Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik
yaitu nilai, kebutuhan atau peluang yang tak terwujudkan. Meskipun
masalah tersebut dapat diidentifikasi tapi hanya mungkin dicapai lewat
tindakan publik yaitu melalui kebijakan publik (Dunn dalam Nugroho,
2003:58). Karakteristik masalah publik yang harus diatasi selain
bersifat interdependensi (berketergantungan) juga bersifat dinamis,
sehingga pemecahan masalahnya memerlukan pendekatan holistik (holistic approach)
yaitu pendekatan yang memandang masalah sebagai kegiatan dari
keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan atau diukur secara terpisah dari
yang faktor lainnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan publik sebagai
instrumen pencapaian tujuan pemerintah.
Kebijakan publik adalah salah-satu kajian dari Ilmu Administrasi
Publik yang banyak dipelajari oleh ahli serta ilmuwan Administrasi
Publik. Berikut beberapa pengertian dasar kebijakan publik yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Dye (1981:1): “Public policy is whatever governments choose to do or not to do”.
Dye berpendapat sederhana bahwa kebijakan publik adalah apapun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sementara
Anderson dalam Public Policy-Making (1975:3) mengutarakan lebih spesifik bahwa: “Public policies are those policies developed by government bodies and official”.
Berhubungan dengan konteks pencapian tujuan suatu bangsa dan
pemecahan masalah publik, Anderson dalam Tachjan (2006i:19) menerangkan
bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai
maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan
atau suatu hal yang diperhatikan. Seiring dengan pendapat tersebut
Nugroho (2003:52) menjelaskan bahwa kebijakan publik berdasarkan
usaha-usaha pencapaian tujuan nasional suatu bangsa dapat dipahami
sebagai aktivitas-aktivitas yang dikerjakan untuk mencapai tujuan
nasional dan keterukurannya dapat disederhanakan dengan mengetahui
sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita telah ditempuh.
Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan baik yang
berorientasi pencapian tujuan maupuan pemecahan masalah ataupun
kombinasi dari keduanya. Secara padat Tachjan (Diktat Kuliah Kebijakan
Publik, 2006ii:31) menjelaskan tentang tujuan kebijakan publik bahwa
tujuan kebijakan publik adalah dapat diperolehnya nilai-nilai oleh
publik baik yang bertalian dengan public goods (barang publik) maupun public service
(jasa publik). Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh publik untuk
meningkatkan kualitas hidup baik fisik maupun non-fisik.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley dalam Tachjan (2006ii:17),
kebijakan publik memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan
hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational level.
Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif, sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya operational level
dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau
kementerian. Pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam
bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) kebijakan yang menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan.
Adapun proses kebijakan publik adalah serangkian kegiatan dalam
menyiapkan, menentukan, melaksanakan serta mengendalikan kebijakan.
Efektivitas suatu kebijakan publik ditentukan oleh proses kebijakan yang
melibatkan tahapan-tahapan dan variabel-variabel. Jones (1984:27-28)
mengemukakan sebelas aktivitas yang dilakukan pemerintah dalam kaitannya
dengan proses kebijakan yaitu: “perception/definition, aggregation,
organization, representation, agenda setting, formulation,
legitimation, budgeting, implementation, evaluation and
adjustment/termination”.
Tachjan (2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu:
- Perumusan kebijakan
- Implementasi kebijakan serta
- Pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai:
”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s administrative machinery to the problems. Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: “The execution of policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua pendekatan yaitu:
“Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and control (Lester Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
- Unsur pelaksana
- Adanya program yang dilaksanakan serta
- Target group atau kelompok sasaran.
”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan;
“A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Sasaran yang dikehendaki ,
- Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
- Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
- Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
- Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85)
Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan; “kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site of decision making), pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
- Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
- Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
- Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
- Bureaucraitic structure(struktur birokrasi)
- Resouces (sumber daya)
- Disposisition (sikap pelaksana)
- Communication (komunikasi)
- What is the precondition for successful policy implementation?
- What are the primary obstacles to successful policy implementation?
0 komentar:
Posting Komentar