“LIBEL”sebagai
Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat ? *)
Oleh :
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. **)
I. Latar Belakang
Pembentukan semua UU sebagai norma hukum legislasi sebenarnya bertujuan mengatur kehidupan bangsa dan negara ini, sehingga tentunya pula dihindari adanya produk legislasi yang justru merugikan masyarakat dan akhirnya akan berdampak pada Negara itu sendiri. Begitu pula sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( selanjutnya disebut “UU ITE”), telah menjadi kontroversi implementasinya, khususnya yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, yaitu antara lain mengenai pembatasan kebebasan berpendapat melalui sarana elektronik dari Pasal 27 UU No.11/2008, meskipun Mahkamah Konstitusi tetap memandang perlu ketentuan tersebut .Sejumlah kasus yang berkaitan dengan penggunaan media internet telah dijerat hukum dengan menggunakan pasal-pasal yang terdapat dalam UU ITE tersebut, misal kasus yang berkaitan dengan Bank Artha Graha, dan juga kasus Prita Mulyasari.
Akhir-akhir ini, aturan hukum yang terdapat Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan ketentuan ancaman hukumannya yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) seringkali dipergunakan oleh penegakan hukum untuk kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik atau yang berkaitan dengan aturan penghinaan atau “libel”.
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat 91) memang menjadi legitimasi polemik dari kalangan komunitas hukum dan pengguna internet. Ancaman Pidana yang berat dan tinggi menimbulkan kesan bahwa aturan ini sebagai kriminalisasi dari freedom of opinion dari masyarakat yang melontarkan kritikan, meski kritik itu bersifat zakelijk, konstruktif dan obyektif. Pasal ini juga sempat diuji Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dan sebagaimana telah dijelaskan diatas, Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan hak uji materiel atas pasal 27 diatas, dan telah menyatakan bahwa pasal tersebut tak bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi mengatakan ketentuan itu bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan pikiran dalam suatu masyarakat yang demokratis. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya hukum rimba dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan sebab tidak ada hukum yang menganturnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, implementasi pasal tersebut selalu meninggalkan korban, dan terakhir adalah kasus Prita Mulyasari. Dia menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Hengky Gosal dan Grace H Yarlen Nela, keduanya dokter di Rumah Sakit Omni Internasional, Serpong, Tangerang, Banten. Kasus ini bermula ketika Prita membuat dan mengirimkan email yang dikirim ke sejumlah orang yang isinya antara lain “ ....Saya inforamasikan juga dr. Hengky praktik di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini....” Selanjutnya dia mengatakan juga dalam emailnya : “ Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan costumer.” Menurut Jaksa Penuntut Umum, dua kutipan email itu sudah membuktikan Prita telah melakukan pencemaran nama baik atau penghinaan.
Sebagaimana dijelaskan pada TOR ini, kasus Prita ini mengundang banyak simpati masyarakat. Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) kembali digugat [1]. Pasal 27 ayat (3) mengatur larangan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. Beberapa pihak mengatakan bahwa rumusan Pasal 27 ayat (3) bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu tulisan adalah pernyataan pendapat/pikiran, sebuah keluhan/komplain atau penghinaan/pencemaran nama baik. Sedangkan Psal 45 ayat (1) memuat ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara bila ketentuan itu dilanggar. Ancaman hukuman ini lebih berat dibandingkan dengan pasal penghinaan dalam KUHP [2]. Dengan ancaman maksimal enam tahun inilah yang menjadikan alasan bagi Jaksa, sesuai dengan KUHAP, untuk segera menahan terdakwa Prita. Penahanan inilah yang sebenarnya menimbulkan kontroversi , karena dianggap terlalu ekstrim untuk sebuah kasus pencemaran nama baik, terlebih-lebih Prita adalah seorang Ibu yang masih mempunyai anak-anak kecil yang membutuhkan kehadirannya di rumah.
Pemerintah pun, melalui Depkominfo, mengatakan pengaturan pencemaran dalam UU ITE tetap diperlukan di samping Pasal 310 dan 311 KUHP. Ia menilai media informasi elektronik atau internet memiliki karakteristik yang sangat khusus serta dapat menyebarkan informasi tanpa batas dalam waktu yang singkat.
Menanggapi heboh kasus Prita, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong menghimbau agar hakim ditingkat bawah hati-hati terhadap pengunaan pasal pencemaran nama baik yang diatur dealam UU ITE tersebut.
Kontroversi dimasyarakat terhadap penerapan pasal-pasal pencemaran nama baik yangdiatur dalam UU ITE ini menimbulkan permasalahan yang khususnya dalam kaitan Hukum Pidana memerlukan suatu arah solusi, dan sementara ini yang menjadi ranah permasalahan kami adalah terhadap 2 persoalan dibawah ini, yaitu :
a. Bagaimanakah sistem pemidanaan yang dianut dalam Pasal 310 jo. 311 KUHP? Apakah ketentuan Pidana penghinaan/pencemaran nama baik yang terdapat didalam Pasal 310 jo 311 KUHP masih memadai untuk diterapkan dalam kasus pencemaran nama baik melalui media elektronik? Apakah ketentuan pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP, sebagai sebuah norma hukum umum, masih relevan untuk digunakan sebagai referensi/alat tafsir dalam menerapkan ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE?
b. Bagaimanakah seharusnya penegak hukum menerapkan ketentuan pasal-pasal tersebut dalam menangani kasus kasus yang menyangkut penghinaan/pencemaran nama baik yang dilakukan melalui dunia maya? Kapankah sebuah tulisan yang isinya mengenai keluhan /komplain terhadap suatu pelayanan dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan/pencemaran nama baik? Apakah tulisan email yang awalnya ditujukan kepada beberapa orang teman dalam kasus Prita misalnya (yang merupakan ranah privat) dapat dijangkau oleh Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE? Apakah di dalam kasus-kasus pencemaran nama baik, termasuk yang dilakukan melalui media elektronik, dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar pengadilan (misalnya mediasi)? .
II. Libel : Kriminalisasi terhadap “Freedom of Opinion” ?
Dalam tataran sistem tata negara yang mengakui eksistensi demokrasi, suatu kebebasan berpendapat merupakan suatu syarat yang tak dapat dihindari lagi. Namun demikian, pendekatan demokratis terhadap kebebasan berpendapat tersebut tetap tidak diartikan sebagai pendekatan yang absolut. Apapun formulasi kebebasan yang bermakna absolut justru akan membahayakan kebebasan itu sendiri, karena itu kebebasan itu seringkali memberikan makna-makna pembatasan, meskipun pembatasan itu tidak dalam konteks meniadakan, tetapi sekedar memberikan makna kebebasan secara adequat, yaitu mencari kesimbangan antara kebebasan dengan perlindungan terhadap individu, masyarakat (termasuk keluarga) dan Negara, suatu “balances of freedom and protection” .
Kebebasan yang adequat ini mengingatkan kita semua pada makna kebebasan pers di negara-negara Eropa Barat. Antara kebebasan pers dengan kebebasan berpendapat memiliki persamaan makna, yaitu sutau kebebasan yang berimbang antara kepentingan insividu, masyarakat dan negara . Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap kebebasan pers, yaitu apabila pemberitaan pers yang secara substansiel memuat: [3]
a. National security and public order (keamanan nasional dan ketertiban umum);
b. Expression to war or to national, racial or religious hatred (pemidanaan terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama);
c. Incitement to violence and crime (hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan);
d. Attacks on founders of religion (serangan terhadap pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik “blasphemy”);
e. Public health and moral (kesehatan dan moral);
f. Rights, honour and reputation of others (hak-hak, kehormatan dan nama baik seseorang, yang umumnya memuat “delik penghinaan”);
g. Fair administration of justice (umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan kemudian merupakan suatu bentuk dari “countempt of court”) .
Sementara ini ada pendapat yang mengkui relevansi antara gugatan berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, meskipun quad-non, pendapat tersebut tidaklah tepat. Namun demikian, apabila benar ada relevansinya, Penulis menganggap perlu menanggapi hal tersebut berdasarkan alasan tersebut di bawah ini.
Secara eksplisit, gugatan perdata berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat diartikan mengikuti persyaratan substansiel dari unsur 310 KUHPidana (“penghinaan”), karenanya tidak terdapat keterkaitan normatif antara kedua ketentuan tersebut, artinya gugatan perdata tentang penghinaan (Pasal 1372 KUHperdata) tidaklah harus menunggu putusan pidana tentang “penghinaan” (Pasal 310 KUHPidana) .
Namun, apabila suatu gugatan mengajukan tuntutan adanya perbuatan fitnah, maka implisitas keterkaitan ini hanya tertuju pada Pasal 311 KUHPidana tentang “beban pembalikan pembuktian” atau “The Reversal Burden of Proof” (“Omkering van de Bewijslast”), artinya apabila hakim menghendaki, maka Terdakwa wajib membuktikan apa yang dituduhkan (kepada pelapor) adalah benar. Dalam hal Terdakwa tidak berkehendak membuktikan tuduhan tersebut meskipun Hakim menghendakinya, maka ia (Terdakwa) melakukan perbuatan “fitnah” menurut Hukum Pidana. Jadi, sebenarnya yang harus dipertimbangkan dan diperiksa untuk institusi yudikatif adalah: apakah substansiel yang diberitakan itu mengandung kebenaran ataukah tidak, dan bukan mengenai artian gramatikal dari substansi tulisan dan gambar yang tidak ada relevansinya dengan makna kebebasan per situ sendiri.
Selain itu, apabila terdapat pendapat soal kaitan antara Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, maka memang secara tidak langsung perkara ini berkaitan denganVerspeidingdelict (delik penyiaran), yaitu delik penistaan/pencemaran sebagai bagian umum dari kelompok delik “penghinaan” yang dalam sistem Anglo Saxon dikenal sebagai kelompok“Libel” yang tertuang dalam bentuk pernyataan tertulis, tercetak atau dalam bentuk permanen lainnya, selain itu terdapat bentuk “Slander” yang tertuang dalam bentuk ucapan-ucapan lisan.Baik “Libel” maupun “Slander” merupakan “defamatory statement”, yaitu suatu bentuk pernyataan-pernyataan mengenai suatu (orang) dan yang membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (“hatred”), ejekan/cemoohan (“ridicule”) ataupun penghinaan (“contempt”). [4]
“Contempt” atau “Minachting” yang diterjemahkan sekarang ini sebagai “penghinaan” semula diartikan secara limitatif dalam bentuk formil saja,karena jelas paham Belanda selama beberapa dekade silam ini telah memperluas bentuk penghinaan sebagai 2 (dua) macam penghinaan, yaitu yang dinamakan sebagai “materiale belediging” (penghinaan material) dan “formeele belediging” (penghinaan formil). Bahwa penghinaan formil adalah bentuk penghinaan menurut caranya yang ditempuh sehingga suatu pernyataan yang tegas dan jelas jalannya kasar dan seterusnya. Misalnya, adanya perseteruan antara A dan B (sama-sama pegawai negeri yang kaya raya), sehingga A mengeluarkan kata-kata “dasar kamu koruptor kakap!”.
Sedangkan penghinaan materiel adalah suatu bentuk penghinaan yang menurut isinya dan dilihat dari keadaan-keadaan yang melatar-belakangi adalah suatu penghinaan yang dilakukan secara halus. Misalnya A (pimpinan) menanyakan kepada B (bawahan) tentang adanya korupsi berupa kebocoran uang anggaran bagi penyelenggaraan seminar, dengan menanyakan: “baik juga pertanggungjawaban yang anda (B) berikan kepada saya!”.
Pertanyaan itu jelas mengandung suatu tuduhan bahwa orang itu (B) telah melakukan korupsi dalam menyelenggarakan seminar tersebut, itulah yang dinamakan materiele belediging, di negara-negara dengan sistem anglo saxon dikenal sebagai “Libel per Quod”, dan di Belanda telah dikembangkan, yaitu melalui Arrest Cohen Lindenbaum mengenai ajaranOnrechtmatigedaad atau yang dalam bidang hukum pidana dikenal sebagai ajaran materiele wederechtlijkheid. Konsep ini telah memperluas pengertian Onwetmatigedaad sehingga mencakup segala perbuatan yang dianggap melanggar asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Namun demikian perkembangan soal materiele wederrechtelijk dengan libel yang memiliki makna “materiele beleidiging” inilah yang berpotensi meniadakan kebebasan berpendapat, suatu kritikan yang zakelijk, konstruktif dan obyektif, dan karenanya persoalan materiele beledeging berpolemik untuk ditempatkan sebagai norma hukum secara legislasi .
KUHPidana Indonesia sebagai hasil konkordansi dari WvS Nederland mengikuti pola dan dinamika yang ada dalam delik penghinaan yang tidak hanya mencakup artian “formil” saja, tetapi mencakup penghinaan “materiel” yang dipandang sebagai suatu hal yang komprehensif. Seperti halnya Indonesia, perkara-perkara pidana di Inggris atas dasar “Libel” (penistaan tertulis) dipandang sebagai suatu tindak pidana yang serius sifatnya daripada sekedar “Slander”, yang karena sifatnya yang universal itulah maka ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 310 KUHPidana ayat (2) KUHPidana lebih tinggi dibandingkan dengan Pasal 310 ayat (1) KUHPidana.
Sekali lagi ditegaskan, apabila terdapat pendapat yang menganggap ada relevansi antara Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHPidana, maka dalam pasal-pasal tentang pencemaran/penistaan (penghinaan) atau “smaad”, seperti halnya Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHPidana, terdapat kata-kata sebagai unsur delik, yaitu “dengan sengaja” di muka kata-kata “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”.
Penulis menyadari bahwa seringkali pelaku pencemaran nama baik memberikan alasan pembelaan yang stereotip serta berulang kali bahwa Pelaku tidak mempunyai “maksud” (niat) atau tidak terbukti secara “sengaja” untuk melakukan penghinaan, yang seakan-akan untuk menghindari adanya suatu “opzet” (sengaja) sebagai salah satu unsur dari Pasal 310 KUHPidana, yang menurut Pelaku adalah idemnito dengan unsur-unsur dalam Pasal 1372 KUHPerdata.
Penulis menyadari dalih pendapat yang tidak akan memberikan alasan pembelaan seolah-olah perbuatan penghinaan hanyalah memenuhi unsur “culpa” (kelalaian) bukan “opzet”, karena doktrin dan yurispridensi yang berkembang membenarkan bahwa bukan “animus injuriandi” yang disyaratkan oleh Pasal 310 KUHPidana jo. Pasal 1372 KUHPerdata, melainkan cukup adanya kesadaran, pengetahuan, ataupun pengertian pada pelaku bahwa pernyataannya objektif yang akan berakibat dan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Jadi, bukan tujuan utama untuk menghina atau adanya kesengajaan untuk menghina seseorang sebagai syarat pemidanaan. Dan pengertian akan akibat yang akan ditimbulkan terhadap pernyataan (tulisan dan lisan) yang dibuatnya.
Makna inilah yang merupakan pengembangan dari matiriele beledeging (penghinaan materiel) sekaligus sebagai suatu pengakuan terhadap pelanggaran dari garis-garis kepatutan yang ada dalam masyarakat atau materiele wederrechtlijkheid (dalam Hukum Pidana) maupunOnrechtmatige-daad (dalam Hukum Perdata). Dengan pemahaman ini, suatu tulisan (dan gambar) sudah jelas sebagai bentuk dari formeele belediging dalam penyajian dari pers yang bebas dan bertanggungjawab.
“Misleading Conclusion” yang berisi pelanggaran terhadap “Law of Libel” dari suatu penerbitan pers, yaitu pernyataan yang berbentuk tertulis maupun liasan, apalagi isi pemberitaan itu telah tersosialisasi dalam kehidupan publik, akan sangat sulit merehabilitasi dalam waktu yang singkat terhadap pihak yang merasa dirugikan, karena sebagaimana ditegaskan melalui International Convention on The Freedom of Information, hal ini sudah menyentuh masalah “rights”, “honour”, dan “reputation” pihak-pihak yang dirugikan. Untuk menghindari adanya tuntutan dari pihak ketiga yang dirugikan, sebaiknya kritik (juga pernyataan) yang umumnya berbentuk lisan dan tidak bersifat Libel, memiliki limitatif-restriktif, antara lain: [5]
1. Kritik/pernyataan berupa “expression of opinion”, komentar boleh mengandung suatu “disapproval” terhadap perbuatan dari pemerintah, policy atau tindakan-tindakan lain, juga perbuatan swasta,
2. Kritik/pernyataan boleh mengandung pernyataan tidak setuju terhadap sebuah RUU,
3. Kritik/pernyataan dapat membuka kesalahan atau kekurangan-kekurangan yang terlihat pada lembaga-lembaga negara ataupun pada pejabat-pejabat umum/swasta,
4. Kritik/pernyataan dan komentar boleh menganjurkan penggantian pemerintah dengan jalan-jalan kontitusional, juga swasta,
5. Kritik/pernyataan harus dilakukan dengan cara yang zakelijk, konstruktif, obyektif sopan meskipun ia dikemukakan dengan nada keras,
6. Kritik/pernyataan harus konstruktif sifatnya dan sedapat mungkin harus memberikan suatu alternatif,
7. Kritik/pernyataan menjadi penghinaan formil, apabila dilakukan dengan cara dan jalan yang kasar, tidak zakelijk dan tidak sopan,
8. Kritik/pernyataan dan komentar, apabila ditujukan terhadap pejabat-pejabat umum, pemerintah dan swasta dapat mengandung di dalamnya suatu penghinaan materiel, adalah tidak akseptabel dan tidak demokratis sifatnya,
9. Kritik/pernyataan tidak boleh dilakukan dengan “actual malice” ataupun dengan menjelaskan dan meragukan motif dari orangyang hendak dikritik, menyinggung karakter dan kehidupan privasi-nya.
Memperhatikan parameter suatu pernyataan (lisan) yang tidak bersifat libel tersebut, baik melalui sarana cetak maupun elektronik dalam arti luas, maka sudah seharusnya suatu kritikan yang zakelijk, obyektif dan konstruktif tidak masuk dalam pemahaman perbuatan yang strafbaar sifatnya, sehingga pernyataan tertulis melalui sarana cyber seperti bentuk atau formulasi “.... Saya inforamasikan juga dr. Hengky praktik di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini....” Selanjutnya dia mengatakan juga dalam emailnya : “ Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan costumer.”.... tidaklah dapat diartikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik atau libel .
Hal ini lebih dipertegas dengan memperhatikan persyaratan dalam kaitankritik/pernyataan yang bersifat tertulis (yang tidak bersifat Libel) sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H., akan dijelaskan dibawah ini, yaitu antara lain :
1. Maksud dan tujuan dari penulis merupakan faktor yang relevan dalam menilai sifat dan tulisan ybs.
2. Tes dari “Libel” = effect dominant, melihat tulisan itu sebagai keseluruhan, “as a whole” dan bukanlah adanya halaman-halaman tersendiri. “isolated passages” yang mungkin “Libel”.
3. Ia harus memiliki standart dari “average man”, “reasonable man”, “bukan dari seorang dewasa yang non demokratis”.
4. “Literary”/”artistic merit” patut dan Academic Science perlu mendapat pertimbangan dalam menilai sifat dari tulisan tersebut.
5. Cara dan keadaan publikasi itu dilakukan merupakan faktor yang tak dapat diabaikan.
6. Perlu mendapat tinjauan, apakah tulisan ybs substantieel bermutu edukatif atau tidak.
7. Tulisan tidak boleh mengandung suatu pemujaan dari larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.
8. Nilai Science Academic dapat dijadikan suatu defense terhadap libel, meskipun ia dapat dikeseimbangkan dengan sifat “aanstotelijk” dari tulisan ybs.
9. Nilai tulisan yang dikemukakan semestinya demikian tingginya, sehingga publikasi dipandang sebagai suatu “pulic good”, untuk “maatschapoelijk” masyarakat dan “publiek nit”.
10. Pandangan Langemeyer mengenai “indirecte aastoot” = tersinggungnya perasaan kesusilaan seseorang mengenai sesuatu dengan menggambarkan.
Mengamati hubungan diantara Pasal 310-Pasal 311 KUHP dengan Pasal 27 UU ITE, maka kedua produk UU ini didasarkan substansi yang memilki persamaan diantaranya, khususnya terhadap perbuatan pencemaran nama baik atau libel . Seharusnya UU ITE yang berlaku berdasarkan asas Lex Post Terrior Derogat Lex Priori, namun demikian apabila terjadi suatu kasus pidana berdasarkan Pasal 27 jis Pasal 45 UU ITE dalam permasalahan Hukum Pidana, maka Hukum Pidana yang tetap menempatkan asas Legalitas dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, sudah seharusnya terhadap siapapun harus diberlakukan ketentuan perundangan yang ancaman pidananya lebih rendah, bukan terhadap perundangan yang ancaman pidananya lebih berat .
Selain itu, aturan umum mengenai pencemaran nama baik dalam delik penghinaan KUHP adalah relevan dengan perkembangan mengenai tindak pidana maya (cybercrimes), karena dalam Hukum Pidana, suatu perbuatan yang dapat dipidana adalah karena adanya actus reus, yaitu perbuatan yang dilakukan karena melanggar schuld (baik opzet maupun culpa) maupun wederrechtelijkheid, sedangkan dunia maya adalah sarana yang dipergunakan dari perbuatan yang dapat dipidana tersebut . Tentunya perbuatan dalam bentuk actus reus dengan mempergunakan sarana melalui cyber (dunia maya) jauh lebih memadai apabila memperhatikan pendekatan ajaran penafsiran hukum, tentunya penafsiran ini tidak diartikan sebagai analogi hukum yang terlarang sesuai Pasal 1 ayat 2 KUHP .
Kesimpulannya, dalam pemahaman Hukum Pidana Materiel, aturan mengenai “Libel” adalah tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara penghargaan terhadap hak asasi manusia dengan perlindungan hak-hak individu, masyarakat dan negara, namun demikian penerapan/implementasi penggunaan ketentuan ini harus dicermati dengan memperhatikan relasi dari asas-asas Hukum Pidana dengan pendekatan demokratis dari sisi Hukum Tata Negara .
Aturan mengenai pencemaran nama baik pada Pasal 27 jis Pasal 45 UU ITE merupakan aturan yang bersifat lex specialis terhadap Pasal 310 jis Pasal 311 KUHP mengingat perbuatan diantara kedua produk UU ini adalah satu dan sama, yang penerapannya tidak boleh merugikan asas Daad-daderstrafrecht (keseimbangan kepentingan antara individy, korban, pelaku, masyarakat dan Negara) .
Mengamati hubungan diantara kedua produk UU ini, Pasal 310-Pasal 311 KUHP dengan Pasal 27 ayat (3) jis Pasal 45 ayat (1) UU ITE, maka larangan melakukan perbuatan materiel berupa pencemaran nama baik haruslah diartikan sebagai “formeele belediging” (penghinaan formil), bukan terhadap penghinaan materiel (materiale belediging) yang justru akan membatasi kebebasan berpendapat .
Tidak dapat diartikan atau diberikan pemahaman sebagai pencemaran nama baik atau libel bahwa apabila Pernyataan/kritikan baik secara lisan maupun tertulis, dilakukan secara zakelijk, obyektif, konstruktif, meskipun dikemukakan dengan nada yang keras .Karenanya suatu pernyataan/kritik, tertulis maupun lisan, tidak dapat dicermati sebagai suatu “isolated passages” sehingga menimbulkan kesan adanya suatu “isolated suspicious” yang berkelebihan, tetapi harus dilihat secara penuh dan menyeluruh didasarkan substansi yang memilki persamaan diantaranya, khususnya terhadap perbuatan pencemaran nama baik atau libel .
Jakarta, 07 Juli 2009
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H.
*) Makalah berjudul “ Libel Sebagai Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat” ini Disampaikan pada Focus Group Discussion dengan Tema : “Mencermati Penerapan Ketentuan Mengenai Pencemaran Nama Baik Dalam UU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)” pada tanggal 7 Juli 2009 hari Selasa, jam : 09.45-11.45 WIB, di Auditorium BPHN, Jalan Mayjend Sutoyo No. 10 Cililitan, Jakarta Timur.
**) Penulis sebagai Guru Besar/Pengajar Hukum Pidana & Acara Pidana/Pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Krisnadwipayana, Universitas Pelita Harapan, Universitas 17 Agustus, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan beberapa perguruan tinggi lainnya, Pengajar Pusdiklat Kejaksaan Agung R.I., Libang Mahkamah Agung R.I. Untuk Hakim, Pendidikan Advokat dll.
Anggota Tim Pakar Hukum (Pidana) Menteri Hukum & HAM R.I., Konsultan Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional, Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Tim Perumus UU/Perubahan UU Tindak Pidana Korupsi, RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, KUHP-KUHAP, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi & Korban, Terorisme dan lain-lain .
Advokat Senior pada Law Office “Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan” di Jakarta .
[1] Pasal 27 ayat (3)
(Perbuatan yang Dilarang)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik
Pasal 45 ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
[2] KUHP Pasal 310
(1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum , diancam karena pencemaran, dengan pidana pencemaran paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
KUHP Pasal 311
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
[3] Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Penerbit : Erlangga. 1991, halaman 35.
[4] Joseph Dean & Philip Wittenburg. Dangerous Words : “A Guide To The Law of Libel”, page 3,9.
[5] Oemar Seno Adji, Mass Media dan Hukum, halaman 118,119.
0 komentar:
Posting Komentar