HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DALAM
KERANGKA PENALARAN ILMIAH DAN IMPLEMENTASINYA
PADA BIDANG RISET
Diajukan Sebagai Salah
SatuTugas Mandiri
pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen
: Prof.
(em) Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja,SH.LLM.
Disusun Oleh :
Nama
: Ade Surahman
NPM
: L23.016.0021
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 4
BAB II ........ TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 5
A.
Hakekat Filsafat Ilmu............................................................. 5
B.
Metode
Ilmiah ……..................................................................... 6
BAB III ....... PEMBAHASAN..............................................................................
6
A.
Kontribusi Filsafat Ilmu terhadap Ilmu
Pemerintahan..................
16
B.
Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu
Pemerintahan…...............
32
BAB IV....... KESIMPULAN...................................................................
38
PUSTAKA ACUAN.................................................................................................
40
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang “Hubungan Filsafat
Ilmu Dalam Kerangka Penalaran Ilmiah Dan Implementasinya Pada Bidang Riset”
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu pada program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
(em) Dr. H. E.
Saefullah Wiradipradja,SH.LLM. selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah membimbing sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Terlepas dari semua itu, Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.
Akhir kata kami berharap
semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Bandung, Maret 2017
Ade Surahman
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena manusia mempunyai akal budi dan
kemauan yang kuat. Dengan akal budi dan kemauan yang kuat, manusia dapat
menjadi makhluk yang lebih dari makhluk lainnya. Manusia mempunyai ciri khas,
ia selalu ingin tahu, dan setelah memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, maka
segera kepuasannya disusul lagi dengan kecendrungan untuk lebih ingin tahu
lagi.[1]
Sebagai
makhluk berfikir, manusia dibekali hasrat selalu ingin tahu, tentang benda-benda
yang ada dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disekelilingnya, termasuk ingin
tahu tentang dirinya. Adanya dorongan rasa ingin tahun dan usaha untuk memahami
dan memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi, akhirnya manusia dapat mengumpulkan pengetahuan. Keingintahuan yang
makin meningkat menyebabkan pengetahuan dan daya fikirnya juga makin
berkembang. Akhinya tidak hanya terbatas pada obyek yang dapat diamati dengan
pancaindera saja, tetapi masalah-masalah lain, misalnya berhubungan dengan
penilaian hal-hal baik dan buruk, indak atau tidak indah.[2]
Bila
satu masalah dapat dipecahkan, timbul masalah lain menunggu pemecahannya.
Manusia bertanya terus setelah tahu ”apa”nya, lalu, “bagaimana”, dan “mengapa”.
Karena kemampuan manusia makin maju yang disertai dengan peralatan yang makin
memadai, mereka terus mengembangkan pengetahuannya, tidak sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup, tapi juga lebih jauh untuk mengetahui yang “benar”
dan yang “salah”. Mereka terus berfikir
sehingga akhirnya dapat menarik kesimpulan, karena pada hakekatnya manusia
adalah makhluk berfikir, merasa, bersikap dan bertindak. .
Menurut Soertrisno dkk.,sesungguhnya
manusia adalah mahluk yang lemah, yang keberadaannya sangat tergantung kepada
penciptanya.[3] Akan tetapi kebergantungan terhadap
sang pencipta tersebut bukanlah semata-mata melainkan ketergantungan
(dependence) yang berkeleluasan (indevendence). Manusia menerima ketergantungan
itu dengan otonomi, independensi, serta kreaktifitasnya sedemikian rupa
sehingga mampu mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
Kemampuan manusia untuk menggunakan
akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan
manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan
dalam dirinya dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan
akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir
merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di
muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan
pernah ada.
Dengan berfikir manusia mampu
mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi
makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan,
dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta
mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah
kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai
bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian kemampuan untuk
berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang
terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan
Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk
lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka
bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
Seiring kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam
memahami lingkungannya, maka pemahaman tersebut harus didukung dengan pemikiran
yang tidak hanya bertumpu kepada akal semata, akan tetapi perlu dilakukan
langkah-langkah komprehensif dengan mengedepankan apa yang dikenal dengan
langkah-langkah ilmiah.
Dikenal lah apa yang di sebut dengan
Metode ilmiah yaitu langkah-langkah sistematis dan teratur yang digunakan dalam
rangka mencari kebenaran ilmu pengetahuan. Metode ilmiah diperlukan dalam
melakukan suatu penelitian. Mengapa kita harus melakukan penelitian ?
Penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan rasa ingin tahu
manusia terhadap suatu kejadian atau gejala alam tertentu. Ilmu pengetahuan
terus berkembang karena para ilmuan tak berhenti mencari tahu dan meneliti
mengenai gejala-gejala alam yang terjadi.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada pemikiran dan
uraian di atas, dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah kontribusi filsafat ilmu
terhadap dunia ilmu pengetahuan khususnya pada konteks penerapan penelitian
ilmiah?
2. Apakah hubungan Filsafat Ilmu dengan
Bidang Penelitian
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui kontribusi
filsafat ilmu terhadap dunia ilmu pengetahuan khususnya pada konteks penerapan
penelitian ilmiah.
2. Untuk
mengetahui hubungan
Filsafat Ilmu dengan Bidang Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
HAKEKAT FILSAFAT ILMU
1. Faktor-faktor
Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu
Suatu peristiwa atau kejadian pada
dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian
juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin,[4]
filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan
aporia.
Manusia merupakan makhluk berakal budi.
Dengan akal budinya, kemampuan
manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan
berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal
symbolicum.
Dengan akal budinya, manusia dapat
berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau
kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang
ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all
men by nature desire to know).
Pada diri manusia melekat kehausan
intelektual (intellectual curiosity),
yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan. Bertanya adalah berpikir dan
berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
a. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya
Manusia merupakan makhluk yang
memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja
kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman
tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu
sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai
eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
b. Manusia senantiasa menghadapi
masalah
Faktor lain yang juga mendorong
timbulnya filsafat dan ilmu adalah adalah masalah yang dihadapi manusia
(aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang
bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan
mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga
(necessity is the mother of science).
2. Hakikat
Filsafat
a.
Pengertian Filsafat secara
etimologis
Kata filsafat (philosophy) diambil dari bahasa Yunani:
“Philos” (suka, cinta) dan “Sophia” (kebijaksanaan). Jadi kata itu
berarti cinta kepada kebijaksanaan.[5]
Mengenai definisi filsafat terdapat berbagai pandangan, dalam tulisan ini akan
disajikan paling tidak lima pandangan atau definisi untuk memberikan keluasan
pemahaman tentang filsafat.
Pertama,
filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. Kedua,
filsafat adalah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi. Ketiga,
filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang dibedakan
dari filsafat kritik. Keempat,
filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata
dan konsep. Kelima, filsafat adalah
sekumpulan problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia yang
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[6]
Menurut Theo Huijber, filsafat
merupakan suatu pengetahuan metodis dan sistematis yang melalui jalur refleksi
hendak menangkap makna yang hakiki dari hidup dan gejala-gejala hidup sebagai
bagian daripadanya.[7]
Pada konteks pemahaman di atas, yang
perlu mendapat kejelasan adalah pertama apakah filsafat merupakan suatu ilmu
atau bukan dan kedua, menyangkut apakah filsafat hanya merupakan suatu
pengetahuan.
Filsafat
secara etimologis menurut Ali Maksum[8]
merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philosophy
(bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philosophia
terdiri dari dua kata yaitu philos (cinta) dan sophos (kebijaksanaan/kebenaran),
berarti filsafat jika dimaknai secara kata yaitu cinta kepada
kebijaksanaan/kebenaran. Filsafat mengantarkan manusia pada nilai-nilai
kebijaksanaan atau nilai kebenaran sehingga orang yang memiliki landasan
berfikir dengan menyandarkan pada nilai-nilai kebijaksanaan atau kebenaran
disebut filosof, seperti yang ditulis Paul Strathern[9]
bahwa orang yang pertama ambil pusing adalah kalangan filosof/filsuf Neolitik
(purba).
Berdasarkan arti secara etimologis
sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan definisi
filsafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berpikir
secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Aktivitas tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu
kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang
tersederhana sampai yang terkompleks.
Katts off, sebagaimana dikutip oleh Associate Webmaster Professional,
menyatakan karakteristik filsafat sebagai berikut :[10]
1) Filsafat adalah berpikir secara
kritis.
2) Filsafat adalah berpikir dalam
bentuk sistematis.
3) Filsafat mengahasilkan sesuatu yang
runtut.
4) Filsafat adalah berpikir secara
rasional.
5) Filsafat bersifat komprehensif.
b. Objek
Filsafat
1) Objek material
filsafat adalah segala
sesuatu yang ada,
yang meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada
dalam kemungkinan.
2) Objek formal filsafat adalah hakikat
dari segala sesuatu yang ada.[11]
c.
Sistematika Filsafat
Sebagaimana pengetahuan yang lain,
filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan
bermacam-macam aliran dan cabang.
1) Aliran-aliran Filsafat
Ada beberapa aliran filsafat
dinataranya adalah : realisme,
rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme.
2) Cabang-cabang Filsafat
Filsafat memiliki cabang-cabang yang
cukup banyak dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika,
estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst.
3.
Hakikat Filsafat Ilmu
a. Pengertian
Filsafat Ilmu
Berbicar
definisi filsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu
filsafat adalah berfikir secara mendalam
tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan agama dalam mencari kebenaran sedang
ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang(pengetahuan) yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu.
Pengertian Filsafat Ilmu dalam arti luas, yaitu mencakup permasalahan
yang menyangkut berbagai hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah seperti
implikasi ontologik-metafisik dan citra dunia yang bersifat ilmiah, tata susila
yang menjadi patokan dalam penyelenggaraan ilmu dan konsekuensi pragmatik-etik
penyelenggara ilmu.[12]
Dalam arti sempit, pengertian filsafat ilmu yaitu menampung permasalahan yang
bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang
menyangkut sifat dari pengetahuan ilmiah dan cara-cara mengusahakan serta
mencapai pengetahuan ilmiah.
Untuk
mendapatkan gambaran secara lebih mendalam mengenai pengertian filsafat Ilmu dapatlah
kiranya dideskripsikan beberapa pendapat ahli yaitu sebagai berikut :
1) Cornelius Benjamin memandang
filsafat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the
systematic study of the nature of science, especially of its methods, its
concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of
intellectual disciplines.” Filsafat
ilmu, menurut Benjamin, merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis
menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsep-konsep, dan pra
anggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang
pengetahuan intelektual.[13]
2) Conny Semiawan at al menyatakan
bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu
pengetahuan (science of sciences)
yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.[14]
3) Menurut
Berry Filsafat Ilmu adalah penelaahan tentang logika intern dan teori-teori
ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah. Bagi Berry, filsafat ilmu adalah ilmu yang di pakai untuk menelaah
tentang logika, teori-teori ilmiah serta upaya pelaksanaannya untuk
menghasilkan suatu metode atau teori ilmiah.[15]
4) May
Brodbeck, Filsafat ilmu adalah suatu analis netral yang secara etis dan falasafi,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu menurut Brodbck, ilmu
itu harus bisa menganalisis, menggali, mengkaji bahkan melukiskannya sesuatu
secara netral, etis an filosofis sehingga ilmu itu bisa di manfaatkan secara
benar dan relevan.
5) Lewis
White Filsafat ilmu atau philosophy of science adalah ilmu yang mengkaji dan
mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.Lebih jauh Lewis menjelaskan
Filsafat ilmu adalah ilmu yang mempertanyakan dan menilai metode-metode
pemikiranilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah
sebagai suatu keseluruhan. Melalui filsafat ilmu ini kita akan mampu memahami
dan menetapkan akan arti pentingnya usaha ilmiah, sebagai suatu keseluruhan
6) Robert
Ackermann filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang
telah dibuktikan atau dalam rangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu
cabang ilmu yang bebas dari praktik ilmiah senyatanya.[16]
7) Peter
Caw filsafat ilmu adalah suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu
apa yang filsafat umumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat
melakukan dua macam hal di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya landasan bagi keyakinan dan
tindakan di pihak lain, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat
disajikan sebagai suatu landasan bagi tindakan termasuk teori-teori nya sendiri
dengan harapan dan penghapusan tidak ajegan dan kesalahan. Caw yakin bahwa
melalui filsat ilmu seseoang membangun dua hal, menyajikan teori sebagai
landasan bagi keyakinan tindakan dan memeriksa secara kritis segala sesuatu
sebagai landasan bagi sebuah keyakinan atau tindakan.
8) Alfred
Cyril Ewing Filsafat ilmu menurutnya adalah salah satu bagian filsafat yang
membahas tentang logika, di mana di dalamnya membahas tentang cara yang di
khususkan metode-metode dari ilmu-ilmu yang berlainan . Lebih lanjut
menjelaskan tanfa penguasaan filsafat ilmu, maka akan sulitlah seseorang dalam
usahanya untuk memahami tentang ilmu secara baik dan profesional.
9) The
Liang Gie Merumuskan Filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Bagi Gie, filsafat
ilmu bukan hanya di pahami sebagai ilmu untuk mengetahui metode dan analisis
ilmu-ilmu lain, tetapi filsafat ilmu sebagai usaha seseorang dalam mengkaji
persoalan-persoalan yang muncul melalui perenungan yang mendalam agar dapat
diketahui duduk persoalannya secara mendasar sehingga dapat di manfaatkan dalam
kehidupan manusia.
10) Menurut
Beerling, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai
pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi yang
secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk bentuk pengalaman manusia
juga mengenai logika dan metodologi.[17]
11) Jujun
S, Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu pengetahuan
atau epistemologi yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tak
lagi merupakan misteri, secara garis besar, Jujun menggolongkan pengetahuan
menjadi tiga kategori umum, yakni 1) pengetahuan tentang yang baik dan yang
buruk yang disebut juga dengan etika 2) pengetahuan tentang indah dan jelek,
yang disebut dengan estetika atau seni 3) pengetahuan tentang yang benar dan
salah, yang disebut dengan logika.[18]
Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu
merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat
ilmu, baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.
Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu.
b. Karakteristik
filsafat ilmu
Dari
beberapa pendapat di atas dapat diidentifikasi karakteristik filsafat ilmu
sebagai berikut.
1) Filsafat ilmu merupakan cabang dari
filsafat.
2) Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara
filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
B.
Metode Ilmiah
Metodologi
penelitian adalah berarti Ilmu tentang metode. [19]
Sedang penelitian adalah penelitian adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan
data kemudian mengolah, menganalisa dan mengkaji data yang dilakukan secara sistematis
dan obyektif.[20]
Jadi metodologi penelitian Ilmu yang
mempelajari, menyelusuri, mencari dan mengumpulkan data kemudian mengolah,
menganalisa dan menyajikan data yang dilakukan secara sistematis supaya
diperoleh suatu kebenaran yang obyektif.
Secara terminology, metodologi
penelitian atau metodologi riset (science researct atau method), metodologi
berasal dari kata methodology, maknanya Ilmu yang menerangkan metode-metode
atau cara-cara. Penelitian adalah terjemahan dari bahasa inggris “research”
yang terdiri dari kata “re” (mengulang) dan search (pencarian, pengajaran,
penelusuran, penyelidikan atau penelitian) maka research berarti berulang
melakukan pencarian.Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan
tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang
berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisa, diambil kesimpulan
dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.[21]
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Kontribusi filsafat ilmu terhadap
ilmu pengetahuan khususnya pada konteks penerapan penelitian ilmiah.
Melihat dari sejarah hubungan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat cepat. Pada
permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang
lain.
Menurut Bertens, filsafat Yunani
Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.[22]
Namun munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, menyebabkan terjadinya
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Demikian dapatlah dikemukakan
bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan
filsafat.
Ilmu pengetahuan di ambil dari
bahasa inggris science, yang berasal
dari bahasa latin scientie dari
bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami
perluasan arti sehingga menunjuk segenap pengetahuan sistematik. Menurut Bahm
defenisi ilmu pengetahuan paling tidak melibatkan enam macam komponen yaitu
masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh.[23]
Selanjutnya Van Peursen mengemukakan
bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang
ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.[24]
Perkembangan ilmu pengetahuan
semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Pengetahuan dapat
dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari
ungkapan-ungkapan yang “benar-tidaknya” dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam
pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, maka kita dapat
mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik
individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.
Bidang garapan filsafat ilmu
terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dimana filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang
ilmu atau tentang dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat
mengandung arti bahwa, filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu.Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Michael whiteman dalam Koento Wibisono dkk mengemukakan bahwa
persoalan ilmu dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dalam
persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak
mungkin. Sebaliknya banyak persoalan filsafati sangat memerlukan landasan
pengetahuan ilmiah.[25]
Teori kebenaran
yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan
kebenaran agar berpikir tepat dan logis. Sebab dengan adanya cara berpikir
logis, maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan
juga berkembang.
Semua orang
memiliki pemahaman yang sama akan sesuatu hal yang dari dahulu hingga sekarang
tetap sama. Sebagai contoh, meja dari dahulu hingga sekarang tetaplah bernama
meja tidak digantikan dengan yang lain.
Namun bila
dilihat dari sisi lain bahwa teori kebenaran juga merupakan batas pengetahuan
dalam landasan teori kebenaran. Pembatasan pengetahuan itu dibatasi oleh panca
indera kita. Kita dapat melihat, mendengar, mengecap, meraba, dan mencium dari
panca indera itu secara tepat. Apabila salah satu dari panca indera tersebut
tidak berfungsi dengan baik maka tidak dapat berpikir secara tepat.
Selain
pengetahuan yang bersumber dari indera, juga terdapat pengetahuan yang
bersumber dari non indera. Adapun pengetahuan yang bersumber dari non indrawi
ini, yaitu berasal dari akal budi manusia atau rasio manusia. Melalui akal,
manusia dapat berpikir secara tepat dan logis, dapat memiliki gagasan atau ide
dan hasil dari berpikir itu adalah pengetahuan yang rasional.
Kreativitas
lahir bersama dengan lahirnya manusia itu. Kreativitas tidak hanya sebagai
penalaran, tetapi juga meningkatkan dan membuka tabir alam yang tersedia dalam
suatu dimensi kreatif. Kreativitas terdiri dari empat fungsi dasar yang
interaktif, yaitu: 1.berpikir rasional, 2. perkembangan emosional,3. perkembangan
bakat khusus, dan 4. tingkat tinggi kesadaran yang menghasilkan imajinasi,
fantasi, pendobraka pada kondisi ambang kesadaran atau ketaksadaran
William S.
menjelaskan tentang tahap-tahap dalam proses kreatifitas berlangsung melalui
persiapan (preparation), inkubasi (incubation), iluminasi (illumination)
dan verifikasi (verification). Sadangkan perkembangan kreativitas dapat
diibaratkan lingkaran eskalasi yang memiliki aspek urutan (succession),
diskontinuitas (discontinuity), kemenonjolan (emergence), diferensiasi
dan integrasi.[26]
Peranan
aktivitas dalam evolusi ilmu dapat dikembangkan melalui potensi kreatif
individu dan kelompok yang merupakan kemungkinan dan kekuatan untuk menjalankan
berbagai langkah perubahan kehidupan manusia, dalam rangka meningkatkan harkat
dan martabatnya. Demikian pula pengaruh dimensi kreatif dapat dilihat dari
perkembangan ide-ide kreatif yang mencetuskan teori-teori ilmiah spektakuler,
meskipun terdapat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan tersebut.
Perkembangan
semua pengetahuan tersebut sangat pesat. Semakin banyak pengalaman, maka
semakin akan semakin mendorong manusia untuk mencari dan mengembangkannya,
sehingga akan semakin banyak khasanah cabang pengetahuan tersebut. Perkembangan
pengetahuan manusia mengakibatkan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan manusia.
Menurut Chalmers pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diperkirakan sejak 400 tahu
yang lalu. Sejak pemikir-pemikir seperti Copermicus, Galileo, Kappler, dan yang
lebih jelas lagi sejak F. Bacon pada abad ke 15 dan 16.[27]
Semua
karakteristik manusia yang menggambarkan ketinggian dan keagungan pada dasarnya
merupakan akibat dari anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk
kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan di muka bumi
pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan,
serta membuat keputusan,
dalam hal melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu
dimintai pertanggungjawaban.
Sutan Takdir
Alisjahbana,[28]
menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang
dapat dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang
menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut
penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan
kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir
(penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan
manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap
penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan
cara tertentu saja yang disebut berfikir.
Para ahli telah
mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya sendiri-sendiri, namun
yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak mungkin dapat
dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak serta merta
mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M.
Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak
sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan
fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan
sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan
sedang berfikir.
Jika demikian
berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya
mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu
ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia,
ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan,
dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas
kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi
dibanding makhluk lainnya.
Menurut Jujun S
Suriasumantri,[29] Berfikir merupakan suatu proses yang
membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam
mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang
berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya
untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut
kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut.
Sementara itu
Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai
berikut yaitu :[30]
a. Conception (pembentukan gagasan)
b.
Judgement (menentukan
sesuatu)
c.
Reasoning (Pertimbangan
pemikiran/penalaran)
Bila seseorang
mengatakan bahwa dia sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa
dia sedang membentuk gagasan umum tentang sesuatu, atau sedang menentukan
sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi) berkaitan dengan
sesuatu tersebut.
Cakupan proses berfikir sebagaimana
disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam
setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan
substansinya.
Menurut John
Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut :
a. Timbul rasa
sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun
dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
b. Kemudian rasa
sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
c. Timbul suatu
kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
d. Ide-ide
pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan
mengumpulkan bukti-bukti (data).
e. Menguatkan
pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui
keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Urutan langkah
(proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara
berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping
berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan
tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar,
baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan
abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang
yang berfikir tersebut.
Berfikir
mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge)
atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat
berproses dengan benar, sekarang apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?,
Menurut
Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang
diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan
subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana
objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya.
Dengan demikian
pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman
menyebutnya hubungan subjek dan objek (Knowledge
: relation between object and subject). Subjek adalah individu yang punya
kemampuan mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang
ingin diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda
merupakan realitas yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk
mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia.
Di sini
terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang
objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu
realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu
interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini
sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai
partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa
modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang
mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan
pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu,
termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,)[31]
Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi
tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon
pemikiran.
Unsur konsep
disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice
Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan
pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis
sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan
tumbuh sejalan dengan bertambahnya
pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali
pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H
Titus).
Menurut Andi
Hakim Nasution dalam Jujun mengemukakan bahwa sekiranya binatang mempunyai
kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang sekarang ini yang dilestarikan
jangan punah, melainkan manusia jawa.[32]
Kemampuan
menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang
merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan
setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan tersebut.
Dia mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta
mana yang indah dan mana yang jelek. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang
mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai
pengetahuan namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya.
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, maka oleh sebab itu kegiatan
proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu-pun berbeda-beda.
Menurut Jujun penalaran merupakan suatu proses perpikir dalam menarik suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk
yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak.[33]
Pengetahuan
yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir
itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih (valid) kalau proses
kesimpulan terseburt dilakukan menurut cara tertentu.
Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan
sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.[34]
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk kesesuaian studi
yang memusatkan diri pada penalaran ilmiah.
Baik logika
deduktif maupun logika induktif dalam proses penalarannya, merupakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini
membawa kita kepada sebuah pernyataan yaitu bagaimanakah caranya mendapatkan
pengetahuan yang benar. Sebenarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama mendasarkan diri pada rasio
dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.
Disamping
rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang lain. Yang penting untuk kita ketahuai adalah intuisi dan wahyu. Namun
sampai sekarang ini pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu.
Intuisi
bersipat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan Intuitif dapat
dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar
tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Stanley Maslow dalam Invitation to Philosophy mengemukakan
intuisi ini merupakan pengalaman puncak.[35]
Sedangkan bagi Nietzsche dalam
George F. Kneller. Intruduktion to the
Philosohy of Education mengemukakan
intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi.[36]
Penalaran
mempunyai banyak masalah yang sulit. Namun yang terpenting adalah bagaimana
cara kita menemukan atau mengetahui suatu objek yang belum tentu lewat
penarikan kesimpulan. Saya mengetahui masalah ini tampaknya sangat sulit bagi
saya dan saya tak bisa memberikan pemecahan yang lengkap. Namun suatu hal
yang pasti bahwa kita dapat mempelajari sesuatu dengan diskusi.[37]
Contoh, jika
seorang bertanya kepada saya berapakah 23.169 x 7.84. Mula-mula memang saya
tidak tahu, tetapi setelah saya duduk mengerjakan perkalian tersebut lalu saya
tahu bahwa 23.169 x 7.84 adalah 181.807.143. tetapi proses perkalian ini adalah
berpikir:adalah penalaran.
Sebelum melakukan tindakan atau
penerapan dalam penelitian ilmiah, maka terlebih dahulu harus memahami struktur
penelitian dan penulisan ilmiah. Pemilihan bentuk dan cara penulisan dari
khasanah yang tersedia merupakan masalah selera, dan prefrensi program dengan
memperhatikan berbagai faktor lainnya seperti masalah apa yang sedang dikaji,
siapakah pembaca tulisan ini dan dalam rangka kegiatan keilmuan apa karya
ilmiah ini disampaikan.
Penulisan ilmiah pada dasarnya
merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa
tulisan. Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat
keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus mengkomunikasikannya
secara tertulis. Sehingga tidak lagi menjadi soal dari mana dia akan memulai,
sesudah itu melangkah ke mana. Sebab penguasaan tematis dan teknik akan menjamin
suatu keseluruhan bentuk yang utuh.
Demikian juga bagi seorang penulis
ilmiah yang baik, tidak jadi masalah apakah hipotesis ditulis langsung setelah
perumusan masalah, ditempat mana akan dinyatakan postulat, asumsi, atau
prinsip, sebab dia tahu benar hakikat dan fungsi unsur-unsur tersebut dalam
keseluruhan struktur penulisan ilmiah.
Setelah masalah dirumuskan dengan
baik, maka seorang peneliti menyatakan tujuan penelitiannya. Tujuan penelitian
ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan
berdasarkan masalah yang dirumuskan. Setelah itu dibahaslah
kemungkinan-kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan manfaat yang dapat
dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari peneliti.
Menurut Jujun S. mengemukakan secara
kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah dalam pengajuan
masalah yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian.[38]
Patut dikemukakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara keenam kegiatan
tersebut. Antara latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadamg-kadang
sudah terdapat kaitan yang bersifat a
priori umpamanya sebuah penelitian akan digunakan sebegian dasar penyusunan
kebijakan secara nasional. Tentu saja hasil penelitian dipergunakan untuk
kebijakan bersifat nasional, maka hal ini akan mempengaruhi empat kegiatan
lainnya terutama sekali proses pembatasan masalah, sebab untuk generalisasi ke
tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan infersens dari hasil penelitian
yang terbatas pada suatu kecamatan.
Setelah masalah berhasil dirumuskan
dengan baik maka langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis.
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan.
Seperti diketahui dalam memecahkan berbagai persoalan terdapat bermacam cara
yang dapat ditempuh manusia. Namun secara garis besarnya maka cara tersebut
dapat dikategorikan kepada cara ilmiah dan non ilmiah.
Dengan meletakkan kerangka teoritis
pada fungsi sebenarnya maka kita lebih maju dalam meningkatkan mutu keilmuan
keegiatan penelitian. Secara ringkas langkah dalam menyusun kerangka teoritis
dan pengauan hipotesis adalah: pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan
dipergunakan dalam analisis, pembahasan mengenai penelitian-penelitian yang
relevan, penyusunan kerangka berpikir, dalam pengajuan hipotesis dengan
menggunakan premis-premis dan perumusan hipotesis.
Metodologi penelitian. Pada bagian
ini setelah berhasil merumuskan hipotesis yang diturunkan secara deduktif dari
pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya adalah mengajukan
hipotesis tersebut secara empirik. Artinya kita melakukan verifikasi apakah
pernyataan yang didukung. Oleh hipotesis yang diajukan tersebut didukung atau
tidak oleh kenyataan yang bersifat faktual.
Secara ringkas dalam penyusunan
metodologi penelitian mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. tujuan penelitian secara lengkap dan
operasional dalam bentuk pertanyaan, yang mengidentifikasikan variabel-variabel
dan karakteristik-karakteristik hubungan yang akan diteliti,
2. tempat dan waktu penelitian dimana
akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang diteliti,
3. metode penelitian yang ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan,
4. teknik pengambilan contoh yang
relevan dengan tujuan penelitian tingkat keumuman dan metode penelitian,
5. teknik pengumpulan data yang
mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik
pengukuran, instrument, dan teknik mendapatkan data,
6. teknik analisis data yang mencakup
langkah-langkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan
berdasarkan pengajuan hipotesis.
Setelah perumusan masalah, pengajuan
hipotesis dan penetapan metode penelitian maka sampailah kita kepada langkah
berikutnya yakni melaporkan hasil apa yang kita temukan berdasarkan hasil
penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis
data yang telah dikumpulkan, selama penelitian untuk menarik kesimpulan
penelitian.
Deskripsi tentang langkah-langkah
dan cara pengelompokan data sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi
penelitian. Namun sering kita melihat bahwa bagian ini dipenuhi dengan
pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan pembahasan hasil penelitian yang
menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis dalam pengkajian.
Dengan memahami struktur penelitian
dan penulisan ilmiah, maka barulah dalam peroses penerapan ilmiah dapat
dilakukan dengan baik sehinga hasilnya pun dapat dicapai dengan baik serta
bermanfaat kepada pengembangan ilmu pengetahuan.
B.
Hubungan Filsafat Ilmu dengan Bidang
Penelitian
Tujuan berfilsafat ialah menemukan
kebenaran yang sebenarnya, jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara
sistematis, jadilah ia sistematika filsafat, sistematika filsafat itu biasanya
terbagi atas tiga cabang besar filsafat yaitu: teori pengetahuan, teori hakekat
dan teori nilai.
Isi filsafat ditentukan oleh obyek
apa yang dipikirkan, obyek yang difikirkan oleh filosof ialah segala yang ada
dan yang mungkin ada. Jadi filsafat sebagai suatu proses berfikir bebas,
sistematis, radkal dan mencapai dataran makna yang mempunyai cabang ontology,
epistemologi dan aksiologi.
Ontologi dinamakan sebagai teori
hakekat, teori hakekat ini sangat luas, segala yang ada yang mungkin ada, yang
boleh juga mencakup penetahuan pengetahuan dan nilai (yang di carinya ialah
hakekat penegetahuan dan hakekat nilai).
Didalam ontology membahas dua bidang
yaitu:
1. Kosmologi membicarakan hakekat asal,
hakekat susunan, hakekat berada, juga hakekat tujuan kosmos.
2. Metafisik atau antropologi secara
etimologis berarti dibalik atau dibelakang fisika artinya ia ingin mengerti
atau mengetahui apa yang ada dibalik dari alam ini atau suatu yang tidak
nampak.[39]
Jadi kosmologi adalah cabang
filsafat yang menyelidiki hakekat asal, susunan, tujuan alam besar, yang
dibicarakan didalam cabang ini missal hakekat kosmos, bagaimana caranya ia menjadi
(how daes it come to being) dan
lain-lain. Mungkin ada orang yang beranggapan bahwa teori kosmologi itu
merupakan teori astronomi, sebenarnya bukan, astronomi adalah sains sedangkan
kosmologi adalah filsafat. Sedangkan metafisika adalah membicarakan hakekat
manusia dari sgi filsafat, umpamanya apa manusia itu? dan dari mana asalnya,
apa akhir atau tujuannya?. Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan
bagaimana cara memperoleh pengetahuan.[40]
atau suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas dan
validitas dan hakekat pengetahuan. Sistematika dan logika sangat berperan dalam
epistemologi demikian pila metode-metode berfikir seperti deduktif dan
induktif.
Epistemologi dari sini dapat
disimpulkan bahwa bila ontology memahami sesuatu adalah tunggal maka cara
memperoleh kebenarannya dengan menggunakan jenis penelitian kuantitatif, akan
tetapi bila ontologynya memahami sesuatu secara jamak, maka digunakan jenis
penelitian kualitatif.
Aksiologi ialah cabang filsafat yang
menyelidiki nilai-nilai (value), tindakan moral melahirkan nilai etika,
ekspresi keindahan yang melahirkan nilai esthetika dan kehidupan sosiolah yang
menjelaskan apa yang di anggap baik dalam tingkah laku manusia, apa yang di
maksud indah dalam seni. Demikian pula apakah yang benar dan diinginkan didalam
organisasi sosial kemasyarakatan dan kenegaraan.[41]
Dalam aksiologi ini di pengaruhi
oleh ontology yang digunakan , ontology yang memahami sesuatu itu tunggal,
penelitiannya jenis kuantitatif, maka Ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik
dan bebas nilai, sedangkan ontology yang memahami sesuatu itu jamak dan
penelitiannya jenis kualitatif. Maka Ilmu yang di hasilkan disebut ideografik
dan bermuatan nilai.
Menurut Jujun S. Suria Sumantri
filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengkaji hakekat Ilmu dan pengetahuan ilmiah.[42]
Sedangkan menurut tim Dosen filsafat
Ilmu UGM, filsafat imu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian
epistemologi. Epistemologi sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat
pengetahuan (theory of knowledge) dan
filsafat Ilmu (theori of science)
objek material flsafat pengetahuan yaitu gejala pengetahuan, sedang objek
material filsafat yaitu mempelajari gejala-gejala Ilmu menurut sebab secara
pokok.[43]
Metodologi penelitian adalah
seperangkat penegetahuan tentang langkah-langkag sistematis dan logis tentang
pencarian data, pengolahan data, analisa data, pengambilan kesimpulan dan cara
pemecahan.
Didalam menjalankan fungsinya metodologi
menggunakan cara dan di buktikan kebenarannya adalah metode ilmiah. Menurut
JUjun S. Suria Sumantri: Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
pelaturan-pelaturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode in secara
filsafati termasuk dalam apa yang di namakan epistemologi. Epistemologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapat pengetahuan, apakah
sumber-sumber pengetahuan? apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? apakah manusia di mungkinkan untuk mendapat pengetahuan? sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk di tangkap manusia.[44]
Dari sini dapat kita ketahui bahwa
metode ilmiah merupakan bagian dari metodologi ilmiah, bahwa filsafat Ilmu dan
metodologi penelitian mempunyai kedudukan yang sama dalam cabang filsafat yaitu
masuk dalam golongan epistemologi.
Menurut
Amsal Bahtiar tujuan filsafat Ilmu adalah:
1.
Mendalami
unsur-unsur pokok Ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber
hakekat dan tujuan Ilmu
2.
Memahami
sejarah pertumbuhan , perkembangan dan kemajuan Ilmu di berbagai bidang,
sehingga kita mendapat gambaran tentang proses Ilmu kontemporer secara
histories.[45]
Metodologi bisa juga diartikan Ilmu
yang membahas konsep berbagai metode, apa kelebihan dan kekurangan dari suatu,
kemudian bagaimana seseorang memilih suatu metode. Sedangkan penelitian
bertujuan menghimpun data yang akurat yang kemudian diproses sehingga menemukan
kebenaran atau teori atau Ilmu dan mungkin pula mengembangkan kebenaran
terdahulu atau menguji kebenaran tersebut.[46]
Jadi metode ilmiah untuk memperoleh
Ilmu pengetahuan yang benar di perlukan cara-cara yang benar pula. Menurut para
pakar , mencari kebenaran, cara-cara memperoleh kebenaran ilmiah diebut metode
ilmiah, yang terdiri mencari masalah, menentukan hipotesis, menghimpun data,
menguji hipotesis, prinsip ini berlaku untuk untuk semua sains oprasionalisasi,
metode ilmiah itu dilakukan bidang studi metodologi penelitian. dari sini
tampak dengan jelas hubugan antara filsafat Ilmu dengan metodologi penelitian.
Filsafat Ilmu dan penelitian
Ontologi
|
Epistemologi
|
Aksiologi
|
-
Membahas apa yang ingin diketahui
-
Suatu pengkajian mengenai teori tentang ada
-
Objek yang di telaah Ilmu adalah sesuatu yang berberada dalam jangkauan
pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang di uji indra
manusia yang berorientasi empiris
- Kuantitatif dan kualitatif
|
-
Membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan
-
Ilmu pengetahuan diperoleh melalui proses metode
-
Hakekat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan dengan sifat
terbuka dan menjunjung tinggi kebenaran diatas segala-galanya
-
Metode ilmiah, logico hypotico verivicative dan deducto hypotetici
verivicative
|
-
Membahas tentang manfaat yang di peroleh manusia dari pengetahuan yang
didapatkanya
-
Analisa tentang penerapan hasil-hasil temuan Ilmu pengetahuan
|
BAB
IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
apa yang telah di paparkan dalam pembahasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa:
1. Bidang garapan filsafat ilmu
terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Teori kebenaran
yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan
kebenaran untuk berpikir tepat dan logis. Dengan adanya cara berpikir logis,
maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan juga
berkembang. Namun bila dilihat dari sisi lain bahwa teori kebenaran juga
merupakan batas pengetahuan dalam landasan teori kebenaran. Kemampuan menalar
ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia
kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat
Adan dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan. Penulisan ilmiah pada dasarnya
merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa
tulisan. Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat
keilmuan agar dapat melakukan penerapan dalam suatu penelitian dan sekaligus
mengkomunikasikannya secara tertulis.
2. Filsafat Ilmu merupakan cabang dari
Ilmu filsafat yang termasuk dataran epistemology. Filsafat Ilmu membahas
tentang ontology, epistemologi, dan aksiologi. Metodologi ditinjau dari Ilmu
filsafat juga termasuk dalam tataran epistemology. Filsafat Ilmu dan metodologi
penelitian menduduki posisi yang sama dalam Ilmu filsafat yaitu pada tataran
epistemology. Dan untuk mencapai hasil penelitian yang valid, metodologi harus
di landasi filsafat Ilmu.
PUSTAKA
ACUAN
A.
BUKU
Ali Maksum. 2008. Pengantar Filsafat (dari Klasik Hingga Post
modernisme). Jakarta: Ar-Ruzz Media.
A.
Susanto.
2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara.
Ahmad Tafsir. 2003. Filsafat
Umum. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Ali Maksum. 2008. Pengantar Filsafat (dari Klasik Hingga Post
modernisme). Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Amsal
Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Findo Persada.
Bahm, Archie, J., 1980. What
Is Science,; The Science Of Values: Reprinted from my Axiology.
Bertens, K., 1987. Panorama Filsafat Modern, Jakarta:
Gramedia.
Bertens, K., 1999. Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Chalmers A.F. 1983. Apa itu yang
dinamakan Ilmu. Jakarta. Suatu Penilaian tentang watak dan Status Ilmu Serta
Metodenya. (Terjemahan redaksi Hasta Mitra, Hasan Mitra).
EM Zul Fajri. Ratu
Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publiher.
George F. Kneller. 1989. Intruduktion
to the Philosohy of Education, New Yoark: John Weley.
Gie
The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Liberty.
Huijber
Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler). Jakarta: PT.
Pancaranintan Indgraha.
…………… 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
…………….
2005. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
…….……..
2001. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Kuhn Thomas S. 2008. The Structure
of Scientific Revolutions. Bandung: Penerbit PT. remaja Rosdakarya
Koento Wibisono S. dkk. 1997.
“Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan “Arti
Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte Gadjah Mada University
Yogyakarta “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran
Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu
Yogyakarta: UGM.
Lasiyo dan Yuwono. (1994). Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Mohammad Noor Syam. 983. Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha
Nasional.
Nuchelmans, G., 1982. “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X,
Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam, Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”,
Yogyakarta: UGM.
Noehadi tati herawaty, 2002. Menyoal Objektifitas Ilmu pengetahuan.
(Penerbit Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan).
Otje Salman. 2012. Filsafat Hukum Perkembangan & Dinamika Masalah, Cet. Ketiga,
Bandung: PT. Refika Aditama.
Partap
Sing Mehra. 2001. Pengantar Logika
Tradisional. Bandung: Putra Bardin.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial
Dasar.Bandung : CV Kayumas.
Semiawan, Conny
et al. 1998. Dimensi Kreatif
dalam Filsafat Ilmu. Bandung: CV Remaja Karya.
Soeparmo, A.H. 1984. Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu
Pengetahuan Alam. Penerbit Airlangga University.
Stanly M. Honer dan Thomas C. Hunt
1988. Invitation to philosophy Belmont,
Cal : Wadsworth:
Strathern, Paul. 2001. 90
Menit Bersama Sokrates. Jakarta: Erlangga.
Sutan Takdir Alisjahbana. 1981. Pembimbing ke Filsafat. Jakarta: Dian
Rakyat.
Sutrisno dkk, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Penerbit C.V. Andi Offset.
Tim
Dosen filsafat Ilmu Fakultas filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty.
Van Paursen dkk, 2003. Pengantar
Filsafat Ilmu. Yogya: PT. Tiara Wacana.
Wardi Bachtiar. 1997. Metodologi
Penelitian Ilmu dakwa. perpustakaan Nasional
William S. 1995. Sahakian dan dan Mabel Lewis sahakian, realism of Pholosopy, ( Cam Bridge,
Mass: Schenkman).
B. INTERNET
Associate Webmaster Professional. (2001) “Terminologi Filsafat” Internet : http://www.filsafatkita.f2g.net. Diakses
pada tanggal 12 Maret 2017 pukul 20.00 WIB.
“Manusia sebagai makhluk berpikir”, http://marselo2.blogspot.co.id/2013/02/manusia-sebagai-makhluk-berpikir.html. Diakses pada
tanggal 12 Maret 2017 pukul 20.00 WIB.
“Pengertian Filsafat Ilmu
menurut Para Pakar”, http://www.pengertianpakar.com/2014/09/pengertian-filsafat-ilmu-menurut-para-pakar.html. Diakses Pada
tanggal 15 Maret 2017, pukul 16.00 WIB.
[1] “Manusia
sebagai makhluk berpikir”, http://marselo2.blogspot.co.id/2013/02/manusia-sebagai-makhluk-berpikir.html.
Diakses pada tanggal 12 Maret 2017 pukul 20.00 WIB.
[2] Ibid
[3] Sutrisno dkk, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, C.V. Andi Offset, Yogyakarta,
2007, hlm. 2.
[4] Rinjin, Ketut. Pengantar
Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. CV Kayumas, Bandung, 1997, hlm.9-10.
[5] Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan & Dinamika
Masalah, Cet. ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm.3
[6] Ibid
[7] Theo Huijber, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yayasan
Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 12.
[8]
Ali Maksum, Pengantar Filsafat (dari Klasik Hingga Postmodernisme), Ar-Ruzz
Media, Jakarta, 2008, hlm. 15.
[9]
Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Sokrates, Erlangga, Jakarta, 2001,
hlm. 1.
[10]
Associate Webmaster Professional. (2001) “Terminologi
Filsafat” Internet : http://www.filsafatkita.f2g.net
[11]
Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Moleong, hlm. 6.
[12]
“Pengertian Filsafat Ilmu menurut Para
Pakar”, http://www.pengertianpakar.com/2014/09/pengertian-filsafat-ilmu-menurut-para-pakar.html.
Diakses Pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 16.00 WIB.
[13]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 58.
[14] Semiawan,
Conny et al. Dimensi
Kreatif dalam Filsafat
Ilmu. CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hlm. 58.
[15]
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm. 49.
[16]
Ibid.,hlm. 50.
[17]
Ibid
[18]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 16.
[19]
EM Zul Fajri. Ratu Aprilia Senja. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Difa Publiher, hal: 565.
[20]
Ibid, hal: 803
[21]
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu dakwa, perpustakaan Nasional
1997, hal: 1
[22]
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta,1999, hlm.20.
[23]
Bahm, Archie, J., What Is Science,
Reprinted from my Axiology; The Science
Of Values, 1980, hlm. 9.
[24]
Van Paursen dkk, Pengantar Filsafat
Ilmu. PT. Tiara Wacana, Yogya, 2003, hlm. 10.
[25]
Koento Wibisono S. dkk., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan “Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte Gadjah Mada University Yogyakarta “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum
Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami
Filsafat Ilmu, UGM, Yogyakarta, 1997.
[26] William S, Sahakian dan dan Mabel Lewis sahakian, realism of Pholosopy, , Mass: Schenkman,
Cam Bridge, 1995, hlm. 12.
[27]
Chalmers A.F, Apa itu yang dinamakan Ilmu. Suatu
Penilaian tentang watak dan Status Ilmu Serta Metodenya, (Terjemahan
redaksi Hasta Mitra, Hasan Mitra),
Jakarta, 1983.
[28]
Sutan Takdir Alisjahbana,
Pembimbing ke Filsafat, Dian Rakyat, Jakarta, 1981, hlm. 14.
[29]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu :
Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 16.
[30]
Partap Sing Mehra, Pengantar Logika Tradisional. Putra Bardin, Bandung, 2001,
hlm. 17.
[31]
Jujun S, Op. Cit
[32]
Jujun S, Ilmu Dalam Persepektif, Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006.
[33]
Jujun S, Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler), PT. Pancaranintan
Indgraha, Jakarta, 2007.
[34] Ibid
[35]
Stanly M. Honer dan
Thomas C. Hunt 1988. Invitation to philosophy Belmont, Cal : Wadsworth.
[36]
George F. Kneller. Intruduktion to the Philosohy of Education (New Yoark: John Weley), 1989.
[38]
Jujun S, Op.Cit
[39]
Ahmad Tafsir. Filsafat Umum. PT
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, hal: 28-29.
[40]
Ibid, hal: 23
[41]
Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Usaha Nasional. Surabaya, 1983, hal: 28-35
[42]
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Filsafat, Pustaka
Sinar Harapan, 2001,hal: 33
[43]
Tim Dosen filsafat Ilmu Fakultas filsafat UGM. Filsafat Ilmu,
Liberty. Yogyakarta, 2001, hal: 45-46
[44]
Jujun S. Sumantri, Opcit, hal: 119
[45]
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Raja Findo Persada. Jakarta 2004,
hal: 20
[46]
Wardi Bachtiar. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwa, Pustakaan
Nasional 1997, hal: 3
0 komentar:
Posting Komentar