IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN TASAWUF
Diajukan Sebagai Salah
SatuTugas Mandiri
pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen
: Prof.
(em) Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja,SH.LLM.
Di susun oleh :
Nama
: Ade Surahman
NPM
: L23.016.0021
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 5
BAB II ........ TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 6
A.
Pengertian Filsafat Ilmu............................................................. 6
B.
Pendidikan Tasawuf.....................................................................
11
BAB III ....... PEMBAHASAN..............................................................................
16
A.
Korelasi
Filsafat ilmu dengan Tasawuf ........................................ 16
B.
Implementasi Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan
Tasawuf.............. 19
BAB IV ....... KESIMPULAN................................................................................
34
PUSTAKA ACUAN.................................................................................................
36
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ilmu dan teknologi,
semakin dirasakan oleh semua orang di seluruh belahan bumi ini. Sehingga dunia
semakin terasa kecil, semakin mengglobal, dan perubahan terus terjadi
dimana-mana di setiap sudut kehidupan. Kondisi ini, sedikit banyak turut
memberi pengaruh bagi kehidupan, sehingga diperlukan suatu pegangan yang
bersifat abadi agar tidak terseret oleh arus negatif globalisasi dan
modernisasi yang mungkin timbul yakni dengan berpegang erat pada agama dan
menjalankannya secara terus menerus dalam kehidupan.[1]
Secara garis besar
gambaran kehidupan masyarakat saat ini tengah mengalami berbagai pergeseran
karena terus berpacu dan bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga
agama kurang diperhatikan karena selalu berhubungan dengan dunia materialistis.
Begitu pula dengan kehidupan sosialnya antar manusia, nyaris hanya dilakukan
bila ada kepentingan bisnis atau mendatangkan benefit berupa keuntungan
material. Setidaknya dari masalah ini tampak bahwa masyarakat modern sedang
mengalami kejatuhan posisinya dari makhluk spiritual menjadi makhluk material.
Maka untuk mengembalikan jati diri manusia sebagai makhluk Allah yang paling
mulia, manusia harus kembali kejalan Allah dengan kepatuhan pada agama dan
dengan melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Hanya dengan cara demikian
manusia akan mendapat ketenangan dan kenyamanan sehingga tidak mengalami
penyakit frustrasi eksistensial.[2]
Menurut para ahli
pemerhati masalah sosial, bahwa ciri-ciri masyarakat modern akan mengalami
frustrasi eksistensial yang ditandai dengan keinginan yang berlebihan untuk
berkuasa (the will to power), mencari-cari kenikmatan hidup (the will
to pleasure), selalu ingin menimbun harta (the will to money), tidak
mengenal waktu dalam bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi
(the will to work), serta memiliki kecenderungan libido yang cukup
tinggi (the will to sex). Akibat dari penyakit ini, membuat kehidupan
menjadi gersang, hampa dan kosong tanpa tujuan sehingga muncullah prilaku
negatif seperti kriminalitas, kekerasan, kenakalan, bunuh diri, pembunuhan,
hubungan seks diluar nikah, penganiayaan, broken home, perkosaan, kecanduan
narkoba, perceraian dan perilaku seks menyimpang dan berbagai macam krisis moral
lainnya sebagai dampaknya.[3]
Banyak para ahli yang meratapi zaman ini sebagai abad
kejatuhan manusia, karena tidak ditemukannya lagi jiwa masyarakatnya yang
bersemi sebagai makhluk Tuhan, karena realitas kehidupan mereka cuma memandang
materi dan melupakan agama, meskipun tidak menolak Tuhan dalam bentuk lisan,
tetapi mengingkarinya dalam bentuk prilaku. Setiap manusia, bahkan setiap
keluarga, tampaknya akan berpapasan dengan problema krisis spiritual. Imbasnya
lembaga yang paling banyak merasakan problem itu adalah keluarga, sehingga
untuk mengantisipasinya dibutuhkan kecerdasan dan daya tahan keluarga, yakni
dengan pendekatan keagamaan dengan mengimani dan menaati segala perintah Allah.
Berbagai upaya telah dilakukan agar
agama mampu menghadapi perubahan-perubahan yang menyentuh dirinya tanpa
kehilangan identitas, tanpa kehilangan kesetiaan terhadap panggilannya,
kepercayaannya dan wahyunya. Dalam menghadapi tantangan-tantangan yang rumit
dalam kehidupan dewasa ini, umat manusia mengharapkan pengarahan dan bimbingan
dari pimpinan agamanya. Para pemimpin agama hanya dapat memimpin umat mereka
dengan baik, jika dalam situasi ini memberikan bimbingan spiritual dan
intelektual yang sesuai dengan taraf pemikirannya, kebutuhannya dan dambaannya.
Di
sinilah perlunya filsafat. Filsafat merupakan salah satu sarana yang mampu
membantu para pemimpin agama untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan
kebutuhan umat dan memberi pengarahan terhadap masalah-masalah besar, yang
sebagian masalah tersebut adalah masalah baru sama sekali (kontemporer), yang
dihadapi individu maupun umat pada umumnya. Untuk ini kemampuan berfilsafat
akan diharap mampu membantu dan dapat memberikan pelayanan kepada ummat
sebaik-baiknya.[4]
Salah
satu ilmu agama Islam yang erat hubungannya dengan filasafat, karena memang
kelahirannya berhubungan dengan filsafat dan dewasa ini sangat dibutuhkan oleh
kehidupan masyarakat modern untuk membimbing mereka agar dapat merasakan
kebahagiaan hidup yang sebenarnya, adalah ilmu tasawuf yang diajarkan dalam
proses pendidikan tasawuf. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa saat ini
manusia berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern yang sering disebut
dengan masyarakat sekuler. Pada umumnya, kontak antar anggota masyarakat atas
dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan lepas
kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang
cenderung rasionalis, sekuler dan materialis ternyata tidak membawa kebahagiaan
dan diliputi kegelisahan yang diakibatkan oleh peresaan takut kehilangan apa
yang dimilikinya, rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi
harapan dan kepuasan batin akibat dari banyak berbuat salah.[5]
Maka untuk mengatasi hal-hal tersebut di atas,
diperlukan tasawuf, karena Ajaran
tasawuf adalah proses peleburan dan penggabungan jala-jala sistem berpikir
menjadi sebuah kerangka keyakinan oleh sebagian umat Islam hingga terwujud
suatu sentrum sebagian identitas wujudiyah (eksitas) kemanusiaan yang
berorientasi kepada ketuhanan.[6]
Sufistik yang terbangun dari kata sufi merupakan seseorang yang telah
membersihkan jiwanya dari sifat-sifat tercela dengan mengingat Allah.
Meyakini-Nya sebagai sumber hidup dan kehidupan, tempat meminta yang bersifat
Pengasih dan Maha Pengatur dari hakekat segala-galanya, sehingga terhindar dari
perbuatan amoral dan mencapai pengetahuan hakiki (ma’rifat). Seorang
yang bertitel sufi berusaha mengaplikasikan sifat-sifat baik Tuhannya menjadi
sifatnya.[7]
Kumulatif dari
seluruh ajaran tasawuf dapat diajarkan dan dididikkan oleh sufi termasuk pada
kegiatan pembinaan kesehatan mental. Hal ini disebabkan tasawuf adalah bagian
dari ajaran agama Islam yang telah diyakini eksistensinya. Seorang sufi
memiliki kemampuan mengontrol nafsu, emosi dan mendidikkannya kepada orang
lain. Firman Allah SWT dalam surah ar-Rad ayat Artinya : Orang-orang yang beriman, hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tenteram.[8]
Berdasarkan
uraian di atas maka tujuan dari penelitian ini mencoba menggali dan menemukan
apa sesungguhnya inti dari implementasi filsafat ilmu didalam ranah pendidikan
tasawuf, sehingga makalah ini dirumuskan dengan judul :“Implementasi Filsafat Ilmu Dalam Perspektif
Pendidikan Tasawuf”.
B.
Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diangkat oleh
penulis berdasarkan latar belakang diatas adalah :
1. Apakah
antara Filsafat ilmu dengan Tasawuf memiliki korelasi dan tidak terdapat benturan diantara keduanya ?
2. Bagaimana
implementasi filsafat ilmu dalam pendidikan tasawuf ?
C.
Tujuan
penelitian
Berangkat dari masalah penelitian di
atas maka tujuan penelitian dalam makalah ini adalah untuk mengetahui
sejauhmana korelasi dan implementasi antara filsafat Ilmu dengan pendidikan
tasawuf.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Filsafat Ilmu
Filsafat
ilmu kini semakin disadari urgensinya oleh masyarakat untuk dipelajari yang
merupakan sarana mutlak bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu
adalah suatu cabang filsafat yang sudah lama dikenal dan dikembangkan di dunia
Barat semenjak abad XVIII Masehi dengan sebutan Philosophy of Science, Wissenschatlehre
atau Wetenschapsleer. Filsafat ilmu
merupakan sebuah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti
dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu
yang memang tidak pernah akan habis dipikirkan dan tidak pernah akan selesai
diterangkan.[9]
Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai
berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature
of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and
its place in the general scheme of intellectual disciplines.” Filsafat ilmu, menurut Benjamin, merupakan
cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu,
khususnya mengenai metoda, konsep-konsep, dan pra anggapan-pra-anggapannya,
serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.[10]
Conny Semiawan at al menyatakan bahwa filsafat ilmu pada
dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya
di atas ilmu lainnya.[11]
Menurut Berry Filsafat
Ilmu adalah penelaahan tentang logika intern dan teori-teori ilmiah dan
hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah. Bagi
Berry, filsafat ilmu adalah ilmu yang di pakai untuk menelaah tentang logika,
teori-teori ilmiah serta upaya pelaksanaannya untuk menghasilkan suatu metode
atau teori ilmiah.[12]
May Brodbeck,
Filsafat ilmu adalah suatu analis netral yang secara etis dan falasafi,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu menurut Brodbck, ilmu
itu harus bisa menganalisis, menggali, mengkaji bahkan melukiskannya sesuatu
secara netral, etis an filosofis sehingga ilmu itu bisa di manfaatkan secara
benar dan relevan.
Lewis White Filsafat ilmu
atau philosophy of science adalah ilmu yang mengkaji dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya
ilmiah sebagai suatu keseluruhan.Lebih jauh Lewis menjelaskan Filsafat ilmu
adalah ilmu yang mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiranilmiah serta
mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Melalui filsafat ilmu ini kita akan mampu memahami dan menetapkan akan arti
pentingnya usaha ilmiah, sebagai suatu keseluruhan
Robert Ackermann
filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah
dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah
dibuktikan atau dalam rangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu
cabang ilmu yang bebas dari praktik ilmiah senyatanya.[13]
Peter Caw filsafat ilmu
adalah suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat
umumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam
hal di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta,
dan menyajikannya landasan bagi keyakinan dan tindakan di pihak lain, filsafat
memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan
bagi tindakan termasuk teori-teori nya sendiri dengan harapan dan penghapusan
tidak ajegan dan kesalahan. Caw yakin bahwa melalui filsat ilmu seseoang
membangun dua hal, menyajikan teori sebagai landasan bagi keyakinan tindakan dan
memeriksa secara kritis segala sesuatu sebagai landasan bagi sebuah keyakinan
atau tindakan.
Alfred Cyril Ewing
Filsafat ilmu menurutnya adalah salah satu bagian filsafat yang membahas
tentang logika, di mana di dalamnya membahas tentang cara yang di khususkan
metode-metode dari ilmu-ilmu yang berlainan . Lebih lanjut menjelaskan tanfa
penguasaan filsafat ilmu, maka akan sulitlah seseorang dalam usahanya untuk
memahami tentang ilmu secara baik dan profesional.
The Liang Gie
Merumuskan Filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Bagi Gie, filsafat ilmu
bukan hanya di pahami sebagai ilmu untuk mengetahui metode dan analisis
ilmu-ilmu lain, tetapi filsafat ilmu sebagai usaha seseorang dalam mengkaji
persoalan-persoalan yang muncul melalui perenungan yang mendalam agar dapat
diketahui duduk persoalannya secara mendasar sehingga dapat di manfaatkan dalam
kehidupan manusia.
Menurut Beerling,
filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah
dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Filsafat ilmu erat
kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi yang secara umum
menyelidiki syarat-syarat serta bentuk bentuk pengalaman manusia juga mengenai
logika dan metodologi.[14]
Jujun S, Suriasumantri
menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu pengetahuan atau epistemologi
yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tak lagi merupakan
misteri, secara garis besar, Jujun menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori
umum, yakni 1) pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk yang disebut juga
dengan etika 2) pengetahuan tentang indah dan jelek, yang disebut dengan
estetika atau seni 3) pengetahuan tentang yang benar dan salah, yang disebut
dengan logika.[15]
Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu
merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat
ilmu, baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.
Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu.
Bidang
garapan filsafat ilmu terutama diarahkan kepada komponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistimologi dan
aksiologi. Ontologi ilmu meliputi hakikat tentang ilmu itu, hakikat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monism,
yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme dan materialism, ataupun
paham dualisme, pluralisme, dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan “keyakinan”
masing-masing manusia mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana
manifestasi yang dicari. Epistimologi ilmu meliputi sumber, sarana dan tata
cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaan
mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan
perbedaan dalam menentukan sarana yang akan dipilih. Akal (verstand), akal budi
(vernunft), pengalaman atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana yang dimaksud dalam epistimologi. Aksiologi meliputi nilai-nilai
(values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik ataupun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan
oleh aksiologi ini sebagai suatu condition sine quanon yang wajib dipatuhi
dalam kegiatan ini, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam penerapan
ilmu.[16]
Semua
ilmu pengetahuan wajib meliputi bidang garapan filsafat ilmu tersebut di atas.
Secara sederhana dapat disampaikan di sini bahwa ontologi ilmu meliputi hakikat
ilmu itu, asalnya dan sumbernya. Sedangkan epistimologi ilmu adalah cara
memperoleh, mendalami dan meneliti ilmu itu, yang memerlukan sumber, sarana dan
tata cara menggunakan sarana. Aksiologi ilmu adalah meliputi kegunaan ilmu dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Demikian juga dalam pengembangan
pendidikan tasawuf, menerapkan bidang garapan filsafat ilmu tersebut.
B.
Pendidikan
Tasawuf
1.
Pengertian pendidikan
Pendidikan
dalam pengertian yang luas adalah pembinaan pribadi dalam semua aspeknya.
Pendapat ini dirumuskan karena menurutnya dalam realitas faktual, bahwa
kegiatan pendidikan disamping melibatkan pihak lain juga dapat dilakukakan oleh
diri sendiri, dan segi yang dibina dalam pendidikan meliputi seluruh aspek
kepribadian yaitu jasmani, akal dan rohani peserta didik.[17]
Selain itu pendidikan
diartikan segala pengalaman belajar yang
dilalui peserta didik dengan segala lingkungan dan sepanjang hayat.[18]
Pendidikan dalam arti luas ini belum memiliki sistem. Dalam batasan secara
sempit, pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga
pendidikan formal, baik madrasah atau sekolah.[19]
Dalam Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003, istilah pendidikan diartikan bahwa:
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[20]
Dengan
demikian, berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah suatu proses interaksi yang dilakukan dalam rangka
membimbing, mengembangkan dan mengarahkan segala potensi (jasmani, akal, dan
rohani) anak didik melalui tangan orang lain (pendidik) atau diri sendiri
menuju tercapainya kesempurnaan yang lebih baik. Jadi inti pokoknya adalah
usaha pendewasaan manusia seutuhnya (lahir dan batin), baik oleh orang lain
maupun oleh dirinya sendiri.
2.
Pengertian
Tasawuf
Tasawuf
berasal dari kata sufi. Menurut
sejarah, orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau asketik
bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150 H). Sedangkan asal atau etimologi
kata sufi, teori-teori berikut dapat dikemukakan :
a.
Ahlus
suffah adalah orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi SAW
dari Mekkah ke Madinah dan karena kehilangan harta, berada dalan keadaan miskin
dan tidak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Nabawi dan tidur di atas
bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah, dalam
bahasa Inggris disebut Saddle-Cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal
dari kata suffah. Meskipun miskin, ahlus suffah berhati baik dan mulia. Sifat
tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah
sifat-sifat kaum sufi.
b.
Shaf
berarti pertama. Sebagaimana halnya dengan orang shalat di shaf pertama
memperoleh kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah SWT
dan diberi pahala.
c.
Shufi
berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah
orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
d.
Sophos
yang berasarl dari bahasa Yunani dan berarti hikmah. Orang sufibetul ada
hubungannya dengan hikmah. Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang
dapat membedakan yang benar dan yang salah.
e.
Shuf
yang berarti kain wol. Kaum sufi memakai wol kasar, sebagai lambang
kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya adalah memakai sutera, oleh orang-orang
yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang
hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia,
menjauhi pemakaian sutera dan sebagai gantinya memakai wol kasar.[21]
Berdasarkan
uraian tentang asal kata sufi tersebut di atas, jika dilihat sepintas
menunjukkan adanya persamaan bahasa, meskipun dalam konotasi yang berlainan,
yaitu pelana, barisan pertama dalam shalat, suci, hikmah dan kain wol sebagai
lambang kesederhanaan. Tetapi jika dikaji lebih lanjut, kehidupan para sufi
dewasa ini, pada umumnya tercukupi dari sisi materi, meskipun hampir 24 jam
hidupnya hanya untuk kesibukan di bidang spiritual saja. Namun Allah SWT telah
berfirman dalam QS. Asy-Syura : 20 yang
artinya: Barang
siapa yang menghendaki kebahagiaan di akhirat, akan Kami tambah kebahagian (di
dunia) baginya dan barang siapa yang menghendaki kebahagiaan di dunia, Kami berikan
kepadanya sebagian dari kebahagiaan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian
kebahagiaan di akhirat.
Berdasarkan
kandungan ayat tersebut di atas, maka asal kata sufi tersebut yang paling
sesuai dengan kenyataan sekarang adalah yang nomor tiga, karena memang benar
orang-orang sufi adalah orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan
spiritual yang berat dan lama.
Tasawuf sangat tidak tepat diartikan mistik berdasarkan pengertian barat. Karena tasawuf adalah melaksanakan Taqwallah
dengan sikap Muraqabah, memperindah
budi pekerti dan memperluas sikap laku dalam tingkah dan dalam tutur kata yang
dilandasi oleh jiwa yang bersih.[22] Tentang
tasawuf cukup banyak para ahli memberikan paparan pengertian secara spesial
dari ulama tasawuf. Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan
dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan
usaha seorang Islam agar dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.[23]
Sedangkan menurut Ibnu ‘Ujaibah, tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tentang
cara untuk mencapai Allah SWT, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan
menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji. Awal dari tasawuf adalah ilmu,
tengahnya adalah amal dan akhirnya adalah karunia.[24]
Menurut Ruwaim, tasawuf adalah jiwa yang menurut kepada Allah SWT sesuai dengan
kehendak-Nya. Sedangkan menurut al-Junaidi, tasawuf adalah hendaklah kaum sufi
bersama Allah SWT saja, tidak punya hubungan lain.[25]
Beberapa pendapat tersebut di atas, sebagian memahami
tasawuf sebagai
akhlak yang berarti pengamalan praktis, sedangkan yang lain menyatakan bahwa
tasawuf merupakan ilmu yang berarti teori. Pengamalan praktis membutuhkan teori
dan teori juga memerlukan pengamalan. Maka sebenarnya pendapat-pendapat
tersebut saling melengkapi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf
adalah ilmu untuk mensucikan jiwa, menjernihkan hati dengan tunduk kepada Allah
SWT dan menghiasinya dengan akhlak terpuji agar sampai (wushul) kepada Allah SWT.
Berdasarkan
pengertian pendidikan dan pengertian tasawuf tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian pendidikan tasawuf adalah bimbingan, pengajaran
dan pelatihan yang dilakukan oleh seorang pendidik (mursyid) terhadap murid atau peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat untuk mensucikan jiwa, menjernihkan hati dengan mendekatkam
diri kepada Allah SWT sehingga mampu sampai (wushul) kepada-Nya agar tercapai kebahagiaan yang hakiki di dunia
dan di akhirat.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Korelasi
Filsafat ilmu dengan Tasawuf
Orang
yang beriman meyakini bahwa kebenaran yang mutlak adalah wahyu, karena wahyu
adalah firman Allah dan Allah adalah Yang Maha Benar. Lalu, untuk apa orang
beragama masih perlu berfilsafat? Jawabannya adalah bahwa filsafat dan agama,
asal dipahami dengan benar, tidak bersaing satu sama lain, melainkan dapat
saling menunjang. Filsafat tidak bermaksud menjawab semua pertanyaan mendalam
dari manusia dan tidak bermaksud menentukan tata cara manusia harus hidup. Hal
itu adalah fungsi agama. Filsafat menyediakan sarana-sarana intelektual untuk
menangani permasalahan-permasalahan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan secara
wajar. Sarana ini juga diperlukan agama. Secara sederhana, filsafat dapat
membantu orang-orang beragama untuk mengerti ajaran agama mereka dan untuk
menjawab masalah-masalah kehidupan dengan tepat. Filsafat merupakan sarana yang
justeru membantu orang yang sudah berkeyakinan tentang bagaimana keyakinannya
itu dapat ditangani secara wajar berhadapan dengan segala tantangan.[26]
Secara
rinci filsafat dapat dikatakan membantu agama dalam empat hal, yaitu (1)
Filsafat dapat membantu agama dalam menginterpretasikan teks-teks kitab
sucinya, filsafat membantu dalam memastikan arti obyektif tulisan wahyu (2)
Filsafat menyediakan metodemetode pemikiran untuk teologi (3) Filsafat membantu
agama dalam menghadapi masalahmasalah baru (4) Filsafat membantu agama dalam
menghadapi tantangan ideologi-ideologi, baik dari luar maupun dari dalam.
Filsafat
dengan agama tidak saling menyaingi dan tidak saling berbenturan. Memang
pembahasan agama bersumber dari teks sumber agama, yaitu al-Quran, hadits dan
berangkat dari keyakinan terhadap kebenaran, sedangkann filsafat bersumber dari
akal dan berangkat dari keraguan terhadap kebenaran. Tetapi Islam sangat
menghargai akal, karena akal mampu berpikir obyektif, membandingkan,
menganalisis dan memutuskan dalam mencari kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan
sabda Nabi Muhammad SAW :
Apabila seorang hakim memutuskan
perkara lalu dia berijtihad (bersungguh-sungguh dalam menetapkan hukum
berdasarkan al-Quran dan hadits), kemudian benar benar, maka dia mendapat dua
pahala dan apabila dia memutuskan perkara, lalu dia berijtihad, kemudian salah,
maka dia mendapat satu pahala.[27]
Untuk
ini, maka harus diketahui fungsi filsafat itu. Pada umumnya studi filsafat
semakin menjadikan orang mampu untuk menangani pertanyaan-pertanyaan mendasar
manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi
filsafat membantu untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan esensi manusia tentang
makna realitas (filsafat teoritis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat
praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari luar jalur, secara sistimatis dan
secara historis.
Secara
sistimatis berarti filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani
masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan,
baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab, keadilan dan sebagainya.
Melalui sejarah filsafat, orang belajar memahami, menanggapi dan belajar dari
jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filosuf
terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hal ini memberikan kemampuan
yang memang sangat dibutuhkan oleh segenap orang yang hidup di jaman modern
sekarang yang memang harus dan mau memberikan pengarahan, bimbingan dan
kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat, terutama tentang (a)
Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan cara
mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia
yang paling hakiki serta mendalami jawaban-jawaban yang diberikan oleh para
pemikir terbesar umat manusia, wawasan dan pengertian sendiri diperluas (b)
Kemampuan untuk menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi,
pendapat-pendapat, tuntutantuntutan dan legimitasi-legimitasi dari berbagai
agama, ideologi dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat merupakan kritik
ideology (c) Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam
menjalani studi-studi di ilmu-ilmu khusus, termasuk teologi (d) Pemecahan
problem pendidikan tasawuf, pembentukan teori-teori baru dan pembaruan dalam
pendidikan tasawuf sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, mengingat tasawuf
sebagai salah satu solusi mengatasi kekeringan spiritual bagi masyarakat
modern.[28]
Dengan
demikian, filsafat sangat diperlukan bagi orang-orang yang memiliki profesi
pembimbingan terhadap masyarakat luas, seperti pendidik, para tokoh agama,
ilmuwan dan lain-lain.
2.
Implementasi
Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Tasawuf
Strategi
penerapan dan pengembangan ilmu di sini adalah yang bercorak bahwa ilmu dan
konteksnya saling melebur diri, ilmu untuk meningkatkan martabat manusia.
Penerapan filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu tasawuf berhasil guna dan
berdaya guna untuk meningkatkan martabat manusia. Penerapan filsafat ilmu dalam
pengembangan ilmu tasawuf, dengan cara melihat ilmu tasawuf secara keseluruhan
berdasar bidang garapan filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistimologi dan
aksiologi.
a.
Ontologi Ilmu Tasawuf
Ontologi
ilmu tasawuf meliputi hakikat ilmu tasawuf, asal ilmu tasawuf dan sumber ilmu
tasawuf.
1) Hakikat
tasawuf Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang
Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tasawuf merupakan “pusaka
keagamaan” dalam Islam. Adapun isi pokok ajaran tasawuf dibawa oleh Jibril as.
yang didiskusikan dengan Nabi SAW di tengah-tengah para sahabat, dapat
disimpulkan atas tiga ajaran pokok, yaitu iman, Islam dan ihsan. Ihsan adalah
jika manusia mampu mengabdi kepada Allah SWT seakan-akan melihat-Nya. Jika
tidak bisa demikian, maka sesungguhnya Dia melihat manusia.[29]
Sendi ihsan inilah yang kemudian dikembangkan dalam tasawuf. Tasawuf berarti
penjernihan hati yang merupakan dasar pokok kekuatan batin pembersih jiwa.
Tasawuf adalah jalan manusia dalam berusaha untuk mengendalikan hawa nafsunya
supaya lahir kembali di dalam ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan
dengan yang benar.[30]
Kesadaran berada dekat dengan Allah SWT ini dapat mengambil bentuk al-ittihad
atau bersatu dengan Allah SWT.
Teori
tasawuf adalah ilmu tasawuf itu sendiri, tetapi jika ilmu tasawuf ini diamalkan
oleh seseorang, maka pengamalan ilmu tasawuf ini merupakan aliran tasawuf untuk
mencapai derajat tertinggi, yaitu kedekatan dengan Allah SWT. Dalam pengamalan
ilmu tasawuf ini, mutlak diperlukan seorang guru yang dikenal dengan mursyid.
Maka dalam hal ini maka terjadilah proses pendidikan tasawuf yang di dalamnya terdiri
dari pendidik (mursyid), peserta didik (murid), materi pendidikan tasawuf,
metode pendidikan tasawuf dan tujuan pendidikan tasawuf.
2) Asal-usul aliran tasawuf
Teori-teori
mengenai asal timbul atau munculnya aliran ini dalam Islam juga berbedabeda.
Pertama, teori yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh Nasrani, dengan paham
menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur
Arab, memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib (pendeta) yang mengasingkan
diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi
penunjuk jalan bagi kafilah yang berlalu. Kemah mereka yang sederhana menjadi
tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi
tempat memperoleh makan bagi musafir. Kedua, pengaruh filsafat mistik
Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di
dunia sebagi orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan
roh yang sebenarnya adalah di alam langit (samawi). Untuk memperoleh hidup
senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup
materi. Ketiga, adanya pengaruh filsafat emanasi dari Plotinus yang mengatakan
bahwa wujud ini memancar dari dzat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh
menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih
dahulu dibersihkan. Pensucian roh adalah dengan cara meninggalkan dunia dan
mendekati Tuhan sedekat mungkin, jika bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula
bahwa filsafat ini memiliki pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi
dalam Islam. Keempat, pengaruh dari ajaran agama Budha dengan paham nirwananya
(Islam : surge). Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan
memasuki hidup kontemplasi. Paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir
serupa dengan faham nirwana ini. Kelima, pengaruh dari ajaran agama Hindu yang
juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekat Tuhan untuk
mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[31]
Inilah
beberapa paham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi timbul dan
munculnya sufisme di kalangan umat Islam. Belum mampu dibuktikan tentang
kebenaran teori ini. Namun Islam memiliki pandangan sendiri dalam hal ini,
bahwa baik ada atau tidak adanya pengaruh-pengaruh dari luar, sufisme dalam
Islam terlahir bersamaan dengan kelahiran agama Islam. Di dalam al-Quran
terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhannya,
seperti QS. al-Baqarah : 186 berikut ini : Artinya : Jika hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Aku dekat dan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku
dipanggil. Tuhan di sini berfirman bahwa Dia sangat dekat dengan manusia dan
mengabulkan permintaan orang yang meminta. Oleh kaum sufi ini diartikan
berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan orang yang ingin dekat pada-Nya. Begitu
juga dengan kandungan makna dari QS. al-Baqarah : 115 di bawah ini : Artinya : Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah, ke
mana saja kamu menghadap di situ ada Dzat Allah. Ke mana saja manusia
menghadap, manusia akan berjumpa dengan Allah SWT. hal ini menunjukkan
demikian dekatnya manusia kepada Allah SWT. Ayat berikut dengan lebih tegas
mengatakan betapa dekatnya manusia kepada Allah SWT, yaitu QS. Qaf : 16 :
Artinya: Telah Kami ciptakan manusia dan
Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadaNya. Kami lebih dekat kepada
manusia dari pada pembuluh darah yang ada di lehernya. Ayat ini mengandung
arti bahwa Allah SWT ada di dalam, bukan di luar diri manusia. Paham yang sama
diberikan ayat ini kandungan makna dari QS. al-Anfal : 17 berikut ini : Artinya : Bukanlah kamu yang membunuh, tapi
Allahlah yang membunuh mereka dan bukanlah engkau yang melontar ketika engkau
melontar, tetapi Allahlah yang melontar. Ayat di atas dapat diartikan bahwa
Allah SWT dengan manusia sebenarnya satu. Perbuatan manusia adalah
perbuatan-Nya juga. Bukan ayat-ayat al-Quran saja, tetapi juga hadits ada yang
menyatakan dekatnya hubungan manusia dengan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda : Orang yang mengetahui dirinya,
itulah orang yang mengetahui Allah.[32]
Hadits ini juga mengandung arti bahwa manusia dengan Allah SWT adalah satu.
Untuk mengetahui-Nya, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup masuk ke dalam
dirinya dan mencoba mengetahui dirinya. Dengan kenal pada dirinya, maka manusia
akan kenal kepada Allah SWT dan kemahakuasaan-Nya. Terlepas dari kemungkinan
adanya atau tidak adanya pengaruh dari luar, ayat-ayat serta hadits-hadits
tersebut di atas dapat membawa kepada timbulnya ilmu tasawuf dalam Islam. Maka
sebenarnya asal usul ilmu tasawuf adalah dari ajaran Islam itu sendiri yang
dibawa oleh Nabi SAW melalui perantara malaikat Jibril dari Allah SWT. Jika
asal usul tasawuf itu dari ajaran Islam itu sendiri, maka nyata pula bahwa
sumber dari ajaran tasawuf adalah al-Quran, hadits dan hasil ijtihad para
ulama’ sufi, yang hal ini sudah diterapkan sejak kelahiran Islam, yaitu pada
periode Nabi SAW.
b. Epistimologi
Ilmu Tasawuf
Dalam
epistimologi ilmu tasawuf ini akan dibahas cara memperoleh atau mendalami ilmu
tasawuf. Secara teoritis, sub tema ini dibagi menjadi tiga hal. Pertama,
serba–ilham atau intuisionisme. Serba-ilham atau intuisionisme berhubungan
dengan tasawuf. Ilham itu sendiri memainkan peranan penting dalam segala ilmu,
termasuk tasawuf. Teori ilham menurut Bergson adalah jalan untuk mengetahui
realitas, yang melaporkan kehidupan dinamis dunia yang selalu dalam perubahan
dan pembaharuan. Sifat kreatif yang hakiki alam hilang dalam pengetahuan yang
berdasarkan pemikiran. Hanya pengalaman ilham memberikan laporan yang benar
tentang itu. Melalui intuisi manusia memperoleh penghayatan tentang realitas
batin. Untuk memahami perbedaan pengetahuan intelek dan pengetahuan intuisi
dapat diambil, misalnya tentang cinta. Cinta dapat diterangkan panjang lebar,
tetapi pengetahuan yang sesungguhnya tentang cinta baru didapat jika cinta itu
dialami sendiri.[33]
Ilham dan intuisi merupakan salah satu cara dalam memperoleh ilmu tasawuf.
Seseorang baru dapat mengetahui banyak dan menyelami sedalam-dalamnya tentang
ilmu tasawuf jika sudah mengalami sendiri dan selanjutnya dapat mengembangkan
tasawuf ini melalui ilham dan intuisi.
Kedua, serba–budi atau rasionalisme.
Serba–budi atau rasionalisme menduduki tempat penting dalam teori pengetahuan.
Tokohnya adalah Descartes, Leibniz, Spinoza dan Wallff. Mereka beranggapan
bahwa sumber pengetahuan manusia itu adalah budi. Budi itu ada pada subyek.
Maka asal pengetahuan harus dicari pada subyek. Rasio itu berpikir. Berpikir
inilah yang membentuk pengetahuan. Karena manusia yang berpikir, maka hanya
manusia yang berpengetahuan. Berdasarkan pengetahuan ini, berlaku dan berbuat
dalam menentukan tindakannya.[34]
Ilmu tasawuf dapat dikuasai oleh seseorang di samping dengan cara ilham dan
intuisi, juga melalui pendayagunaan rasio yang maksimal. Hubungan antara akal
(rasio) dan intuisi adalah erat, baik dari segi asal-usulnya maupun
operasionalnya yang bersifat interaktif fungsional. Jika tasawuf diklaim
sebagai pengetahuan intuitif, maka sesungguhnya secara simultan memiliki
segi-segi rasionalitas yang jelas, sebab intuisi merupakan piranti manusia
untuk memperoleh pengetahuan yang berada dalam rasionalitas manusia itu
sendiri. Pengetahuan intuitif tidak lain hanyalah gerak akal pikiran yang
meningkat untuk dapat meraih pencapaian pengetahuan transendental-immaterial.[35]
Ketiga,
serba–pengalaman atau empirisme. Serba–pengalaman atau empirisme menganggap
bahwa sumber dan berlakunya pengetahuan adalah aspek empiris dari pengalaman.
Budi manusia tidak dilengkapi dengan pengetahuan apriori atau dibawa dengan
kelahiran. Akal itu seperti tabula rasa (lembaran kosong) yang ditulisi oleh
pengalaman. Oleh karena itu, pengetahuan apapun yang diperoleh adalah berakar
atau bergantung pada pengalaman. Sensasi adalah awal pengetahuan. Dalam ilmu
tasawuf juga dikembangkan melalui pengalaman. Pengalaman spiritual meningkatkan
kedalaman dan keluasan pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang dalam
perjalanan kehidupan tasawufnya. Hal ini mutlak diperlukan agar seseorang dapat
mencapai pada tingkat ma’rifat, sebuah tingkat kesucian hidup di alam roh dan
mengetahui hakikat dan kebesaran Allah, ataupun ittihad sebagai sebuah
bersatunya manusia dengan Tuhannya.
Secara
operasional, tasawuf adalah ilmu yang aplikatif, dapat dirasakan kegunaan dan
manfaatnya jika sudah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun menurut
paham ilmu untuk ilmu itu tetap berguna. Maka di samping epistimologi secara
teoritis, secara operasional juga tidak kalah pentingnya untuk dibahas. Tasawuf
menuntun manusia ke arah kedalaman cinta yang hakiki, kekotoran hati tidak akan
memperoleh mutiara-mutiara cinta yang hakiki tanpa menyelam kearah kedalaman
lautan ilahi (dzikr). Atas dasar ini, terjadi suatu tata cara dalam bentuk
pendidikan budi pekerti yang tersusun atas dasar tiga tingkat. Pertama adalah
takhalli, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela, maksiat lahir
maupun batin. Kedua tahalli yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji
dari taat lahir dan batin. Ketiga tajalli yaitu merasakan rasa ketuhanan yang
sampai mencapai kenyataan Tuhan.[36]
Adapun
beberapa tingkatan atau maqamat yang
harus dilalui dalam tasawuf adalah (a) Taubat yang sebenar-benarnya, taubat
yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Taubat ini tidak dapat dicapai hanya
sekali. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme adalah lupa pada segala hal
kecuali Allah SWT. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada-Nya, maka
senantiasa mengadakan kontemplasi tentang-Nya. Allah SWT berfirman : Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia, sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah
kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Orang
yang bertaubat harus memenuhi syarat al-nadm atau penyesalan, al-iqla’ atau
meninggalkan dosa, al-istighfar atau memohon ampun dan al-ta’abbud atau rajin
beribadah.[37]
(b) istiqamah yang berarti kebenaran atau ketulusan dalam melaksanakan
pengabdian diri kepada Allah SWT secara terus menerus tanpa menghitung-hitung
berapa banyak yang telah melakukan kebaikan atau ibadah. Allah SWT
memerintahkan hamba-Nya untuk melaksanakan istiqamah dengan firma-Nya dalam QS.
Hud : 112 berikut ini : Artinya : Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Allah menganugerahkan
kepada orang yang dapat melaksanakan istiqamah ini, sebagaimana firman-Nya
dalam QS. Fushshilat 30 berikut ini : Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah
Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah
kepadamu. Orang-orang yang mampu melakukan istiqamah ini akan dianugerahi
oleh Allah SWT berupa kebahagiaan dan surga, tidak ada ketakutan dan kesedihan
dan mendapatkan rejeki yang melimpah (c) zuhud, yang berarti kekosongan hati
dari ketergantungan kepada selain Allah SWT. Zuhud berarti mengosongkan hati
dari cinta kepada dunia dan semua keindahannya serta mengisinya dengan cinta
kepada Allah SWT dan ma’rifat kepada-Nya.[38]
Menjadikan dunia untuk kebahagiaan akhirat, membenci dunia untuk dunia an sich,
untuk hidup dalam kemewahan. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih
dahulu menjadi zahid (asketik). Zuhud tidak berarti hidup dalam kemelaratan dan
kemiskinan. Allah SWT yang menjamin kebutuhan materinya. Hal ini telah
difirmankan Allah SWT dalam QS. alThalaq : 2-3 berikut ini : Artinya : Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rejeki dari
arah yang tiada disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu. (d) wara’ adalah meninggalkan segalanya yang di
dalamnya terdapat syubhat atau keraguraguan tentang kehalalan sesuatu. Para
sufi menolak segala makanan yang di dalamnya terdapat unsur syubhat (e) shabar
dan syukur. Sabar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah SWT, dalam
menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan-cobaan yang
ditimpakan-Nya kepada diri sufi. Syukur berarti berterima kasih kepada Allah
SWT atas segala nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Bersyukur dalam segala
hal, dalam hal yang menyenangkan maupun yang menyusahkan[39]
(f) qana’ah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan
menganggap cukup dengan sesuatu yang ada[40]
(g) raja’ yang berarti kepercayaan dan pengharapan atas ridha dan karunia Allah
SWT yang dibuktikan dengan amal. Mengharap karunia Allah SWT ini diperintahkan
oleh-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini : Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (h) tawakkal
adalah berserah diri kepada Allah SWT setelah berusaha, berserah atas qadha’
dan putusan atau taqdir dari-Nya. Selamanya berada dalam keadaan tenteram. Jika
memperoleh pemberian, berterima kasih, jika belum mendapat pemberian dari-Nya,
maka dia akan bersikap sabar dan berserah diri kepada-Nya (i) ridha, yang
berarti bahwa dengan senang hati menerima semua taqdir dari-Nya. Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima cobaan sebagaimana merasa senang
menerima nikmat.[41]
Selain
melalui tahapan-tahapan tersebut di atas, untuk memperoleh ilmu tasawuf, perlu
melaksanakan amalan-amalan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh guru atau
mursyid, antara lain adalah istighfar, wirid, dzikir, shalawat Nabi, ‘ataqah,
istighatsah,[42]
fida’ dan muqarabah.[43]
Inilah beberapa cara dan sarana yang harus ditempuh oleh seseorang untuk
mendapatkan ilmu tasawuf atau pengalaman tasawuf yang sebenar-benarnya di bawah
bimbingan pengajaran dan pengawasan seorang guru atau mursyid.
c. Aksiologi
Tasawuf
Dalam
aksiologi ilmu tasawuf ini akan diuraikan tentang keguanaan ilmu tasawuf dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 1) Kegunaan tasawuf Kegunaan tasawuf
berarti tujuan tasawuf, yaitu penyucian jiwa atau tazkiyah al-nafs, pembersihan hati atatu tashfiyah al-qulub dan
pendekatan diri kepada Allah SWT atau taqarrub ilallah. Tazkiyah al-nafs dan tashfiyah al-qulub adalah kondisi jiwa dan
hati yang merasa tenang dan tenteram serta bahagia melalui berdekatan dengan
Allah SWT yang dicapai melalui tahapan-tahapan dan amalan-amalan tasawuf dengan
sungguh-sungguh. Sehingga seorang sufi mampu mencapai tingkat kesucian hidup
dalam alam rohani, memiliki pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakikat
dan rahasia kebesaran-Nya, dzat, sifat dan perbuatanNya. Orang yang telah
sampai ke tingkat ini dinamakan sebagai wali, yang memiliki kemampuan luar
biasa, yang biasa disebut karamah atau super-natural.[44]
Kondisi yang dapat dicapai para sufi dan sekaligus menjadi tujuan yang ingin
dicapainya dalam perjuangan panjangnya ini antara lain adalah (a) Haqiqat yang
menurut Ahmad Said dimaknai sebagai melihat segala sesuatu dari sisi inti atau
esensinya dan mengakui bahwa segala perbuatan itu dari-Nya.[45]
Sedangkan menurut Amin Kurda, haqiqat adalah menipisnya tabir antara seseorang
dengan Tuhannya, membersihkan diri dari akhlak tercela dan menghiasinya dengan
akhlak terpuji serta melaksanakan amal kebaikan[46]
(b) Ma’rifat yang dalam istilah Barat disebut dengan gnosis, yaitu pengetahuan
yang hakiki tentang Allah SWT. Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang
sanggup melihat Tuhannya dengan hati sanubari. Sifat ini ini hanya dimasukkan
oleh Allah SWT ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya
(c) Ittihad yang berarti merasa dirinya bersatu dengan Allah SWT. ini adalah
suatu tingkatan saat yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dari dekat.
Dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, meskipun sebenarnya ada dua wujud
yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad mampu terjadi pertukaran antara yang mencintai dan
yang dicintai, antara sufi dan Tuhannya (d) Hulul yang merupakan paham yang
mengatakan bahwa Allah SWT memilih jasad-jasad manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam jasad itu
dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, Allah SWT memiliki dua nature atau sifat dasar,
yaitu ketuhanan atau lahut dan kemanusiaan atau nasut. Dalam diri manusia ada
sifat lahut dan pada Tuhan ada sifat nasut. Dengan demikian persatuan antara
Tuhan dengan manusia bisa saja terjadi. Persatuan ini dalam filsafat al-Hallaj
mengambil bentuk hulul, yang berarti mengambil tempat atau inkarnasi Agar mampu
bersatu itu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiannya dengan fana’. Jika sifat-sifat nasut ini telah hilang dan yang
tinggal hanya sifat-sifat lahut yang ada pada dirinya, di situlah baru Allah
SWT dapat mengambil tempat dalam dirinya (e) Wahdatul Wujud yang berarti
kesatuan wujud atau unity of existence. Paham ini adalah kelanjutan dari paham
hulul. Penjelasan filsafat ini dapat diberikan sebagai berikut. Makhluk
dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Allah SWT, sebagai sebab dari
segala yang berwujud selain diri-Nya. Yang berwujud selain Allah SWT tidak akan
memiliki wujud, sekiranya Dia tidak ada. Allah SWT sebenarnya yang memiliki
wujud hakiki. Yang dijadikan hanya memiliki wujud yang bergantung pada wujud
yang di luar dirinya, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, hanya ada satu wujud,
yaitu wujud Allah SWT.[47]
2) Nilai-nilai
dalam tasawuf
Terdapat
beberapa nilai yang terkandung dalam ilmu tasawuf. Pertama adalah spiritualisme
yang dibutuhkan oleh masyarakat modern. Dalam kondisi apa pun manusia tidak
mampu melepaskan diri dari mustikanya yang bernuansa esoteris dan bersifat
transendental. Sehingga kehidupan manusia selalu berusaha menggapainya ketika
terlupakan. Sufisme tampil sebagai sebuah oase di gurun pasir yang membingkai
kecenderungan spiritualisme manusia modern yang kian merasakan kegersangan
hidup.[48] Kedua adalah ideologi perjuangan.
Tasawuf adalah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbaik, ideologi
kemenangan batin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan
meninggalkan dunia kekalahan untuk membina menjadi dunia kemenangan. Tasawuf
merupakan suatu jalan yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap moral, tahap
etikopsikologis dan tahap metafisik.[49]
Ketiga adalah nilai dakwah. Tasawuf sebagai paradigma dakwah di era modern.
Dengan demikian spiritualisme dalam bentuk tasawuf menjadi kebutuhan secara
imperatif sepanjang hidup manusia dalam semua bentuk perkembangan masyarakat.
Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus berfungsi sabagai
paradigma dakwah agar mampu mendorong peningkatan etos kerja dan bukan sebagai
pelarian dari ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi hidupnya. Sedangkan
untuk masyarakat maju industrial,
spiritualisme berfungsi sebagai paradigma dakwah dalam bentuk tali penghubung
dengan Tuhan.[50]
Berbagai
uraian di atas adalah aksiologi ilmu tasawuf. Jika dianalisis dengan cermat,
maka sebenarnya tujuan akhir dan nilai yang ingin diperoleh dalam tasawuf
adalah kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan ini, baik dalam kehidupan di
dunia maupun kehidupan di akhirat nanti, baik secara individu maupun dalam
kahidupan masyarakat. Tasawuf adalah ilmu atau teori, untuk dapat diterapkan,
diamalkan dan disebarkan kepada seluruh lapisan masyarakat adalah dengan
melalui pendidikan. Dalam pendidikan tasawuf terdapat perbedaan-perbedaan
tertentu dengan pendidikan pada umumnya, baik pada pendidik atau mursyid,
peserta didik, materi, metode maupun tujuannya.
Setelah
memahami ontologi, epistimologi dan aksiologi tasawuf dari uraian di atas,
dapat diperoleh pemahaman secara utuh tentang ilmu tasawuf, bukan
sepotong-sepotong sehingga menimbulkan kesan yang tidak simpatik terhadap
tasawuf. Hal ini akan mampu membantu pelaksanaan pengembangan pendidikan
tasawuf yang memang secara disadari atau tidak disadari, masyarakat pada jaman
modern ini sangat memerlukan pendidikan tasawuf ini.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan tentang korelasi filsafat ilmu dengan Tasawuf
yang telah dibahas di atas, dapat
diambil suatu kesimpulan yang diantaranya :
1. Orang
beragama perlu berfilsafat karena filsafat dapat membantu agama dalam
menginterpretasikan teks-teks kitab sucinya, menghadapi masalah-masalah baru,
menghadapi tantangan ideologi-ideologi baik dari luar maupun dari dalam dan
menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi.
2. Penerapan
filsafat ilmu dalam pengembangan pendidikan tasawuf ini adalah dengan cara
memandang tasawuf secara keseluruhan berdasarkan bidang garapan filsafat ilmu,
yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi, untuk disampaikan kepada masyarakat
menyesuaikan dengan taraf berpikirnya, meliputi masyarakat desa, masyarakat
kota, masyarakat bawah menengah dan kalangan atas, sehingga proses
pendidikan tasawuf dapat diterima di segala lapisan masyarakat.
3. Ontologi
ilmu tasawuf adalah pengertian ilmu tasawuf itu sendiri, yaitu ilmu yang
mempelajari cara dan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya sedekat mungkin.
Asalusul tasawuf ini terdapat banyak pendapat, antara lain pengaruh dari agama
Nasrani, filsafat mistik dari Pythagoras, filsafat emanasi Plotinus, ajaran
agama Budha atau ajaran agama Hindu. Namun semua itu belum pasti kebenarannya.
Yang sudah pasti benar adalah bahwa tasawuf berasal dari ajaran Islam yang
bersumber dari al-Quran dan hadits.
4. Epistimologi
ilmu tasawuf merupakan cara memperoleh ilmu tasawuf secara teoritis dengan
serba-ilham atau intuisionisme, serba-budi atau rasionalisme dan
serbapengalaman atau empirisme. Sedangkan secara opersional adalah dengan cara
melaksanakan tahapan-tahapannya, yaitu taubat, istiqamah, zuhud, wara’, sabar,
qana’ah, raja’, tawakkal dan ridha serta melaksanakan amalan-amalan dalam
pendidikan tasawuf, antara lain istighfar, dzikir, wirid, shalawat Nabi,
istighatsah, ‘ataqah atau fida’ dan muqarabah.
5. Aksiologi
ilmu tasawuf adalah agar seseorang dapat memiliki jiwa suci, hati jernih,
bahagia dan tenteram karena merasa dekat dengan Tuhannya. Kemudian pada
tingkatan tertinggi dapat mencapai tingkat kesucian hidup dalam alam ruhani,
memiliki pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakikat serta rahasia tentang
Allah SWT yang disebut dengan ma’rifah, ittihad, hulul dan wahdatul wujud.
Sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam tasawuf adalah spiritualisme
yang dibutuhkan masyarakat modern, ideologi perjuangan dan nilai-nilai dakwah.
PUSTAKA ACUAN
A.
Susanto.
2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara.
Abu al-Qasim ‘Abd Karim Hawazin al-Qusyairi. tt. Al-Risalah al-Qusyairiyyah, Kairo : Dar al-Khair.
Abu Bakar Sirajuddin. 1996-2001 Hassan Hanafi and Reconstruction of Tasawuf, Sufi Psychology Association Journal Davis. CA 95617. The Science of The Soul Sufism, Vol. 1, Issue 1 @SPA@.
Ahmad Ibnu ‘Ujaibah. tt. Mi’raj al-Tasawwuf ila Haqaiq al-Tasawwuf, Beirut : Dar al-Hilal.
Abdul Qadir Isa. 2005. Hakikat Tasawuf, Jakarta : Qithi
Press.
Abd. Wahab al-Sya’rani. tt. Minah al-Saniyyah, Surabaya : al-Hidayah.
A.
Fuad Said. 1993. Hakikat Thariqah Naqsabandiyah, Jakarta : PT. Al-Husna.
Ahmad Rivai
Siregar. 2000. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ahmad Said Asrori. 1998. Kifayah al-Atqiya’,
jilid 1, Surabaya : al-Miftah.
Ahmad Tafsir. 2004. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Rohim Agensi.
Ali Mudhafir. 1999. Sufism and Psychological Therapuitic in Urban Society. International Journal Ihya’ Ulum al-Din, No. 3,
Vol. 3.
Armyn Hasibuan. 2015. Peranan AjaranTasawuf dalam Pembinaan Kesehatan Mental. HIKMAH: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam 8.1.
Departemen Agama RI, 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Toha Putra.
Franz Magnis Suseno. 1992. Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Gie
The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Liberty.
Harun Nasution. 1973. Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Huston Smith. 2001. Kebenaran yang Terlupakan Kiritik atas Sains dan
Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta : IRCiSoD.
Imam Bukhari. 2003. Shahih Bukhari, terj. Imam
al-Mundziri, Jakarta : Pustaka Amani.
Imam Muslim. tt. Shahih Muslim, jilid 1, Kairo : Syirkah
al-Babi al-Halabi.
Jujun S. 2005 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler).
Jakarta: PT. Pancaranintan Indgraha.
Koento
Wibisono Siswomihardjo. 8 April 2004. Artikel
Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Surabaya : Pascasarjana IAIN Sunan Ampel.
Masyaruddin.1999. Sufsm And Intellectual. International Journal Ihya’ al-Din,
No. 2, Vol. 2.
Mihmidaty Ya’cub. 2011. Pendidikan Tasawuf dan Aplikasinya, Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press.
Muhammad Amin Kurdi. 1995. Tanwir al-Qulub. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Muhammad Shodiq ‘Urjun. 1967. Al-Tashawwuf fil Islam. Kairo : Mathba’ah al-Kulliyah al-Azhariyah.
M. Amin Syakur. 1999. The Social Consequence of Tasawuf. International Journal Ihya ‘Ulum al-Din, No. 1, Vol. 1.
Muhammad Zainul Mustain. 2015. Tasawuf Perekat Pendidikan
Di Era Teknologi."jurnalstudiislam: Panca Wahana 10.1.
Richard Haag, “Sufism and Modernization,” Sufi Psychology Association
Journal Davis, CA 95617, The Science of The Soul.
Ramayulis.
2006. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia.
Saifuddin Zuhri 1980. Kebangkitan
Ummat Isalm dan Peranan NU di Indonesia, PCNU Surabaya: Bina Dwi Swadaya.
Semiawan, Conny
et al. 1998. Dimensi Kreatif
dalam Filsafat Ilmu. Bandung: CV Remaja Karya.
Sidi Gazalba.
1991. Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan
Bintang.
Tim Penyusun. 2004. Antologi Kajian Islam, ed. Syaichul Hadi Permono dkk, Surabaya :
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel.
Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Fokus Media, Bandung.
Zamraji Saeraji. 1986. al-Tadzkirat al-Nafi’at fi Silsilah al-Thariqah
al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, jilid 2, Pare :
tp.
[1] Muhammad Zainul Mustain. "Tasawuf Perekat Pendidikan
Di Era Teknologi."jurnalstudiislam:
Panca Wahana 10.1 (2015), hlm. 98-124.
[3] Huston
Smith, Kebenaran yang Terlupakan Kiritik atas Sains dan Modernitas, terj.
Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2001.), hlm. 130.
[4] Franz Magnis
Suseno, Berfilsafat Dari Konteks (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1992), hlm. 17.
[5] M. Amin Syakur, “The Social Consequence of Tasawuf,” International
Journal Ihya ‘Ulum al-Din, No. 1, Vol. 1, (1999), hlm. 78.
[6]
A. Rivai Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke
Neosufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 12.
[7]
Armyn Hasibuan. "Peranan AjaranTasawuf dalam Pembinaan Kesehatan
Mental." HIKMAH:
Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi
Islam 8.1 (2015), hlm. 30-39.
[8]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Jakarta: Toha Putra,1989), hlm. 373.
[9] Koento Wibisono Siswomihardjo, Artikel Mata Kuliah Filsafat Ilmu
(Surabaya : Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 8 April 2004), hlm. 14.
[10]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 58.
[11] Semiawan,
Conny et al. Dimensi
Kreatif dalam Filsafat
Ilmu. CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hlm. 58.
[12]
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm. 49.
[13]
Ibid.,hlm. 50.
[14]
Ibid
[15]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 16.
[22]
Saifuddin Zuhri dalam Kebangkitan
Ummat Isalm dan Peranan NU di Indonesia, PCNU Surabaya, Bina Dwi Swadaya,
1980, hlm. 101.
[24] Ahmad Ibnu
‘Ujaibah, Mi’raj al-Tasawwuf ila Haqaiq al-Tasawwuf (Beirut : Dar
al-Hilal, tt.), hlm.7.
[25] Abu al-Qasim
‘Abd Karim Hawazin al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyyah (Kairo : Dar
al-Khair, tt.), hlm. 417.
[27] Imam
Bukhari, Shahih Bukhari, terj. Imam al-Mundziri (Jakarta : Pustaka
Amani, 2003), hlm. 586-587.
[30] Tim Penyusun, Antologi Kajian Islam, ed.
Syaichul Hadi Permono dkk
(Surabaya : Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2004), hlm.19.
[35] Masyaruddin,
“Sufsm And Intellectual,” International Journal Ihya’ al-Din,
No. 2, Vol. 2 (1999), hlm. 77.
[39] Mihmidaty
Ya’cub, Pendidikan Tasawuf dan Aplikasinya (Surabaya : IAIN Sunan Ampel
Press, 2011), hlm. 214.
[42] Zamraji Saeraji, al-Tadzkirat al-Nafi’at fi Silsilah
al-Thariqah al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, jilid 2 (Pare : tp, 1986),hlm.
4.
[43] Muhammad
Shodiq ‘Urjun, Al-Tashawwuf fil Islam (Kairo : Mathba’ah al-Kulliyah
al-Azhariyah, 1967), hlm. 39.
[48] Ali Mudhafir, “Sufism and Psychological Therapuitic in
Urban Society,” International Journal Ihya’ Ulum al-Din, No. 3, Vol. 3
(1999), hlm. 56.
[49] Abu Bakar Sirajuddin, “Hassan Hanafi and Reconstruction
of Tasawuf,” Sufi Psychology Association Journal Davis, CA 95617, The
Science of The Soul Sufism, Vol. 1, Issue 1 @1996-2001 SPA@.
[50] Richard Haag, “Sufism and Modernization,” Sufi Psychology Association
Journal Davis, CA 95617, The Science of The Soul Sufism, Vol. 2, Issue 2
@1996-2001 SPA@.
0 komentar:
Posting Komentar