Rabu, 06 Januari 2021

Perihal Jama’ Ashar dengan Jumat Bagi Musafir


Salah satu persoalan fikih yang menjadi persoalan dan hangat diperdebatkan adalah tentang jama antara salat Ashar dengan Jumat bagi musafir. Para ulama berbeda pendapat terkait hal tersebut, ada yang membolehkan dan adapula yang meniadakan. Dewan Hisbahpun merespon dengan menjadikannya sebagai tema Sidang Dewan Hisbah pada tahun 2016 dengan hasil kesimpulan, pertama,  Jama Ashar dengan Jumat tidak diyariatkan, kedua, Salat Ashar pada waktu Zuhur bagi Musafir diperbolehkan.

Disamping itu, pembahasan dalil-dalil mengenai jama ashar dan Jumat ada dalam buku 10 Masalah Seputar Salat dan Isbal Vol. 1 oleh Dewan Hisbah yang diterbitkan oleh Persis Pers.
Jika diperhatikan secara sekilas, antara diktum pertama dan kedua seolah bertentangan, namun jika diteliti lebih jauh, sebetulnya keduanya tidak bertentangan, namun saling mendukung satu sama lain, sebagai konsekuensi istidlal yang digunakan. Tulisan berusaha menambah khazanah serta menjelaskan duduk persoalan dan bagaimana analisis ushulfiqhnya sehingga sampai pada kesimpulan diatas. Adapun analisisnya sebagai berikut :

Analisis sabab ; Hadirnya Waktu Salat Sabab kewajiban Salat

Sabab adalah apa yang memestikan dengan eksistensinya ada dan ketiadaan hukum, ada sebab maka ada hukum, ketiadaan sebab maka tidak ada hukum. contohnya perbuatan zina, memestikan hukuman had bagi pelakunya, deraan bagi yang belum menikah dan rajam bagi yang sudah menikah. Adapun terkait dengan salat fardu, maka sababnya adalah hadirnya waktu salat. Adapun yang menjadi argumentasinya adalah sebgai berikut, pertama Firman Allah surat al-Isra ayat 78

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78)

kedua, surat an-Nisa ayat 103

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.(QS. An Nisa’ : 103)

ketiga, hadis dari sahabat Abdullah bin Amr Rasulullah Saw bersabda :

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ

"Waktu shalat Dhuhur adalah jika matahari telah condong dan bayangan sesorang seperti panjangnya selama belum tiba waktu shalat Ashar, dan waktu shalat Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat Maghrib selama mega merah (syafaq) belum menghilang, dan waktu shalat Isya' hingga tengah malam, dan waktu shalat Subuh semenjak terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab ia terbit di antara dua tanduk setan. ( HR Muslim : 996)
Secara analisis hukum wadh’i, waktu salat tersebut merupakan sebab adanya kewajiban salat fardlu, misalnya terbit fajar menjadi sebab adanya kewajiban salat subuh, tergelincir matahari merupakan sebab adanya kewajiban salat zuhur.

Analisis Salat pada waktunya sebagai Azimah dan dan kebolehan Jama sebagai Rukhsah

Azimah adalah hukum asal yang berlaku umum, sedangkan rukhsah adalah pengecualian dari hukum asal berdasarkan dalil atau alasan tertentu. Dalam kasus salat, pelaksanaan salat fardu pada waktu yang ditentukan, termasuk dalam kategori azimah. Sedangkan kebolehan pelaksanaan salat ashar pada waktu zuhur (jama taqdim) atau sebaliknya (jama ta’khir) termasuk kategori rukhsah. perlu diketahui, hakikat Jama salat maksudnya ialah menjama’ waktu salat sebagai sebab lahirnya kewajiban salat yang disyariatkan yaitu Jama’ waktu Zuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Adapun yang menjadi dalil rukhsah Jama Berdasarkan hadis dari sahabat Ibnu Abbas Ra :

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.” (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/152)

Jama waktu salat itu hanya terbatas pada zuhur dan ashar serta magrib dan isya, baik taqdim maupun ta’khir. Praktik pelaksanaannya lebih utama langsung berurutan, misalnya salat zuhur kemudian salat ashar, namun jika ada jeda salatnya tetap sah. Dari keterangan diatas, maka ditegaskan bahwa jama’ itu pengertiannya bukan jama salat, tapi jama’ waktu salat sebagai sabab, sehingga melahirkan kewajiban salat sebagai akibat hadirnya waktu salat.

Analisis Istishab dalam masalah ibadah

Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum sebelum ada hukum baru yang mengubahnya. misalnya Asal dalam masalah muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. begitu pula dalam masalah makanan, asalnya halal kecuali ada dalil yang mengharamnnya. Adapun dalam masalah ibadah maka, pertama asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkannya. kedua, asalnya tawaquf atau diam tidak mengamalkan, kecuali ada dalil yang memerintahkan. ketiga, asalnya ittiba’ artinya apa yang ada dalilnya maka dilaksanakan, adapun yang tidak ada dalilnya tidak dilaksanakan.  berikut adalah kaidahnya

الأصل في العبادة الحظر والتوقيف
Asal dalam ibadah adalah terlarang dan berhenti (sampai ada dalil yang memerintahkan) (Talwih al-Afham, 3/27)

الأصل في العبادة الإتباع
Asal dalam ibadah adalah sekedar mengikuti (al-Bid’ah al-Syar’iyah, 1/53)

Dalam kasus menjama ashar dan Jumat bagi musafir, kami belum menemukan dalil baik yang sahih maupun yang sarih. Karena itu bagi yang berkeyakinan adanya dalil dalam kasus tersebut, maka wajib mengemukakan dalilnya.
Batalnya Qiyas antara Jumat dan Zuhur
Ada Sebagian ulama yang membolehkan dengan argumen mengiyaskan antara ibadah Jumat dengan Zuhur. Padahal keduanya ibadah yang berbeda kaifiyatnya, karena itu tidak dapat diqiyaskan.

Memang waktu Jumat itu sama dengan waktu zuhur, namun keduanya melahirkan kewajiban yang berbeda, jika hadir waktu Jumat, maka kewajibannya salat Jumat, bagi mukallaf Jumat, sedangkan waktu Zuhur melahirkan kewajiban salat zuhur bagi mukallaf salat zuhur. Seandainya dapat dijama’ taqdim antara Ashar dan Jumat, maka konsekuensi logisnya boleh menjama’ atau melaksanakan salat Jumat pada waktu ashar, fikihnya menjadi ganjil. Adapun yang menjadi sandaran kaidah dalam persoalan ibadah ini adalah tidak ada qiyas dalam ibadah. kaidahnya sebagai berikut :
لا قياس في العبادات
Tidak ada qiyas dalam Ibadah (Ushul Fiqh ‘Ala manhaj ahli al-hadist, 52)

Analisis Dalalah Manthuq Sarih, Salat Ashar pada waktu Zuhur

Manthuq sarih adalah analisis lafaz yang maknanya tegas sebagaimana yang ditunjukan oleh lafaz itu sendiri. Dalam kasus jama’ Ashar dan Jumat ini kami menemukan dalil sarih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salat Ashar pada waktu zuhur dalam keadaan safar, berdasarkan keterangan dari Jabir bin Abdillah ketika haji wada’

فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِى فَخَطَبَ النَّاسَ …ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا…

Kemudian beliau datang ke sebuah lembah (Arafah) dan berkhutbah kepada manusia….kemudian beliau salat zuhur, lalu salat Ashar dan tidak salat diantara keduanya (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 4/39)

Bagi musafir yang memilih melaksanakan salat Jumat, maka tidak ada salat zuhur baginya. Namun waktu zuhur tetap ada atau tidak menghilangkannya dengan sebab pelaksanaan salat jumat, sebagaimana adanya tetapnya waktu zuhur hari-hari yang lain.

Karena tetapnya waktu zuhur tersebut, maka waktu ashar dapat ditarik pada waktu Zuhur atau rukhsah jama’ taqdim tetap ada, walaupun kewajiban zuhurnya gugur. Namun jika musafir melaksanakan salat Zuhur, maka tidak ada masalah apakah akan melaksanakan jama taqdim maupun ta’khir, baik diqashar ataupun tidak, pada salat-salat yang dapat dijama dan diqashar.

Dengan demikian, bagi musafir yang jumatan, maka salat Jumat yang dilakukannya tidak ada kaitan dengan pelaksanaan salat Ashar waktu zuhur pada hari Jumat. kebolehan jama taqdimnya terkait dengan waktu salat zuhur, bukan dengan jumat maupun salatnya. Karena itu, bagi musafir yang berniat untuk salat Ashar pada waktu zuhur setelah salat Jumat, maka tidak menghalangi adanya sunat wiridan dan salat sunat ba’da Jumat yang bukan termasuk dalam salat sunat rawatib.

Perhatikan keterangan Atha sebagai berikut :

عَنْ عَطَاءٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ ، تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا ، وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُ ذَلِكَ

dari ‘Atha` dari Ibnu Umar dia berkata; Apabila di Makkah, dia mengerjakan shalat Jum’at, lalu maju kemudian dia mengerjakan shalat (sunnah) dua raka’at, sesudah itu beliau maju kembali dan mengerjakan shalat empat raka’at, apabila di Madinah, dia shalat Jum’at kemudian pulang ke rumahnya lalu shalat dua raka’at, dan tidak shalat di Masjid, lalu di beritahukan kepadanya, maka dia menjawab; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga melakukan hal itu.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/294)

Hadis diatas menunjukan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan salat Jumat dan salat sunat setelahnya dalam keadaan safar. Dapat diketahui bahwa salat sunat ba’da Jumat bukan termasuk salat sunat rawatib. Karena itu, bagi musafir yang melaksanakan Jumat, kemudian berkehendak untuk menjama waktu salat Ashar dengan salat zuhur, maka praktiknya, setelah salat jumat, lebih utama, wiridan dan sunat terlebih dahulu kemudian salat ashar, lebih utama dengan cara diqashar.

Dengan demikian kesimpulannya, pertama, Tidak ada jama’ salat Jumat dan Ashar. Kedua, Bagi musafir, salat ashar pada waktu zuhur di hari jumat diperbolehkan. Ketiga, bagi musafir yang melaksanakan salat Jumat dan hendak melaksanakan salat Ashar waktu Zuhur, maka praktiknya salat Jumat, kemudian lebih utama wiridan dan salat sunat ba’da Jumat kemudian baru salat Ashar.

Mudah-mudahan bermanfaat.
Ginanjar Nugraha

ditulis di Majalah Risalah Bulan Januari 2020

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More