FIKSI VS FIKTIF
------------------------Kemarin, Rocky Gerung benar-benar menunjukkan kapasitas dirinya sebagai seorang profesor. Ia berani membongkar definisi sebuah kata yang selama ini disalahpahami masyarakat, termasuk aku.
"Saya perlu memahamkan terlebih dahulu apa itu Fiksi, karena akhir-akhir ini kita disibukkan oleh pidato Prabowo tentang Indonesia di tahun 2030," Prof. Rocky mengawali paparannya, "Bahkan banyak yang mengolok-olok, 'ah, itu data dari buku fiksi kok dipercaya.'"
Peserta di ruang ILC diam, mendengarkan.
"Padahal yang mengolok-olok inilah yang dungu. Mereka gak bisa bedakan antara FIKSI dengan FIKTIF. Fiksi adalah sesuatu yang bisa meledakkan daya imajinasi otak terhadap masa depan. Sedangkan fiktif artinya kebohongan. Sekarang saya mau tanya, kitab suci itu fiksi apa bukan?"
Ruangan terdiam.
Prof. Rocky tersenyum, "Siapa berani jawab?"
Masih hening.
"Kitab suci itu fiksi," tutur guru besar UI tersebut.
Wuih, berani benar ini orang, pikirku. Betul saja setelah itu banyak yang interupsi. Salah satunya dari Akbar Faisal.
"Sebentar, Pak Rocky. Saya berusaha memahami kata-kata Anda, tapi kali ini saya sebagai orang Islam tak bisa terima bahwa kitab suci saya, Al-Qur'an, dianggap sebagai fiksi. Padahal saya merasakan sendiri kalau Al-Qur'an itu fakta. Terjadi pada kehidupan saya. Statemen Anda bisa bermasalah."
Entahlah, melihat wajah yang memprotes membuatku bertanya, Bukannya orang ini yang dulu membela Ahok saat terjadi penistaan Al-Maidah 51? Sekarang dia merasa terluka Al-Qur'an dianggap fiksi.
"Makanya dengarkan dulu penjelasan saya," jawab Rocky Gerung. "Orang seperti Anda, sering salah kaprah. Menyandingkan kata FIKSI dengan kata FAKTA. Padahal sebenarnya FIKSI itu sandingannya dengan REALITA. Sesuatu dalam karya fiksi yang belum menjadi realita saat ini, bukan berarti itu bohong. Bisa jadi akan benar-benar terjadi di masa depan. Sedangkan kata FAKTA itu lawannya FIKTIF. Ketika saya bilang pemerintah tidak impor beras, itu FIKTIF, karena FAKTA-nya impor."
Nampak beberapa peserta di studio menganggukkan kepala.
"Seperti yang saya ungkap tadi, fiksi adalah narasi yang bersifat imajiner, mengarah ke masa depan, hingga para pembaca bisa berimajinasi tentang hal tersebut. Contoh dalam kitab suci mengatakan tentang keindahan surga, yang diperuntukkan untuk orang yang suka beramal baik. Kita belum merasakannya, tapi kita bisa membayangkan seperti apa keindahan di surga. Hingga orang-orang berlomba berbuat baik. Itu fiksi. Saya berani berkata kitab suci itu fiksi atas dasar definisi tersebut. Barulah kalau saya bilang bahwa kitab suci itu FIKTIF, saya bisa dipenjara. Karena dengan kata lain saya bilang kitab suci itu bohong."
Aku langsung membuka Google, menulis kata di kolom pencarian "Fiksi adalah". Klik. Lalu muncullah tulisan ini:
'Fiksi adalah sebuah Prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan MENGANDUNG KEBENARAN yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.'
Wah, keren banget ini profesor. Darinya aku tahu, ternyata istilah FIKSI itu berbeda dengan FIKTIF. Fiksi ternyata cara penggambaran cerita di masa depan atau masa lalu dengan dramatisasi hingga manusia bisa membayangkan seperti apa kejadian sebenarnya.
Allah pun menggunakan cara fiksi ketika menggambarkan kiamat di dalam Al-Quran. Misal ketika Allah menggambarkan bagaimana kelak saat terjadi kiamat kubro. Bahwa bumi akan digulung, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung akan berterbangan seperti bulu-bulu diterjang angin. Bahkan, nanti seorang ibu akan berlari meninggalkan anak kandung yang sedang menyusu padanya.
Dan dengan pendekatan ini, kita akhirnya bisa membayangkan bagaimana ngerinya situasi saat kiamat tiba.
Sebagai orang beragama, kita wajib meyakini hal ini akan benar-benar terjadi pada suatu hari nanti.
Berbeda dengan istilah fiktif. Sebab fiktif adalah berita bohong.
Alhamdulillah, dapat ilmu baru. Gak sia-sia kemarin menunggu Profesor satu ini ngomong, meski harus menahan kantuk sampai jam 12 malam, sebab ia baru diberi kesempatan bicara di akhir acara.
Terimakasih, Prof.
---------
Surabaya, 11 April 2018
Fitrah Ilhami
0 komentar:
Posting Komentar