POTRET KONSTITUSI NEGARA
PASCA PERUBAHAN UUD 1945[1]
Oleh : A.M Fatwa[2]
A. Pendahuluan
Sebuah konstitusi mempunyai peran untuk mempertahankan esensi keberadaan sebuah negara dari pengaruh berbagai perkembangan yang bergerak dinamis. Oleh karena itu, konstitusi yang ideal adalah hasil dari penyesuaian dan penyempurnaan untuk mengikuti segala perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan keinginan hati nurani rakyat.
Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, muncul desakan kuat dari masyarakat yang menuntut untuk dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu latar belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks and balances antar lembaga negara, antar pusat-daerah, maupun antara negara dan masyarakat, mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan. Tidak dipungkiri, sentralisme kekuasaan pemerintah di bawah UUD 1945, telah membawa implikasi munculnya ketidakpuasan yang berlarut-larut dan konflik di mana-mana. Konflik tersebut cukup mendasar, karena mengkombinasikan dua elemen yang kuat: faktor identitas berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa, daerah, dan lain-lain; dengan pandangan ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan semangat kenegarawanan dan melalui tahapan pembahasan yang mendalam dan sungguh-sungguh serta melibatkan berbagai kalangan masyarakat, sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah melakukan perubahan terhadap pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam satu rangkaian melalui empat tahapan perubahan.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dilakukan berdasarkan lima kesepakatan dasar, yaitu tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; mempertegas sistem pemerintahan presidensial; meniadakan penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan melakukan perubahan dengan cara adendum. Melalui kesepakatan dasar itulah MPR telah menyempurnakan aturan dasar mengenai hal-hal yang sangat fundamental bagi kehidupan dimana masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Beberapa penyempurnaan aturan dasar itu antara lain tentang kedaulatan rakyat, negara hukum, otonomi daerah, hak asasi manusia, pemilu, wilayah negara, pertahanan dan keamanan, serta struktur dan sistem kelembagaan negara termasuk pembentukan lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial, serta Badan Pemeriksa Keuangan yang diatur menjadi bab tersendiri dan pengaturan bank sentral. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk dapat mewujudkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kita meneguhkan diri sebagai negara yang menganut demokrasi konstitusionalisme dengan meletakkan kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, pengaturan presiden/wakil presiden dan wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu, penegasan sebagai negara hukum, dan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Perubahan tersebut juga mempertegas pembagian kekuasaan antarlembaga negara dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances ), mempertegas sistem pemerintahan presidensial dengan meniadakan istilah kepala negara dan kepala pemerintahan, dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan kesepakatan MPR mengenai cara penulisan dengan sistem adendum yakni naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap dibiarkan utuh sementara naskah perubahan diletakkan setelah naskah asli. Dengan demikian naskah resmi Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah naskah yang terdiri atas lima bagian:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(naskah asli);
b. Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. Perubahan Keempat Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan UUD tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa yang akan datang, dengan harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang. Selain itu, perubahan UUD tersebut juga dimaksudkan untuk meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap mengacu kepada cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat yang diemban dalam perubahan konstitusi tersebut adalah supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di berbagai bidang kehidupan.
Saat ini bangsa Indonesia telah memiliki sebuah konstitusi yang demokratis dan modern yaitu konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman serta mampu mewadahi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, agar UUD 1945 memiliki makna dan membawa manfaat yang nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, harus memahami dan melaksanakannya secara konsisten.
B. Potret Konstitusi Setelah Perubahan UUD Tahun 1945
Beberapa perubahan mendasar yang dapat dijadikan sebagai potret konstitusi kita pasca perubahan UUD 1945 antara lain berkaitan dengan pembagian kekuasaan, hubungan antar lembaga negara, otonomi daerah, dan penegakan hukum, selengkapnya sebagai berikut:
1. Pembagian Kekuasaan Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi dan kelembagaan negara, dapat dilihat apabila kita mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Intinya, apa dan siapa sesungguhnya yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara.
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Setelah perubahan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
UUD 1945 mengejawantahkan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.
Di samping mengatur mengenai proses pembagian kekuasaan, UUD juga mengatur mengenai hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem pemikiran kenegaraan Indonesia.
Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam strukutur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Selama ini, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan]. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)].
Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik. Perkembangan sistem politik di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959), Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru] dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde Reformasi].
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.
Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden serta perpanjangannya; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.
Perkembangan hukum tata Negara Indonesia, salah satunya dapat dilihat dari sudut perubahan UUD. Menelaah hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi dikembalikan kepada rakyat berdasar UUD [Pasal 1 ayat (2)].
UUD 1945 salah satunya mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system.
Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian maka terjadi pula perubahan terhadap kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas.
2. Hubungan Antar Lembaga Negara
1) MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud kedauatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.
Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR (setelah ada keputusan Mahkamah konstitusi) yang diajukan kepada MPR.
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
2) DPR dengan Presiden, DPD, dan MK.
Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat secara generik sedangkan DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legisltaif maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses pengajuan calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
3) DPD dengan DPR, BPK, dan MK
Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.
4) MA dengan lembaga negara lainnya
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
5) Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.
6) BPK dengan DPR dan DPD
BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan da tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
7) Komisi Yudisial dengan MA
Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
3. Otonomi Daerah Yang Seluas-Luasnya
Perubahan Pasal 18 UUD 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perubahan tersebut menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi menjadi salah satu agenda nasional. Semua ketentuan itu dalam kerangka menjamin dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Ungkapan dibagi atas (bukan terdiri atas) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan pusat, berbeda dengan istilah terdiri atas yang lebih menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian.
Salah satu amanat UUD 1945 hasil perubahan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah diberikannya keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menurut undang-undang dasar menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dianggap sangat penting karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang yang terus meningkat. Perkembangan keadaan obyektif mengharuskan diselenggarakannya otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi diterjemahkan sebagai penegakan kedaulatan rakyat semurni-murninya tanpa keluar dari bingkai NKRI.
Untuk mempertegas kebijakan otonomi daerah, dalam Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan prakarsa dari daerah-daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah serta memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana ketentuan tersebut lebih lanjut harus dituangkan dalam undang-undang. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998, prinsip otonomi daerah telah menjamin pluralisme antar daerah dan tuntutan keprakarsaan dari tiap daerah untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Oleh karena itu, hanya melalui pemahaman kolektif bangsa terhadap seluruh aturan dasar serta konsentrasi dalam implementasi dari berbagai peraturan perundangan yang telah diberlakukan yang dapat mensukseskan agenda otonomi daerah. Melalui penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan akan terwujud pemerintahan daerah yang dapat menjamin berjalannya fungsi-fungsi publik dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dengan tetap mengedepankan kepentingan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat otonomi daerah yang tercermin dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya mencoba mendudukan politicalwill pemerintah untuk memberikan kewenangan pada daerah mengelola daerah sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Otonomi daerah tidak diorientasikan untuk peningkatan pendapat asli daerah, tetapi pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dengan memadukan pendekatan kultural dan struktural. Dengan pendekatan itu, berarti rakyat adalah subyek dalam pembangunan dan bukan menjadi obyek. Disinilah esensi otonomi sesuai dengan kehendak rakyat.
Saat ini, semangat tersebut perlu terus di kedepankan dengan peningkatan dukungan perangkat yang tangguh dan semangat penyelenggara yang bersih dan terbuka. Munculnya berbagai persoalan penyelenggaraan pemerintahan di daerah saat ini, secara umum lebih pada persoalan penyelenggara yang kurang optimal memanfaatkan segala potensi yang dimiliki.
Melalui reformasi ini, kemajuan dalam penyelenggaraan otonomi daerah salah satunya tercermin pada reposisi DPRD sebagai penyelenggaraan pemerintahan bersama dengan kepala daerah dan adanya PILKADA secara langsung. Saya sangat memberikan apresiasi karena ternyata masyarakat kita yang sedang dalam proses pembelajaran demokrasi justru capaian demokratisasinya sangat maksimal. Apalagi sekarang ini muncul adanya calon independen dalam Pemilu Pilkada Tahun 2009 nanti.
4. Penegakan Hukum dan Supremasi Hukum
Penegakan hukum dan supremasi hukum dapat dilihat dari kemandirian kekuasaan kehakiman, dibersihkannya lembaga peradilan dari KKN, diaktifkannya judicial review atau uji materiel undang-undang terhadap UUD 1945, pengadilan terhadap Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya, dan pembatasan wewenang Mahkamah Militer.
Sebagai esensi dalam penegakan hukum, kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan dalam negara memiliki hubungan yang sangat erat dengan cabang kekuasaan lainnya. Kekuasaan kehakiman berfungsi memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota masyarakat satu sama lain dan antara anggota masyarakat dengan pemerintah. Wewenang untuk memutus perkara, tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan ketertiban umum di masyarakat melalui putusan yang adil.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Perubahan undang-undang dasar telah menjamin adanya kemandirian kekuasaan kehakiman. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, lembaga-lembaga negara pemegang kekuasaan tersebut dapat bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku sehingga pengalaman buruk implementasi kekuasaan kehakiman sebelum reformasi yang penuh dengan rekayasa penguasa dapat dihilangkan.
Keadilan tidak boleh dibedakan atas dasar latar belakang (sosial, ekonomi, politik, ideologi, etnisitas, ras, warna kulit, agama, gender, keyakinan politik, dan apapun). Keadilan harus dapat diraih oleh semua orang ( kaya,miskin, sipil,militer, swasta, negeri, rakyat, pemimpin, tua dan muda). Artinya, jika pejabat bersalah dapat dihukum oleh pengadilan dan dituntut ganti rugi. Begitu juga jika masyarakat biasa yang bersalah dapat dituntut dan diproses secara hukum sehingga tercapainya tujuan hukum yaitu kepastian hukum dan keadilan.
Terkait dengan lembaga peradilan, terdapat dua aspek wewenang pokok mengadili dari kekuasaan kehakiman, yaitu aspek institusional berupa jenis-jenis kelembagaan peradilan yang diserahi kekuasaan kehakiman dan aspek fungsional berupa ragam fungsi yang diserahkan oleh undang-undang kepada badan-badan kekuasaan kehakiman.
Melalui reposisi fungsi kedudukan lembaga peradilan dalam undang-undang, saat ini terdapat kemajuan yang menggembirakan dimana seluruh kelembagaan tersebut secara bersama-sama telah berkomitmen untuk melakukan pembinaan sumber daya manusia aparatur hukum. Wujud dari upaya tersebut, penyelenggaraan peradilan yang bersih dan bebas sudah menjadi pedoman dalam berperkara.
Saya merasa bersyukur karena terdapat indikasi adanya kemajuan penyelenggaraan peradilan dengan mengedepankan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lembaga peradilan sebagai tempat orang mencari keadilan memang sudah sewajarnya membebaskan diri dari budaya KKN. Dengan demikian maka upaya penegakan hukum dapat berjalan secara teratur dan berkesinambungan secara sistemik dan sesuai prosedur, sehingga dalam memproses perkara tidak bersifat tebang pilih.
Pasal 24 ayat (2) dibentuk satu lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), selain badan kekuasaan kehakiman yang telah ada, yaitu Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Salah satu wewenang yang dimiliki Mk adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam negara hukum, semua warga negara diberikan hak sama untuk diperlakukan secara adil dihadapan hukum. Dengan adanya lembaga yang secara khusus untuk melakukan judicial review berarti segenap masyarakat berhak menilai apakah hak-hak konstitusionalnya dijamin dalam hukum atau tidak. Ini merupakan lompatan besar dimana warga negara memiliki wahana untuk mengoreksi apakah hak-haknya dijamin atau tidak oleh hukum. Banyaknya upaya judicial review oleh MK, menunjukkan kesadaran berkonstitusi warga negara dalam pencapaian negara demokratis mengalami kemajuan, semoga ini menjadi titik awal untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia.
Salah satu tuntutan reformasi adalah penghapusan dwifungsi/peranan sospol ABRI. Implikasi dari tuntutan tersebut, ABRI diposisikan berdiri di atas semua golongan karena ABRI milik rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Kekuatan militer diberi tugas untuk mengawal keselamatan negara apabila negara terancam. Terkait dengan upaya supremasi hukum, karena hukum memperlakukan semua warga negara sama maka seluruh upaya penegakkan hukum dilakukan oleh peradilan yang bebas dan merdeka tanpa melihat unsur atau kelompok.
Berkenaan dengan penegakkan hukum dan supremasi hukum ini, Undang-Undang Dasar telah mengakomodir semua praktek untuk mewujudkan supremasi hukum karena semua aturan telah disusun secara komprehensif yang memungkinkan semua orang diperlakukan sama dihadapan hukum. Persoalannya adalah, semangat penyelenggara saat ini belum sepenuhnya mendukung cita penegakkan hukum yang ada. Kesan sekarang, masyarakat justru kurang mempercayai keseriusan penyelenggara negara dalam membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Jadi, seiring dengan berjalannya reformasi dan dukungan perangkat peraturan perundang-undangan, sudah semestinya pemerintah bersama-sama dengan rakyat mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara dalam menegakkan supremasi hukum.
Dengan demikian, berbagai upaya pembenahan internal bersamaan dengan proses perbaikan perangkat hukum harus dilakukan secara simultan. Tindakan ini tidak hanya diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara, tapi sekaligus untuk menghindari terulangnya malapetaka hukum sebagai kompromi penguasa dalam mempertahankan hegemoni kekuasaannya seperti masa sebelum reformasi. Pembenahan internal yang dimaksud adalah berupaya secara keras untuk mewujudkan good governance dan good goverment.
Selain dari perubahan yang mendasar, potret konstitusi juga dapat dilihat dari substansi lain yang terkandung dalam perubahan UUD 1945. Mengacu pada latar belakang dan pola pikir yang mendasari keputusan untuk melakukan perubahan UUD 1945, perubahan UUD 1945 telah diarahkan untuk mencapai visi terbangunnya landasan bernegara yang lebih demokratis, menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, memberi tempat bagi tumbuhnya mekanisme checks and balances , menghormati hukum, dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, perubahan UUD 1945 telah meletakkan dasar-dasar negara modern yang demokratis dengan melakukan penguatan-penguatan institusional. Semangat melakukan koreksi atas kesalahan masa lalu tercermin dalam proses, mekanisme, maupun hasil yang dicapai oleh perubahan UUD 1945.
Dalam UUD 1945, berbagai aturan dasar dalam kehidupan kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan Indonesia, baik yang bersifat kekinian maupun menjangkau masa depan yang panjang, telah dimuat secara sistematis. Dengan demikian, UUD 1945 telah menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
Dengan ditetapkannya perubahan UUD 1945, MPR memandang bahwa agenda reformasi konstitusi telah selesai, tahap selanjutnya adalah pelaksanaan berbagai materi perubahan tersebut dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dengan mempertimbangkan aspek waktu pelaksanaan agenda kenegaraan dan pemerintahan yang ada dalam kurun waktu yang panjang.
Atas dasar itulah, terdapat kecenderungan bahwa seluruh anggota MPR hasil pemilu 1999-2004 memandang bahwa UUD 1945 diharapkan dapat berlaku untuk jangka panjang dan tidak dirubah dalam jangka waktu yang dekat yaitu guna mengimplementasikan seluruh hasil perubahan.
Namun demikian, MPR menyadari bahwa walaupun perubahan UUD 1945 telah dijalankan dengan menerapkan cara kerja pembahasan secara mendalam, penuh ketelitian, kecermatan, kehati-hatian, menyeluruh, dan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat luas, tetapi ini adalah merupakan kesepakatan politik yang dalam pertimbangan memutuskannya adalah atas dasar kesepakatan politik yang dapat dicapai pada era tersebut.
C. Wacana Perubahan UUD NRI Tahun 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) adalah dokumen hukum dan politik (political and legal document) resmi suatu negara, yang berisi kesepakatan pokok tentang negara, mengatur mengenai organisasi negara, kekuasaan lembaga negara, hubungan antar lembaga, hubungan lembaga negara dengan warga negara, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Secara teoritis, UUD dapat diubah, baik dari sudut pandang filosofis, sosiologis, politis, maupun yuridis.
Dalam perkembangannya, MPR menyadari bahwa untuk mengakomodasi kemungkinan adanya pergeseran kehidupan berbangsa dan bernegara, maka para perumus perubahan UUD 1945 membuka peluang agar generasi mendatang, apabila masyarakat menghendaki maka dibuat aturan secara khusus dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai syarat-syarat dilakukannya perubahan UUD 1945.
Berkembangnya pendapat terkait dengan adanya wacana tentang Perubahan UUD 1945, dipandang sebagai bentuk partisipasi publik dalam hal menyampaikan aspirasi dan kepentingan bagi kemajuan dan koreksi dalam hal penyelenggaraan negara yang mengedepankan kepentingan publik.
Sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD 1945, MPR memandang bahwa agenda untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dapat dilakukan setiap saat dengan mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai perubahan UUD 1945 yaitu dalam Pasal 37 UUD 1945.
Pasal 37 UUD 1945 mencantumkan klausul yang memberi peluang dilakukannya perubahan terhadap konstitusi ini. Hal ini sejalan dengan pandangan, bahwa konstitusi dibuat untuk kepentingan kehidupan manusia, bukan sebaliknya manusia untuk konstitusi. Dengan kata lain, konstitusi dimaksud untuk memudahkan suatu bangsa dalam melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, karena muatan konstitusi itu adalah hukum yang sangat mendasar (fundamental law), maka prosedur perubahannya haruslah dibuat agar tidak mudah dilakukan guna menjamin bahwa perubahan tersebut senantiasa berlandaskan pada kepentingan bangsa.
Dalam kerangka dasar berpikir yang demikian, dan dengan menyadari sepenuhnya, bahwa kehidupan masyarakat Indonesia dengan lingkungannya telah berkembang secara dinamis, karenanya penyesuaian-penyesuaian guna tercapainya keselarasan dalam kehidupan masyarakat menjadi suatu kebutuhan termasuk juga perubahan atas konstitusi yang merupakan hukum dasar bagi pengaturan seluruh kehidupan bernegara dan berbangsa. Karena itu, melakukan perubahan UUD 1945 bukan sesuatu yang tabu sejauh itu merupakan kehendak kolektif bangsa, demi menjaga keselarasan dan kelangsungan sebuah bangsa dan negara.
Belakangan ini juga telah berkembang pendapat di masyarakat mengenai kelemahan terhadap hasil perubahan UUD 1945, baik kritikan terhadap materi ataupun praktek penyelenggaraannya yang cenderung dipandang multi-interpretasi terutama dalam hal hubungan antar lembaga negara. Menanggapi hal tersebut, sebenarnya UUD 1945 mengatur bahwa fungsi dan kedudukan lembaga sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Mengenai banyaknya persoalan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, hal tersebut lebih cenderung pada belum adanya kesamapahaman terhadap seluruh ketentuan yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya saya ingin menegaskan bahwa pelaksanaan seluruh ketentuan UUD 1945 adalah menjadi kewajiban semua warga negara khususnya penyelenggara negara, oleh karena itu apabila dalam perjalanan waktu dan seluruh warga negara menghendaki adanya penyesuaian, hal tersebut perlu disikapi dengan arif dan bijaksana dalam kerangka terbentuknya konstitusi yang dapat menjamin hak-hak hidup sesuai dengan perkembangan kehidupan global dan menghasilkan suatu sistem politik yang modern dan beradab untuk masa depan bangsa dan negara.
Namun demikian, dalam melakukan perubahan UUD 1945, MPR sangat menghargai keragaman aliran paham dan pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehingga apabila perubahan UUD NRI Tahun 1945 memang sudah menjadi kehendak rakyat maka perubahan dilakukan berdasar mekanisme dan prosedur yang berlaku seperti yang tertuang dalam Pasal 37 UUD NRI tahun 1945 maupun Tatib MPR.
D. Penutup
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan hanya akan bermakna dan bermanfaat apabila Undang-Undang Dasar 1945 itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh, konsisten, dan konsekuen oleh seluruh komponen bangsa, terutama para penyelenggara negara. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa terutama para penyelenggara negara, untuk melaksanakan semua isi Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten dan konsekuen.
Dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten dan konsekuen akan memberikan harapan besar bagi terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, modern, dan religius sebagai perwujudan pelaksanaan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar 1945) sebagai sebuah konstitusi negara kita yang ditetapkan oleh para pendiri negara pada tanggal 18 Agustus 1945 menunjukkan bahwa negara Indonesia menganut konstitusionalisme, konsep negara hukum, dan prinsip demokrasi. Sebagai hukum dasar, Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga mengandung aspek lain seperti pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara.
Upaya pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten dan konsekuen oleh seluruh komponen bangsa, jelas membutuhkan pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Pemahaman yang utuh terhadap UUD 1945 bagi seluruh komponen bangsa merupakan suatu kebutuhan, karena UUD NRI Tahun 1945 adalah konstitusi negara yang memuat norma dan nilai yang sangat fundamental yang telah disepakati bersama, sebagai landasan dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai aturan dasar, UUD NRI Tahun 1945 berisi serangkaian norma yang mengikat keberlakuannya, oleh karenanya wajib dipatuhi dan ditaati. Sebagai produk politik, UUD NRI Tahun 1945 berisi keputusan-keputusan politik tertinggi, yang merupakan kristalisasi pemikiran-pemikiran politik bangsa yang akan memandu arah perjalanan bangsa. Dan sebagai sebuah sistem nilai, UUD NRI Tahun 1945 juga memuat keyakinan, prinsip-prinsip dan cita-cita luhur bangsa yang hendak diwujudkan.
Pemahaman yang utuh terhadap UUD NRI Tahun 1945, juga dimaksudkan agar UUD NRI Tahun 1945 sebagai aturan dasar yang mengkaidahi perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak hanya dipahami teks-nya saja tetapi juga dalam tataran konteks-nya, sehingga secara utuh dan menyeluruh kita juga memahami latar belakang, proses, maupun suasana batin pada saat norma-norma yang tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945 itu ditetapkan. Pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945 juga dimaksudkan agar UUD NRI Tahun1945 tidak ditafsirkan secara sempit dan berbeda-beda, agar dalam implementasinya pun tidak berbeda-beda pula, karena apabila hal itu terjadi, UUD NRI Tahun 1945 hanya akan menjadi sebuah cita-cita luhur belaka, karena tidak diimplementasikan sebagaimana semestinya.
Menyikapi wacana diadakannya perubahan UUD 1945, MPR memandang bahwa apabila akan dilakukan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka perubahan tersebut dilakukan untuk menyempurnakan aturan dasar agar lebih mantap untuk mencapai cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dilakukan sesuai mekanisme yang diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.
--------
[1] Disampaikan Pada Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand
Design Sistem dan Politik Hukum Nasional, Dalam Rangka Peringatan 50 Tahun Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Pada Tanggal 15-16 April 2008
[2] Wakil Ketua MPR RI periode 2004-2009.
0 komentar:
Posting Komentar