang mencari wakil, ia langsung menyerang lawan-lawan politik. Dan diluar dugaan, yang diserang pertama adalah Ir. Joko WIdodo, bukan Alex Noerdin. Memang, Jokowi adalah orang yang membuat skenario besar Foke hancur.


Ir. Joko Widodo, sesuai dengan isu yang dihembuskan oleh Foke, dianggap tidak pantas menjadi Gubernur DKI karena tiga hal. Pertama, dia bukan warga DKI Jakarta, yang berarti dia tidak kenal dengan Jakarta. Argumennya adalah, Jakarta akan diacak-acak. Kedua, Jakarta berbeda dengan Solo, jauh lebih besar. Tidak ada jaminan Jokowi akan mampu mengulang prestasinya di Solo di DKI Jakarta. Ketiga, Jokowi adalah pemimpin yang tak punya integritas, meninggalkan amanah rakyat di Solo untuk mencari-cari jabatan. Ambisius dan politisi kutu loncat. Nah, mari kita bahas satu persatu.
Untuk isu pertama, masalah kekenalan dan status Jokowi sebagai non warga DKI Jakarta. Hal ini sebenarnya udah saya singgung juga di tulisan sebelumnya, tentang identitas pluralitas dan keterbukaan Jakarta. Sejarah membuktikan, tidak pernah ada masalah dengan hal tersebut. Jakarta dibangun oleh mereka yang mempunyai visi masa depan untuk Jakarta, bahkan sebagian besar (hampir semua) bukan berasal dari Jakarta itu sendiri. Yang terpenting adalah visi dan keteguhan untuk membangun Jakarta.
Bahkan untuk Jokowi, jika ketidakkenalan yang dimaksud berkaitan dengan harapan untuk Jakarta. Dengan Jokowi,kita akan mempunyai pemimpin yang mempunyai standar yang tinggi. Dari pada berharap pada Fauzi Bowo yang ahli dan kenal, namun mengatakan “hopeless untuk mengubah ibu kota” karena masalahnya sudah parah dan menyalahkan pendahulu, lebih baik kita mengimpor pemimpin dengan visi yang jelas dan tidak punya excuse untuk hal tersebut. Jokowi sebagai pemimpin selama ini memang dikenal dengan etos kerja yang tinggi, satu jam di kantor dan sisanya di lapangan.
Terkait dengan ketidakkenalan masalah dan budaya Jakarta, hal ini perlu diluruskan kembali. Anda bisa tanyakan kepada ahli-ahli perkotaan, seperti Marco Kusumawijaya misalnya, untuk menguji pernyataan Jokowi bahwa masalah perkotaan dimana-mana itu sama saja, yang membedakannya hanya besar kecilnya saja. Jika suatu masalah bisa diselesaikan Jokowi di Solo dengan skop kecil, maka berarti masalah yang sama bisa diselesaikan dengan skop besar. Kenapa?, karena yang terpenting dari pemimpin adalah visi dan pendekatannya. Jangan anda bayangkan Jokowi mengatur DKI dengan membawa birokrasinya (yang kecil) dari Solo. Dia tentu akan memakai SDM birokrasi di Jakarta, yang tentu lebih besar dan lebih baik untuk mengurus Jakarta. Namun birokrasi ini dibersihkan dan sudah mempunyai visi pemimpinnya, yang tentu lebih powerful.
Terkait budaya, sekali lagi, budaya Jakarta bukanlah budaya betawi saja. Budaya Jakarta adalah pluralitas, penghargaan terhadap perbedaan (seharusnya), dan budaya ini sudah mengarah pada arah yang benar menuju Jakarta sebagai kota Besar Internasional. anda bisa tanyakan ini langsung kepada Ridwan Saidi, budayawan betawi. Saya pernah berdiskusi pribadi dengan beliau, dan menurutnya jika seseorang sudah memiliki jiwa keterbukaan sekaligus tahu diri, maka dia sudah menyelami jiwa Jakarta.
Alasan yang kedua, bahwa Jakarta jauh lebih besar dari Solo. Hal ini sebenarnya sudah disinggung juga di alasan pertama, tentang besar kecilnya masalah. namun untuk lebih jelasnya, dan bisa menjawab makna kepemimpinan, proses lahirnya pemimpin.
Pemimpin tidak serta merta diciptakan dan tiba-tiba bisa memimpin. Ada proses-proses yang harus dilalui. Untuk menjadi pemimpin perusahaan misalnya, atau pemimpin Redaksi koran, anda pertama-tama mungkin beranjak dari karyawan kecil/reporter. kemudian naik (jika berprestasi) jadi manager/redaktur, jika berprestasi lagi naik jadi direktur dan selanjutnya sampai menjadi CEO/Direks/Pemred. Inilah proses sistem alami pengkaderisasi pemimpin dimana jika seseorang berprestasi di tingkat yang lebih kecil dia berhak mendapat promosi skup yang lebih besar. Ini alamiah. Menghalang-halangi ini seperti melawan hukum alam. Anda sama saja dengan membunuh potensi perusahaan, dengan tetap menahan seorang sarjana menjadi tukang ketik, meskipun kapabilitasnya sudah bisa jadi manajer bukan?
Sekarang kita tengok diri sendiri, siapa diri kita sekarang, apakah anda seorang karyawan, seorang manajer, seorang buruh atau mahasiswa? adakah mimpi untuk jadi lebih maju, mempunyai mimpi menjadi CEO atau jabatan yang lebih tinggi. Jika anda bilang anda punya, dan suatu saat anda pasti bisa, maka hak yang sama ada untuk Joko Widodo. Yang berprestasi layak untuk promosi.
Alasan ketiga, Integritas dan meninggalkan masa jabatan. praktis jika kita melihat calon dari partai (dan ingat partai di pemilukada DKI hanya menyodorkan kader yang menurut mereka berhasil), hanya Fauzi Bowo yang diuntungkan dari isu ini. Alex Noerdin meninggalkan pemilihnya di Sumsel, Jokowi meninggalkan pemilihnya di Solo, dan Hidayat Nur Wahid (garisbawahi) adalah anggota DPR yang juga meninggalkan konstituennya. bahkan untuk HNW jauh lebih parah, karena jika mundur ia akan digantikan oleh orang lain, sementara jika walikota/gubernur masih digantikan wakilnya yang masih dipilih rakyat dengan jumlah suara yang sama.
Alasan ketiga tentu masih berkorelasi dengan alasan kedua, dimana yang berprestasi layak dapat promosi. Namun alasan yang dicari-cari ini diperburuk dengan melibatkan masyarakat Solo dan Sumsel. Rakyat Solo diadu domba dengan rakyat Jakarta. Negara macam apa ini. Kita harus ingat bahwa Jakarta adalah ibukota, etalase bangsa, jika Jakarta buruk maka buruklah Indonesia di mata internasional. Jakarta milik bangsa ini, bukan milik warga Jakarta saja. Apa salahnya mengangkat orang dari luar Jakarta untuk mengatur Jakarta, dan bersaing dengan pemimpin yang dilahirkan harfiah oleh Jakarta?
Justru kita harus salut dengan masyarakat Solo (mungkin juga Sumsel), yang merelakan pemimpinnya untuk memperbaiki bangsa. Dan yang seharusnya girang dan bersyukur adalah masyarakat Jakarta sendiri, bukan malah bersikap anti pati dan termakan isu-isu yang menyesatkan.
Tiga alasan yang disampaikan untuk menghalangi Joko Widodo, menurut saya terjawab sudah, hanya sebagai alasan yang dibuat-buat politisi. Dan dimakan dengan baik oleh masyarakat yang belum terbuka hatinya. Jika memang ada alasan lain, saya akan dengan senang hati untuk ikut memikirkan dan merevisi lagi tulisan ini.
Tapi sejauh ini jika ada yang bilang Jokowi tidak pantas jadi Gubernur DKI, saya akan tanyakan.
Kenapa lagi?

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More