PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH DI
INDONESIA
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia memiliki sejarah cukup panjang. Di mulai
dari masa pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang, pasca
Kemerdekaan, era Orde Baru, reformasi, hingga sekarang, mengalami berbagi
perubahan kebijakan terhadap keluasan jumlah urusan dan kewenangan yang
dimiliki
Perkembangan
pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas berbagai periode-periode yang
menjelaskan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Periode perkembangan
pemerintahan daerah tersebut dimulai sejak zaman Hindia-Belanda hingga periode
awal reformasi. Tentunya banyak hal yang berubah dalam tatanan sistem
pemerintahan daerah di negara kita dari waktu ke waktu seiring perjalanan
bangsa dan negara kita, serta sejarah yang telah kita tempuh mulai dari dulu.
Seperti yang diungkapkan tadi, periode perkembangan pemerintahan daerah dimulai
sejak zaman Hindia-Belanda. Pada masa ini, Indonesia tidaklah dipandang sebagai
suatu negara, melainkan hanya sebagai bagian dari kerajaan Hindia-Belanda,
setingkat provinsi. Saat itu Indonesia dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal
yang bertanggungjawab kepada kerajaan Belanda. Sistem pemerintahan yang dianut
saat itu adalah sistem pemerintahan yang sentralistis. Dilain sisi pembagian
wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 bagian yakni Jawa dan Madura serta Daerah
Luar Jawa dan Madura. Dalam kurun waktu tahun 1903 sampai tahun 1922,
Pemerintah Hindia-Belanda saat itu telah mempersiapkan suatu bentuk
pemerintahan mandiri untuk daerah-daerah di Indonesia, baik yang berada di Jawa
dan Madura maupun diluar daerah Jawa dan Madura.
Untuk daerah Jawa dan Madura pada tahun
1922 diberlakukan Besturk Hervorningsweet yang meliputi daerah otonom
provinsi, daerah otonom regenschaff dan staat gementen (kota praja/Kota
mandiri). Sementara untuk daerah luar Jawa dan Madura diberlakukan Groeps
Gamenschaffen dan Staat Gementen. Disamping itu masa Hindia-Belanda
juga membentuk perwakilan (dewan rakyat) didaerah swapraja (setingkat
kabupaten) dan di desa. Kesemuanya dibentuk oleh pemerintahan Hindia-Belanda
untuk mempersiapkan daerah-daerah di Indonesia menjadi pemerintahan yang
mandiri.
Akan tetapi kurun waktu 1942 sampai dengan 1945, semua tatanan yang dibentuk
oleh pemerintahan Hindia-Belanda seolah tiada berguna dengan masuknya kolonial
Jepang ke Indonesia. Meski berlangsung hanya sekitar 3,5 tahun, namun
pendudukan Jepang menghadirkan perubahan yang cukup besar dalam perkembangan
pemerintahan daerah di negara kita.
Meski masih meneruskan azas dekonsentrasi yang dipakai pemerintah Belanda,
namun pendudukan Jepang melakukan perubahan terhadap beberapa hal, diantaranya
nama daerah dan pejabat dalam bahasa Jepang, jabatan-jabatan yang diduduki oleh
orang Belanda menjadi diduduki pembesar Jepang hanya sedikit yang berasal dari
orang Indonesia, kemudian wilayah provinsi di Jawa dan luar Jawa dihapuskan
serta afdeling beserta asisten karasidenan di daerah Jawa dihapuskan.
Jepang menjalankan pemerintahan dengan kekuatan fasisnya. Segala hal yang
berkaitan dengan pemerintahan dilakukan pendudukan Jepang dengan kekuatan
militer sebagai perwujudan sistem komando kemiliteran. Bahkan saat itu politik
pendudukan tentara Jepang di Indonesia dibagi menjadi 3 daerah yakni : daerah
pulau Jawa, dibawah naungan Angkatan Darat berkedudukan di Jakarta, daerah
pulau Sumatra juga dibawah naungan angkata darat, berkedudukan di Bukit Tinggi,
serta daerah luar Jawa dan Sumatera, dibawah naungan angkatan laut, yang
berkedudukan di Makassar.
Meski banyak melakuka perubahan ditatanan pemerintahan daerah di Indonesia,
menjelang kekalahannya di perang Asia Pasifik, pendudukan Jepang di negara kita
kembali menjalankan azas desentralisasi. Azas desentralisasi ini dijalankan
dengan melakukan pembentukan dewan di Pulau Jawa (Tyuoo-Sangiin),
pembentukan dewan karasidenan (Syuu-Sangikai) dan dewan kota praja (Tokubetsu-Sisangikaai).
Akan tetapi fungsi adanya pembentukan para dewan ini tidak memberikan hasil
yang anat baik, karena penunjukkan serta pemilihan orang-orang didalamnya
dilakukan secara penunjukkan dan pemilihan secara bertingkat.
Setelah Jepang kalah, perkembangan pemerintahan daerah di negara kita diatur
dalam UUD 1945. Inilah titik awal bagi bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka,
yang berdaulat untuk menjalankan sistem pemerintahan di negara kita. Seperti
yang diutarakan pada bagian diatas, sebelum kekalahannya di Asia, Jepang saat
itu telah mulai kembali menjalankan azas desentralisasi di Indonesia dengan
membentuk dewan-dewan di tingkat provinsi, karasidenan, dan kotapraja. Bahkan
Jepang juga menjanjikan memberikan kemerdekaan pada Indonesia nanti pada
tanggal 24 agustus 1945.
Untuk kepentingan itu maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945. Jepang juga membentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 9 Agustus 1945.
Namun sebelum tanggal 24 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Disamping itu ditetapkan juga Pancasila dan UUD 1945
sebagai dasar negara dan undang-undang tertinggi di Indonesia, serta mengangkat
Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan wakil presiden
Indonesia.
Di sisi lain pada tanggal 22 agustus 1945 dibentuk juga Komite Nasional
Indonesia Pusat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah yang ada di
Jakarta. Mengenai sistem pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan UUD 1945
dijalankan melalui azas desentralisasi dan azas dekonsentrasi. Hal ini tertuang
dalam pasal 18 UUD 1945. Menurut pasal ini daerah-daerah Indonesia dibagi dalam
daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi pula dalam bentuk daerah yang lebih
kecil (kabupaten/kota).
Indonesia juga melalui pasal 18 UUD 1945 mengakui daerah-daerah administratif.
Dalam daerah administrasi dibentuk badan perwakilan daerah yang bersendi atas
dasar permusyawaratan. Keberadaan desa dan setingkat desa yang sesuai dengan
susunan asli yang sifatnya istimewa didaerah-daerah juga diakui keberadaannya.
Disamping itu juga berdasarkan ketentuan pasal 18 UUD 1945 ini beserta
penjelasannya mengkehendaki dilaksanakannya azas desentralisasi, dengan
membentuk daerah-daerah otonom serta azas dekonsentrasi melalui pembentukan
daerah administrasi.
Menurut daerah Propinsi, sejak pertama berlakunya UUD 1945, Indonesia dibagi
menjadi delapan propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur.
Kedelapan propinsi itu meliputi : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Daerah propinsi ini dibagi
dalam karasidenan yang dikepalai seorang residen. Gubernur dan Residen juga
dibantu oleh Komite Nasional Daerah sebagai dewan rakyat. Lebih lanjut sesuai
UU No 1 Tahun 1945 kedudukan Komite Nasional Daerah bertindak sebagai Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini sebagai efek dari dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian kekuasaan
legislatif kepada Komite Nasional Pusat.
Untuk memenuhi kebutuhan Pasal 18 UUD
1945 yang memuat mekanisme pemerintahan daerah di Indonesia, maka
dikeluarkanlah UU No 22 Tahun 1948 mengenai Undang-Undang Pokok tentang
Pemerintahan Daerah, yang mulai berlaku tanggal 10 Juli 1948. Namun ada beberapa
hal yang kurang dari UU No 22 tahun 1948 ini, bahwa konsiderans UU ini hanya
mengatur pemerintahan daerah-daerah otonom tidak beserta dengan pemerintahan
daerah administrasi.
Berdasarkan UU No 22 Tahun 1948 Negara Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan
yakni : propinsi yang dikepalai oleh gubernur, kabupaten (kota besar) yang
dikepalai oleh bupati serta desa (kota kecil) atau marga dan sebagainya yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Semua daerah ini
merupakan daerah otonom. Sedangkan karasidenan meskipun mempunyai Dewan
Perwakilan Rakyat bukan merupakan menjadi daerah otonom.
Undang-Undang No 22 tahun 1948 menyebutkan juga bahwa susunan pemerintahan
daerah terdiri dari Kepala Daerah, Dewan Pemerintah Daerah, serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah menjabat sebagai Ketua dan anggota
Dewan Pemerintah Daerah. Adapun yang berhak memiliki kewenangan membuat
peraturan daerah dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah
dalam hal ini memiliki dua pokok fungsi yaitu pengawas pekerjaan DPRD dan Dewan
Pemerintah Harian (kepala daerah bertindak sebagai wakil pemerintah pusat) dan
kepala daerah sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah (kepala daerah
sebagai organ pemerintah daerah).
Labih lanjut UU No 22 Tahun 1948 hanya mengatur azas desentralisasi dan tugas
pembantuan, tidak ada ketentuan yang mengatur azas dekonsentrasi. Jadi ada dua
macam pemerintahan daerah saat itu yakni pemerintahan daerah disandarkan atas
hak otonomi serta pemerintahan daerah disandarkan atas tugas pembantuan (medebewind).
Letak perbedaannya terdapat dalam proses penyerahan penuh dan penyerahan tidak
penuh. Penyerahan penuh diartikan bahwa suatu pekerjaan diserahkan secara penuh
kepada pemerintah daerah, dimana daerah diberi kuasa atas azas penyelenggaraan
(hak otonomi) sedangkan penyerahan tidak penuh diartikan bahwa penyerahan suatu
pekerjaan pada daerah hanya sebatas pada tata cara menjalankan saja, mengenai
prinsip-prinsip dan azas-azasnya masih ditentukan oleh pemerintah pusat. Secara
keseluruhan pelaksanaan UU No 22 tahun 1948 belumlah maksimal karena situasi
dan kondisi Indonesia saat itu masih fokus mempertahankan kemerdekaan dari
pendudukan Belanda.
Pendudukan Belanda saat itu hendak kembali untuk menjajah bangsa Indonesia.
Bahkan di beberapa daerah Belanda telah kembali memegang pemerintahan.
Akibatnya saat itu negara Indonesia terbagi menjadi dua bagian yakni,
Pemerintah Republik Indonesia yang mempertahankan kedaulatan baik dari pihak
Belanda maupun dari dunia luar berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 serta
pemerintah negara-negara kecil yang didirikan oleh pemerintah Belanda.
Upaya pendudukan Belanda saat itu akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan yang
mengubah pemerintah Republik Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia
Serikat (27 Desember 1949). Adapun bentukan negara serikat itu meliputi ;
Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan
(1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur (1948) dan Negara
Madura (1948). Sementara itu didaerah lain juga telah dilakukan persiapan
pembentukan negara-negara pembentuk Negara Republik Indonesia Serikat.
Negara-negara ini nantinya akan tergabung dalam Bijeenkomst voor Federal
Overleg (BFO) atau Pertemuan Untuk Permusyawaratan Federal, yang merupakan
aliran federalisme Belanda.
Secara garis besar kewenangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah pada
masa negara Republik Indonesia Serikat dimuat dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Dalam konstitusi ini dijelaskan bahwa dalam negara federal
mengenai sistem pembagian urusan yang menjadi wewenang negara federal dan
urusan yang menjadi wewenang negara bagian pada umumnya menjadi wewenang negara
federal. Sedangkan urusan pemerintahan daerah menjadi wewenang dari tiap-tiap
negara bagian (sesuai pasal 51 ayat 1 Konstitusi RIS). Selanjutnya
negara-negara bagian mengatur mengenai pemerintahan daerahnya dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara bagian.
Pengaturan mengenai daerah-daerah swapraja juga menjadi wewenang negara bagian
(pasal 64 dan pasal 65 Konstitusi RIS). Terdapat semacam kontrak yang mengatur
hubungan negara-negara bagian dengan daerah-daerah swapraja itu, daerah
swapraja tidak dapat dihapuskan oleh negara bagian kecuali oleh Undang-Undang
Federal yang menyatukan.
Keberadaan Pasal 18 UUD 1945, UU No 22 tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia saja.
Sedangkan negara lain tidak pernah mengeluarkan undang-undang sampai kembali ke
Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali negara Indonesia Timur yang
membentuk undang-undang tentang pemerintahan daerahnya sendiri, yakni UU Negara
Indonesia Timur No 44 Tahun 1950. Jadi dengan demikian dapat dipastikan susunan
pemerintahan daerah suatu negara bagian akan berbeda dengan negara bagian
lainnya.
Meskipun kewenangan untuk mengatur pemerintahan daerah diberikan kepada negara
bagian, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan juga Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Serikat No 21 Tahun 1950, Lembaran Negara No 95
tahun 1950 yang membagi wilayah negara Indonesia menjadi sepuluh daerah
propinsi yang bersifat administratif yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan Sunda Kecil. Hal itu dimaksudkan sebagai langkah pertama menuju
pembentukan daerah-daerah otonom. Hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi
RIS yang sebelumnya menyatakan bahwa kewenangan pengaturan pemerintah daerah
adalah milik negara bagian.
Negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama. Sebab banyak ditentang
lewat pergerakan-pergerakan perjuangan di berbagai daerah yang menginginkan
kembali ke bentuk negara yang unitaris. Pada 19 Mei 1950 Negara Republik
Indonesia Serikat hanya terdiri dari 3 negara bagian yakni : Negara Republik
Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Sedangkan
negara-negara bagian sebelumnya telah berubah menjadi satuan-satuan kenegaraan
yang tegak sendiri-sendiri. Daerah-daerah ini akhirnya menggabungkan diri
dengan Negara Republik Indonesia yang disebut kemudian dengan Daerah Pulihan.
Di daerah ini diberlakukan kembali UU No 22 Tahun 1948 berdasarkan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti UU No 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah
Pulihan, yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Maret 1950. Kemudian dikeluarkan
juga Undang-Undang No 8 Tahun 1950 yang diundangkan di Yogyakarta yang mengatur
penghapusan peraturan dan undang-undang di daerah-daerah bagian dan
daerah-daerah bukan bagian kecuali tidak bertentangan dengan Peraturan-Peraturan
dan Undang-Undang Republik Indonesia.
Setelah penggabungan menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan oleh
Pemerintah Republik Indonesia Yogyakarta berdasarkan UU No 22 Tahun 1948
dibentuk propinsi-propinsi otonom yang meliputi: Jawa Timur, DI Yogyakarta,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Timur.
Pada masa ini juga dibentuk daerah otonom Kota Jakarta Raya. Secara keseluruhan
terdapat delapan daerah otonom yang telah dibentuk pada masa Negara Republik
Indonesia Serikat.
Keberadaan Negara Republik Indonesia Serikat akhirnya digantikan oleh Negara
Kesatuan melalui Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Secara garis besar
pemerintahan daerah dijalankan melalui Undang-Undang Sementara 1950, dimana
dimuat bahwa pembagian daerah di Indonesia didasarkan atas Daerah besar dan
daerah kecil. Kepada daerah diberikan otonomi untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya sendiri. Sedangkan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-Undang. Keberadaan daerah swapraja juga masih diakui,
akan tetapi dapat saja dihapuskan atau diperkecil apabila Undang-Undang
mengkehendaki. Urusan daerah swapraja menjadi urusan pemerintah pusat.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 digunakan sebagai pedoman sampai
sebelum terbitnya UU No 1 Tahun 1957. Undang-Undang No 1 Tahun 1957 ini lahir
sebagai perwujudan pasal 133 UUD Sementara 1950, yang mengatur pembentukan
peraturan dan undang-undang yang akan menggantikan UUD Sementara Pasal 1950
sebagai pedoman pengaturan pemerintah daerah di Indonesia.
UU No 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 17
Januari 1957. UU ini telah berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik
Indonesia. UU ini mengatur terlaksananya azas desentralisasi dan azas tugas
pembantuan sesuai maksud pasal 131 UUD Sementara 1950. Azas dekonsentrasi tidak
ada diatur demikian juga tidak ada pemerintahan pamong praja yang diatur dalam
UU ini.
UU No 1957 mengatur pemberian otonomi riil dan seluas-luasnya kepada daerah.
Daerah otonom disebut ‘Daerah Swatantra”. Pemerintahnya disebut “Pemerintah
Daerah Swatantra”. Sedangkan Daerah Istimewa disebut dengan “Daerah Swapraja”.,
sedangkan daerah kota yang mengatur rumah tangganya sendiri disebut Kotapraja.
Pembagian wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi daerah besar dan daerah
kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun tingkatan daerah
meliputi : Daerah Tingkat ke I, termasuk Kotaparaja Jakarta Raya, Daerah
Tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat ke III. Begitu juga
dengan daerah Swaparaja dibagi atas daerah tingkat ke I, daerah tingkat ke II,
dan daerah tingkat ke III, tingkatan yang sama juga berlaku untuk daerah
Swatantra (tapi hanya sampai daerah swatantra tingkat ke II).
Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut UU No 1 Tahun 1957 terdiri dari
Dewan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disamping tentunya
Kepala Daerah sebagai Kepala Pemerintahan. Anggota Dewan Pemerintah Daerah
dipilih dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar perwakilan
berimbang. Namun ketua dan wakil ketua DPRD tidak boleh menjadi anggota Dewan
Pemerintah Daerah. Sedangkan Kepala Daerah merupakan ketua serta anggota Dewan
Pemerintah Daerah. DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah merupakan alat perlengkapan
daerah yang bertugas dan berkewajiban mengurus semua urusan rumah tangganya
sendiri dan dapat pula diserahi tugas untuk membantu menjalankan
peraturan-peraturan oleh instansi-instansi yang lebih tinggi.
DPRD merupakan lembaga yang berwenang di bidang legislatif yang berfungsi
membuat Peraturan Daerah. Sedangkan Dewan Pemerintah Daerah merupakan badan
yang bersifat kolegial dengan Kepala Daerah. Dewan Pemerintah Daerah
menjalankan keputusan-keputusan DPRD, dan Dewan Pemerintah Daerah juga dapat
diserahi tugas untuk menetapkan penyelenggaraan dari peraturan daerah. Kepala
Daerah dipilih langsung oleh masyarakat dan cara pengangkatan serta
pemberhentiannya diatur lewat undang-undang.
Sedangkan untuk Daerah Istimewa, Kepala Daerah diangkat dari calon yang
diajukan DPRD. Kepala Daerah biasanya diangkat dari keturunan keluarga yang
berkuasa di daerah itu, yang tentunya memperhatikan syarat-syarat kecakapan,
kejujuran, kesetiaan serta adat-istiadat dalam daerah itu.
Satu hal yang perlu disimak dalam pelaksanaan UU No 1 Tahun 1957 adalah UU ini
tidak mengatur secara jelas mengenai daerah yang bersifat administratif
(pemerintahan umum). Demikian juga halnya saat berlaku UU No 22 Tahun 1948
tidak begitu jelas diatur kedudukan mengenai pemerintahan di daerah
administratif. Padahal UU No 1 Tahun 1957 menganut pelaksanaan azas otonomi
riil yang seluas-luasnya, sehingga untuk melaksanakan berbagai mekanisme
pemerintahan umum di daerah-daerah khususnya di daerah Swatantra maka
dikeluarkan UU No 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Pemerintahan Umum yang
mengatur penyerahan semua tugas pemerintah pusat dalam bidang pemerintah umum
yang ada di daerah untuk dijadikan urusan rumah tangganya sendiri yang meliputi
bidang pemerintahan umum, pembantuan pegawai dan penyerahan keuangan kepada
pemerintah daerah.
Oleh karena UU inilah yang membuat
daerah administratif saat itu dihapuskan karena tidak ada kewenangannya diatur,
sedangkan para pegawainya yang dulunya bekerja di daerah administrasi
diperbantukan ke daerah swatantra (daerah otonom). Beberapa hal yang tidak
menjadi kewenangan pemerintah daerah saat itu adalah tugas kewajiban, kekuasaan
dan kewenangan mengurus ketertiban dan keamanan umum, koordinasi
jawatan-jawatan pemerintah pusat didaerah, serta pengawasan jalannya pemerintah
daerah. Kesemuanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Setelah melewati beberapa periode
akhirnya perkembangan pemerintahan daerah selanjutnya memasuki kembali masa
diberlakukannya UUD 1945 untuk kali kedua. Pada masa ini telah banyak hal yang
disempurnakan untuk kemajuan pemerintahan daerah di Indonesia. Masa ini diawali
dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang menandai
kembalinya negara Indonesia ke konstitusi UUD 1945. Adapun Undang-Undang yang
paling mengena yang mengatur mekanisme pemerintahan daerah di negara kita saat
itu adalah ditetapkannya Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
Melalui Undang-Undang ini diatur
mengenai azas-azas di pemerintahan daerah baik itu azas desentralisasi, azas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. UU No 5 Tahun 1974 ini juga menggantikan UU
No 18 Tahun 1965 yang sebelumnya dibuat untuk mengatur pemerintahan daerah di
Indonesia.
UU No 5 Tahun 1974 mengenal dua macam
pemerintahan yakni pemerintahan daerah yang bersifat otonom serta pemerintahan
daerah yang bersifat administratif. Pemerintahan daerah otonom lahir sebagai
konsekuensi dijalankannya azas desentralisasi yaitu azas penyerahan urusan
pemerintah pusat atau daerah otonom tingkat atasnya kepada daerah otonom.
Daerah otonom yang dimaksud disini adalah daerah tingkat II (Kabupaten/Kota).
Sedangkan daerah otonom tingkat atasnya adalah daerah tingkat I (propinsi).
Perangkat daerah di pemerintahan daerah tingkat II diisi oleh kepala daerah
(Bupati/Walikota) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah tingkat II
dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya
pemilihan telah dipertimbangkan oleh pimpinan DPRD/pimpinan fraksi dengan
Gubernur. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah tingkat I (gubernur),
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Propinsi dan dimusyawarahkan dan disepakati
bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi dengan menteri dalam negeri.
Dalam UU No 5 tahun 1974 juga dikenal
adanya wakil kepala daerah baik tingkat I maupun tingkat II. Wakil kepala
daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari pegawai negeri yang memenuhi
persyaratan sedangkan untuk wakil kepala daerah tingkat II diangkat oleh
menteri dalam negeri atas nama Presiden dari pegawai negeri yang memenuhi
persyaratan. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi wakil kepala daerah juga sama
dengan syarat-syarat menjadi kepala daerah.
Secara garis besar susunan perangkat
pemerintah kepala daerah berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 dipetakan atas,
Gubernur sebagai kepala daerah tingkat I (propinsi), Bupati sebagai kepala
daerah tingkat II (Kabupaten), Walikotamadya untuk daerah kota madya yang
notabenenya setingkat daerah tingkat II, walikota untuk daerah kota
administratif juga setingkat daerah tingkat II, serta camat untuk kepala daerah
kecamatan.
Disamping adanya kepala daerah,
perangkat lain pemerintah daerah diisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPRD berada ditingkat I dan di tingkat II. DPRD bertugas dibidang legislatif,
sedangkan kepala daerah memiliki kewenangan eksekutif. Adapun tugas pokok DPRD
antara lain : memberikan persetujuan kepada kepala daerah dalam hal membuat
peraturan daerah untuk kepentingan daerah, bersama-sama dengan kepala daerah
menyusun APBD, mengawasi jalannya pemerintahan daerah.
UU No 5 Tahun 1974 selain mengenal
daerah otonom seperti yang disebutkan tadi juga mengenal daerah yang bersifat
administratif. Daerah administratif lahir sebagai konsekuensi diterapkannya
azas dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Wilayah
daerah administratif adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang
menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah. Wilayah daerah
administratif antara lain wilayah propinsi yang dibagi menjadi kabupaten dan
kota serta wilayah kabupaten dan kota yang dibagi-bagi lagi menjadi wilayah
kecamatan. Dan apabila perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya,
dalam wilayah kabupaten bisa juga dibentuk Kota Administratif.,
Dengan demikian maka dapat kita lihat
bahwa UU No 5 Tahun 1974 ini sudah mengatur secara lengkap tentang sistem
pemerintahan daerah di negara kita. Mulai dari masalah wilayah, azas yang
dianut, mengenai perangkat daerah, hak dan tanggung jawab dari masing-masing
perangkat daerah serta mengenai penyerahan tugas pemerintahan umum pemerintah
pusat ke daerah otonom maupun daerah administratif.
Pada perkembangan selanjutnya
perjalanan bangsa Indonesia tidak hanya membuat undang-undang tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah saja, akan tetapi seiring dengan perkembangan maka pada
tahun 1979 juga dikeluarkan UU No 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok pemerintahan
desa yang juga menambah khasanah peraturan perundangan tentang pemerintahan
daerah.
Meski demikian UU No 5 Tahun 1974
tidaklah digunakan sampai sekarang. Setiap langkah perjalanan bangsa selalu
membawa kedinamisan untuk penyempurnaan sistem pemerintahan daerah kita. Pada
masa tahun 1999, UU No 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. UU itu sendiri diterbitkan seiring euphoria reformasi yang
bergejolak di negara kita saat itu. Kemudian sampai sekarang UU No 22 Tahun
1999 yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 adalah UU yang kita pakai dalam
mengatur mekanisme pemerintahan daerah di negara kita.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu
diganti. Kemudian lahirlah UU N0. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 23/202014). UU No. 23 Tahun
2014 mengalami 2 kali revisi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya
disebut PERPPU 2/2014), (xiv) UU No. 9
/ 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya
disebut UU 9/2015).
Di dalam UU
23/2014, pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dicantumkan dalam sejumlah
pasal, yakni Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 5, Pasal 59, Pasal
60, Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65 , Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81,
Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 90, Pasal 91, Pasal
93,. Pasal 230, Pasal 236, Pasal 242, Pasal 253, Pasal 344, Pasal 386, Pasal
387, Pasal 391.
Patut
dicatat bahwa PERPPU 2/2014 mengubah dua Pasal yaitu Pasal 101 ayat (1) huruf d
dihapus, Pasal 154 ayat (1) huruf d dihapus dan UU No. 9 / 2015 mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 63, Pasal 65 ayat 1
huruf f dihapus, Pasal 66 ayat 3 dihapus, Pasal 88 diubah, Pasal 101
ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, Pasal 154 ayat
(1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. PERPU 2/2014 terkait
dihapusnya kewenangan DPRD Dengan demikian, sejauh terkait kewenangan DPRD
dalam memilih Gubernur atau kepala Daerah dihapus, dan terkait UU 9/2015 membahas tentang wakil kepala
daerah. Artinya selain persoalan yang dibahas dalam PERPPU 2/2014 dan UU No. 9 / 2015 terkait Pemerintahan Daerah
diatur dalam UU 23/2014.
UU
23 tahun 2014, menerapakan pola residual power atau open arrangement,
bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan
pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah
absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah
pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23
Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni
sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014)
yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan penting terhadap
fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun
DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan
daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.
Titik fokus
perubahan penting itu terletak pada perubahan fungsi legislasi menjadi fungsi
pembentukan perda. Pada tataran praktik perubahan itu mungkin tidak penting dan
tidak berimplikasi apa-apa karena sebelum diubah menjadi fungsi pembentukan
perda pun memang fungsi DPRD adalah membentuk perda bersama dengan kepala
daerah. (http://www.gresnews.com/berita/opini/90191-tinjauan-fungsi-dprd-paska-uu-pemda-2014/0/).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
memasukan unsur partisipasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Bab XIV dan
pada pasal 354 ayat 1 sampai dengan ayat 7. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 pasal 354 ayat 1 disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah "Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat. Dalam upaya
mendorongpartisipasi masyarakat untuk ikut aktif dalam proses pembangunan dalam
suatu daerah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 354 ayat 2 huruf a, b, c,
dan d mengharuskan pemerintah daerah untuk ;
a. Menyampaikan
informasi tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat;
b. mendorong
kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah melalui dukungan pengembangan kapasitas masyarakat;
c. mengembangkan
pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan
organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara efektif; dan/atau
d. kegiatan
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prinsip secara umum atau garis besar UU
Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor
32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah
melainkan juga sebagai kepala wilayah .Di sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) dibagi atas daerah provinsi,
provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas
kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini
menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah
bupati/walikota, dan seterusnya.
Dari periodisasi yang telah kita tempuh
mulai dari zaman Hindia-Belanda, Jepang hingga berlakunya UU No 23 Tahun 2014
diatas dapat kita lihat bahwa perkembangan pemerintahan daerah kita selalu
mengalami perubahan-perubahan untuk penyempurnaan sistem pemerintahan daerah di
negara kita. Dan dari setiap periode yang telah ditempuh oleh negara kita maka
kita akan mendapatkan perbandingan pemerintahan daerah di negara kita dari
waktu ke waktu.
0 komentar:
Posting Komentar