Oleh : Ust. Ismail Yusanto
Pada umumnya orang menilai penjara sebagai tempat bagi para penjahat dan pelaku kriminal. Anggapan seperti ini tidak seratus persen salah. Pasalnya, fungsi penjara memang diantaranya adalah sebagai sarana rehabilitasi atau permasyarakatan – sehingga disebut Lembaga Permasyarakatan – bagi mereka yang dinilai melanggar hukum.
Namun, apakah mereka dipenjara itu memang benar-benar telah melanggar hukum? Belum tentu. Sebagiannya bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia kejahatan. Disebut tahanan politik. Keluar masuk penjara bukan karena kejahatan yang dilakukan, tetapi karena kegiatan politik meraka. Itulah yang dialami oleh banyak tokoh besar dunia. Sebut saja Bung Karno, presiden pertama Indonesia. Sebelum kemerdekaan, ia berulang dijebloskan ke dalam penjara oleh Belanda. Sejak usia muda, Bung Karno memang sangat aktif melawan pemerintahan colonial Belanda. Akibatnya ia menjadi target penangkapan polisi Belanda. Pertama kali ia di tahan di Penjara Banceuy, Bandung, pada tahun 1929 ketika berusia 28 tahun. Ia ditahan bersama tiga rekannya dari PNI yaitu Maskoen, Soepriadinata dan Gatot Mangkoepraja.
Di dunia Barat ada sosok Galileo Galilei. Ia seorong astronom, filsuf dan fisikawan asal Italia. Ia berperan besar dalam perkembangan sains. Galileo dipenjara karena mendukung teori Heliosantris yang dicetuskan Nicholas Copernicus. Teori ini menjelaskan bahwa pusat tata surya adalah matahari. Teori ini ditentang oleh Gereja Katolik Roma yang menganut teori Geosentris (bumi segagai pusat tatasurya). Bahkan akhirnya Galileo dihukum pancung. Berabad-abad setelah peristiwa tragis tersebut, akhirnya terbukti bahwa teori Heliosantris yang benar secara ilmiah.
Dalam sejarah Islam, Ibnu Taimiyah, ulama terkemuka, yang telah memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan tsaqafah dan dakwah Islam, tujuh kali masuk keluar penjara. Ia bahkan menghabiskan sisa umurnya di dalam jeruji besi.
++++
Bagi seorang Muslim sejati, penjara badaniah tak akan memenjarakan kebesaran jiwanya sebagai seorang hamba Allah SWT. Ketika harus memilih, jelas apa yang harus mereka pilih, seperti yang dikatakan oleh Nabi Yusuf, “Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipudaya mereka, niscaya aku cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.” (TQS Yusuf [10]: 33).
Bagi seorang pejuang yang dipenjara, yang terpenjara hanyalah sebatas fisik atau jasmani. Namun, jiwa dan ruhani tetap , merdeka. Kemerdekaan hakiki memang bukanlah dari kemerdekaan fisik, melainkan yang lebih utama ialah kemerdekaan jiwa. Apabila jiwa sudah tertawan maka seluruh potensi jasmani pun ikut tersandera.
Tentang penjara, Ibnu Taimiyah berkata, “Apakah gerangan yang akan diperbuat musuh-musuh kepada diriku? Surga dan kebunku ada di dadaku. Kemanapun aku pergi dia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Sungguh penjara bagiku adalah tempat khalwatku. Kematianku adalah mati syahid. Terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku.”
Oleh karena itu diingatkan agar kita berhati-hati terhadap penjara yang tak tampak di sekitar kita. Bisa jadi kita tidak melihat penjara itu. Namun ternyata kita telah tertawan, tersandera, tertahan, dan terbelenggu oleh ‘sesuatu’! Sesuatu itu bisa apa saja. Tampak atau tak tampak. Dalam pikiran atau terasa oleh indera.
Dalam bayangan banyak orang, penjara adalah kelumpuhan. Penjara adalah kematian. Siapa saja yang telah masuk penjara seolah telah habis. Kiamat. Faktanya, tidaklah demikian. Bagi seorang pejuang, penjara sama sekali tak meyurutkan perjuangannya, juga tak menghentikan dirinya untuk berkarya.
Di dalam penjara, terlahir banyak karya monumental. Ibnu Taimiyyah misalnya ketika di penjara pertama kali di Damaskus, menulis sebuah buku yang terkenal, Ash-Shaarim al-Masluul ‘ala Syaatim ar-Rasuul (Pedang Terhunus atas Penghina Rasul saw). Kitab ini menjadi rujukan setiap umat ini mendapati orang yang menghina para nabi dan utusan Allah. Kitab ini melengkapi lebih dari 500 kitab yang ia tulis, di antaranya yang terkenal adalah Majmuu’ Fatawa yang berisi fatwa berbagai hal.
Begitu pun Bung Karno. Di balik tembok penjara, ia menulis sebuah pledoi (pidato pembelaan) yang diberi nama Indonesia Menggugat. Pledoi ini kemudian dibacakan di Gedung Landraad (pengadilan rendah) Pemerintah Kolonial Belanda di Bandung. Pengalaman sebagai orator ulung di PNI membuat Soekarno mampu mengubah sidang yang semula diniatkan Pemerintah Belanda untuk menjatuhkan Soekarno menjadi seperti rapat umum dan ia seolah menjadi bintangnya.
Sayyid Quthb, sebelum syahid di tiang gantungan, menyelesaikan karya fenomenal, Tafsir Fi Zhilaal al Qur’an, juga kitab Ma’aalim fi Thariiq (Petunjuk Jalan) dan risalah kecil Mengapa Saya Dihukum Mati. Hitler menulis Mein Kampf dalam penjara juga. Buku itu yang menjadi inspirasi bangsa Jerman untuk bangkit dan berusaha menaklukkan bangsa lain. Tan Malaka, tokoh besar dalam sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia, menulis buku Madilog di penjara. Buya HAMKA, pernah berterima kasih secara khusus kepada Soekarno yang telah memenjarakan beliau.
Bukan hanya karya, penjara juga ternyata menggairahkan dakwah. Di dalam penjara ternyata orang lebih mudah menerima kebenaran. Penjara adalah tempat yang sangat tepat untuk bermuhasabah. Berkat kegigihan, kesabara dan keikhlasan pada dai, banyak tahanan yang mendapat hidayah. Di Mesir, ketika ribuan aktifis Ikhwanul Muslimin dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim saat itu, penjara bersalin menjadi semacam pondok-pondok keimanan, menjadi tempat menghapal al-Quran, menjadi tempat halaqah-halaqah keilmuan dan menjadi tempat pengkaderan. Banyak yang setelah keluar penjara bertambah keimanannya, hapalan al-Qurannya dan semangat perjuangannya.
Dakwah Islam di AS dan Eropa berhasil salah satunya lewat penjara. Bimbinga ruhani Islam di penjara-penjara AS dimulai pada era tahun 1970-an atas prakarsa pemimpin organisasi Islam Nation of Islam, Louis Farrakhan. Professor di Vassar College, Lawrence Mamiya, yang meneliti keberadaan tahanan Muslim di penjara-penjara AS mengatakan, keterlibatan para imam Muslim di AS sangat efektif dalam upaya rehabilitasi keagamaan para tahanan. Menurut Mamiya, diperkirakan 10 persen dari seluruh tahanan yang ada di penjara AS memilih masuk Islam. Itu artinya, sekitar 1.800 dari 18.000 jumlah tahanan di penjara-penjara AS menjadi seorang Muslim.
Islam juga telah menarik sejumlah besar narapidana di penjara Feltham Young of Fenders di London Barat. Gelombang besar perpindahan agama menyebabkan sepertiga penghuni penjara terkenal di Inggris itu kini adalah mualaf. Menurut Departemen Kehakiman, angka mualaf di penjara itu kini mencapai 229 Muslim dari total 686 pemuda di sana. Pada waktu shalat Jumat, jamaah semakin membludak sehingga jamaah harus dibagi antara Masjid Feltham dan fasilitas gym yang ada di penjara.
++++++
Jadi, alih-alih menjadi tempat yang membelenggu, penjara justru menjadi tempat yang memerdekakan bagi orang-orang besar. Mereka adalah orang-orang yang mengerti hakikat kemerdekaan. Banyak tokoh politik, termasuk pejuang Islam, justru meraih kemenangan selepas masuk penjara. Lihatlah, Nelson Mandela. Setelah 27 tahun di penjara, akhirnya dia berhasil mengakhiri politik apartheid yang sudah puluhan tahun dipraktikkan di Afrika Selatan. Begitu pula dengan Xanana Gusmao, Aung Sang Su Kyii dan lainnya.
Di Indonesia, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, M. Natsir, Buya Hamka, Sahirul Alim, Habib Rizieq dan banyak tokoh lainnya pernah masuk penjara. Semua itu terbukti sama sekali tidak mematikan dakwah, malah justru semakin mengeelorakan dakwah. Dakwah nyatanya terus tumbuh, makin membesar dan tak lama lagi akan meraih puncaknya, berupa kemenangan, Insya Allah.
Jadi, masihkah takut penjara? []
0 komentar:
Posting Komentar