Selamat datang di situs CV. Mandiri Kreatif

CV. MANDIRI KREATIF adalah sebuah perusahaan yang didirikan di Kota Bandung pada tanggal 18 Februari 2010. Perusahaan ini bergerak dalam perdagangan barang dan jasa. CV. MANDIRI KREATIF telah banyak mendapatkan proyek-proyek pemerintah dan swasta. Komitmen kami adalah memberikan kualitas layanan terbaik, yang menjadi motivasi kami dalam mencapai prestasi untuk menjadi mitra di bidang pengadaan barang dan jasa yang berkualitas. Sejarah usaha kami selalu mengembangkan sumber daya manusia dan mencari inovasi baru dalam meningkatkan mutu kerja didukung peningkatan sarana produksi hingga pendukung usaha lainnya.

Rabu, 01 Maret 2017

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN UUD 45
Menurut Prof. Dr. Notonagoro:
Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya..
Hak dan Kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat itu tidak cukup hanya memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk memikirkan diri sendiri. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan.
Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini. Mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan rakyat, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mendapatkan haknya. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.
HAK DAN KEWAAJIBAN WARGA NEGARA :
1.  Wujud Hubungan Warga Negara dengan Negara Wujud hubungan warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan (role).
2.  Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Hak kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945.
Hak Warga Negara Indonesia :
–   Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
–   Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
–   Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
–   Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
–   Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
–   Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
–   Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
–   Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).
Kewajiban Warga Negara Indonesia  :
–   Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi :
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
–   Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945
menyatakan  : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara”.
–   Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan :
Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
–   Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
–   Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Hak dan Kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27, 28, dan 30, yaitu :
1.  Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
2.  Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.  Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
4.  Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.

TAFSIR KONSTITUSI

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Oleh:
WINARNO YUDHO


Tafsir adalah penjelasan atau keterangan, dengan demikian pembicaraan kita yang bertajuk “Tafsir Konstitusi Terhadap Sistem Peradilan di Indonesia” merupakan pembicarakan tentang penjelasan atau keterangan konstitusional mengenai Sistem Peradilan di Indonesia. Persoalannya adalah siapa yang berwenang memberi penjelasan dan dimana atau dalam bentuk apa penjelasan tersebut dapat ditemukan.

Karena tafsir merupakan hasil dari penafsiran, maka kedudukan atau status dari pihak yang melakukan penafsiran tentu akan berpengaruh terhadap hasilnya. Pihak yang melakukan penafsiran tentunya adalah mereka yang mempunyai otoritas, sehingga penjelasan yang diberikan dapat dijadikan pedoman atau pegangan sesuai dengan kebutuhan. Otoritas dari pihak yang memberikan penjelasan/tafsir dapat didasarkan pada kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan hukum maupun atas dasar kriteria lain.

Perbedaan kedudukan/status dari pihak yang memberi penjelasan, akan berpengaruh terhadap penjelasan yang diberikan. Pihak yang secara formal menurut hukum diberi wewenangan untuk melakukan penafsiran, penjelasan/tasir yang dihasilkan memiliki kekuatan hukum jika dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku.

Siapakah yang berwenang melakukan tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia? Konstitusi atau undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi negara (the highest law of the land) tentu tidak mungkin memuat norma hukum sampai detail dan lengkap. Pengaturan penyelenggaraan kehidupan bernegara melalui organ-organ negara dan pengaturan tentang hak/kewajiban serta perlindungan warga negara (yang merupakan bagian utama dalam konstitusi) memerlukan pengaturan lebih lanjut. Pengaturan berbagai hal yang diperintakan dalam undang-undang dasar dalam bentuk peraturan hukum yang tingkatnya lebih rendah dikenal dengan sebutan undang-undang organik.

Lembaga legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang, adalah lembaga yang melakukan penafsiran konstitusi dengan produk yang berupa undang-undang. Jika undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut dibuat mengikuti tata cara yang telah ditentukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi maka undang-undang tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis.

Selanjutnya, bagaimana untuk mengetahui tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia? Konstitusi atau undang-undang dasar tidak membuat tafsir, karena bukan subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum. Sebagai hukum dasar, konstitusi justru berisi norma-norma hukum yang memerlukan perumusan lebih lanjut. Perumusan norma lanjutan dalam bentuk undang-undang pada hakekatya merupakan penafsiran. Berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh lembaga peradilan, penafsiran yang dilakukan oleh lembaga pembentuk undang-undang lebih berbobot politik. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat bahwa lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga politik yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme politik. Dengan demikian tidaklah keliru pendapat yang mengatakan bahwa hukum adalah hasil dari proses politik (law is a product of political process) dan bukan datang dari langit. Proses politik yang berlangsung di lembaga perwakilan dalam pembuatan undang-undang pada umumnya ditentukan oleh besar kecilnya jumlah suara anggota yang mendukung dan yang menentang.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan, yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memeutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewengan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar pada hakekatnya adalah kewenangan untuk menafsirkan. Berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah Konsitusi diposisikan sebagai the sole interpreter of the constitution. Hal tersebut cukup mempunyai alasan yang kuat karena penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang dibuat bersifat final and binding.

Dengan demikian, bentuk tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia dapat berupa undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi.

Meskipun kedua lembaga tersebut merupakan lembaga “penafsir konstitusi”, karena hakekat dari dua lembaga tersebut berbeda, maka juga terdapat perbedaan dalam proses penafsiran. Lembaga legislatif diberi hak inisiatif untuk membuat tafsir konstitusi yang berupa undang-undang. Sedangkan peradilan (Mahkamah Konstitusi) tidak dapat mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan penafsiran. Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan bersifat menunggu pihak-pihak yang mengajukan perkara untuk diperiksa dan diputus. Para pihak yang mengajukan permohonan itupun haruslah pihak yang mempunyai legal standing, yakni pihak-pihak yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh undang-undang.

Keberadaan berikut kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan akibat dari perubahan paradigma Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak lagi menganut sistem pembagian kekuasaan tetapi pemisahan kekuasaan dengan menerapkan prinsip checks and balances. Masing-masing organ negara dalam kedudukan yang sederajat satu dengan yang lain. Sebelum UUD 1945 diubah, paradigma yang dipakai adalah “supremacy of parliament” dengan menempatkankan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara dan diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan rakyat. (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diubah). Melalui Perubahan Ketiga, kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum merupakan pasangang dari penerapan asas kedaulatan rakyat (demokrasi), sehingga pelaksanaan kedaulatan rakyat akan dikontrol oleh norma-norma hukum (nomokrasi).

Prinsip kedaulatan rakyat menghendaki keterbukaan (tranparancy) dan tanggung jawab (accountability). Sedangkan prinsi negara hukum menghendaki semua bentuk tindakan dan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan negra harus didasarkan atasa hukum. Dua prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara harus tercemin dalam penataan sistem peradilan kita. Kehadiran sebuah komisi yang bersifat mandiri dan diberi wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan ( Pasal 24B ayat (1) UUD 1945) merupakan paradigma baru untuk membangun sistem peradilan di Indonesia.

Diluar lembaga legislatif dan peradilan, seseorang sebagai pribadi dapat melakukan penafsiran sesuai dengan pemahamannya. Namun demikian penasiran jenis ini tidak mempunyai kekuatan hukum. Penafsiran secara individual baru berpengaruh jika dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya dan yang kemudian pendapatnya diakui sebagai doktrin atau ajaran hukum.

Konstitusi yang berlaku di Negara Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sedangkan yang dimaksud dengan UUD 1945 adalah UUD 1945 yang telah diubah melalui Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Kempat. Menurut Pasal II Aturan Tambahan, dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal saja. Artinya, UUD 1945 setelah perubahan tidak lagi menyertakan penjelasan seperti yang pernah ada sebelumnya. Selain itu, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam kondisi normal hanya menyangkut tiga hal saja, yakni (1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; (2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan (3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Bagaimana tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia dilakukan? Tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan yang mengatur tentang sistem peradilan di Indonesia dirumuskan dalam BAB IX Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. BAB IX terdiri atas Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25. Mengingat bahwa UUD 1945 tidak memilki penjelasan, maka kita harus melihat pada ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasalnya. UUD 1945 tidak menyebutkan tentang sistem peradilan. BAB IX yang terdiri atas Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal24C dan Pasal 25 mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman dan tidak secara eksplisit mengatur tentang sistem peradilan di Indonesia. Kata peradilan hanya disebut dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi :”Kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, Pasal 24B menyebutkan sebuah Komisi Yudisial yang bersifat mandiri dan mempunyai wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan wewenang kekuasaan kehakiman.

Ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman pasca perubahan undang-undanng dasar telah mengalami perubahan. Sebelum perubahan, ketentuan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yakni Pasal 24 dan 25. Pasal 24 UUD 1945 sebelum diubah berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Rumusan Pasal 24 sebelum diubah berbeda sekali dengan rumusan setelah perubahan. Sebelum perubahan, sistem peradilan atau kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.

Setelah perubahan kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2)). Meskipun sama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya terdapat perbedaan. Mahkamah Agung melaksanakan peradilan untuk menegakkan undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi melaksanakan peradilan untuk menegakkan konstitusi. Karena mempunyai fungsi untuk menegakkan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi disebut sebagai the guardian of the constitution.

Disamping itu, dalam Pasal 24 ayat (2) secara eksplisit disebutkan badan-badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang meliputi lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Artinya, bahwa pelaku kekuasaan kehakiman diluar Mahkamah Konstitusi berpuncak pada dan berada dibawah Mahkamah Agung. Dengan demikian Mahkamah Agung merupakan peradilan tertinggi yang membawahi empat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pelaku kekuasaan kehakiman adalalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi. Bagaima kedudukan badan atau lembaga lain yang melakukan fungsi peradilan? Apakah hal itu bertentangan dengan konstitusi? Kalau dianggap bertentangan, bagaimana kekuatan dari putusan dari badan-badan atau lembaga-lembaga tersebut? Untuk perihal ini Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang mempunyai wewenangan untuk memutuskan melalui pengujian undang-undang.

Perubahan pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman melalui Perubahan Ketiga, merupakan bagian dari perubahan paradigma UUD 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan dijamin oleh konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Bagaimanakah mekanisme kontrol terhadap pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka dilakukan? Hakim sebagai pelaku utama dalam sistem peradilan memiliki kebebasan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Campur tangan dari pihak manapun terhadap perkara yang diperiksa, diadili dan diputus oleh hakim tidak dapat dibenarkan. Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak bertanggung jawab kepada lembaga lain. Tanggung jawab hakim merupakan tanggung jawab profesi yang tidak tunduk pada lembaga lain. Undang-undang tidak menyebutkan kepada siapa hakim atau perdilan harus bertanggung jawab. Undang-undang hanya menyebutkan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Selanjutnya undang-undang menyatakan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 1, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003).

Mengingat hakim/peradilan mempunyai kedudukan yang merdeka dalam melaksankan fungsinya, maka transparansi dalam menjalan fungsi peradilan merupakan hal yang sangat amat penting. Sidang peradilan harus terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain. Prinsip terbuka untuk umum dalam persidangan masih harus diikuti oleh terbukanya akses bagi publik untuk memperoleh putusan pengadilan secara mudah, cepat dan biaya ringan. Kecepatan dan kemudahan untuk segera dapat mengetahui putusan pengadilan merupakan suatu kebutuhan dan sekaligus tantangan dalam rangka menciptakan sistem peradilan di Indonseia. Sesuai dengan paradigma baru yang didasarkan pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas (kedaulatan rakyat/demokrasi dan negara hukum), maka bentuk pertanggungan jawab lembaga peradilan dapat diwujudkan dalam bentuk penyampaian putusan secara cepat, mudah dan biaya ringan.

Dalam rangka untuk melaksanakan prinsip checks and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan, Mahkamah Konstitusi diberi wewenang untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pengujian undang-undang merupkan proses penafsiran. Mahkamah Konstitusi akan menguji apakah suatu undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden itu sesuai atau tidak dengan konstitusi (UUD 1945). Konstitusionalitas undang-undang yang diperiksa Mahkamah Konstitusi diputuskan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan tafsir konstitusi yang bersifat mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang diambil dal sidang pleno hakim konstitusi merupakan pendapat Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and binding dan tidak perlu ada lembaga khusus untuk melaksanakan putusan (eksekusi) karena semua pihak wajib melaksanakan putusan. Putusan mengikat sejak dibacakan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang terbuka untuk umu. Dengan demikian, tidak ada pendapat Mahkamah Konstitusi yang disampaikan di luar persidangan dalam bentuk selain Putusan. Sejalan dengan itu, maka tidak pernah ada fatwa yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana penafsiran dilakukan Apakah suatu penafsiran konstitusi itu harus dilakukan berdasarkan prinsip “original intent”, tekstual ataukah yang bersifat kontekstual, sepenuhnya tergantung dari hakim yang jumlahnya sembilan orang. Pembicaraan tentang penafsirkan konstitusi apakah harus mengikuti original intent atau tidak, pernah menjadi perdebatan yang hangat di Amerika Serikat. Perdebatan dipicu ketika Attorne General Edwin Meese III berbicara di depan Amarican Bar Association pada bulan Jui tahun 1985. Dalam pidatonya, dia memberikan dukungan terhadap “a jurisprudence of original intention”. Dia berpendapat bahwa: “The original meaning of constitutional provisions and statutes provided the only reliable guide for judment”. Tiga bulan setelah itu Jutice William J. Brennen menyatakan ketidak setujuannya atas pemikiran dari Meesee dan para pendukungnya. Dia menyatakan bahwa penafsiran yang didasarkan pada original intent tidak praktis dan tidak memadai (impractical and inadequate) dan untuk mengetahui secara pasti tentang original intent bukan hal yang mudah.

Bagaimana para hakim Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusional dalam perkara pengujian undang-undang tentunya terpulang dari orientasi para hakim yang berjumlah sembilan orang itu. Jika para hakim berpikiran “conservative” tentu sependapat dengan Meese, namun jika berpikiran sedikit “liberal” dan mendukung “judicial activism” mungkin akan sependapat dengan Jutice William J. Brennen.

Menjelang usia empat tahun, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa, mengadili dan memutus benyak perkara pengujian undang-undang. Sebagian dari perkara pengujian undang-undang yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi merupakan undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan sistem peradilan di Indonesia.

Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat ?

“LIBEL”sebagai
Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat ? *)
Oleh :
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. **)

I. Latar Belakang
Pembentukan semua UU sebagai norma hukum legislasi sebenarnya bertujuan mengatur kehidupan bangsa dan negara ini, sehingga tentunya pula dihindari adanya produk legislasi yang justru merugikan masyarakat dan akhirnya akan berdampak pada Negara itu sendiri. Begitu pula sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( selanjutnya disebut “UU ITE”), telah menjadi kontroversi implementasinya, khususnya yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, yaitu antara lain mengenai pembatasan kebebasan berpendapat melalui sarana elektronik dari Pasal 27 UU No.11/2008, meskipun Mahkamah Konstitusi tetap memandang perlu ketentuan tersebut .Sejumlah kasus yang berkaitan dengan penggunaan media internet telah dijerat hukum dengan menggunakan pasal-pasal yang terdapat dalam UU ITE tersebut, misal kasus yang berkaitan dengan Bank Artha Graha, dan juga kasus Prita Mulyasari.
Akhir-akhir ini, aturan hukum yang terdapat Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan ketentuan ancaman hukumannya yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) seringkali dipergunakan oleh penegakan hukum untuk kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik atau yang berkaitan dengan aturan penghinaan atau “libel”.
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat 91) memang menjadi legitimasi polemik dari kalangan komunitas hukum dan pengguna internet. Ancaman Pidana yang berat dan tinggi menimbulkan kesan bahwa aturan ini sebagai kriminalisasi dari freedom of opinion dari masyarakat yang melontarkan kritikan, meski kritik itu bersifat zakelijk, konstruktif dan obyektif. Pasal ini juga sempat diuji Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dan sebagaimana telah dijelaskan diatas, Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan hak uji materiel atas pasal 27 diatas, dan telah menyatakan bahwa pasal tersebut tak bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi mengatakan ketentuan itu bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan pikiran dalam suatu masyarakat yang demokratis. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya hukum rimba dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan sebab tidak ada hukum yang menganturnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, implementasi pasal tersebut selalu meninggalkan korban, dan terakhir adalah kasus Prita Mulyasari. Dia menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Hengky Gosal dan Grace H Yarlen Nela, keduanya dokter di Rumah Sakit Omni Internasional, Serpong, Tangerang, Banten. Kasus ini bermula ketika Prita membuat dan mengirimkan email yang dikirim ke sejumlah orang yang isinya antara lain “ ....Saya inforamasikan juga dr. Hengky praktik di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini....” Selanjutnya dia mengatakan juga dalam emailnya : “ Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan costumer.” Menurut Jaksa Penuntut Umum, dua kutipan email itu sudah membuktikan Prita telah melakukan pencemaran nama baik atau penghinaan.
Sebagaimana dijelaskan pada TOR ini, kasus Prita ini mengundang banyak simpati masyarakat. Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) kembali digugat [1]. Pasal 27 ayat (3) mengatur larangan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. Beberapa pihak mengatakan bahwa rumusan Pasal 27 ayat (3) bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu tulisan adalah pernyataan pendapat/pikiran, sebuah keluhan/komplain atau penghinaan/pencemaran nama baik. Sedangkan Psal 45 ayat (1) memuat ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara bila ketentuan itu dilanggar. Ancaman hukuman ini lebih berat dibandingkan dengan pasal penghinaan dalam KUHP [2]. Dengan ancaman maksimal enam tahun inilah yang menjadikan alasan bagi Jaksa, sesuai dengan KUHAP, untuk segera menahan terdakwa Prita. Penahanan inilah yang sebenarnya menimbulkan kontroversi , karena dianggap terlalu ekstrim untuk sebuah kasus pencemaran nama baik, terlebih-lebih Prita adalah seorang Ibu yang masih mempunyai anak-anak kecil yang membutuhkan kehadirannya di rumah.
Pemerintah pun, melalui Depkominfo, mengatakan pengaturan pencemaran dalam UU ITE tetap diperlukan di samping Pasal 310 dan 311 KUHP. Ia menilai media informasi elektronik atau internet memiliki karakteristik yang sangat khusus serta dapat menyebarkan informasi tanpa batas dalam waktu yang singkat.
Menanggapi heboh kasus Prita, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong menghimbau agar hakim ditingkat bawah hati-hati terhadap pengunaan pasal pencemaran nama baik yang diatur dealam UU ITE tersebut.
Kontroversi dimasyarakat terhadap penerapan pasal-pasal pencemaran nama baik yangdiatur dalam UU ITE ini menimbulkan permasalahan yang khususnya dalam kaitan Hukum Pidana memerlukan suatu arah solusi, dan sementara ini yang menjadi ranah permasalahan kami adalah terhadap 2 persoalan dibawah ini, yaitu :
a. Bagaimanakah sistem pemidanaan yang dianut dalam Pasal 310 jo. 311 KUHP? Apakah ketentuan Pidana penghinaan/pencemaran nama baik yang terdapat didalam Pasal 310 jo 311 KUHP masih memadai untuk diterapkan dalam kasus pencemaran nama baik melalui media elektronik? Apakah ketentuan pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP, sebagai sebuah norma hukum umum, masih relevan untuk digunakan sebagai referensi/alat tafsir dalam menerapkan ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE?
b. Bagaimanakah seharusnya penegak hukum menerapkan ketentuan pasal-pasal tersebut dalam menangani kasus kasus yang menyangkut penghinaan/pencemaran nama baik yang dilakukan melalui dunia maya? Kapankah sebuah tulisan yang isinya mengenai keluhan /komplain terhadap suatu pelayanan dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan/pencemaran nama baik? Apakah tulisan email yang awalnya ditujukan kepada beberapa orang teman dalam kasus Prita misalnya (yang merupakan ranah privat) dapat dijangkau oleh Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE? Apakah di dalam kasus-kasus pencemaran nama baik, termasuk yang dilakukan melalui media elektronik, dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar pengadilan (misalnya mediasi)? .
II. Libel : Kriminalisasi terhadap “Freedom of Opinion” ?
Dalam tataran sistem tata negara yang mengakui eksistensi demokrasi, suatu kebebasan berpendapat merupakan suatu syarat yang tak dapat dihindari lagi. Namun demikian, pendekatan demokratis terhadap kebebasan berpendapat tersebut tetap tidak diartikan sebagai pendekatan yang absolut. Apapun formulasi kebebasan yang bermakna absolut justru akan membahayakan kebebasan itu sendiri, karena itu kebebasan itu seringkali memberikan makna-makna pembatasan, meskipun pembatasan itu tidak dalam konteks meniadakan, tetapi sekedar memberikan makna kebebasan secara adequat, yaitu mencari kesimbangan antara kebebasan dengan perlindungan terhadap individu, masyarakat (termasuk keluarga) dan Negara, suatu “balances of freedom and protection” .
Kebebasan yang adequat ini mengingatkan kita semua pada makna kebebasan pers di negara-negara Eropa Barat. Antara kebebasan pers dengan kebebasan berpendapat memiliki persamaan makna, yaitu sutau kebebasan yang berimbang antara kepentingan insividu, masyarakat dan negara . Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap kebebasan pers, yaitu apabila pemberitaan pers yang secara substansiel memuat: [3]
a. National security and public order (keamanan nasional dan ketertiban umum);
b. Expression to war or to national, racial or religious hatred (pemidanaan terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama);
c. Incitement to violence and crime (hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan);
d. Attacks on founders of religion (serangan terhadap pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik “blasphemy”);
e. Public health and moral (kesehatan dan moral);
f. Rights, honour and reputation of others (hak-hak, kehormatan dan nama baik seseorang, yang umumnya memuat “delik penghinaan”);
g. Fair administration of justice (umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan kemudian merupakan suatu bentuk dari “countempt of court”) .
Sementara ini ada pendapat yang mengkui relevansi antara gugatan berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, meskipun quad-non, pendapat tersebut tidaklah tepat. Namun demikian, apabila benar ada relevansinya, Penulis menganggap perlu menanggapi hal tersebut berdasarkan alasan tersebut di bawah ini.
Secara eksplisit, gugatan perdata berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat diartikan mengikuti persyaratan substansiel dari unsur 310 KUHPidana (“penghinaan”), karenanya tidak terdapat keterkaitan normatif antara kedua ketentuan tersebut, artinya gugatan perdata tentang penghinaan (Pasal 1372 KUHperdata) tidaklah harus menunggu putusan pidana tentang “penghinaan” (Pasal 310 KUHPidana) .
Namun, apabila suatu gugatan mengajukan tuntutan adanya perbuatan fitnah, maka implisitas keterkaitan ini hanya tertuju pada Pasal 311 KUHPidana tentang “beban pembalikan pembuktian” atau “The Reversal Burden of Proof” (“Omkering van de Bewijslast”), artinya apabila hakim menghendaki, maka Terdakwa wajib membuktikan apa yang dituduhkan (kepada pelapor) adalah benar. Dalam hal Terdakwa tidak berkehendak membuktikan tuduhan tersebut meskipun Hakim menghendakinya, maka ia (Terdakwa) melakukan perbuatan “fitnah” menurut Hukum Pidana. Jadi, sebenarnya yang harus dipertimbangkan dan diperiksa untuk institusi yudikatif adalah: apakah substansiel yang diberitakan itu mengandung kebenaran ataukah tidak, dan bukan mengenai artian gramatikal dari substansi tulisan dan gambar yang tidak ada relevansinya dengan makna kebebasan per situ sendiri.
Selain itu, apabila terdapat pendapat soal kaitan antara Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, maka memang secara tidak langsung perkara ini berkaitan denganVerspeidingdelict (delik penyiaran), yaitu delik penistaan/pencemaran sebagai bagian umum dari kelompok delik “penghinaan” yang dalam sistem Anglo Saxon dikenal sebagai kelompokLibel” yang tertuang dalam bentuk pernyataan tertulis, tercetak atau dalam bentuk permanen lainnya, selain itu terdapat bentuk Slander” yang tertuang dalam bentuk ucapan-ucapan lisan.Baik “Libel” maupun “Slander merupakan “defamatory statement”, yaitu suatu bentuk pernyataan-pernyataan mengenai suatu (orang) dan yang membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (“hatred”), ejekan/cemoohan (“ridicule”) ataupun penghinaan (“contempt”). [4]
Contempt” atau “Minachting” yang diterjemahkan sekarang ini sebagai “penghinaan” semula diartikan secara limitatif dalam bentuk formil saja,karena jelas paham Belanda selama beberapa dekade silam ini telah memperluas bentuk penghinaan sebagai 2 (dua) macam penghinaan, yaitu yang dinamakan sebagai “materiale belediging” (penghinaan material) dan “formeele belediging” (penghinaan formil). Bahwa penghinaan formil adalah bentuk penghinaan menurut caranya yang ditempuh sehingga suatu pernyataan yang tegas dan jelas jalannya kasar dan seterusnya. Misalnya, adanya perseteruan antara A dan B (sama-sama pegawai negeri yang kaya raya), sehingga A mengeluarkan kata-kata “dasar kamu koruptor kakap!”.
Sedangkan penghinaan materiel adalah suatu bentuk penghinaan yang menurut isinya dan dilihat dari keadaan-keadaan yang melatar-belakangi adalah suatu penghinaan yang dilakukan secara halus. Misalnya A (pimpinan) menanyakan kepada B (bawahan) tentang adanya korupsi berupa kebocoran uang anggaran bagi penyelenggaraan seminar, dengan menanyakan: “baik juga pertanggungjawaban yang anda (B) berikan kepada saya!”.
Pertanyaan itu jelas mengandung suatu tuduhan bahwa orang itu (B) telah melakukan korupsi dalam menyelenggarakan seminar tersebut, itulah yang dinamakan materiele belediging, di negara-negara dengan sistem anglo saxon dikenal sebagai “Libel per Quod”, dan di Belanda telah dikembangkan, yaitu melalui Arrest Cohen Lindenbaum mengenai ajaranOnrechtmatigedaad atau yang dalam bidang hukum pidana dikenal sebagai ajaran materiele wederechtlijkheid. Konsep ini telah memperluas pengertian Onwetmatigedaad sehingga mencakup segala perbuatan yang dianggap melanggar asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Namun demikian perkembangan soal materiele wederrechtelijk dengan libel yang memiliki makna “materiele beleidiging” inilah yang berpotensi meniadakan kebebasan berpendapat, suatu kritikan yang zakelijk, konstruktif dan obyektif, dan karenanya persoalan materiele beledeging berpolemik untuk ditempatkan sebagai norma hukum secara legislasi .
KUHPidana Indonesia sebagai hasil konkordansi dari WvS Nederland mengikuti pola dan dinamika yang ada dalam delik penghinaan yang tidak hanya mencakup artian “formil” saja, tetapi mencakup penghinaan “materiel” yang dipandang sebagai suatu hal yang komprehensif. Seperti halnya Indonesia, perkara-perkara pidana di Inggris atas dasar “Libel” (penistaan tertulis) dipandang sebagai suatu tindak pidana yang serius sifatnya daripada sekedar “Slander”, yang karena sifatnya yang universal itulah maka ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 310 KUHPidana ayat (2) KUHPidana lebih tinggi dibandingkan dengan Pasal 310 ayat (1) KUHPidana.
Sekali lagi ditegaskan, apabila terdapat pendapat yang menganggap ada relevansi antara Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, maka dalam pasal-pasal tentang pencemaran/penistaan (penghinaan) atau “smaad”, seperti halnya Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHPidana, terdapat kata-kata sebagai unsur delik, yaitu “dengan sengaja” di muka kata-kata “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”.
Penulis menyadari bahwa seringkali pelaku pencemaran nama baik memberikan alasan pembelaan yang stereotip serta berulang kali bahwa Pelaku tidak mempunyai “maksud” (niat) atau tidak terbukti secara “sengaja” untuk melakukan penghinaan, yang seakan-akan untuk menghindari adanya suatu “opzet” (sengaja) sebagai salah satu unsur dari Pasal 310 KUHPidana, yang menurut Pelaku adalah idemnito dengan unsur-unsur dalam Pasal 1372 KUHPerdata.
Penulis menyadari dalih pendapat yang tidak akan memberikan alasan pembelaan seolah-olah perbuatan penghinaan hanyalah memenuhi unsur “culpa” (kelalaian) bukan “opzet”, karena doktrin dan yurispridensi yang berkembang membenarkan bahwa bukan “animus injuriandi” yang disyaratkan oleh Pasal 310 KUHPidana jo. Pasal 1372 KUHPerdata, melainkan cukup adanya kesadaran, pengetahuan, ataupun pengertian pada pelaku bahwa pernyataannya objektif yang akan berakibat dan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Jadi, bukan tujuan utama untuk menghina atau adanya kesengajaan untuk menghina seseorang sebagai syarat pemidanaan. Dan pengertian akan akibat yang akan ditimbulkan terhadap pernyataan (tulisan dan lisan) yang dibuatnya.
Makna inilah yang merupakan pengembangan dari matiriele beledeging (penghinaan materiel) sekaligus sebagai suatu pengakuan terhadap pelanggaran dari garis-garis kepatutan yang ada dalam masyarakat atau materiele wederrechtlijkheid (dalam Hukum Pidana) maupunOnrechtmatige-daad (dalam Hukum Perdata). Dengan pemahaman ini, suatu tulisan (dan gambar) sudah jelas sebagai bentuk dari formeele belediging dalam penyajian dari pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Misleading Conclusion” yang berisi pelanggaran terhadap “Law of Libel” dari suatu penerbitan pers, yaitu pernyataan yang berbentuk tertulis maupun liasan, apalagi isi pemberitaan itu telah tersosialisasi dalam kehidupan publik, akan sangat sulit merehabilitasi dalam waktu yang singkat terhadap pihak yang merasa dirugikan, karena sebagaimana ditegaskan melalui International Convention on The Freedom of Information, hal ini sudah menyentuh masalah “rights”, “honour”, dan “reputation” pihak-pihak yang dirugikan. Untuk menghindari adanya tuntutan dari pihak ketiga yang dirugikan, sebaiknya kritik (juga pernyataan) yang umumnya berbentuk lisan dan tidak bersifat Libel, memiliki limitatif-restriktif, antara lain: [5]
1. Kritik/pernyataan berupa “expression of opinion”, komentar boleh mengandung suatu “disapproval” terhadap perbuatan dari pemerintah, policy atau tindakan-tindakan lain, juga perbuatan swasta,
2. Kritik/pernyataan boleh mengandung pernyataan tidak setuju terhadap sebuah RUU,
3. Kritik/pernyataan dapat membuka kesalahan atau kekurangan-kekurangan yang terlihat pada lembaga-lembaga negara ataupun pada pejabat-pejabat umum/swasta,
4. Kritik/pernyataan dan komentar boleh menganjurkan penggantian pemerintah dengan jalan-jalan kontitusional, juga swasta,
5. Kritik/pernyataan harus dilakukan dengan cara yang zakelijk, konstruktif, obyektif sopan meskipun ia dikemukakan dengan nada keras,
6. Kritik/pernyataan harus konstruktif sifatnya dan sedapat mungkin harus memberikan suatu alternatif,
7. Kritik/pernyataan menjadi penghinaan formil, apabila dilakukan dengan cara dan jalan yang kasar, tidak zakelijk dan tidak sopan,
8. Kritik/pernyataan dan komentar, apabila ditujukan terhadap pejabat-pejabat umum, pemerintah dan swasta dapat mengandung di dalamnya suatu penghinaan materiel, adalah tidak akseptabel dan tidak demokratis sifatnya,
9. Kritik/pernyataan tidak boleh dilakukan dengan “actual malice” ataupun dengan menjelaskan dan meragukan motif dari orangyang hendak dikritik, menyinggung karakter dan kehidupan privasi-nya.
Memperhatikan parameter suatu pernyataan (lisan) yang tidak bersifat libel tersebut, baik melalui sarana cetak maupun elektronik dalam arti luas, maka sudah seharusnya suatu kritikan yang zakelijk, obyektif dan konstruktif tidak masuk dalam pemahaman perbuatan yang strafbaar sifatnya, sehingga pernyataan tertulis melalui sarana cyber seperti bentuk atau formulasi “.... Saya inforamasikan juga dr. Hengky praktik di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini....” Selanjutnya dia mengatakan juga dalam emailnya : “ Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan costumer.”.... tidaklah dapat diartikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik atau libel .
Hal ini lebih dipertegas dengan memperhatikan persyaratan dalam kaitankritik/pernyataan yang bersifat tertulis (yang tidak bersifat Libel) sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H., akan dijelaskan dibawah ini, yaitu antara lain :
1. Maksud dan tujuan dari penulis merupakan faktor yang relevan dalam menilai sifat dan tulisan ybs.
2. Tes dari “Libel” = effect dominant, melihat tulisan itu sebagai keseluruhan, “as a whole” dan bukanlah adanya halaman-halaman tersendiri. “isolated passages” yang mungkin “Libel”.
3. Ia harus memiliki standart dari “average man”, “reasonable man”, “bukan dari seorang dewasa yang non demokratis”.
4. “Literary”/”artistic merit” patut dan Academic Science perlu mendapat pertimbangan dalam menilai sifat dari tulisan tersebut.
5. Cara dan keadaan publikasi itu dilakukan merupakan faktor yang tak dapat diabaikan.
6. Perlu mendapat tinjauan, apakah tulisan ybs substantieel bermutu edukatif atau tidak.
7. Tulisan tidak boleh mengandung suatu pemujaan dari larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.
8. Nilai Science Academic dapat dijadikan suatu defense terhadap libel, meskipun ia dapat dikeseimbangkan dengan sifat “aanstotelijk” dari tulisan ybs.
9. Nilai tulisan yang dikemukakan semestinya demikian tingginya, sehingga publikasi dipandang sebagai suatu “pulic good”, untuk “maatschapoelijk” masyarakat dan “publiek nit”.
10. Pandangan Langemeyer mengenai “indirecte aastoot” = tersinggungnya perasaan kesusilaan seseorang mengenai sesuatu dengan menggambarkan.
Mengamati hubungan diantara Pasal 310-Pasal 311 KUHP dengan Pasal 27 UU ITE, maka kedua produk UU ini didasarkan substansi yang memilki persamaan diantaranya, khususnya terhadap perbuatan pencemaran nama baik atau libel . Seharusnya UU ITE yang berlaku berdasarkan asas Lex Post Terrior Derogat Lex Priori, namun demikian apabila terjadi suatu kasus pidana berdasarkan Pasal 27 jis Pasal 45 UU ITE dalam permasalahan Hukum Pidana, maka Hukum Pidana yang tetap menempatkan asas Legalitas dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, sudah seharusnya terhadap siapapun harus diberlakukan ketentuan perundangan yang ancaman pidananya lebih rendah, bukan terhadap perundangan yang ancaman pidananya lebih berat .
Selain itu, aturan umum mengenai pencemaran nama baik dalam delik penghinaan KUHP adalah relevan dengan perkembangan mengenai tindak pidana maya (cybercrimes), karena dalam Hukum Pidana, suatu perbuatan yang dapat dipidana adalah karena adanya actus reus, yaitu perbuatan yang dilakukan karena melanggar schuld (baik opzet maupun culpa) maupun wederrechtelijkheid, sedangkan dunia maya adalah sarana yang dipergunakan dari perbuatan yang dapat dipidana tersebut . Tentunya perbuatan dalam bentuk actus reus dengan mempergunakan sarana melalui cyber (dunia maya) jauh lebih memadai apabila memperhatikan pendekatan ajaran penafsiran hukum, tentunya penafsiran ini tidak diartikan sebagai analogi hukum yang terlarang sesuai Pasal 1 ayat 2 KUHP .
Kesimpulannya, dalam pemahaman Hukum Pidana Materiel, aturan mengenai “Libel” adalah tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara penghargaan terhadap hak asasi manusia dengan perlindungan hak-hak individu, masyarakat dan negara, namun demikian penerapan/implementasi penggunaan ketentuan ini harus dicermati dengan memperhatikan relasi dari asas-asas Hukum Pidana dengan pendekatan demokratis dari sisi Hukum Tata Negara .
Aturan mengenai pencemaran nama baik pada Pasal 27 jis Pasal 45 UU ITE merupakan aturan yang bersifat lex specialis terhadap Pasal 310 jis Pasal 311 KUHP mengingat perbuatan diantara kedua produk UU ini adalah satu dan sama, yang penerapannya tidak boleh merugikan asas Daad-daderstrafrecht (keseimbangan kepentingan antara individy, korban, pelaku, masyarakat dan Negara) .
Mengamati hubungan diantara kedua produk UU ini, Pasal 310-Pasal 311 KUHP dengan Pasal 27 ayat (3) jis Pasal 45 ayat (1) UU ITE, maka larangan melakukan perbuatan materiel berupa pencemaran nama baik haruslah diartikan sebagai “formeele belediging” (penghinaan formil), bukan terhadap penghinaan materiel (materiale belediging) yang justru akan membatasi kebebasan berpendapat .
Tidak dapat diartikan atau diberikan pemahaman sebagai pencemaran nama baik atau libel bahwa apabila Pernyataan/kritikan baik secara lisan maupun tertulis, dilakukan secara zakelijk, obyektif, konstruktif, meskipun dikemukakan dengan nada yang keras .Karenanya suatu pernyataan/kritik, tertulis maupun lisan, tidak dapat dicermati sebagai suatu “isolated passages” sehingga menimbulkan kesan adanya suatu “isolated suspicious” yang berkelebihan, tetapi harus dilihat secara penuh dan menyeluruh didasarkan substansi yang memilki persamaan diantaranya, khususnya terhadap perbuatan pencemaran nama baik atau libel .
Jakarta, 07 Juli 2009
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H.


*) Makalah berjudul “ Libel Sebagai Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat” ini Disampaikan pada Focus Group Discussion dengan Tema : “Mencermati Penerapan Ketentuan Mengenai Pencemaran Nama Baik Dalam UU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)” pada tanggal 7 Juli 2009 hari Selasa, jam : 09.45-11.45 WIB, di Auditorium BPHN, Jalan Mayjend Sutoyo No. 10 Cililitan, Jakarta Timur.
**) Penulis sebagai Guru Besar/Pengajar Hukum Pidana & Acara Pidana/Pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Krisnadwipayana, Universitas Pelita Harapan, Universitas 17 Agustus, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan beberapa perguruan tinggi lainnya, Pengajar Pusdiklat Kejaksaan Agung R.I., Libang Mahkamah Agung R.I. Untuk Hakim, Pendidikan Advokat dll.
Anggota Tim Pakar Hukum (Pidana) Menteri Hukum & HAM R.I., Konsultan Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional, Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Tim Perumus UU/Perubahan UU Tindak Pidana Korupsi, RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, KUHP-KUHAP, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi & Korban, Terorisme dan lain-lain .
Advokat Senior pada Law Office “Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan” di Jakarta .
[1] Pasal 27 ayat (3)
(Perbuatan yang Dilarang)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik
Pasal 45 ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
[2] KUHP Pasal 310
(1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum , diancam karena pencemaran, dengan pidana pencemaran paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
KUHP Pasal 311
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
[3] Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Penerbit : Erlangga. 1991, halaman 35.
[4] Joseph Dean & Philip Wittenburg. Dangerous Words : “A Guide To The Law of Libel”, page 3,9.
[5] Oemar Seno Adji, Mass Media dan Hukum, halaman 118,119.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More