Selasa, 25 September 2018

BAHASA PERJUANGAN TIDAK MENGENAL MEMELAS, YA... KAMI INGINKAN SYARIAT ISLAM !

BAHASA PERJUANGAN TIDAK MENGENAL MEMELAS, YA... KAMI INGINKAN SYARIAT ISLAM !


Oleh: Nasrudin Joha


_Tuan, _
Kami ingin mengunggah bahasa santun, bahasa bijak dengan ungkapan kiasan, dimana setiap penggalan kata, dapat mengantarkan tuan kepada maksud kalimat.

Kami ini, pewaris perjuangan Natsir. Kami ini, generasi HAMKA yang kaya akan sastra, ungkapan kata mampu kami abstraksi untuk mengunggah makna dan substansi.

Tapi tuan, ini soal standar. Ini soal maqom. Kami menghadapi generasi perusak bangsa, yang tak paham akan sastra, tak sanggup menangkap pesan dari untaian kata, tdk bisa menangkap etika dan tata krama. Politik menjadi begitu picik, rendah, dengan mengunggah syahwat kekuasaan sebagai Tujuan utama.

Ruang diskusi dikebiri, kritik dan masukan dianggap ancaman. Setiap kami, mengunggah kalimat panjang tentang visi besar untuk membangun bangsa ini, kami dituding satu kata yang sederhana tetapi menyakitkan : MAKAR.

Karena itu tuan,
Kami terpaksa menggunakan bahasa telanjang, ungkapan vulgar, bahkan kami mengunggah agitasi perubahan dengan bahasa-bahasa jalang. Bahasa jalanan, yang terbiasa dengan debu dan deru-deru bising kendaraan.

Bukan kami tak bisa beretika, tetapi yang kami hadapi bukanlah tuan yang menjunjung tinggi moral dan etika. Bukan tuan, yang memiliki visi dan karakter negarawan. Yang kami hadapi, politisi-politisi busuk dan para begundal partisan.

Mereka tidak mengenal sastra, tidak juga etika. Mereka terbiasa dengan syair selangkangan, menyebut bahasa tubuh dengan ungkapan nista dan durjana.

Karena itu, biarkan kami mengunggah syair-syair berdarah, mengoyak dan menguliti kulit-kulit kepalsuan, menggorok keangkuhan yang terbalut bias kesahajaan. Tuan, bukan tuan yang kami maksud, bukan.

Yang kami maksud adalah mereka yang berlindung dibalik jargon aku Pancasila, NKRI harga mati, berlindung pada kesepakatan pendiri bangsa. Tuan, kalau mau jujur negeri ini dibangun diatas pilar-pilar pengkhianatan.

Kakek buyut kami, mengerahkan segenap daya dan upaya, sehingga menghasilkan ijtihad piagam Jakarta. Lantas, kenapa piagam itu sirna ? Siapa yang mengkhianati pendiri bangsa ? Lantas, kenapa kami dihalangi untuk melanjutkan apa yang telah dirintis kakek buyut kami ?

Ah tuan, kami telah terbiasa dengan caci, kami sudah berdamai dengan makian. Kesulitan dan kesempitan  hidup, tidak menjadi penghalang perjuangan. Karena kami yakin, Tuhan kami dan Tuhan tuan, Allah SWT akan selalu hadir memberikan pertolongan.

Tuan, sadarlah. Kami hanya ingin taat, kami menyerah dengan pikiran kami, kami ingin kembali pada hukum Rabb semesta alam. Kami rindu syariat Islam.

Tuan, tegas kami katakan : KAMI INGIN SYARIAT ISLAM MENGATUR NEGERI INI. [].
_________
ZAMAN KETIKA PKI MASIH BERKUASA
Oleh: HAMKA

Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan.  Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar.  Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957.  Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.

Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia.  Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).

Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang.  “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden.  Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.

Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.

Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :

1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.

Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).

Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.

Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.

Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.

Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.

Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :

“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.

Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang  mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka.  Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.

Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.

Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.

Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.

Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.

Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More