Rabu, 01 Maret 2017

POLITIK HUKUM DAN KOALISI PARPOL

POLITIK HUKUM DAN KOALISI PARPOL[1]

Oleh : Dr. J. Kristiadi[2]


PENGANTAR
Sejalan dengan transformasi politik yang telah berlangsung selama sepuluh tahun, salah satu perobahan yang sangat mendasar adalah kebijakan hukum yang selama beberapa dekade didesain untuk kepentingan negara, secara berangsur-angsur politik hukum ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun mengingat tingkat akselerasi perobahan yang sangat cepat, paradigma perobahan politik sangat diwarnai pertarungan kekuasaaan yang berorientasi kepada kepentingan kelompok atau ambisi pribadi. Ranah politik yang seharusnya menjadi medan memperjuangkan kepentingan dan kepemihakkan terhadap rakyat banyak, hanya menjadi sekedar medan pertarungan politik pragmatis dan dan oportunistik. Partai politik yang seharusnya menjadi sarana memperjuangkan kepentingan umum berdasarkan cita-cita bersama, dalam prakteknya lebih mengesankan sebagai kerumunan manusia pemburu kekuasaan. Oleh karena itu banyaknya jumlah parpol tidak berkorelasi dengan tingkat kemampuan lembaga politik tersebut mengelola aspirasi masyarakat dan mewujudkan dalam kebijakan yang mengasilkan peningkatan hidup rakyat. Elit politik gagal memahami kekuasaan sebagai amanah yang harus dijadikan instrumen untuk membangan kehidupan bersama mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Permasalahan mendesak dewasa ini adalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang stabil dan efektif agar perobahan politik dapat menghasilkan kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Namun keinginan mewujudkan pemerintahan yang efektif terbentur dengan sistem multi partai yang fragmented. Oleh sebab itu sangat diperlukan politik hukum yang berorientasi untuk mencapai tujuan bangsa agar regulasi tidak terkontaminasi dengan kepentingan sempit dan oportunistik. Sebab, landasan utama politik hukum nasional adalah cita-cita bangsa yang diharapkan menghasilkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan agenda yang jelas serta melalui proses yang demokratis. Sehubungan dengan itu politik hukum dalam mewujudkan tatanan politik yang demokratis harus dilakukan secara komprehensif, koheren dan kohesif serta sejalan dengan konteks perkembangan tingkat kelembagaan instirusi-institusi politik dewasa ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut makalah ini ingin membahas secara spesifik politik hukum dan sistem multi partai yang sangat fragmented dikaitkan dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang stabil dan efektif. Sistematika makalah singkat ini disusun dengan urutan sebagai berikut. Pertama, paradigma yang jelas sebagai acuan melakukan penataan sistem pemerintahan dan institusi politik. Kedua, membenahi sistem kepartaian. Ketiga, membentuk pemerintahan yang efektif. Keempat, sistem pemilu yang akuntabel. Kelima menata lembaga perwakilan rakyat, dan cacatan penutup.

PARADIGMA PENATAAN INSTITUSI POLITIK
Perdebatan mengenai rekayasa konstitusional untuk mengkombinasikan antara sistem pemerintahan yang efektif, sistem multi kepartaian serta sistem pemilihan umum berlangsung secara intensif selama beberapa tahun terakhir ini. Public discourse tersebut didorong pengalaman di banyak negara bahwa sistem presidensial, tidak cocok ( kompatibel) dengan sistem multi partai, terlebih dengan sistem multi partai yang sangat fragmented. Oleh sebab itu dikalangan ilmuwan politik terdapat pendapat yang kuat bahwa sistem presidensial paling cocok dengan sistem sistem dua partai, atau multi-partai yang dapat dikelompokkan dalam dua kekuatan politik. Seandainya sistem multi partai tak terbatas ingin dipertahankan, sebaiknya sistem pemerintahan yang ideal adalah parlementar atau semi presidensial. Sebab, memaksakan sistem presidensial dengan sistem multi partai tak terbatas, ancamannya adalah instabilitas politik, bahkan mungkin deadlock dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jalan tengah yang diambil oleh negara-negara yang mengadopsi sistem presidensial dengan multi partai, biasanya membatasi jumlah partai serta melakukan rekayasa konstitusional agar dapat menghindari ancaman-ancaman sebagaimana disebutkan diatas. Praktek penyelenggaraan negara semacam itu kini terjadi di Indonesia. Banyak kalangan menganggap dewasa ini terjadi kerancuan antara sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian yang sangat rentan terhadap instabilitas. Hal itu dapat disaksikan praktek pemerintahan SBY-JK. Meskipun pada pemilu tahun 2004 SBY-JK mendapatkan dukungan 60% dari pemilih, penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif karena kekuaatan eksekutif asimetris dengan kekuatan di parlemen.
Masalah menjadi lebih rumit karena sistem pemilihan umum dengan sistem proporsional, kendali anggata DPR lebih ditentukan oleh pimpinan parpol masing-masing dari pada kepala pemerintahan, meskipun kader-kader mereka telah diakomodasi dalam kabinet. Selain itu kerancuan juga terjadi antara fungsi DPR, DPD maupun MPR yang menjadikan sistem parlemen tidak jelas apakah strong bicameral atau soft bicameral. Selain itu peran MPR juga masih dicari bentuknya yang tepat mengingat MPR juga masih mempunyai fungsi yang sangat penting, antara lain dapat merobah Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan mewujudkan pemerintahan yang efektif dalam sistem multi partai memerlukan politik hukum yang mempunyai paradigma yang jelas sehingga dapat dijadikan acuan, pedoman serta kiblat dari penyususun undang-undang dalam menata kehidupan politik. Landasan pemikiran tersebut sangat diperlukan mengingat tingkat percepatan perkembangan demokrasi prosedural tidak dapat diikuti dengan produksi peraturan-perundangan serta pembangunan lembaga-lembaga politik yang berkualitas. Akibatnya banyak peraturan perundangan dibuat tanpa paradigma yang jelas serta dasar-dasar pemikiran yang jernih dan mendalam, sehingga terjadi tumpang tindih diantara undang-undang yang satu dengan undang-undang lainnya. Bahkan tidak jarang terjadi satu undang-undang bertentangan dengan undang-undang lainnya. Kerancuan Udang-Undang terebut juga terjadi dalam penyelenggaraan negara sehingga regulasi yang berkaitan dengan penyelengaraan negara perlu disempurnakan sesuai dengan prinsip-prinsip diatas.
Paradigma umum sebagai dasar pemikiran sebagai penataan sistem pemerintahan dan lembaga politik adalah sebagai berikut. Pertama, proses demokratisasi yang sedang berlangsung dewasa perlu dipertahankan, bahkan secara gradual proses demokratisasi juga harus dapat melembaga dan terkonsolidasi. Kedua, sementara itu pada saat yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus menjadi pilihan mengingat demokrasi dalam dirinya selalu mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang efektif) disatu pihak, representativeness (keterwakilan) dipihak lain. Oleh sebab itu arah penyempurnaan penanataan politik seharusnya mengacu kepada dua hal sebagaimana disebutkan diatas. Bila dua sasaran tersebut tidak dapat dilakukan dikuatirkan proses transisi politik tidak mempunyai arah dan tujuan yang jelas, dan mengancam proses demokrasi itu sendiri. Kegagalan mengawal proses demokratisasi dengan pemerintahan yang efektif justru akan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat tentang demokrasi, dan hal ini berarti ancaman munculnya kembali kekuasan yang otoritarian atau situasi yang chaotic.

MEMBENAHI SISTEM KEPARTAIAN
Kajian-kajian mengenai hubungan antara sistem pemerintahan, sistem kepartaian dan sistem pemilu telah cukup banyak dilakukan. Suatu kajian yang dilakukan oleh Scoot Mainwaring membuktikan bahwa dari 31 negara yang dikaji stabilitas demokrasinya dalam kurun waktu paling tidak 25 tahun secara berturut-turut, hanya 4 (empat) dari sistem preidensial yang memenuhi kriteria tersebut. Beberapa kelemahan pokok yang mengakibatkan kedua sistem tersebut tidak kompatible adalah sebagai berikut : Pertama, Sistem presidensial dan sistem multi partai mengakibatkan hubungan antara kedua lembaga tersebut diancam oleh kemacetan. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer dimana partai mayoritas atau gabungan partai-partai yang berhasil membangun koalisi membentuk pemerintahan, sehingga selalu ada jaminan dukungan pemerintah oleh parlemen. Sementara itu sistem presidensial dalam multi partai, presiden tidak selalu mendapatkan jaminan mayoritas di parlemen sehingga dipaksa harus selalu melakukan koalisi atau deal-deal politik dalam menangani setiap isyu politik. Kedua, kombinasi sistem presidensial dan multi partai akan menimbulkan persoalan yang kompleks dalam hal membangun koalisi diantara partai-partai politik. Koalisi partai dalam sistem presidensial dan sistem parlementar mempunyai tiga perbedaan sebagai berikut. Pertama, dalam sistem parlementer partai-partai menentukan atau memilih anggota kabinet dan perdana menteri, dan mereka (partai-partai) tetap bertanggung-jawab atas dukunganya terhadap pemerintah. Sementara itu dalam sistem presidensial, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya, akibatnya partai-partai kurang mempunyai komitmen dukungan terhadap presiden. Kedua, berlawanan dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada jaminan partai akan mendukung kebijakan presiden meskipun presiden mengakomodasi secara indivividual beberapa tokoh partai politik dijadikan anggota kabinet. Ketiga, dalam koalisi semacam itu dorongan partai politik untuk melepaskan diri atau keluar dari koalisi lebih mudah dibandingkan dalam sistem parlementer[3].
Menurut pakem dari penganut paham ini, sistem presidensial paling cocok dengan sistem dua partai. Seandainya sistem multi partai tak terbatas ingin dipertahankan, sebaiknya sistem pemerintahan yang ideal adalah parlementer atau semi presidensial. Sebab, memaksakan sistem presidensial dengan sistem multi partai tak terbatas, ancaman terjadinya deadlock dalam penyelenggaraan pemerintahan atau instabilitas politik sangat mungkin terjadi. Jalan tengah yang diambil oleh negara-negara pengadopsi sistem presidensial dengan multi partai, biasanya membatasi jumlah partai serta melakukan rekayasa konstitusional agar dapat menghindari ancaman-ancaman sebagaimana disebutkan diatas.
Salah satu upaya mengatasi permasalah tersebut adalah menyederhanakan sistem multi partai. Bisanya hal itu dilakukan dengan melakukan batas ambang perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Proporsinya sangat bervariasi mulai dari tiga persen (3%) sampai dengan lima persen (5%) atau tujuh persen( 7%) persen. Namun pilihan tersebut pada tingkat perkembangan politik di Indonesia dewasa ini tidak sederhana. Mengingat sekedar mengurangi jumlah partai politik tidak menjamin kualitas penyelenggaran negara bertambah baik. Hal itu disebabkan karena kultur demokratisassi di partai politik belum berkembang sebagaimana mestinya, sehingga partai politik yang seharusnya menjadi tiang demokrasi nilai paternalistiknya masih kuat. Oleh sebab itu menyederhanakan jumlah partai hanya akan mengakibatkan dua hal sebagai berikut. Pertama, membuat partai partai besar, yang telah terjebak oligarki dan di dominasi oleh kultur paternalisme, semakin kuat dan permanen; Kedua, menutup munculnya partai-partai baru yang mungkin mempunyai kapasitas mengembangkan dirinya menjadi partai yang lebih demokratis. Alasan lain yang sangat perlu diperhatikan, pemilhan umum yang jujur dan adil setelah pasca pemerintahan yang otoriter baru diselenggarakan dua kali, sehingga masyarakat masih harus diberi kesempatan menentukan dan menguji partai apa yang pantas didukung.
Konsisten dengan pendapat diatas maka upaya yang lebih penting dari pada itu adalah meningkatkan kualitas partai politik. Peningkatan kualitas pertama-tama adalah dengan melakukan pengkaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang kapabel, akuntabel, mempunyai komitmen, kepakaan serta ketrampilan menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan melakukan kaderisasi dan pendidikan poltik secara reguler maka kapasitas partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dll juga akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang kredibel. Dengan demikian upaya pengurangan jumlah partai politik merupakan pilihan setelah masyarakat diberikan cukup kesempatan untuk benar-benar memahami perilaku partai-partai politik. Pilihan ini diharapkan akan menjadikan seleksi alam bagi eksisitensi partai politik. Seandainya dilakukan peningkatan electoral trershold hal itu merupakan hasil dari pertarungan yang adil dan jujur, sebagai trade off (imbal balik) peningkatan ET diharapkan munculnya partai-partai lokal dapat menjadi instrumen bagi kekuatan-kekuatan masyarakat yang tidak mempunyai kapasitas nasional. Sejalan dengan perkembangan itu, mungkin kedepan dapat dilakukan regulasi perobahan pemilu yang lebih fundamental dengan membagi antara pemilu nasional dan pemilu lokal.
Kedua, mendorong kepemimpinan partai yang demokratis dengan melakukan seleksi kepemimpinan partai yang demokratis serta menegaskan kedaulatan anggota dan desentralisai kewenangan pengurus partai ditingkat pusat kedaerah sebagai upaya meningkatkan demokratisasi internal.
Ketiga, memperkuat basis dan struktur kepartaian, memperkuat basis dan struktur partai, termasuk mengikuitsertakan 30 % perempuan. Basis sosial yang jelas dan berakar pada masyarakat akan menjadikan partai lebih kuat, melembaga sehingga akan memermudah menyerap aspirasi masyarakat. Basis dan struktur partai tidak didasarkan atas sentimen primordial. hal ini berkaitan dengan ideolog kebijakan yang akan menjadi discourse dari partai politik. Perdebatan publik tidak lagi mengenai- hal-hal yang berkenaan dengan keungguluan identitas primordial tetapi mengenai dasar-dasar kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partai-partai yang gagal mendapatkan Eletoral Thershold (ET) berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan.
Kelima, mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen.
Keenam larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu untuk mencegah conflik of interest ( konflik kepentingan) dari pejabat yang besangkutan. Konsekwensinya akan lebih besar lagi kalau birokrasi kemudian menjadi ajang pertarungan politik dari partai politik. Birokrasi yang berfungsi sebagai pelayan publik, akan menjadi sekedar intrumen partai politik.
Masalah lain yang perlu diperhatikan secara khusus pengaturan dana partai politik[4]. Pengaturan tentang dana partai sangat penting dilakukan, karena tiadanya peraturan yang jelas dan tegas mengenai keuangan partai bukan hanya akan mengakibatkan vote buying, tetapi yang lebih berbahaya adalah akses pemilik kapital terhadap penguasa atau calon penguasa-penguasa di dalam partai politik. Oleh sebab itu perlu dirumuskan secara lebih jelas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keuangan partai politik. Beberapa pemikiran yang berkembang dalam masyarakat antara lain sebagai berikut.
Pertama, memperjelas dan memerinci apa yang yang disebut sumbangan dalam UU parpol. Apakah maksudnya uang, pinjaman (pinjaman komersial atau non-komersial), barang, fasilitas (meminjamkan peralatan, komputer, kendaraan, percetakan, perlengkapan atau jasa (transportasi, tenaga ahli, dokter atau petugas lain,karyawan perusahaan) dan lain sebagainya. Semua sumbangan barang harus ditentukan sesuai harga pasar.
Kedua, memperjelas arti pengeluaran. Kata itu harus meliputi hal-hal sebagai berikut : pembayan sejumlah dana oleh partai politik atau kandidat, segala pembayaran yang dilakukan oleh seseorang atau organissai, kelompok masyarakat yang mendukung atau menentang sebuah partai atau calon. Jadi pengelauaran partai politik termasuk biaya administrasi ( anggaran operasional rutin) serta dana kampanye.
Ketiga, mengharuskan partai politik menerapkan pembuatan laporan keuangan partai yang meliputi semua pemasukan dan pengeluaran dari kelompok-kelompok pendukung dalam suatu koordinasi yang terintegrasi. Oleh sebab itu setiap patai politik harus menunjuk petugas untuk menyusun dan melaporkan kewenangan partai secara rinci berdasarkan standar yang ditetapkan. Temasuk antara lain, identitas donatur partai dan jumlah dana yang diberikan. Seseorang yang ditujuk oleh partai mempunyai beberapa persyaratan: (1) kemampuan sebagai akuntasi dan paham prosedur akuntansi;(2) bertanggung jawab atas nama partai serta mematuhi semua peraturan mengenai peraturan perundangan yang berkenaan dengan kegiatan keuangan partai. (3) secara pribadi bertanggung jawab terhadap kelengkapan dan akurasi dari dari semua kegiatan partai politik yang disertai dengan data-data seperlunya. (4) memberikan akses kepada semua pengurus atau staf parpol. Intinya, petugas tersebut harus porfesional dalam arti mampu menyusun laporan yang rinci dan jelas serta serta dapat mempelajari semua dokumen pengeluaran dan pemasukan sehingga laporan dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat, prinsip transparansi harus diterapkan dalam laporan keuangan partai politik. Oleh sebab itu setiap partai politik harus melaksanakan kegiatan keuangan melalui rekening bank yang ditunjuk. Pengeluaran dan simpanan (sumbangan) harus djadikan satu dalam rekening tersebut. Pengeluaran dan pemasukan sumbangan dilarang dilakukan melalui nomor rekening selain yang telah ditatapkan. Namun rekening untuk keperluan administratif harus dibedakan dengan rekening dana kempanye. Perbedan yang tegas antara dana rutin (administratif, sekretariat, penembangan partai, rekrutmen kader, riset politik dll) dan kampanye, termasuk memisahkan rekening dari kedua pengelolaan dana tersebut. Selain itu juga diperlukan pengertian dasar yang jelas mengenai istilah hutang piutang partai. Tanpa adanya pengertian yang jelas KPU akan mengalami kesulitan dalam menilai legitimasi laporan dari transaksi keuangan partai. Sementara itu masyarakat ( publik) juga akan mengalami kesulitan dalam memantau pendanaan kampanye secara utuh.
Kelima, pada dasarnya sumbangan yang diberikan kepada calon harus dilaporkan kepada partai politik. Kalaupun calon yang ingin mempunyai rekening sendiri harus lapor kepada pimpinan partai poliitk. Bantuan spontan yang dilakukan oleh para pendukungnya dicacat oleh partai dan dilaporkan ke KPUD/KIP.
Keenam, partai politik harus melakukan konsoldasi keuangan partai politik baik sumbangan mapun pengeluaran mulai dari pusat sampai tingkat cabang, termasuk dana yang dihimpun oleh calon yang mempunyai rekening sendiri harus dilaporkan pula.
Ketujuh, setiap pelangggaran yang terjadi dalam laporan keuangan seperti keterlambatan, kelalaian masukkan laporan yang salah atau tidak legkap, memanipulasi laporan harus diberikan sangsi hukum yang jelas.
Kedelapan, publik harus mempunyai akses yang leluasa untuk mengetahui sumbangan dan pengeluaran partai politk. Oleh sebab itu laporan harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan uji publik oleh masyarakat.

PEMERINTAHAN YANG EFEKTIF
Pada prinsipnya mewujudkan sistem pemerintahan yang stabil tidak cukup hanya dilakukan dengan semata-mata mengurangi jumlah partai politik. Sebab dalam masyarakat heterogen, terlebih masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, tidak mungkin secara drastis mengurangi jumlah partai dengan memperketat pembentukan partai maupun meningkatkan persyaratan partai politik untuk ikut pemilihan umum. Keputusan yang sederhana ini hanya akan mengkibatkan kelompok-kelompok minoritas mencari jalan lain yang tidak mustahil dapat mendorong sikap ekstrim mereka bila secara permanen menjadi outsiders, pemain diluar sistem. Dari negara-negara yang mepraktekkan sistem presidensial dengan kombinasi sistem multi partai sistem bukan tidak pernah ada yang mengalami keberhasilan. Misalnya kasus di Chili, antara periode tahun 1930-an sampai dengan 1960-an memeperlihatkan bahwa kombinasi kedua sistem tersebut dapat menciptakan pemerintahan yang stabil. Namun keberhasilan itu bukan sekedar kombinasi antara sistem presidensial dan multi partai namun lebih disebabkan oleh karena kemampuan para elit politik dan masyarakat setempat dalam melakukan kompromi dan menciptakan atau membangun serta memperkuat lembaga-lembaga politiknya. Artinya sistem politik harus menciptakan lembaga-lembaga politik dan memperkuat lembaga-lembaga tersebut[5]. Sementara itu untuk mengurangi tingkat fragmentasi partai dapat dilakukan pemilihan presiden bersamaan ( coincidence) dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan rakyat. Biasanya model pemilihan semacam itu akan menggiring pemilih untuk menentukan presiden dan anggota parlemen dari partai yang sama. Mereka sejak awal sudah mempunyai harapan agar presiden yang dipilih mempunyai pendukung di parlemen dari partai yang sama pula. Hal ini misalnya telah terajadi di Cota Rica, Venezuella dan Urugay[6]. Upaya lain adalah melakukan rekayasa konstitusional dengan memberikan hak-hak atau kewenangan legislative kepada presiden, seperti hak veto atau sering pula disebut pro active power yang berupa kewenangan presiden untuk menolak sebagian atau keseluruhan dari suaru peraturan perundangan[7].
Dengan alasan tersebut maka dalam pembentukan pemerintahan yang efektif, selain dilakukan dengan kualitas partai serta proses rekruitmen internal partai, upaya lain adalah mendorong terjadinya koalisi partai dalam pencalonan pilpres dan komitmen atau pelembagaan koalisi sampai masa jabatan presiden berakhir. Hal ini sangat perlu dilakukan agar stabilitas dapat lebih dijamin. Selain itu, dalam jang panjang, peluasan partisipasi pencalon presiden perlu dilakukan dalam bentuk terbukanya peluang bagi calon independen tanpa melalui mekanisme internal partai politik. Hal ini perlu untuk membuat keseimbangan agar peran partai politik yang sudah terlalu besar tidak menjadi semakin besar. Atau bahkan dilakukan dengan melakukan konvensi diantara partai-partai yang akan melakukan pilihan calon, termasuk koalisi partai dalam proses pencalonan.

SISTEM PEMILU YANG AKUNTABEL
Landasan melalukan pemilihan sistem pemilu haruis didasarkan atas beberapa pemikiran sebagai berikut. Pertama, sistem pemilu dirancang untuk meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya. Oleh sebab itu prinsip one man, one vote one value ( OPOVOV) perlu diterapkan. Secara ideal, prinsip tersebut harus dilakukan dengan konsekwen, karena kesetaraan diantara warga negara adalah salah satu prinsip demokrasi. Namun untuk jangka dekat, nampaknya penerapan sistem tersebut secara murni tidak mudah dilakukan karena akan banyak merobah struktur dan komposisi jumlah anggota DPR, DPR Provinsi dan DPR kabupaten hasil pemilu 2004. Misalnya, akan terjadi ketimpangan yang signifikan antara jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat di Jawa dan luar Jawa, mengingat perbedan jumlah penduduk di kedua wilayah tersebut sangat besar. Alasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah memberi kesempatan bagi angota lembaga perwakilan untuk lebih mengenal konstituensinya, memberikan kesempatan konstituen memahami daerah pemilhan dan wakil-wakilnya serta kesempatan untuk memberikan hukuman wakil rakyat yang tidak menepati janji dan dukungan kepada wakil yang memenuhi harapan rakyat. Oleh sebab itu meskipun prinsip OPVOV sangat ideal tetapi tentu masih memerlukan waktu untuk dapat diterapkan secara murni.
Kedua, demokratisasi mekanisme pencalonan. Artinya pencalonan dilakukan dengan sistem bottom-up ( dari bawah keatas). Artinya, setiap calon anggota lembaga perwakilan rakyat harus dipilih secara demokratis dan terbuka sehingga bobot pengaruh dan kualitas komitmen para anggota lembaga perwailan rakyat diharapkan lebih baik bila dibandingkan dengan pemilihan calon yang dilakukan bedasarkan putusan pimpinan partainya.
Ketiga, penguatan dan perluasan basis keanggotaan DPD. Meskipun saat ini peran dan fungsi DPD masih terbatas pada perihal pembuatan UU yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, namun sangat diperluan agar basis dukungan diperluas. Persyaratannya adalah agar pencalonan DPR juga didukung dengan proporsi yang cukup luas di propinsi sehingga para calon bukan hanya mereka yang berasal dari Ibu kota propinsi.
Keempat, mempertegas sistem auditing dan pengelolaan dana-dana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Selama ini tidak ada pengaturan dana politik yang menyangkut jenis sumbangan, batasan sumbangan, larangan menerima sumbangan dari sumber tertentu, pencatatan sumbangan, pelaporan, audit, akuntabilitas publik, dan sangsi apabila melangggar.

MENATA LEMBAGA PERWAKILAN
Penataan lembaga-lembaga perwakilan seharusnya diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut. Pertama, peningkatan kemampuan dan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR. Untuk itu perlu disediakan tim ahli yang tetap dan priofesional agar dapat mempelajari isyu-isyu yang penting bagi proses pengambilan keoputusan. Dalam kaitan ini perpustakaan yang lengkap modern harus pula disediakan bagi mereka. Kedua, peningkatan akuntabilitas dapat dilakukan dengan meningkatkan dan optimalisasi kewenangan badan kehormatan DPR, khususnya berkaitan dengan dengan hak re-call.
Ketiga, diperlukan pertanggungjawaban yang jelas bagi setiap anggota DPR yang melakukan reses. Keempat, untuk lebih meningkatkan hubungan antara anggota DPR dan DPD perlu pembentukan kantor DPD dan DPR di daerah agar terjadi komunikasi politik yang intensif antara wakil rakyat dan konstitusiennya.
Kelima, peningkatan efektifitas lembaga DPR dilakukan dengan penciutan jumlah pengelompokkan politik (fraksi) di DPR dengan menentukan jumlah minimal anggota fraksi di DPR sama dengan jumlah komisi.
Keenam, harmonisasi hubungan DPR dan DPD dengan membentuk panitia bersama ( joint committee) DPR –DPD untuk mengatur mekanisme pembahasaan RUU yang menjadi kewenangan DPD&DPR;
Ketujuh, memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat dilalakukan dengan merobah lembaga pimpinan MR permanen menjadi fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang gabungan serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945.


PENUTUP
Proses tramnformasim politik telah mengasilkan kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat dan membangun kekuatan bertarung secara demokratis. Munculnya puluhan partai politik merupakan bagian dari proses demokratisasi. Namun perlu diingat bahwa tujuan membangun kehidupan demokrasi adalah membangun peradaban politik. Oleh sebab itu praktek penggunaan kekuasaan harus semakin meningkatkan harkat dan martabat manusia. Dan karena peradaban juga berkaitan dengan kehidupan rakyat yang sejahtera serta berkeadilan, maka sangat perlu di bentuk pemerintahan yang efektif namun tetp dapat dikontriol rakyat. Oleh karena itu politik hukum dalam menata kehidupan politik harus merupakan upaya bersama yang lebih mengikut sertakan para pemangku kepentingan ( stake holders) agar proses demokrasi prosedural semakin lama meningkat menjadi demokrasi substansial. Yaitu tumbuh dan berkembangnya budaya demokasi sebagai roh dari sistem politik yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Agenda berikutnya yang tidak kalah penting adalah membangun lembaga-lembaga politik agar institusi-institusi tersebut selain dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, diharapkan pula dapat membantu menjadi instrumen membangun budaya politik yang sehat. Hal ini sejalan dengan inti demokrasi itu sendiri yaitu mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal sebagai landasan perilaku masyarakat. Pengalaman telah membuktikan bahwa membangun demokrasi bukan sekedar membangun mekanisme dan prosedur politik. Demokrasi jauh lebih kompleks dan rumit. Oleh karera itu banyak negara yang gagal dalam meniti transisi politik yang rumit, kompleks dan penuh dengan persaingan kepentingan politik. Belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain, mudah-mudahan dalam masa yang akan datang, sejalan dengan kualitas parpol yang semakin baik, politik hukum dalam menata kehidupan politik tidak terlalu dinodai oleh kepentingn sempit dan oportunistik.
Yogyakarta, 22 November 2008.
[1] Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Dan Temu Hukum Nasional IX yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tanggal 20 dan 21 November 2008, di Hyatt Regency Hotel, Yogyakarta.
[2] Peneliti CSIS, Jakarta.
[3] Mainwaring, Scott; Presidensialsm, Multipartism, And Democracy: The Difficult Combination; Comparative Political Studies; Vol 26, No 2, July 1993, p 198-228. Selain itu masih banyak lagi perdebatan nmengenai isyu yang berkaitan hubungan antara sistem multi partai dengan sistem presidensial seperti dalam buku Liphard, Arend (ed); Parliementary Versus Presidential Government, Oxford University press; 1992. Selain itu juga dalam buku Mainwaring, Scott & Soberg Shugart (eds): Presidensialism And Democracy in Latin America; Cambridge University Press, 1997.
[4] Gagasan, pemikiran, diskusi publik mengenai masalah ini sudah banyak dilakukan sejak tahun 2000-an setelah pemilu yang berlangsung secara demokratis pasca pemerintahan otoriter jatuh pada awal tahun 1998- hingga saat ini. Misalnya kajian : Perubahan Pasal Dana Politik Di Dalam Paket Undang-Undang Pemilu, yang dilakukan oleh Pokja Dana Politik yang terdiri dari Cetro, IAI-KSAP, PERLUDEM, T- Chapt, Indonesia, yang diterbitkan pada bulan maret 2007. selain itu istiyu ini juga dianggap sangat penmting, dan dapat dilihat dalam berbagai kajian internasioial , antara lain : Johnson, Michael: Political Parties And Democracy in Theorotical Perspectives: Political Finance Policy, Parties, And development; National Democratic Institute For International Affairs(NDI); 2005; Hopkin, Jonathan; The Problem Wiyh party Finance : Theoritical Perspectives on The Funding of Party Politics; Partay Politics, Sage Publication; Vol 10, no 6, p 627-651; London; 2004; Scatrrow, Susan E; Explaining Political Finance Reforms : Competition And Context; Partay Politics; Sage Publications; Vol 10, no 6, mp 653-675; 2004.
[5] Mainwaring, Scoot; Opcit, 1993, p 223.
[6] Mainwaring, Scoot; Ibid, 1993, p 224.
[7] Mainwaring, Scott & Soberg Shugart; Presidentailisme And Democracy In Latin America; Cambridge University res; 1997.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More