TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Oleh:
WINARNO YUDHO
Tafsir adalah penjelasan atau keterangan, dengan demikian pembicaraan kita yang bertajuk “Tafsir Konstitusi Terhadap Sistem Peradilan di Indonesia” merupakan pembicarakan tentang penjelasan atau keterangan konstitusional mengenai Sistem Peradilan di Indonesia. Persoalannya adalah siapa yang berwenang memberi penjelasan dan dimana atau dalam bentuk apa penjelasan tersebut dapat ditemukan.
Karena tafsir merupakan hasil dari penafsiran, maka kedudukan atau status dari pihak yang melakukan penafsiran tentu akan berpengaruh terhadap hasilnya. Pihak yang melakukan penafsiran tentunya adalah mereka yang mempunyai otoritas, sehingga penjelasan yang diberikan dapat dijadikan pedoman atau pegangan sesuai dengan kebutuhan. Otoritas dari pihak yang memberikan penjelasan/tafsir dapat didasarkan pada kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan hukum maupun atas dasar kriteria lain.
Perbedaan kedudukan/status dari pihak yang memberi penjelasan, akan berpengaruh terhadap penjelasan yang diberikan. Pihak yang secara formal menurut hukum diberi wewenangan untuk melakukan penafsiran, penjelasan/tasir yang dihasilkan memiliki kekuatan hukum jika dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku.
Siapakah yang berwenang melakukan tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia? Konstitusi atau undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi negara (the highest law of the land) tentu tidak mungkin memuat norma hukum sampai detail dan lengkap. Pengaturan penyelenggaraan kehidupan bernegara melalui organ-organ negara dan pengaturan tentang hak/kewajiban serta perlindungan warga negara (yang merupakan bagian utama dalam konstitusi) memerlukan pengaturan lebih lanjut. Pengaturan berbagai hal yang diperintakan dalam undang-undang dasar dalam bentuk peraturan hukum yang tingkatnya lebih rendah dikenal dengan sebutan undang-undang organik.
Lembaga legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang, adalah lembaga yang melakukan penafsiran konstitusi dengan produk yang berupa undang-undang. Jika undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut dibuat mengikuti tata cara yang telah ditentukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi maka undang-undang tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis.
Selanjutnya, bagaimana untuk mengetahui tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia? Konstitusi atau undang-undang dasar tidak membuat tafsir, karena bukan subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum. Sebagai hukum dasar, konstitusi justru berisi norma-norma hukum yang memerlukan perumusan lebih lanjut. Perumusan norma lanjutan dalam bentuk undang-undang pada hakekatya merupakan penafsiran. Berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh lembaga peradilan, penafsiran yang dilakukan oleh lembaga pembentuk undang-undang lebih berbobot politik. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat bahwa lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga politik yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme politik. Dengan demikian tidaklah keliru pendapat yang mengatakan bahwa hukum adalah hasil dari proses politik (law is a product of political process) dan bukan datang dari langit. Proses politik yang berlangsung di lembaga perwakilan dalam pembuatan undang-undang pada umumnya ditentukan oleh besar kecilnya jumlah suara anggota yang mendukung dan yang menentang.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan, yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memeutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewengan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar pada hakekatnya adalah kewenangan untuk menafsirkan. Berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah Konsitusi diposisikan sebagai the sole interpreter of the constitution. Hal tersebut cukup mempunyai alasan yang kuat karena penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang dibuat bersifat final and binding.
Dengan demikian, bentuk tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia dapat berupa undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi.
Meskipun kedua lembaga tersebut merupakan lembaga “penafsir konstitusi”, karena hakekat dari dua lembaga tersebut berbeda, maka juga terdapat perbedaan dalam proses penafsiran. Lembaga legislatif diberi hak inisiatif untuk membuat tafsir konstitusi yang berupa undang-undang. Sedangkan peradilan (Mahkamah Konstitusi) tidak dapat mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan penafsiran. Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan bersifat menunggu pihak-pihak yang mengajukan perkara untuk diperiksa dan diputus. Para pihak yang mengajukan permohonan itupun haruslah pihak yang mempunyai legal standing, yakni pihak-pihak yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh undang-undang.
Keberadaan berikut kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan akibat dari perubahan paradigma Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak lagi menganut sistem pembagian kekuasaan tetapi pemisahan kekuasaan dengan menerapkan prinsip checks and balances. Masing-masing organ negara dalam kedudukan yang sederajat satu dengan yang lain. Sebelum UUD 1945 diubah, paradigma yang dipakai adalah “supremacy of parliament” dengan menempatkankan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara dan diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan rakyat. (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diubah). Melalui Perubahan Ketiga, kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum merupakan pasangang dari penerapan asas kedaulatan rakyat (demokrasi), sehingga pelaksanaan kedaulatan rakyat akan dikontrol oleh norma-norma hukum (nomokrasi).
Prinsip kedaulatan rakyat menghendaki keterbukaan (tranparancy) dan tanggung jawab (accountability). Sedangkan prinsi negara hukum menghendaki semua bentuk tindakan dan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan negra harus didasarkan atasa hukum. Dua prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara harus tercemin dalam penataan sistem peradilan kita. Kehadiran sebuah komisi yang bersifat mandiri dan diberi wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan ( Pasal 24B ayat (1) UUD 1945) merupakan paradigma baru untuk membangun sistem peradilan di Indonesia.
Diluar lembaga legislatif dan peradilan, seseorang sebagai pribadi dapat melakukan penafsiran sesuai dengan pemahamannya. Namun demikian penasiran jenis ini tidak mempunyai kekuatan hukum. Penafsiran secara individual baru berpengaruh jika dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya dan yang kemudian pendapatnya diakui sebagai doktrin atau ajaran hukum.
Konstitusi yang berlaku di Negara Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sedangkan yang dimaksud dengan UUD 1945 adalah UUD 1945 yang telah diubah melalui Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Kempat. Menurut Pasal II Aturan Tambahan, dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal saja. Artinya, UUD 1945 setelah perubahan tidak lagi menyertakan penjelasan seperti yang pernah ada sebelumnya. Selain itu, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam kondisi normal hanya menyangkut tiga hal saja, yakni (1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; (2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan (3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Bagaimana tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia dilakukan? Tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan yang mengatur tentang sistem peradilan di Indonesia dirumuskan dalam BAB IX Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. BAB IX terdiri atas Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25. Mengingat bahwa UUD 1945 tidak memilki penjelasan, maka kita harus melihat pada ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasalnya. UUD 1945 tidak menyebutkan tentang sistem peradilan. BAB IX yang terdiri atas Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal24C dan Pasal 25 mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman dan tidak secara eksplisit mengatur tentang sistem peradilan di Indonesia. Kata peradilan hanya disebut dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi :”Kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Pasal 24B menyebutkan sebuah Komisi Yudisial yang bersifat mandiri dan mempunyai wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan wewenang kekuasaan kehakiman.
Ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman pasca perubahan undang-undanng dasar telah mengalami perubahan. Sebelum perubahan, ketentuan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yakni Pasal 24 dan 25. Pasal 24 UUD 1945 sebelum diubah berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Rumusan Pasal 24 sebelum diubah berbeda sekali dengan rumusan setelah perubahan. Sebelum perubahan, sistem peradilan atau kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.
Setelah perubahan kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2)). Meskipun sama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya terdapat perbedaan. Mahkamah Agung melaksanakan peradilan untuk menegakkan undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi melaksanakan peradilan untuk menegakkan konstitusi. Karena mempunyai fungsi untuk menegakkan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi disebut sebagai the guardian of the constitution.
Disamping itu, dalam Pasal 24 ayat (2) secara eksplisit disebutkan badan-badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang meliputi lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Artinya, bahwa pelaku kekuasaan kehakiman diluar Mahkamah Konstitusi berpuncak pada dan berada dibawah Mahkamah Agung. Dengan demikian Mahkamah Agung merupakan peradilan tertinggi yang membawahi empat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pelaku kekuasaan kehakiman adalalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi. Bagaima kedudukan badan atau lembaga lain yang melakukan fungsi peradilan? Apakah hal itu bertentangan dengan konstitusi? Kalau dianggap bertentangan, bagaimana kekuatan dari putusan dari badan-badan atau lembaga-lembaga tersebut? Untuk perihal ini Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang mempunyai wewenangan untuk memutuskan melalui pengujian undang-undang.
Perubahan pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman melalui Perubahan Ketiga, merupakan bagian dari perubahan paradigma UUD 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan dijamin oleh konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Bagaimanakah mekanisme kontrol terhadap pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka dilakukan? Hakim sebagai pelaku utama dalam sistem peradilan memiliki kebebasan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Campur tangan dari pihak manapun terhadap perkara yang diperiksa, diadili dan diputus oleh hakim tidak dapat dibenarkan. Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak bertanggung jawab kepada lembaga lain. Tanggung jawab hakim merupakan tanggung jawab profesi yang tidak tunduk pada lembaga lain. Undang-undang tidak menyebutkan kepada siapa hakim atau perdilan harus bertanggung jawab. Undang-undang hanya menyebutkan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Selanjutnya undang-undang menyatakan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 1, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003).
Mengingat hakim/peradilan mempunyai kedudukan yang merdeka dalam melaksankan fungsinya, maka transparansi dalam menjalan fungsi peradilan merupakan hal yang sangat amat penting. Sidang peradilan harus terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain. Prinsip terbuka untuk umum dalam persidangan masih harus diikuti oleh terbukanya akses bagi publik untuk memperoleh putusan pengadilan secara mudah, cepat dan biaya ringan. Kecepatan dan kemudahan untuk segera dapat mengetahui putusan pengadilan merupakan suatu kebutuhan dan sekaligus tantangan dalam rangka menciptakan sistem peradilan di Indonseia. Sesuai dengan paradigma baru yang didasarkan pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas (kedaulatan rakyat/demokrasi dan negara hukum), maka bentuk pertanggungan jawab lembaga peradilan dapat diwujudkan dalam bentuk penyampaian putusan secara cepat, mudah dan biaya ringan.
Dalam rangka untuk melaksanakan prinsip checks and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan, Mahkamah Konstitusi diberi wewenang untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pengujian undang-undang merupkan proses penafsiran. Mahkamah Konstitusi akan menguji apakah suatu undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden itu sesuai atau tidak dengan konstitusi (UUD 1945). Konstitusionalitas undang-undang yang diperiksa Mahkamah Konstitusi diputuskan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan tafsir konstitusi yang bersifat mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang diambil dal sidang pleno hakim konstitusi merupakan pendapat Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and binding dan tidak perlu ada lembaga khusus untuk melaksanakan putusan (eksekusi) karena semua pihak wajib melaksanakan putusan. Putusan mengikat sejak dibacakan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang terbuka untuk umu. Dengan demikian, tidak ada pendapat Mahkamah Konstitusi yang disampaikan di luar persidangan dalam bentuk selain Putusan. Sejalan dengan itu, maka tidak pernah ada fatwa yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana penafsiran dilakukan Apakah suatu penafsiran konstitusi itu harus dilakukan berdasarkan prinsip “original intent”, tekstual ataukah yang bersifat kontekstual, sepenuhnya tergantung dari hakim yang jumlahnya sembilan orang. Pembicaraan tentang penafsirkan konstitusi apakah harus mengikuti original intent atau tidak, pernah menjadi perdebatan yang hangat di Amerika Serikat. Perdebatan dipicu ketika Attorne General Edwin Meese III berbicara di depan Amarican Bar Association pada bulan Jui tahun 1985. Dalam pidatonya, dia memberikan dukungan terhadap “a jurisprudence of original intention”. Dia berpendapat bahwa: “The original meaning of constitutional provisions and statutes provided the only reliable guide for judment”. Tiga bulan setelah itu Jutice William J. Brennen menyatakan ketidak setujuannya atas pemikiran dari Meesee dan para pendukungnya. Dia menyatakan bahwa penafsiran yang didasarkan pada original intent tidak praktis dan tidak memadai (impractical and inadequate) dan untuk mengetahui secara pasti tentang original intent bukan hal yang mudah.
Bagaimana para hakim Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusional dalam perkara pengujian undang-undang tentunya terpulang dari orientasi para hakim yang berjumlah sembilan orang itu. Jika para hakim berpikiran “conservative” tentu sependapat dengan Meese, namun jika berpikiran sedikit “liberal” dan mendukung “judicial activism” mungkin akan sependapat dengan Jutice William J. Brennen.
Menjelang usia empat tahun, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa, mengadili dan memutus benyak perkara pengujian undang-undang. Sebagian dari perkara pengujian undang-undang yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi merupakan undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan sistem peradilan di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar