Media 'Meremahkan' Kekuatan Umat
Kekuatan media yang begitu gagah pada waktu belakangan nyaris tak terkalahkan. Pers tidak hanya menjadi pilar keempat, tetapi juga telah menjadi imperium tersendiri. Media telah membentuk semacam 'kekuasaan lain' yang bersikap tidak mau tahu, bahkan terhadap fenomena yang bersejarah sekalipun.
Sebagai pilar demokrasi, media seharusnya tampil secara objektif dalam menyampaikan berita, tentang peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Namun media telah menjadi 'agen' Untuk merekayasa atau menghilangkan suatu fakta sejarah. Ia tidak lagi menampilkan objektivitas, apalagi mencari kebenaran dari fenomena. Keadaan ini memperburuk ruang publik kita.
Ruang publik yang pengap dari pemberitaan yang tidak berimbang, telah menampilkan wajahnya secara vulgar dihadapan 250 juta rakyat indonesia. Dimana media telah menjadi bagian dari alat untuk menghilangkan sejarah atau dengan kata lain ini merupakan penggelapan sejarah yang tertangkap basah dan yang melakukan penggelapan itu media di Indonesia.
Bagaimana tidak, jutaan manusia yang hadir dalam reuni 212, sebuah peristiwa penting bersejarah yang terjadi tahun 2018, yang mewakili 85 % masyarakat muslim, bahkan mewakili golongan lain dan umat lain, tidak menjadi pemberitaan penting bagi pers Indonesia. Bukankah itu menggelapkan sejarah?
Menghilangkan fenomena sejarah adalah merobek bagian penting dari catatan sejarah, sehingga semua bagian lain tidak bisa dijelaskan, bahkan catatan sejarah itu menjadi tidak lengkap. Apalagi yang ingin dihilangkan adalah sejarah umat Islam, yang merupakan populasi muslim terbanyak di dunia, itu sangat absurd dan naif. Dengan kata lain 'media di Indonesia sedang meminum racun dan berharap orang lain yang mati'.
Media di Indonesia telah menjadi bukti konkrit tentang keburukan pers, karena ia menyampaikan berita dengan tidak mengindahkan suasan yang hidup di dalam masyarakat. Pemberitaan yang tidak mengindahkan suasana yang hidup dimasyarakat terbukti sangat berbahaya. Hal itu pernah terjadi di Los Angles, Amerika Serikat pada tahun 1991. Ketika seorang kulit hitam dihajar oleh 4 orang polisi hingga semua tulangnya patah. Kejadian itu direkam secara amatiran oleh seseorang. Keempat polisi itu diseret kepengadilang. Pada tahun 1992 pengadilan memutuskan mereka tidak bersalah.Dengan ongkos penayangan yang mahal, tv kembali mengambil kesempatan untuk menayangkan putusan yang kontroversial itu. Apa kejadian? Los Angles diguncang kerusuhan rasial yang hebat, orang kulit hitam berbondong-bondong memenuhi jalan dengan amukan kemarahan. Dalam sekejap meluas ke San Fransisco, Atlanta, Las Vegas, Texas, Pholadelpia dan beberapa kota lain. Korban jiwa dalam kejadian ini 58 orang sementara yang terluka mencapai 1000 orang dengan kerugian materil mencapai 3 Milyar dollar As. Tayangan peristiwa kejahatan yang berimplikasi pada gejolak masyarakat.
Reuni 212 bukanlah peristiwa kejahatan seperti Los Angles itu, tapi ia kebalikannya, yaitu menjadi cerminan pencapaian keadaban yang tinggi dari ummat Islam. Nafas 212 merubah kerumunan menjadi satu kekuatan iman, nurani dan akhlak, yang tidak mungkin dimiliki oleh kerumunan massa apapun kecuali ummat Islam.
Tapi kenapa media tidak memberitakan? Kalau contoh kejadi di AS tersebut adalah memberitakan kejahatan hanya karena persaingan media, maka di Indonesia tahun 2018, terjadi 'penghilangan' terhadap sejarah, karena media telah menjadi 'alat' atau corong korporasi dan kekuasaan sehingga aksi umat Islam yang kurang diharapkan harus dihilangkan dari lembaran sejarah.
Tetapi media salah, media telah salah secara fatal. Ia tidak tahu bahwa ummat Islam adalah umat yang paling banyak, yang hadir dalam reuni 212 melebihi 7 juta dan yang tidak hadir ikut mendoakan umat yang hadir dalam reuni itu mencapai ratusan juta, dan yang menyebarkan kabar tentang reuni itu juga jutaan akun media sosial. Media keliru, mereka ingin menutup kebenaran untuk menenangkan kegundahan Istana, justru borok mereka terlihat jelas, dengan gerakan media sosial ummat Islam yang melebihi pengaruh media massa itu.
Media menganggap bahwa dengan tidak diberitakannya pertemuan akbar yang mengalahkan pertemuan yang pernah ada dalam sejarah dunia itu, maka pertemuan itu tidak memiliki arti. Mereka salah dan salahnya fatal, sebab kekuatan media sosial ummat mampu menyentuh ruang yang paling dalam dari kehidupan individu yang ada. Media sosial ummat mampu menyentuh dapur ibu-ibu, ruang tongkrongan bapak-bapak, sehingga media massa bukan lagi menjadi alternatif satu-satunya untuk menyebarkan informasi ke khalayak.
Dengan demikian pertemuan akbar 212 yang terjadi pada Hari Ahad 2 Desember 2018 itu, tetap menjadi pertemuan yang paling fenomenal dan monumental serta menjadi bahan pembicaraan bagi setiap orang. Meskipun media menghalau dengan berbagai cara, dengan mencari alternatif berita yang lain, tetapi pertemuan itu telah menjadi bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia, dan akan menjadi ingatan kolektif bangsa Indonesia.
Umat memang tidak memiliki media, tetapi ummat memiliki kekuatan yang dibutuhkan media untuk menaikkan ratingnya. Media memiliki saluran, tapi salurannya tidak ditonton oleh umat. Jadi media akan jatuh bangkrut tanpa umat, tetapi umat akan tetap jaya tanpa media. Tinggal bagaimana umat tetap mempertahankan spirit 212 sebagai nafas perjuangan dan persatuan sebagai modal utamannya. Insaa Allah ummat Islam akan menjadi ummat yang akan menang. Bukankah janji Allah kepada hambanya yang beriman, untuk diberikan kekuasaan baik didunia dan diakhirat kelak.
Wallahua'lam bis shawab
Dr. Ahmad Yani, SH., MH.
Advokat & Caleg DPR RI PBB Dapil DKI Jakarta 1 Jakarta Timur.
0 komentar:
Posting Komentar