Kamis, 08 Juni 2017

PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA



PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia memiliki sejarah cukup panjang. Di mulai dari  masa pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang, pasca Kemerdekaan, era Orde Baru, reformasi, hingga sekarang, mengalami berbagi perubahan kebijakan terhadap keluasan jumlah urusan dan kewenangan yang dimiliki
            Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas berbagai periode-periode yang menjelaskan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Periode perkembangan pemerintahan daerah tersebut dimulai sejak zaman Hindia-Belanda hingga periode awal reformasi. Tentunya banyak hal yang berubah dalam tatanan sistem pemerintahan daerah di negara kita dari waktu ke waktu seiring perjalanan bangsa dan negara kita, serta sejarah yang telah kita tempuh mulai dari dulu.
            Seperti yang diungkapkan tadi, periode perkembangan pemerintahan daerah dimulai sejak zaman Hindia-Belanda. Pada masa ini, Indonesia tidaklah dipandang sebagai suatu negara, melainkan hanya sebagai bagian dari kerajaan Hindia-Belanda, setingkat provinsi. Saat itu Indonesia dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang bertanggungjawab kepada kerajaan Belanda. Sistem pemerintahan yang dianut saat itu adalah sistem pemerintahan yang sentralistis. Dilain sisi pembagian wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 bagian yakni Jawa dan Madura serta Daerah Luar Jawa dan Madura. Dalam kurun waktu tahun 1903 sampai tahun 1922, Pemerintah Hindia-Belanda saat itu telah mempersiapkan suatu bentuk pemerintahan mandiri untuk daerah-daerah di Indonesia, baik yang berada di Jawa dan Madura maupun diluar daerah Jawa dan Madura.
Untuk daerah Jawa dan Madura pada tahun 1922 diberlakukan Besturk Hervorningsweet yang meliputi daerah otonom provinsi, daerah otonom regenschaff dan staat gementen (kota praja/Kota mandiri). Sementara untuk daerah luar Jawa dan Madura diberlakukan Groeps Gamenschaffen dan Staat Gementen. Disamping itu masa Hindia-Belanda juga membentuk perwakilan (dewan rakyat) didaerah swapraja (setingkat kabupaten) dan di desa. Kesemuanya dibentuk oleh pemerintahan Hindia-Belanda untuk mempersiapkan daerah-daerah di Indonesia menjadi pemerintahan yang mandiri.
            Akan tetapi kurun waktu 1942 sampai dengan 1945, semua tatanan yang dibentuk oleh pemerintahan Hindia-Belanda seolah tiada berguna dengan masuknya kolonial Jepang ke Indonesia. Meski berlangsung hanya sekitar 3,5 tahun, namun pendudukan Jepang menghadirkan perubahan yang cukup besar dalam perkembangan pemerintahan daerah di negara kita.
            Meski masih meneruskan azas dekonsentrasi yang dipakai pemerintah Belanda, namun pendudukan Jepang melakukan perubahan terhadap beberapa hal, diantaranya nama daerah dan pejabat dalam bahasa Jepang, jabatan-jabatan yang diduduki oleh orang Belanda menjadi diduduki pembesar Jepang hanya sedikit yang berasal dari orang Indonesia, kemudian wilayah provinsi di Jawa dan luar Jawa dihapuskan serta afdeling beserta asisten karasidenan di daerah Jawa dihapuskan.
            Jepang menjalankan pemerintahan dengan kekuatan fasisnya. Segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan dilakukan pendudukan Jepang dengan kekuatan militer sebagai perwujudan sistem komando kemiliteran. Bahkan saat itu politik pendudukan tentara Jepang di Indonesia dibagi menjadi 3 daerah yakni : daerah pulau Jawa, dibawah naungan Angkatan Darat berkedudukan di Jakarta, daerah pulau Sumatra juga dibawah naungan angkata darat, berkedudukan di Bukit Tinggi, serta daerah luar Jawa dan Sumatera, dibawah naungan angkatan laut, yang berkedudukan di Makassar.
            Meski banyak melakuka perubahan ditatanan pemerintahan daerah di Indonesia, menjelang kekalahannya di perang Asia Pasifik, pendudukan Jepang di negara kita kembali menjalankan azas desentralisasi. Azas desentralisasi ini dijalankan dengan melakukan pembentukan dewan di Pulau Jawa (Tyuoo-Sangiin), pembentukan dewan karasidenan (Syuu-Sangikai) dan dewan kota praja (Tokubetsu-Sisangikaai). Akan tetapi fungsi adanya pembentukan para dewan ini tidak memberikan hasil yang anat baik, karena penunjukkan serta pemilihan orang-orang didalamnya dilakukan secara penunjukkan dan pemilihan secara bertingkat.
            Setelah Jepang kalah, perkembangan pemerintahan daerah di negara kita diatur dalam UUD 1945. Inilah titik awal bagi bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka, yang berdaulat untuk menjalankan sistem pemerintahan di negara kita. Seperti yang diutarakan pada bagian diatas, sebelum kekalahannya di Asia, Jepang saat itu telah mulai kembali menjalankan azas desentralisasi di Indonesia dengan membentuk dewan-dewan di tingkat provinsi, karasidenan, dan kotapraja. Bahkan Jepang juga menjanjikan memberikan kemerdekaan pada Indonesia nanti pada tanggal 24 agustus 1945.
            Untuk kepentingan itu maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945. Jepang juga membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 9 Agustus 1945. Namun sebelum tanggal 24 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Disamping itu ditetapkan juga Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan undang-undang tertinggi di Indonesia, serta mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan wakil presiden Indonesia.
            Di sisi lain pada tanggal 22 agustus 1945 dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Pusat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah yang ada di Jakarta. Mengenai sistem pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan UUD 1945 dijalankan melalui azas desentralisasi dan azas dekonsentrasi. Hal ini tertuang dalam pasal 18 UUD 1945. Menurut pasal ini daerah-daerah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi pula dalam bentuk daerah yang lebih kecil (kabupaten/kota).
            Indonesia juga melalui pasal 18 UUD 1945 mengakui daerah-daerah administratif. Dalam daerah administrasi dibentuk badan perwakilan daerah yang bersendi atas dasar permusyawaratan. Keberadaan desa dan setingkat desa yang sesuai dengan susunan asli yang sifatnya istimewa didaerah-daerah juga diakui keberadaannya. Disamping itu juga berdasarkan ketentuan pasal 18 UUD 1945 ini beserta penjelasannya mengkehendaki dilaksanakannya azas desentralisasi, dengan membentuk daerah-daerah otonom serta azas dekonsentrasi melalui pembentukan daerah administrasi.
            Menurut daerah Propinsi, sejak pertama berlakunya UUD 1945, Indonesia dibagi menjadi delapan propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Kedelapan propinsi itu meliputi : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Daerah propinsi ini dibagi dalam karasidenan yang dikepalai seorang residen. Gubernur dan Residen juga dibantu oleh Komite Nasional Daerah sebagai dewan rakyat. Lebih lanjut sesuai UU No 1 Tahun 1945 kedudukan Komite Nasional Daerah bertindak sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini sebagai efek dari dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Pusat.
Untuk memenuhi kebutuhan Pasal 18 UUD 1945 yang memuat mekanisme pemerintahan daerah di Indonesia, maka dikeluarkanlah UU No 22 Tahun 1948 mengenai Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah, yang mulai berlaku tanggal 10 Juli 1948. Namun ada beberapa hal yang kurang dari UU No 22 tahun 1948 ini, bahwa konsiderans UU ini hanya mengatur pemerintahan daerah-daerah otonom tidak beserta dengan pemerintahan daerah administrasi.
            Berdasarkan UU No 22 Tahun 1948 Negara Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan yakni : propinsi yang dikepalai oleh gubernur, kabupaten (kota besar) yang dikepalai oleh bupati serta desa (kota kecil) atau marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Semua daerah ini merupakan daerah otonom. Sedangkan karasidenan meskipun mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat bukan merupakan menjadi daerah otonom.
            Undang-Undang No 22 tahun 1948 menyebutkan juga bahwa susunan pemerintahan daerah terdiri dari Kepala Daerah, Dewan Pemerintah Daerah, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah menjabat sebagai Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah. Adapun yang berhak memiliki kewenangan membuat peraturan daerah dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah dalam hal ini memiliki dua pokok fungsi yaitu pengawas pekerjaan DPRD dan Dewan Pemerintah Harian (kepala daerah bertindak sebagai wakil pemerintah pusat) dan kepala daerah sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah (kepala daerah sebagai organ pemerintah daerah).
            Labih lanjut UU No 22 Tahun 1948 hanya mengatur azas desentralisasi dan tugas pembantuan, tidak ada ketentuan yang mengatur azas dekonsentrasi. Jadi ada dua macam pemerintahan daerah saat itu yakni pemerintahan daerah disandarkan atas hak otonomi serta pemerintahan daerah disandarkan atas tugas pembantuan (medebewind). Letak perbedaannya terdapat dalam proses penyerahan penuh dan penyerahan tidak penuh. Penyerahan penuh diartikan bahwa suatu pekerjaan diserahkan secara penuh kepada pemerintah daerah, dimana daerah diberi kuasa atas azas penyelenggaraan (hak otonomi) sedangkan penyerahan tidak penuh diartikan bahwa penyerahan suatu pekerjaan pada daerah hanya sebatas pada tata cara menjalankan saja, mengenai prinsip-prinsip dan azas-azasnya masih ditentukan oleh pemerintah pusat. Secara keseluruhan pelaksanaan UU No 22 tahun 1948 belumlah maksimal karena situasi dan kondisi Indonesia saat itu masih fokus mempertahankan kemerdekaan dari pendudukan Belanda.
            Pendudukan Belanda saat itu hendak kembali untuk menjajah bangsa Indonesia. Bahkan di beberapa daerah Belanda telah kembali memegang pemerintahan. Akibatnya saat itu negara Indonesia terbagi menjadi dua bagian yakni, Pemerintah Republik Indonesia yang mempertahankan kedaulatan baik dari pihak Belanda maupun dari dunia luar berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 serta pemerintah negara-negara kecil yang didirikan oleh pemerintah Belanda.
            Upaya pendudukan Belanda saat itu akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan yang mengubah pemerintah Republik Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949). Adapun bentukan negara serikat itu meliputi ; Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur (1948) dan Negara Madura (1948). Sementara itu didaerah lain juga telah dilakukan persiapan pembentukan negara-negara pembentuk Negara Republik Indonesia Serikat. Negara-negara ini nantinya akan tergabung dalam Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Pertemuan Untuk Permusyawaratan Federal, yang merupakan aliran federalisme Belanda.
            Secara garis besar kewenangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah pada masa negara Republik Indonesia Serikat dimuat dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dalam konstitusi ini dijelaskan bahwa dalam negara federal mengenai sistem pembagian urusan yang menjadi wewenang negara federal dan urusan yang menjadi wewenang negara bagian pada umumnya menjadi wewenang negara federal. Sedangkan urusan pemerintahan daerah menjadi wewenang dari tiap-tiap negara bagian (sesuai pasal 51 ayat 1 Konstitusi RIS). Selanjutnya negara-negara bagian mengatur mengenai pemerintahan daerahnya dalam suatu Undang-Undang Dasar negara bagian.
            Pengaturan mengenai daerah-daerah swapraja juga menjadi wewenang negara bagian (pasal 64 dan pasal 65 Konstitusi RIS). Terdapat semacam kontrak yang mengatur hubungan negara-negara bagian dengan daerah-daerah swapraja itu, daerah swapraja tidak dapat dihapuskan oleh negara bagian kecuali oleh Undang-Undang Federal yang menyatukan.
            Keberadaan Pasal 18 UUD 1945, UU No 22 tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia saja. Sedangkan negara lain tidak pernah mengeluarkan undang-undang sampai kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali negara Indonesia Timur yang membentuk undang-undang tentang pemerintahan daerahnya sendiri, yakni UU Negara Indonesia Timur No 44 Tahun 1950. Jadi dengan demikian dapat dipastikan susunan pemerintahan daerah suatu negara bagian akan berbeda dengan negara bagian lainnya.
            Meskipun kewenangan untuk mengatur pemerintahan daerah diberikan kepada negara bagian, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Serikat No 21 Tahun 1950, Lembaran Negara No 95 tahun 1950 yang membagi wilayah negara Indonesia menjadi sepuluh daerah propinsi yang bersifat administratif yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Hal itu dimaksudkan sebagai langkah pertama menuju pembentukan daerah-daerah otonom. Hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi RIS yang sebelumnya menyatakan bahwa kewenangan pengaturan pemerintah daerah adalah milik negara bagian.
            Negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama. Sebab banyak ditentang lewat pergerakan-pergerakan perjuangan di berbagai daerah yang menginginkan kembali ke bentuk negara yang unitaris. Pada 19 Mei 1950 Negara Republik Indonesia Serikat hanya terdiri dari 3 negara bagian yakni : Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Sedangkan negara-negara bagian sebelumnya telah berubah menjadi satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri-sendiri. Daerah-daerah ini akhirnya menggabungkan diri dengan Negara Republik Indonesia yang disebut kemudian dengan Daerah Pulihan. Di daerah ini diberlakukan kembali UU No 22 Tahun 1948 berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU No 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah Pulihan, yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Maret 1950. Kemudian dikeluarkan juga Undang-Undang No 8 Tahun 1950 yang diundangkan di Yogyakarta yang mengatur penghapusan peraturan dan undang-undang di daerah-daerah bagian dan daerah-daerah bukan bagian kecuali tidak bertentangan dengan Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Republik Indonesia.
            Setelah penggabungan menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan oleh Pemerintah Republik Indonesia Yogyakarta berdasarkan UU No 22 Tahun 1948 dibentuk propinsi-propinsi otonom yang meliputi: Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Timur. Pada masa ini juga dibentuk daerah otonom Kota Jakarta Raya. Secara keseluruhan terdapat delapan daerah otonom yang telah dibentuk pada masa Negara Republik Indonesia Serikat.
            Keberadaan Negara Republik Indonesia Serikat akhirnya digantikan oleh Negara Kesatuan melalui Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Secara garis besar pemerintahan daerah dijalankan melalui Undang-Undang Sementara 1950, dimana dimuat bahwa pembagian daerah di Indonesia didasarkan atas Daerah besar dan daerah kecil. Kepada daerah diberikan otonomi  untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Sedangkan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Keberadaan daerah swapraja juga masih diakui, akan tetapi dapat saja dihapuskan atau diperkecil apabila Undang-Undang mengkehendaki. Urusan daerah swapraja menjadi urusan pemerintah pusat. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 digunakan sebagai pedoman sampai sebelum terbitnya UU No 1 Tahun 1957. Undang-Undang No 1 Tahun 1957 ini lahir sebagai perwujudan pasal 133 UUD Sementara 1950, yang mengatur pembentukan peraturan dan undang-undang yang akan menggantikan UUD Sementara Pasal 1950 sebagai pedoman pengaturan pemerintah daerah di Indonesia.
            UU No 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 17 Januari 1957. UU ini telah berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini mengatur terlaksananya azas desentralisasi dan azas tugas pembantuan sesuai maksud pasal 131 UUD Sementara 1950. Azas dekonsentrasi tidak ada diatur demikian juga tidak ada pemerintahan pamong praja yang diatur dalam UU ini.
            UU No 1957 mengatur pemberian otonomi riil dan seluas-luasnya kepada daerah. Daerah otonom disebut ‘Daerah Swatantra”. Pemerintahnya disebut “Pemerintah Daerah Swatantra”. Sedangkan Daerah Istimewa disebut dengan “Daerah Swapraja”., sedangkan daerah kota yang mengatur rumah tangganya sendiri disebut Kotapraja.
            Pembagian wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun tingkatan daerah meliputi : Daerah Tingkat ke I, termasuk Kotaparaja Jakarta Raya, Daerah Tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat ke III. Begitu juga dengan daerah Swaparaja dibagi atas daerah tingkat ke I, daerah tingkat ke II, dan daerah tingkat ke III, tingkatan yang sama juga berlaku untuk daerah Swatantra (tapi hanya sampai daerah swatantra tingkat ke II).
            Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut UU No 1 Tahun 1957 terdiri dari Dewan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disamping tentunya Kepala Daerah sebagai Kepala Pemerintahan. Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar perwakilan berimbang. Namun ketua dan wakil ketua DPRD tidak boleh menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah. Sedangkan Kepala Daerah merupakan ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah merupakan alat perlengkapan daerah yang bertugas dan berkewajiban mengurus semua urusan rumah tangganya sendiri dan dapat pula diserahi tugas untuk membantu menjalankan peraturan-peraturan oleh instansi-instansi yang lebih tinggi.
            DPRD merupakan lembaga yang berwenang di bidang legislatif yang berfungsi membuat Peraturan Daerah. Sedangkan Dewan Pemerintah Daerah merupakan badan yang bersifat kolegial dengan Kepala Daerah. Dewan Pemerintah Daerah menjalankan keputusan-keputusan DPRD, dan Dewan Pemerintah Daerah juga dapat diserahi tugas untuk menetapkan penyelenggaraan dari peraturan daerah. Kepala Daerah dipilih langsung oleh masyarakat dan cara pengangkatan serta pemberhentiannya diatur lewat undang-undang.
            Sedangkan untuk Daerah Istimewa, Kepala Daerah diangkat dari calon yang diajukan DPRD. Kepala Daerah biasanya diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, yang tentunya memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat-istiadat dalam daerah itu.
            Satu hal yang perlu disimak dalam pelaksanaan UU No 1 Tahun 1957 adalah UU ini tidak mengatur secara jelas mengenai daerah yang bersifat administratif (pemerintahan umum). Demikian juga halnya saat berlaku UU No 22 Tahun 1948 tidak begitu jelas diatur kedudukan mengenai pemerintahan di daerah administratif. Padahal UU No 1 Tahun 1957 menganut pelaksanaan azas otonomi riil yang seluas-luasnya, sehingga untuk melaksanakan berbagai mekanisme pemerintahan umum di daerah-daerah khususnya di daerah Swatantra maka dikeluarkan UU No 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Pemerintahan Umum yang mengatur penyerahan semua tugas pemerintah pusat dalam bidang pemerintah umum yang ada di daerah untuk dijadikan urusan rumah tangganya sendiri yang meliputi bidang pemerintahan umum, pembantuan pegawai dan penyerahan keuangan kepada pemerintah daerah.
Oleh karena UU inilah yang membuat daerah administratif saat itu dihapuskan karena tidak ada kewenangannya diatur, sedangkan para pegawainya yang dulunya bekerja di daerah administrasi diperbantukan ke daerah swatantra (daerah otonom). Beberapa hal yang tidak menjadi kewenangan pemerintah daerah saat itu adalah tugas kewajiban, kekuasaan dan kewenangan mengurus ketertiban dan keamanan umum, koordinasi jawatan-jawatan pemerintah pusat didaerah, serta pengawasan jalannya pemerintah daerah. Kesemuanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Setelah melewati beberapa periode akhirnya perkembangan pemerintahan daerah selanjutnya memasuki kembali masa diberlakukannya UUD 1945 untuk kali kedua. Pada masa ini telah banyak hal yang disempurnakan untuk kemajuan pemerintahan daerah di Indonesia. Masa ini diawali dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang menandai kembalinya negara Indonesia ke konstitusi UUD 1945. Adapun Undang-Undang yang paling mengena yang mengatur mekanisme pemerintahan daerah di negara kita saat itu adalah ditetapkannya Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Melalui Undang-Undang ini diatur mengenai azas-azas di pemerintahan daerah baik itu azas desentralisasi, azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. UU No 5 Tahun 1974 ini juga menggantikan UU No 18 Tahun 1965 yang sebelumnya dibuat untuk mengatur pemerintahan daerah di Indonesia.
UU No 5 Tahun 1974 mengenal dua macam pemerintahan yakni pemerintahan daerah yang bersifat otonom serta pemerintahan daerah yang bersifat administratif. Pemerintahan daerah otonom lahir sebagai konsekuensi dijalankannya azas desentralisasi yaitu azas penyerahan urusan pemerintah pusat atau daerah otonom tingkat atasnya kepada daerah otonom. Daerah otonom yang dimaksud disini adalah daerah tingkat II (Kabupaten/Kota). Sedangkan daerah otonom tingkat atasnya adalah daerah tingkat I (propinsi). Perangkat daerah di pemerintahan daerah tingkat II diisi oleh kepala daerah (Bupati/Walikota) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya pemilihan telah dipertimbangkan oleh pimpinan DPRD/pimpinan fraksi dengan Gubernur. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah tingkat I (gubernur), dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Propinsi dan dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi dengan menteri dalam negeri.
Dalam UU No 5 tahun 1974 juga dikenal adanya wakil kepala daerah baik tingkat I maupun tingkat II. Wakil kepala daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari pegawai negeri yang memenuhi persyaratan sedangkan untuk wakil kepala daerah tingkat II diangkat oleh menteri dalam negeri atas nama Presiden dari pegawai negeri yang memenuhi persyaratan. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi wakil kepala daerah juga sama dengan syarat-syarat menjadi kepala daerah.
Secara garis besar susunan perangkat pemerintah kepala daerah berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 dipetakan atas, Gubernur sebagai kepala daerah tingkat I (propinsi), Bupati sebagai kepala daerah tingkat II (Kabupaten), Walikotamadya untuk daerah kota madya yang notabenenya setingkat daerah tingkat II, walikota untuk daerah kota administratif juga setingkat daerah tingkat II, serta camat untuk kepala daerah kecamatan.
Disamping adanya kepala daerah, perangkat lain pemerintah daerah diisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD berada ditingkat I dan di tingkat II. DPRD bertugas dibidang legislatif, sedangkan kepala daerah memiliki kewenangan eksekutif. Adapun tugas pokok DPRD antara lain : memberikan persetujuan kepada kepala daerah dalam hal membuat peraturan daerah untuk kepentingan daerah, bersama-sama dengan kepala daerah menyusun APBD, mengawasi jalannya pemerintahan daerah.
UU No 5 Tahun 1974 selain mengenal daerah otonom seperti yang disebutkan tadi juga mengenal daerah yang bersifat administratif. Daerah administratif lahir sebagai konsekuensi diterapkannya azas dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Wilayah daerah administratif adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah. Wilayah daerah administratif antara lain wilayah propinsi yang dibagi menjadi kabupaten dan kota serta wilayah kabupaten dan kota yang dibagi-bagi lagi menjadi wilayah kecamatan. Dan apabila perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam wilayah kabupaten bisa juga dibentuk Kota Administratif.,
Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa UU No 5 Tahun 1974 ini sudah mengatur secara lengkap tentang sistem pemerintahan daerah di negara kita. Mulai dari masalah wilayah, azas yang dianut, mengenai perangkat daerah, hak dan tanggung jawab dari masing-masing perangkat daerah serta mengenai penyerahan tugas pemerintahan umum pemerintah pusat ke daerah otonom maupun daerah administratif.
Pada perkembangan selanjutnya perjalanan bangsa Indonesia tidak hanya membuat undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah saja, akan tetapi seiring dengan perkembangan maka pada tahun 1979 juga dikeluarkan UU No 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok pemerintahan desa yang juga menambah khasanah peraturan perundangan tentang pemerintahan daerah.
Meski demikian UU No 5 Tahun 1974 tidaklah digunakan sampai sekarang. Setiap langkah perjalanan bangsa selalu membawa kedinamisan untuk penyempurnaan sistem pemerintahan daerah kita. Pada masa tahun 1999, UU No 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU itu sendiri diterbitkan seiring euphoria reformasi yang bergejolak di negara kita saat itu. Kemudian sampai sekarang UU No 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 adalah UU yang kita pakai dalam mengatur mekanisme pemerintahan daerah di negara kita.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Kemudian lahirlah UU N0. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 23/202014). UU No. 23 Tahun 2014 mengalami 2 kali revisi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PERPPU 2/2014), (xiv) UU No. 9 / 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 9/2015).
Di dalam UU 23/2014, pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dicantumkan dalam sejumlah pasal, yakni Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 5, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65 , Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93,. Pasal 230, Pasal 236, Pasal 242, Pasal 253, Pasal 344, Pasal 386, Pasal 387, Pasal 391.
Patut dicatat bahwa PERPPU 2/2014 mengubah dua Pasal yaitu Pasal 101 ayat (1) huruf d dihapus, Pasal 154 ayat (1) huruf d dihapus dan UU No. 9 / 2015 mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 63, Pasal 65 ayat 1 huruf f dihapus, Pasal 66 ayat 3 dihapus, Pasal 88 diubah, Pasal 101 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, Pasal 154 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. PERPU 2/2014 terkait dihapusnya kewenangan DPRD Dengan demikian, sejauh terkait kewenangan DPRD dalam memilih Gubernur atau kepala Daerah dihapus, dan terkait  UU 9/2015 membahas tentang wakil kepala daerah. Artinya selain persoalan yang dibahas dalam PERPPU 2/2014 dan UU No. 9 / 2015 terkait Pemerintahan Daerah diatur dalam UU 23/2014.
UU 23 tahun 2014, menerapakan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan,  keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.  Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan penting terhadap fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.
Titik fokus perubahan penting itu terletak pada perubahan fungsi legislasi menjadi fungsi pembentukan perda. Pada tataran praktik perubahan itu mungkin tidak penting dan tidak berimplikasi apa-apa karena sebelum diubah menjadi fungsi pembentukan perda pun memang fungsi DPRD adalah membentuk perda bersama dengan kepala daerah. (http://www.gresnews.com/berita/opini/90191-tinjauan-fungsi-dprd-paska-uu-pemda-2014/0/).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memasukan unsur partisipasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Bab XIV dan pada pasal 354 ayat 1 sampai dengan ayat 7. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 354 ayat 1 disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah "Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat. Dalam upaya mendorongpartisipasi masyarakat untuk ikut aktif dalam proses pembangunan dalam suatu daerah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 354 ayat 2 huruf a, b, c, dan d mengharuskan pemerintah daerah untuk ;
a.       Menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat;
b.       mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melalui dukungan pengembangan kapasitas masyarakat;
c.       mengembangkan pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara efektif; dan/atau
d.       kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah .Di sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya.
Dari periodisasi yang telah kita tempuh mulai dari zaman Hindia-Belanda, Jepang hingga berlakunya UU No 23 Tahun 2014 diatas dapat kita lihat bahwa perkembangan pemerintahan daerah kita selalu mengalami perubahan-perubahan untuk penyempurnaan sistem pemerintahan daerah di negara kita. Dan dari setiap periode yang telah ditempuh oleh negara kita maka kita akan mendapatkan perbandingan pemerintahan daerah di negara kita dari waktu ke waktu.



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More