PENINGKATAN PERAN TNI-AD DALAM OPERASI PERBANTUAN KEPADA POLRI DAN PEMERINTAHAN DAERAH.
PENINGKATAN
PERAN TNI-AD DALAM
OPERASI PERBANTUAN KEPADA POLRI DAN PEMERINTAHAN DAERAH.
Amandemen UUD 1945,
Ketetapan-Ketetapan MPR RI dan perundangan-undangan yang mengatur pemisahan,
peran, fungsi TNI dan Polri telah secara tegas mengatur, namun terdapat
kegiatan-kegiatan dibidang pertahanan dan keamanan berdasarkan perkembangan
situasi, ada keterkaitan yang mengharuskan TNI dan Polri saling bekerjasama dan
atau bantu-membantu.
Penjabaran pengaturan tentang
kerjasama dan perbantuan TNI kepada Polri dalam tugas keamanan sebagaimana yang
diamanatkan Tap. MPR RI No. VI/MPR/2000 dan No. VII/MPR/2000 “belum ada”, namun
perkembangan riil situasi yang ada di masyarakat, dirasakan bahwa tuntutan
bantuan TNI kepada Polri perlu segera di ambil langkah-langkah pemecahannya.
Dengan menyikapi beberapa
peristiwa/konflik yang terjadi dibeberapa daerah sebagai gangguan keamanan yang
perlu ditanggulangi dengan melaksanakan kegiatan dan Operasi Kepolisian
terpusat maupun kewilayahan, permasalahan yang harus dipecahkan adalah
“Bagaimana upaya Perbantuan TNI kepada Polri dalam pelaksanaan kegiatan dan
Operasi Kepolisian terpusat maupun operasi kewilayahan” ?.
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas maka kita mencoba membahasnya melalui metoda pendekatan deskriptif analisis dan studi kepustakaan yang didapat, sebagai alat untuk menjelaskan dan membendah permasalahan agar ditemukan sebuah konsepsi yang baik tentang upaya Perbantuan TNI kepada Polri dalam pelaksanaan kegiatan dan Operasi Kepolisian terpusat maupun operasi kewilayahan.
Segala bentuk pengerahan kekuatan TNI,
termasuk untuk tujuan perbantuan kepada Polri, harus diputuskan melalui
pemerintah pusat, dalam hal ini presiden,
dengan pertimbangan DPR dan, bila sudah terbentuk (sesuai mandat UU No. 3 tahun
2002) Dewan Keamanan Nasional.
TNI dan Polri merupakan dua aktor
keamanan yang tidak bisa diletakkan di bawah satu institusi. Keduanya memiliki
karakter peranan berbeda dan dengan demikian membutuhkan prosedur dan kode etik
yang berbeda pula. Meskipun pemisahan institusional dan fungsional sudah
dilakukan, tetapi koordinasi TNI dan Polri masih tetap diperlukan, yaitu pada
keadaan ketidakamanan dalam negeri yang tidak mungkin dihadapi sendiri oleh
Polisi.
Terdapat
setidaknya empat masalah yang dapat membutuhkan bantuan penanganan TNI, yaitu
kegiatan kemanusiaan, kegiatan sosial kemasyarakatan, penyelenggaraan fungsi
keamanan dan ketertiban umum, pemeliharaan perdamaian dunia. Penyelenggaraan
fungsi keamanan dan ketertiban umum yang dimaksud tentu yang melibatkan
kekuatan senjata terdiri dari aksi terorisme, pemberontakan untuk memisahkan
diri (insurgency), dan tindakan subversi.
Sudahkah
pemaduan TNI dan Polri diatur oleh perundangan sektor keamanan Indonesia? UU
No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara telah menyebutkan operasi militer
selain perang sebagai salah satu fungsi TNI (Pasal 10 ayat 3), tetapi tidak
merinci apa saja yang termasuk pada fugnsi ini, meskipun menyerahkan wewenang
koordinasi fungsi ini kepada instansi yang membutuhkan bantuan TNI (Pasal 19).
UU TNI dan UU
Polri menimbulkan tumpang tindih fungsi keamanan dalam negeri bagi kedua aktor
keamanan. Pasal 41 UU Polri mengatur bahwa Polri dapat meminta bantuan TNI, dan
hal ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah tentang bantua TNI
kepada Polri. Sementara itu pasal 7 (10) UU TNI menyebutkan bahwa TNI membantu
Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam
undang-undang. Tidak hanya menimbulkan kerancuan dalam hal apa yang harus
dirancang, PP atau UU, tetapi badan apa yang mengatur mobilisasi (dan
demobilisasi) TNI untuk membantu Polri serta posisi kedua aktor (siapa yang
harus memegang kendali operasi) ketika diturunkan bersamaan sama sekali belum
jelas. Potensi besar akan timbulnya perseteruan kedua aktor ketika diturunkan
bersama sebenarnya berada pada kedua poin yang belum diatur ini.
Pemaduan
fungsional TNI dan Polri juga terjadi pada UU No.23 tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya. Meskipun banyak suara masyarakat sipil telah mendesak revisi terhadap
UU tersebut, terutama dengan alasan karakter UU yang represif, belum ada
pengganti terhadap UU ini. UU Penanggulangan Keadaan Bahaya sebenarnya
dimaksudkan untuk mengganti tetapi upaya yang dilaksanakan pada masa
kepemimpinan Habibie ini dicurigai masih bersifat represif, khusususnya
terhadap mahasiswa, dan ada pula keberatan terhadap beberapa pasal. Maka UU
Keadaan Bahaya yang sudah dirubah dengan UU No. 52 PRP/1960 ini pun masih
digunakan dalam menetapkan koordinasi antar aktor keamanan dalam kondisi-kondisi
khusus, baik tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang.
Darurat militer di Aceh tahun 2003 lalu misalnya, ditetapkan dengan Keppres No.
28 Tahun 2003 Tentang Keadaan Darurat Militer Aceh, yang diturunkan dari UU
Keadaan Bahaya.
Segala bentuk
pengerahan kekuatan TNI, termasuk untuk tujuan perbantuan kepada Polri, harus
diputuskan melalui pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, dengan
pertimbangan DPR dan, bila sudah terbentuk (sesuai mandat UU No. 3 tahun 2002)
Dewan Keamanan Nasional. Presiden dan DPR membawahi menteri pertahanan (untuk
bidang pertahanan) dan berbagai menteri di bidang keamanan. Menhan selanjutnya
berfungsi menyusun kebijakan strategis di bidang pertahanan, yang mencakup
operasi militer dan operasi militer selain perang. Sementara Kapolri, bersama
lembaga-lembaga pemolisian lain, merupakan pelaksana kebijakan strategi
keamanan negara yang disusun menteri-menteri terkait. Fungsi-fungsi yang
dijalankan dalam kebijakan strategis keamanan negara adalah peringatan dini,
perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan, dan penegakan hukum. Tugas
perbantuan TNI kepada Polri pada prinsipnya menjembatani kedua fungsi
pertahanan dan keamanan ini.
Perbantuan TNI
dalam fungsi kepolisian harus didasarkan pada keputusan pemerintah pusat,
melalui Keputusan Presiden. Hal ini didasarkan pada dua alasan, pertama TNI
bersifat nasional (tidak bisa didesentralisasi), kedua kewenangan daerah untuk
mengerahkan TNI dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan TNI dalam konflik
lokal. Keputusan Pemerintah pusat ini, bagaimanapun, harus didasarkan pada
penilaian, baik pemerintah pusat sendiri, pemerintah daerah maupun kepolisian,
bahwa telah terjadi suatu keadaan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban
yang tidak dapat ditangani oleh kepolisian. Permintaan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat untuk meminta perbantuan TNI harus dilakukan secara tertulis,
melalui mengutarakan alasan perbantuan, wilayah perbantuan, sumber dan besaran
anggaran yang diperlukan, struktur komando pengendalian, lama waktu perbantuan,
dan waktu pelaksanaan.
Sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang diimplementasikan melalui
perlawanan semesta memungkinkan negara dalam situasi yang ditetapkan oleh
undang-undang, melakukan mobilisasi dan demobilisasi dalam memanfaatkan semua
sumber daya pertahanan nasional yang meliputi seluruh warga negara, sumber daya
alam, sumber daya buatan serta sarana dan prasarana yang ada di wilayah
nasional. Dengan demikian perwujudan Sishankamrata adalah konsep pendayagunaan
kemanunggalan TNI, POLRI dengan seluruh rakyat dalam pelaksanaan fungsi Hankam
melalui konsep mobilisasi dan demobilisasi yang diatur dengan Undang Undang.
Ruang lingkup Hankam meliputi
keselamatan negara dan keselamatan masyarakat. Keselamatan negara pada dasarnya
berkaitan dengan kedaulatan negara yang mengharuskan negara untuk mengatasi
kompleksitas jenis dan sumber ancaman yang meliputi ancaman militer, baik yang
bersifat tradisional maupun non tradisional, dan ancaman yang bersifat
non-militer.
Ancaman terhadap Keamanan Nasional meliputi ancaman militer dan non-militer,
berasal dari luar maupun dari dalam wilayah negara, menyebar secara langsung
dan tidak langsung. Ancaman-ancaman itu dapat tertuju terutama terhadap
keutuhan wilayah, berlangsungnya fungsi-fungsi pemerintahan negara, ketertiban
sosial dan keselamatan masyarakat baik sebagai kelompok maupun perorangan.
Dilihat dari jenisnya, terdiri dari ancaman yang berasal dari luar negeri ,
ancaman di dalam negeri maupun ancaman trans-nasional. Sedangkan dilihat dari
pelakunya dapat dibedakan menjadi aktor negara dan non negara. Upaya untuk
mengatasi berbagai ancaman tersebut di atas tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip masyarakat madani.
Penyelenggaraan Manajemen Hankam
terdiri dari fungsi perumusan kebijakan dan keputusan politik, fungsi
implementasi dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi tersebut dioperasionalkan
berdasarkan prinsip supremasi sipil yang meletakkan pemerintah sebagai pemegang
otoritas politik di bidang Hankam. Peran TNI bertugas untuk menghadapi ancaman
militer baik eksternal maupun internal terhadap keselamatan negara dengan
melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang
(OMSP).
Sebagai bagian dari masyarakat dunia
dan sebagai perwujudan dari komitmen bangsa sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945, Indonesia perlu memainkan peran aktif dalam usaha-usaha
perdamaian dunia yang abadi. Salah satu langkah yang dimungkinkan adalah
melibatkan TNI melaksanakan OMSP dalam Operasi Perdamaian Dunia . Pelibatan
Tentara Nasional Indonesia dalam Operasi Perdamaian Dunia tersebut diputuskan
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yang mempertimbangkan
kebijakan politik luar negeri serta ketentuan hukum dan kebiasaan internasional.
Keputusan Presiden dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyebut jangka
waktu, besaran pasukan, dan tugas operasi perdamaian yang akan dilakukan dengan
mempertimbangkan jenis operasi perdamaian yang diminta.
Sebagai pemegang otoritas politik di
bidang pertahanan, Presiden menyatakan perang dengan negara lain. Pernyataan
perang harus disampaikan Presiden di hadapan sidang paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat. Pernyataan perang harus mendapatkan persetujuan tertulis Dewan
Perwakitan Rakyat. Perang dengan negara lain diakhiri oleh Presiden dengan
membuat perjanjian damai. Perjanjian damai harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Presiden memegang kekuasaaan tertinggi
atas Angkatan Bersenjata yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan Panglima TNI. Proses pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI
harus
1.
menghindari politisasi jabatan Panglima TNI.
2.
mempertegas posisi Panglima TNI sebagai pelaksana kebijakan pertahanan negara.
Kebijakan Hankam terdiri dari tiga kelompok, yaitu
1.
Kebijakan Pembangunan dan Pembinaan kekuatan Hankam
2.
kebijakan Penggunaan Kekuatan Hankam.
3.
Kebijakan Kerjasama Internasional di bidang Hankam. Pengaturan tentang
pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI diperlukan untuk memberikan kepastian
otorisasi pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Kepastian itu dibutuhkan
untuk menjamin bahwa pengerahan kekuatan TNl dilakukan dalam kerangka sistem
politik demokratis. Kepastian itu juga dibutuhkan untuk lebih menjamin bahwa
setiap penggunaan kekuatan TNI mendapat dukungan politik yang kuat dari
lembaga-lembaga negara, demi keberhasilan operasional. Oleh karena itu
keputusan politik tentang pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI oleh Presiden
harus mendapat persetujuan DPR.
Pengerahan
kekuatan TNI untuk melaksanakan beragam operasi militer didasarkan kepada
kompetensi teknis TNI sebagai kekuatan bersenjata, serta skala dan eskalasi
ancaman. Penggunaan kekuatan TNI dilakukan berdasarkan perintah pengerahan dan
merupakan pelaksanaan operasi militer yang dipimpin panglima untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan oleh pemerintah dengan menggunakan kekuatan yang
tersedia.
Melalui suatu keputusan politik
pemerintah, kekuatan TNI dapat dikerahkan dan digunakan untuk mengatasi keadaan
bahaya. Dalam melaksanakan operasi militer, tanggung jawab untuk menentukan
strategi dan taktik operasi militer sepenuhnya di tangan TNI. Dalam mengemban
tanggung jawabnya tersebut Panglima TNI menerbitkan Aturan Pelibatan / Rule of
Engagement (RoE) bagi para prajurit di lapangan. Panglima TNI harus tetap
melaporkan pelaksanaan operasi militer kepada Presiden secara periodik, baik
sebelum, pada saat, maupun setelah operasi militer dilaksanakan.
Prinsip supremasi sipil mengharuskan
dikembangkannya struktur organisasi pertahanan yang mengharuskan penempatan TNI
di dalam Departemen Pertahanan. Penempatan TNI di dalam Departemen Pertahanan
ditujukan untuk:
1.
Mengukuhkan fungsi Menteri Pertahanan sebagai pembantu Presiden yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab penuh atas kebijakan pertahanan.
2. Menghilangkan
dualisme kelembagaan di antara lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi
pemerintahan di bidang Hankam.
3. Meningkatkan
efektivitas kerja dengan menempatkan institusi pelaksana kebijakan (TNI) dalam
satu wadah yang sama dengan pembuat kebijakan (DEPHAN)
4. Mempertegas
garis akuntabilitas dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan bidang Hankam
secara politik, operasional dan finansial. Struktur organisasi Hankam juga
harus dikembangkan untuk menjamin agar TNI dapat berkonsentrasi menjalankan
fungsi Hankam dan tidak melakukan fungsi-fungsi sosial politik dan ekonomi.
Dengan demikian maka Menhan rnempunyai kewenangan untuk Pembangunan dan
Pembinaan Kekuatan Pertahanan sedangkan Panglima TNI mempunyai kewenangan dalam
Penggunaan Kekuatan Hankam berdasarkan Kebijakan pemerintah di bidang
Pertahanan dan Keamanan Negara.
Penerapan
prinsip supremasi sipil akan bermuara pada terwujudnya TNI yang profesional.
Profesionalisme TNI meliputi profesional dalam jati diri sebagai tentara
nasional, tentara pejuang dan tentara rakyat, serta profesionalisme dalam arti
mahir olah keprajuritan. Untuk membentuk tentara profesional, pemerintah harus
menjamin kesejahteraan prajurit, melengkapi peralatan pertahanan, pendidikan
dan pelatihan, promosi, pembentukan kode etik militer profesional, pemmusan
hukum militer, serta pengembangan doktrin dan aturan pelibatan militer (Rules of Engagement/RoE).
Perumusan kebijakan Hankam sangat
dipengaruhi oleh konteks politik dan karakter pengambil keputusan. Oleh karena
itu, keputusan yang menyangkut masalah Hankam senantiasa didahului oleh proses
konsultasi yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Dalam konteks ini, publik
berhak untuk mendapat gambaran yang jelas tentang dasar pemikiran kebijakan
Hankam.
Upaya
mewujudkan Keselamatan masyarakat diselenggarakan oleh beragam institusi
keamanan yang masing-masing memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab yang
spesifik. Upaya ini memungkinkan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah
Daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keselamatan masyarakat dibedakan antara
institusi-institusi penanggung jawab politik dan penanggung jawab operasional.
Institusi penanggung jawab politik adalah pemerintah dan parlemen di daerah
yang memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan Keselamatan masyarakat.
Institusi penanggung jawab operasional adalah aparat di daerah. Sistem
Keselamatan masyarakat meliputi mekanisme peringatan dini, mekanisme
perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan, serta kemampuan penegakan
hukum.
Pelaksanaan
tugas TNI dan Polisi dalam penegakan hukum berbeda, dimana Polisi adalah
penegak hukum dan penindak kejahatan/kriminalitas, subyek dan obyek hukumnya
adalah individu, instrumen utamanya adalah hukum. Sedangkan TNI berkaitan
dengan kekerasan bersenjata yang mengancam kedaulatan negara. Subyek dan obyek
hukumnya adalah negara dan bangsa, instrumen utamanya adalah sistem senjata
untuk menjamin kedaulatan dan kewibawaan bangsa dan negara.
Di
dalam menjalankan tugas pokok dan kewenangannya untuk menangani Hankam, aparat
keamanan negara dapat bekerjasama dengan badan, lembaga serta instansi lainnya
dan berdasarkan pada sendi-sendi hubungan yang bersifat fungsional, saling
menghormati, saling membantu dan demi kepentingan umum.
Presiden memiliki kewenangan dalam
menetapkan kebijakan bidang Hankam dan memiliki hak prerogatif dalam menetapkan
pejabat tertinggi pelaksana fungsi Hankam. Pelaksana fungsi Hankam tersebut
harus berada di dalam satu departemen sebagai pemegang otoritas politik. Dalam
kontek ini maka Polri sebaiknya berada di dalam Departemen Dalam Negeri.
Hubungan di
antara institusi-institusi penanggung jawab politik dan operasional berdasarkan
prinsip checks and balance sebagai manifestasi dari bekerjanya suatu sistem
politik yang demokratis. Institusi penanggung jawab operasional memiliki
kewenangan dalam melaksanakan kebijakan Hankam yang telah dirumuskan oleh
pemerintah. Sebagai konsekuensi, hubungan antara institusi penanggung jawab politik
memiliki kewenangan supervisi terhadap institusi pelaksana sebagai bawahan dan
sebaliknya institusi pelaksana bertanggung jawab kepada pemerintah.
Institusi-institusi pelaksana fungsi
Hankam dalam lingkup keselamatan masyarakat meliputi TNI, POLRI, komunitas
intelijen negara, Kejaksaan, Bea Cukai, Imigrasi, Dinas Perhubungan dan
jenis-jenis Kepolisian khusus seperti Polisi Hutan, dan Polisi Pamong Praja.
Keterlibatan setiap pelaksana fungsi Hankam tersebut dilaksanakan secara
proporsional sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Hubungan antara
institusi-institusi pelaksana bersifat koordinatif dan didasarkan pada
kompetensi dan spesialisasi.
Penyelenggaraan
fungsi Keselamatan Masyarakat memungkinkan penggunaan kekerasan secara sah
berdasarkan Undang-Undang. Oleh karena itu hams ada mekanisme perlindungan
terhadap kepentingan publik untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan
kekuasaan baik oleh institusi penanggung jawab politik maupun institusi
pelaksana. Untuk itu, pelaksanaan fungsi Keselamatan Masyarakat harus
berdasarkan prinsip akuntabilitas dan tranparansi untuk menjamin terwujudnya
masyarakat madani. Demikian pula sebagai konsekuensi dari keamanan sebagai
kebutuhan publik, maka penyelenggaraannya harus pula bersifat responsif dan
membuka ruang bagi partisipasi publik. Masyarakat merupakan pihak yang
berkepentingan dalam proses perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan
pengawasan penyelenggaraan sistem Keselamatan Masyarakat.
Upaya perwujudan Keselamatan Masyarakat
memerlukan suatu sistem pengelolaaan Keselamatan Masyarakat yang di dalamnya
terdapat:
(a)
tataran kewenangan dan peran lembaga-lembaga negara.
(b)
mekanisme alokasi sumber daya nasional.
(c)
mekanisme anggaran
(d)
transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa perbantuan TNI kepada POLRI dapat diselenggarakan
sesuai undang-undang dan tugas
perbantuan TNI yaitu
menjamin keselamatan negara. Tugas perbantuan dilakukan TNI dilaksanakan atas
permintaan dan keputusan politik pemerintah yang diatur dalam ketentuan tentang
operasi militer selain perang (OMSP). Ruang lingkup tugas perbantuan TNI sesuai
permintaan yang diatur melalui peraturan perundang-undangan
Tugas perbantuan TNI meliputi:
Perbantuan
dalam rangka pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat. Peran TNI AD dalam Membantu Polri dalam rangka menjaga keamanan dan
Ketertiban dalam masyarakat. Keamanan dan Ketertiban Masyarakat adalah
suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya
proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang
ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta
terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina dan mengembangkan
potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat. Penanggung jawab masalah Kamtibmas mengacu pada UU RI
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri adalah Kepolirian Republik Indonesia yakni
bahwa Polisi adalah penjaga disiplin publik untuk melaksanakan keputusan
Undang-Undang atau Peraturan, Polisi adalah penjaga disiplin publik agar bisa
terpelihara keamanan dan ketertiban. Sementaa itu yang menjadi pilar Penunjang
Kamtibmas adalah adanya pemerintahan, adanya perangkat hukum, adanya kekuatan
pemaksaan hukum untuk dipatuhi (law enforcement), dalam hal iniKepolisian
Sesuai UU RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan PP Nomor 16 tahun 1960,
bantuan TNI kepada Polri atau kepada Pemerintah dalam rangka penegakan Kamtibmas
diberikan atas permintaan Polri atau Pemerintah. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
perlu dikoordinasikan dengan baik antara Pemda, Polri dan TNI AD.Perbantuan TNI
AD kepada Polri dalam rangka tugas bantuan Kamtibmas diberikan atas permintaan
Kepala Daerah maupun pihak Polri serta dapat juga berdasarkan keputusan politik
Negara yang dilakukan dalam keadaan Tertib Sipil atau dalam keadaan Darurat
Sipil. Keterlibatan TNI AD dalam tugas bantuan kepada Polri bisa dilakukan
apabila tindakan preventif dan tindakan polisional yang dilaksanakan oleh Polri
belum berhasil menghentikan perkembangan eskalasi ancaman tersebut, dimanaTNI
AD turut bertanggung jawab untuk mengatasi berdasarkan parameter tertentuyang
berada diluar batas kemampuan Polri dan sesuai dengan aturan perundang-undangan
yang berlaku. Jenis gangguan Kamtibmas terdiri dari Gangguan Nyata(Kejahatan
Konvensional, meliputi pencurian dan kekerasan, pencurian dengan pemberatan,
pencurian kendaraan bermotor, perusakan; Kejahatan trans nasional, meliputi
Narkotika, penyelundupan, perdagangan wanita dan anak-anak (trafficking in
persori), kejahatan dunia maya (cyber crime), terorisme, Kejahatan terhadap kekayaan
negara, meliputi pembalakan liar (illegal logging), pertambangan liar (illegal
minning), penangkapan ikan secara ilegal (illegak fishing)dan Kejahatan berimplikasi
kontijensi yang meliputi unjuk rasa anarkhis dan konflik SARA
(KonflikHorizontal) dan Ambang Gangguan yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas
seperti kegiatan-kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu) baik pemilihan legislatif,
pemilihan Presiden maupun Pemilihan Kepala daerah, Kegiatan masyarakat atau
pemerintah yang menghadirkan masyarakat banyak, Kegiatan masyarakat yang berkaitan
dengan hari-hari besar keagamaan atau tingkat nasional/internasional serta Pelanggaran
lalu lintas yang berpotensi menimbulkan ketidaktertiban dan kecelakaan lalu
lintas. Tugas Perbantuan TNI AD kepada Polri dalam rangka tugas Keamanandan
Ketertiban Masyarakat mempunyai tujuan, sasaran, bentuk dan peran yaitu
1. Tujuan.
Untuk membantu Polri dalam rangka tugas Kamtibmas dilaksanakan atas permintaan
Pemerintah dalam hal ini Polri, atau dalam keadaan memaksa/mendesak untuk
mengatasi eskalasi yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan
bangsa;
2. Sasaran.
Teratasinya konflik komunal dan kerusuhan massa yang berskala tinggi,
tercegahnya korban jiwa dan harta masyarakat, serta terbantunya pengamanan
kegiatan yang berskala nasional dan internasional,sedangkan kemampuan yang
digunakan adalan kemampuan tempur, kemampuan 9 intelijen, Binter dan dukungan
3.
Bentuk Operasi. Bentuk operasi yang digunakanadalah Operasi Mandiri atau
Terpadu, sifatnya Operasi Non Tempur
4.
Peran, yaitu pertama sebagai satuan bantuan untuk menangkal dan menindak
terhadap setiap bentuk ancaman Kamtibmas yang tidak mampu diatasi oleh pihak
Polri, sesuai dengan kriteria ancaman Kamtibmas dan kriteria kemampuan Polri
yang telah ditetapkan; sebagai pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang
terganggu akibat kekacauan Kamtibmas, yang pelaksanaannya tetap berpedoman pada
asas-asas dan prinsip-prinsip pemberian bantuan kepada Polri dalam rangka tugas
Kamtibmas.
Permintaan
bantuan dilakukan bila kekuatan Polri dinilai sudah tidak efektif lagi oleh
pemegang Otoritas untuk mengatasi gangguan yang terjadi, dalam pelaksanaan
perbantuan TNI AD kepada Polri tetap berpedoman pada asas-asas dan prinsip-prinsip
yang ada yaitu prinsip Situasional, prinsip Percepatan, dan prinsip Keterbatasan.
Dalam pelaksanaan perbantuan TNI AD dalam rangka Kamtibmas harus memenuhi
kriteria ancaman, kriteria kemampuan Polri dan kriteria kemampuan bantuan TNI
AD serta parameter keterlibatan. Parameter keterlibatan TNI AD yaknidfalam Operasi
bantuan kepada Polri adalah :
1.
Satuan TNI AD yang sedangmenjalankan tugas perbantuan tidak diperintah atau
ditarik oleh TNI kecuali atas permintaan pemerintah atau atas permintaan pihak
Kepolisian yang menerima bantuan
2. Pengajuan
permintaan bantuan oleh Kepolisian sebagaimana dimaksud diatas dibuat secara
tertulis dan ditujukan kepada Komandan Militer setingkat.
3. Pemegang
kendali operasi tidak dapat memerintahkan ataupun memberi tugas kepada satuan
TNI AD dalam tugas perbantuan diluar tugas yang dimaksud dalam surat permintaan
bantuan
4. Operasi
Bantuan kepada Polri yang dilaksanakan oleh satuan TNI pada situasi negara
dalam keadaan biasa dilandasi aturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah dalam menilai gangguan keamanan
5. Pemerintah
Pusat dalam hal ini Presiden dan perwakilan Pemerintah Pusat di daerahdalam hal
ini Gubernur, pemerintah dalam hal ini Bupati dan Walikota berwenang mengajukan
permintaan bantuan militer, yang direalisasikan dengan melaksanakan operasi
perbantuan kepada Polri di daerahnya
6. Dalam
keadaan terpaksa, PolisiPamong Praja dalam hal ini selain pejabat Kepala Daerah
berwenang dapat memintabantuan militer bila pejabat daerah berhalangan. Disamping
itu, Camat dan KepalaDesa dibenarkan minta bantuan militer bila dalam keadaan
memaksa dan segeradilaporkan kepada Kepala Daerah
7. DPRD
mempertimbangkan dan mengambil keputusan bersama kepala daerah dalam rangka
permintaan bantuan militer.
8. Anggaran
untuk tugas-tugas perbantuan TNI AD, disediakan oleh pemerintahPusat/daerah.
Permintaan bantuan kekuatan TNI AD baik oleh Kepolisian maupunPemerintah Daerah
dalam rangka Kamtibmas harus melalui Mekanisme dan Prosedur yang telah
ditentukan yaitu :
a. Permintaan bantuan dilakukan oleh
satuan Polri didaerah serendah- rendahnya
setingkat Polres kepada satuan Polri setingkat diatasnya, apabila satuan Polri tidak mampu
menanggulangi gangguan keamanan secara mandiri.
Permintaan bantuan perkuatan internal dikoordinasikan kepada Komandan satuan TNI AD kewilayahan setempat guna memantau
perkembangan eskalasi ancaman.
b.
Apabila Mabes Polri beserta unsur
bawahannya tetap tidak dapat atau tidak
mampu menangani gangguan keamanan, maka Kapolri meminta bantuan satuan TNI kepada Panglima TNI melalui Presiden.
c. Bantuan satuan TNI kepada Polridapat
diberikan atas permintaan secara
lisan bila situasi mendadak dan memerlukan kecepatan bertindak dan ditindaklanjuti dengan permintaan
bantuan secara tertulisdalam waktu 1 X
24 jam
d. Permintaan bantuan unsur TNI harus
memuat antara lain: perkembangan situasi
terakhir, alasan permintaan bantuan, jumlahkekuatan dan kemampuan yang diperlukan, daerah/lokasi bantuan
diperlukan, waktu penggunaan
bantuan dimulai dan berakhir, komando pengendalian dan tataran
kewenangan, dukungan administrasi, dan bantuan perkuatan TNI AD yang dilibatkan untuk
menanggulangi gangguan Kamtibmas dengan status
BawahKomando Operasi (BKO) Polri atau Bawah Komando Operasi (BAKOOPS).
Sementara
itu mekanisme dan prosedur pemberian bantuan perkuatan TNI AD dalamrangka tugas
Kamtibmas dapat dilakukan atas permintaan Polri, atas permintaanKepala Daerah
dan Tanpa Permintaan. Perbantuan TNI AD dalam keadaan terpaksa kepada Polri dan
Pemerintah Daerah tanpa permintaan sebagai berikut :
1. BantuanTNI
diberikan atas dasar laporan dan informasi, baik dari
Lurah/Kades/Laporanmasyarakat atau atas inisiatif TNI sendiri. Bila lokasi jauh
dari Perangkat Pemerintahan, Bantuan TNI diberikan apabila aparat Kepolisian
tidak ada ditempat kejadian dan memerlukan bantuan segera selanjutnya ditangani
secara bersama-sama dengan aparat Kepolisian
2.
Kewenangan untuk memberikan bantuan TNIberada di tangan Pangdam atau Dansat
Kewilayahan setempat, namun satuan TNIterdekat yang mengetahui kejadian awal
dalam keadaan mendesak dibenarkan mengambil langkah-langkah awal, dan segera
melaporkan kepada Pangdam atau Dansat Kewilayahan. Selanjutnya
menngkoordinasikan penanganan masalah kepada Gubernur dan Kapolda setelah
menerima laporan dari satuan-satuan jajarannya
3. 11
Penanganan harus segera dilakukan untuk mencegah timbulnya korban dankerusakan
yang lebih parah serta mencegah tindakan pembiaran oleh aparat TNIyang
merupakan pelanggaran hukum.
Dalam
prosedur pemberian bantuan perkuatan TNI AD dalam rangka Kamtibmas dapat
diberikan atas permintaan Polri maupun atas permintaan Pemerintah Daerah sesuai
perundang-undangan yang berlaku yaitu :
1.
Setelah Panglima TNI menyetujui permintaan bantuan TNI dari Kapolri atas
usulanKapolda dan mempertimbangkan laporan dari Pangdam atau Komandan SatuanKewilayahan
TNI AD, selanjutnya melalui proses Politik sesuai Undang-Undang yang berlaku,
maka Panglima TNI mengeluarkan perintah kepada Kepala Staf Angkatan Darat
tentang penyiapan satuan dalam rangka pemberian bantuan TNI kepada
Polri,Pangdam/Dansat Kewilayahan TNI AD membuat rencana pengerahan bantuan
sesuai kebutuhan yang dikoordinasikan dengan Polda atau Koops Kepolisian yang
dibentuk.
2. Rencana
pengerahan bantuan segera diberikan kepada satuan yang akandikerahkan
dilengkapi dengan Surat Perintah Pangdam/Dansat Kewilayahan,pelaksanaan
pergeseran pasukan segera diberangkatkan ke daerah sasaran yangtelah
ditentukan.
3. Setelah
pasukan tiba di daerah sasaran, Komandan Satuan lapor kepada Dansat Kewilayahan
TNI AD selanjutnya dikoordinasikan denganKapolda/Kapolres untuk menerima tugas
sesuai fungsi dan kemampuan operasional masing-masing untuk merumuskan tugas
dan penentuan daerah tanggung jawab operasi.
Perbantuan kepada Pemerintah daerah
dalam rangka penanggulangan bencana alam. Mencermati perundang-undangan yang berlaku, baik UU
Pertahanan Negara maupun UU TNI jelas menyebutkan bahwa TNI hanya sebatas
membantu. Pasal 10 UU RI Nomor 3 Tahun 2002 serta Pasal 6 dan 7 UU RI Nomor 34
Tahun 2004 beserta penjelasannya menempatkan TNI pada posisi membantu instansi
lain sesuai permintaan. Hanya saja, presiden selaku pemegang kekuasaan
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dapat
mengerahkan TNI dalam keadaan memaksa untuk kemudian dimintakan persetujuan
dari DPR RI. Termasuk pengerahan TNI untuk menanggulangi akibat bencana alam
yang membutuhkan penanganan cepat.
TNI disiapkan untuk
melaksanakan operasi militer dalam peperangan. Untuk operasi militer selain
perang seperti penanggulangan bencana alam, TNI hanya dimungkinkan memanfaatkan
idle capacity yang dimiliki. Membina dan mengerahkan TNI untuk tugas seperti
ini belum didukung anggaran. Baik bantuan untuk para korban maupun kebutuhan
operasional TNI itu sendiri. Tugas dilaksanakan dahulu baru kemudian
anggarannya diajukan secara berjenjang melalui Dephan RI, untuk selanjutnya
menunggu proses persetujuan DPR RI.
Padahal, penanganan bencana alam memerlukan kecepatan
dalam menggerakkan manusia, sarana prasarana dan peralatan yang kesemuanya
berkaitan dengan anggaran. Apalagi, bagi Indonesia sebagai archipelagic state
yang memiliki wilayah terluas di dunia serta rawan terhadap bencana alam dan
kecelakaan lain, maka faktor kecepatan menjadi sangat penting.
Belajar dari pengalaman selama ini, sudah saatnya kita
memikirkan langkah yang lebih terpadu dan terkoordinasi. Menetapkan institusi
yang tepat berada di garis depan dan pihak-pihak yang harus mendukung dari
belakang. Baik pada masa awal terjadinya bencana maupun lanjutan penanggulangan
dalam bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Mungkin, tanggung jawab yang selama
ini seolah-olah menjadi monopoli Badan Koordinasi Nasional/Daerah
Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas/da PBA) beserta Satuan Koordinasi
Pelaksana (Satkorlak) PBA, harus diubah.
Kita berharap agar tanah air tercinta tidak lagi kedatangan
bencana alam. Namun, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta para
paranormal yang banyak menghiasi kebolehannya di layar kaca setiap malam belum
mampu memberi lampu kuning bila bencana akan datang. Karena itu, penataan ulang
peran dan tanggung jawab setiap badan atau instansi dalam penanggulangan
bencana alam perlu pemikiran. Tujuannya, agar keseluruhan upaya menjadi optimal
demi terbebasnya rakyat dari penderitaan yang berkepanjangan.
Penanganan bencana alam
biasanya kita lakukan dalam dua tahap, yaitu masa tanggap darurat dan masa
rehabilitasi/rekonstruksi. Ke depan, mungkin lebih tepat bila masa tanggap
darurat diganti menjadi tahap pencarian, pertolongan dan penyelamatan agar masa
untuk mencari, menolong dan menyelamatkan manusia yang menjadi korban bisa
lebih cepat. Batas waktunya ditetapkan berdasarkan perkiraan jumlah korban dan
kondisi daerah bencana.
Koordinator kegiatan tahap
pertama ini akan tepat bila berada pada Basarnas/Basarda. Bila keberadaan
Basarnas saat ini titik berat tanggung jawabnya hanya terhadap SAR kecelakaan
lalu lintas perhubungan dipandang belum memadai dari segi organisasi, sumber
daya manusia, dan peralatan, perlu dilakukan penataan agar mampu menjangkau
seluruh wilayah tanah air. Penataan yang harus mempertimbangkan aspek
pembiayaan, efisien dan efektivitas agar di kemudian hari tidak terjadi
pemborosan.
Tahap kedua adalah masa
rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan kondisi fisik dan mental para
korban yang masih hidup serta memperbaiki sarana-prasarana kehidupan
masyarakat. Kegiatan yang tidak terlalu mendesak dibandingkan dengan tahap
pertama, tetapi tidak boleh ditunda-tunda. Tanggung jawab sebaiknya pada
Bakornas/Bakorda/Satkorlak PBA dikoordinasikan oleh instansi yang dinilai
tepat. Misalnya, Bakornas dipimpin oleh Mendagri, Bakorda oleh Gubernur dan
Satkorlak oleh Bupati/Walikota. Badan ini bekerja sejak bencana terjadi untuk
menghimpun dan menyiapkan bantuan. Pendistribusiannya dilaksanakan bersamaan
dengan waktu pencarian, pertolongan, dan penyelamatan atau setelah tahap
pertama berakhir.
Apabila penataan Basarnas untuk maksud ini akan berakibat
pada pembiayaan yang mahal sehingga menjadi tidak efektif dan efisien, maka
pemberdayaan instansi yang sudah ada perlu menjadi pertimbangan. Mungkin dengan
menyerahkan tanggung jawab tahap pertama kepada TNI yang memiliki organisasi
vertikal ke seluruh daerah dan sudah berperan langsung dalam setiap kegiatan
SAR selama ini.
Pimpinan Basarnas mungkin bisa dijabat oleh Panglima TNI
secara ex-officio, sedangkan para Panglima Komando Utama Operasi
(Pangkotamaops) TNI dan Komandan
Satuan TNI di daerah menjadi Kabasarwil atau Kabasarda. Mereka, masing-masing
diberi kewenangan menggerakkan prajurit dan peralatan TNI di daerahnya serta
mengkoordinasikan instansi lain untuk tugas pencarian, pertolongan, dan
penyelamatan. Anggarannya disediakan pemerintah dalam bentuk dana abadi, bukan
APBN/APBD yang harus digunakan dan dihabiskan dalam tahun anggaran berjalan.
Pelimpahan tanggung jawab ini jelas akan menambah beban
bagi TNI. Tetapi, bila sudah menjadi kesepakatan bangsa dan demi kepentingan
nasional, diyakini bahwa TNI akan ikhlas melaksanakannya. Dilandasi jati diri
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara
profesional, tugas kemanusiaan seperti ini bukan sesuatu yang memberatkan TNI.
Organisasi TNI sudah tertata dengan baik, diawaki para prajurit yang
berdedikasi tinggi, dan dilengkapi peralatan yang tergolong memadai. Bila
didukung oleh komponen lain bangsa ini, tragedi kemanusiaan yang sering melanda
negara kita harapkan dapat ditangani secara cepat, baik, dan lancar. Di atas
itu semua, peran TNI dalam setiap penanggulangan akibat bencana alam tidak lagi
menjadi sorotan untuk diperdebatkan.
Upaya-upaya
yang dilaksanakan untuk mengoptimalkan kesiapan TNI dalam menanggulangi akibat
bencana alam adalah meliputi :
Pertama, Kesiapan Organisasi dan Tugas. Untuk memenuhi kebutuhan organisasi
tugas TNI yang mampu melaksanakan tugas-tugas penanggulangan bencana alam maka
perlu dilakukan revisi organisasi dan tugas TNI, langkah yang dilakukan adalah
:
1.
mempertimbangkan kondisi daerah ditinjau dari potensi ancaman bencana alam,
bukan hanya sekedar pertimbangan jumlah penduduk.
2.
Susunan organisasi mengacu kepada kebutuhan organisasi TNI yang selalu siap
menghadapi bencana.
3.
Pasiter dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh 5 Bintara.
4.
Pasiter Kodim dijabat oleh Pama TNI AD berpangkat Kapten dari korps zeni atau
korps lain dengan latar belakang pendidikan/penugasan di satuan zeni. Hal ini
perlu dilakukan agar dalam pelaksanaan penanggulangan bencana alam dapat
dilakukan secara terencana dan terkoordinasi dengan baik serta mengeliminir
kesalahan sehingga dapat dihindari inefisiensi tenaga, peralatan dan biaya
5. Tugas dan tanggung jawab Pasiter ditambah
satu point yaitu : menyelenggarakan kegiatan yang berhubungan dengan
penanggulangan akibat bencana alam, pengungsian dan rehabilitasi infrastruktur.
6.
Dengan susunan tugas pokok yang demikian akan dapat diwujudkan kesiapan
organisasi dihadapkan dengan kebutuhan pengerahan kekuatan dalam menanggulangi
bencana alam.
Kedua,
Kesiapan Personel. Langkah yang dilakukan untuk meningkatkan kesiapan personel
:
1. Rekrutmen. Rekrutmen merupakan salah satu cara untuk pemenuhan
personel. Rekrutmen dapat dilakukan dengan cara :
a. Mengajukan
atau menerima alokasi dari komando atas. Apabila alokasi personel telah
ditentukan untuk pemenuhan Kodim maka pengajuan alokasi kekurangan sesuai
dengan pangkat dan jabatan kepada Komando atas.
b. Menyeleksi
personel sesuai dengan jabatan dan kemampuan untuk pemenuhan organisasi. Untuk
jabatan tertentu terutama jabatan di Staf Ter perlu adanya penyeleksian secara
obyektif dan mempertimbangan latar belakang pendidikan dan korps. Penyeleksian
ini diharapkan dapat mendukung penyiapan untuk mendukung tugas pokok dalam
penanggulangan bencana alam.
c. Pelaksanaan
rekruitmen personel yang akan bertugas dilakukan seselektif mungkin, sehingga
dapat menghasilkan personel yang berkualitas dan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang dibutuhkan untuk penanngulangan akibat bencana alam.
d.
Perlu dibentuk badan khusus untuk menyeleksi personel yang akan bertugas.
2. Pendidikan
dan latihan. Agar memiliki kemampuan intelektual, menambah wawasan dan
ketrampilan maka perlu dilaksanakan hal-hal sebagai berikut :
a. Memberikan
kesempatan kepada para personel untuk mengikuti pendidikan baik yang berada di
lingkungan pendidikan TNI maupun di luar TNI AD. Sehingga di lembaga-lembaga
pendidikan tersebut personel yang bersangkutan dapat memperdalam pengetahuan
tentang penanggulangan bencana alam.
b. Mengirimkan
personel intelijen untuk mengikuti kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan
dalam menganalisa kondisi yang berkembang saat ini seperti seminar, lokakarya,
pertukaran personel intelijen antar negara.
c.
Memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di luar ilmu kemiliteran
seperti teknik bangunan, paramedis, meteorologi dan geofisika dan lain-lain di
perguruan tinggi yang ada baik didalam negeri maupun luar negeri.
d.
Mengikuti pendidikan kejuruan seperti teknik bangunan, vulkanologi, manajemen
bencana, SAR, geologi dan geofisika serta ilmu iklim dan cuaca e. Dalam kegiatan latihan yang diselenggarakan
oleh TNI maupun TNI AD maupun latihan gabungan, masalah penanganan bencana perlu
diperankan sehingga dapat diketahui tingkat profesionalisme satuan kewilayahan.
Disamping itu, dengan diperankannya masalah bencana akan diperoleh pemahaman
dan gambaran yang lebih jelas bagi satuan-satuan diluar.
f. Perlu
ditetapkan Program Latihan Standarisasi (Proglatsi) materi penanganan bencana
yang dapat dijadikan pedoman dalam upaya peningkatan kualitas latihan. Dalam
Proglatsi, upaya dilakukan melalui bentuk-bentuk latihan lanjutan sebagai
pengembangan yang didasari atas kemungkinan bahaya bencana alam.
g.
Mengintensifkan dan memprogramkan pelaksanaan latihan bencana alam secara
terintegrasi dengan institusi lain yang berkompeten dengan masalah bencana.
Mekanismenya adalah dengan melaksanakan koordinasi untuk mensinkronkan antara
RKA instansi terkait (Pemda/Kepolisian) dengan program kerja dan anggaran
Kodim/Kodam dalam bentuk latihan bersama. Integrasi ini penting mengingat
bahaya bencana biasanya justru melibatkan banyak pihak sehingga penanganannya
perlu terintegrasi dan terpadu.
h.
Agar penyelenggaraan latihan dapat berjalan lancar dan mencapai sasaran yang
diharapkan maka harus didukung dana yang cukup serta sarana dan prasarana yang
memadai ; i) Penataran di satuan dengan memanfaatkan personel yang telah
memiliki kemampuan penanganan bencana. Personel-personel tersebut
diberdayagunakan sebagai instruktur dan pembicara dalam kegiatan penataran yang
dilaksanakan, sehingga ia dapat menularkan ilmu yang dimiliki kepada personel
yang belum mempunyai kemampuan di bidang tersebut.
j.
Mengikutkan personel dalam penataran yang dilaksanakan oleh instansi terkait
seperti Pemda, Kepolisian, SAR, Linmas, dll.
k.
Mengundang pakar/ahli manajemen bencana dari kalangan sipil maupun militer
untuk menjadi pembicara dalam kegiatan penataran yang dilakukan baik oleh satuan
maupun penataran bersama.
3. Untuk
memelihara fisik dan kesehatan langkah yang dilakukan :
a.
Secara rutin satu bulan sekali personel diwajibkan untuk melaksanakan
pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk mencegah dan mengetahui secara
dini agar personel tidak terlibat dalam penggunaan Narkoba dan barang sejenis
lainnya.
b.
Secara rutin melaksanakan pembinaan fisik sehingga terjaga kebugaran tubuhnya.
c.
Melarang anggota pulang sampai pagi kecuali ada tugas-tugas khusus yang harus diselesaikan
sehingga besoknya pada saat masuk kerja akan lebih segar
4.
Memberikan penghargaan bagi personel yang berprestasi langkah yang dilakukan :
a.
Pasimin segera mengajukan ke Dandim untuk memberikan penghargaan, pemberian
penghargaan bisa berupa materi, barang atau jabatan yang sesuai dengan
kemampuannya.
b.
Personel yang berprestasi diberi penghargaan berupa kesempatan untuk mengikuti
pendidikan pengembangan umum maupun spesialisasi.
c.
Apabila memenuhi kriteria untuk diajukan kenaikan pangkat luar biasa maka
Pasimin mengajukan ke Spers Kodam untuk mendapatkan kenaikan pangkat luar
biasa.
d.
Satuan tetap memberikan semangat dan motivasi serta dorongan agar anggota
selalu bersaing dalam mengejar prestasi sehingga kondisi dan sikap kerja anggota
akan tetap terpelihara.
5.
Untuk memelihara moril anggota langkah yang dilakukan :
a.
Secara rutin memberikan Santiaji dan Santikarma kepada keluarga dan personel
Kodim sehingga kondisi moril dan mental serta kejuangan akan tetap baik.
b.
Satuan memberdayakan koperasi dengan mengupayakan simpan pinjam bunga ringan
sehingga pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari akan lebih ringan
c. Anggota yang melaksanakan tugas
didukung dana sehingga sehingga
tidak memikirkan garis belakang/keluarga yang ditinggal tugas ;
Ketiga, Kesiapan Materiil. Langkah peningkatan dibidang materiil sebagai
berikut : 1. Pengadaan. Alat-peralatan
dari segi kuantitas dan kualitas harus memenuhi standar, baik yang berkaitan
dengan perlengkapan perorangan maupun satuan. Sehingga mampu mengantisipasi
tantangan tugas ke depan.
2.
Pemeliharaan. Pemeliharaan alat-peralatan yang telah dianggarkan menggunakan
dana yang ada. Jika dukungan dana untuk pemeliharaan alat-peralatan yang tidak
teranggarkan, maka Satuan secara swadaya memperbaiki materiil yang rusak
sehingga kondisi materiil tetap terpelihara dan selalu siap pakai. Upaya yang
dilakukan yaitu bekerjasama dengan pihak swasta atau Pemerintah Daerah,
sehingga bisa terjalin hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Kerusakan materiil sebagian diakibatkan karena personel kurang tahu cara
penggunaan dan perawatan oleh karena itu seluruh anggota wajib untuk belajar
cara menggunakan dan memelihara materiil sehingga meminimalisir terjadinya
kerusakan. Setiap saat melakukan pemeliharaan dan perawatan serta pengecekan
terhadap materiil yang telah selesai digunakan sehingga apabila ada materiil
yang hilang atau rusak akan cepat segera diketahui.
Dari uraian di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa TNI memiliki peran signifikan dalam kegiatan-kegiatan
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya dalam kegiatan
penanggulangan akibat bencana alam di wilayah. Kondisi kesiapan TNI saat ini
dihadapkan dengan ancaman bencana alam yang frekuensinya relatif tinggi, belum
memiliki tingkat kesiapan yang optimal khususnya ditinjau dari aspek
organisasi, personel maupun materiil. Kesiapan TNI dalam rangka penanggulangan
akibat bencana alam dapat dilakukan dengan upaya kesiapan organisasi dan tugas,
personel dan materiil dengan menggunakan metoda validasi, pendidikan, latihan
dan penataran serta pengadaan dan pemeliharaan. Adapun saran dari penulis
adalah perlu adanya revisi Orgas pada TNI, tidak hanya mempertimbangkan jumlah
dan kepadatan penduduk saja, namun juga mempertimbangkan kerentanan wilayah
tersebut terhadap bahaya bencana alam dan perlu pengadaan materiil yang
diperlukan dalam kegiatan penanggulangan akibat benca alam serta dukungan
anggaran yang memadai untuk kegiatan pemeliharaan dan perawatan (maintenance)
alat-peralatan
Demikian essay singkat tentang upaya perbantuan TNI
kepada POLRI dalam pelaksanaan kegiatan dan operasi kepolisian terpusat maupun
operasi kewilayahan semoga bermanfaat.