VILLA ISOLA, UNGKAPAN CINTA SEORANG PLAYBOY
Silvio Berlusconi, mantan Perdana Menteri Italia yang kaya raya dan juga pemilik perusahaan media raksasa terbesar di Italia, adalah pria yang dikenal doyan wanita alias seorang playboy. Hal ini tidak pernah disangkalnya, bahkan ia mengakuinya sendiri di mana ia mengatakan “I’m not a playboy, I’m a playman” (playuomo), maklum usianya sudah uzur 77 tahun.
Pada zaman kolonial, di Bandung juga ada seorang pria yang memiliki sifat maupun perilaku yang hampir serupa dengan Berlusconi, namanya Dominique Willem Berretty. Ayahnya seorang guru sekolah asal Italia dan ibunya adalah seorang gadis Jawa. Ia dilahirkan pada tahun 1890 di Yogyakarta sebagai sinyo blasteran. Setelah dewasa ia memiliki wajah yang tampan.
Pada awalnya, ia bekerja sebagai reporter. Pada tahun 1917 ia mendirikan kantor media yang diberi nama Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA) dengan mottonya (Altijd Nummer Een Trots Alles) – “Selalu Harus Nomor Satu; Apapun Biayanya”. Perusahaan ini membuat dia menjadi kaya raya dan dijuluki sebagai Raja Koran. Ia juga memiliki hobby main perempuan, antara lain selama hidupnya ia sudah menikah sebanyak enam kali. Ketika masa jayanya, ia telah diangkat menjadi bangsawan (baron) oleh Kerajaan Belanda. Jadi mirip seperti Berlusconi!
Sekitar tahun 1932, ia menjalin asmara dengan salah satu putri dari Gubernur Jenderal Cornelis de Jonge, tetapi tidak direstui oleh ayahnya karena sifat playboynya. Gubernur Jenderal Cornelis de Jonge merupakan pejabat tertinggi dari Kerajaan Belanda di Indonesia yang memerintah pada tahun 1931-1936. Berretty merasa tersinggung berat karena lamarannya ditolak. Oleh sebab itu, untuk membuktikan bahwa ia layak dan cukup terhormat untuk bisa meminang putri sang Gubernur Jenderal, ia merencanakan membangun sebuah istana di Bandung seperti layaknya seorang raja. Ia menghubungi arsitek terbaik pada masa itu, yakni Ir. C.P. Wolff Schoemaker, yang reputasinya tidak perlu diragukan lagi, karena antara lain ia yang merancang Gedung Sociteit Concordia (Gedung Merdeka) maupun Grand Hotel Preanger.
Berretty membangun gedung Isola yang kita kenal sekarang ini di atas tanah seluas 120.000 meter persegi dengan bantuan biro arsitektur AIA di Batavia. Gedung yang sedemikian indah dan besar itu ternyata bisa selesai dibangun hanya dalam jangka waktu enam bulan saja. Dimulai pada Oktober 1932 dan selesai Maret 1933. Kerangka bangunan dan jendela-jendela gedung ini terbuat dari baja, sedangkan lantainya beton cor.
Jadi sebenarnya Villa Isola itu dibangun sebagai balas dendam karena lamarannya dari Willem Berretty ditolak. Hal ini membuat dia patah hati dan tersinggung berat. Maka tidaklah heran setelah Villa tersebut selesai, di ruang masuk utamanya dipasang plakat yang bertuliskan: M’ISOLO E VIVO – “Saya mengucilkan diri untuk bertahan hidup”. Dari kata ISOLO (isolasi – terkucil) inilah nama ISOLA diserap. Maka tidaklah salah ada ungkapan yang menyatakan: apabila pria jatuh cinta, maka ia akan bisa menghasilkan karya besar, termasuk Gedung Taj Mahal di India yang juga merupakan ungkapan cinta dengan bahasa arsitektur.
Villa Isola dibangun lengkap dengan sarana ruang bioskop, ruang biliard, bar, lapangan tenis maupun kolam renang. Khusus untuk menghias taman yang penuh dengan bunga mawar merah dan bunga anggrek maupun kolam, telah diimpor khusus dari Eropa enam angsa hitam. Semua perabotan dan kaca tritisan diimpor dari Paris. Walaupun Villa Isola telah selesai pada bulan Mei, tetapi baru diresmikan sembilan bulan kemudian tepatnya pada tanggal 18 Desember 1933, karena ia ingin menunggu hingga semua pohon dan tanaman bunganya berkembang dahulu. Villa Isola dibangun dengan biaya 500.000 Gulden atau setara dengan Rp 250 miliar uang masa kini. Satu nilai yang tidak murah hanya sekadar untuk menghibur rasa patah hati.
Dengan kekayaannya, Willem Beretty mampu membangun Villa Isola. Walaupun demikian masa hidup seseorang ditentukan oleh Tuhan. Dalam perjalanan dari Amsterdam ke Batavia, pesawat yang ditumpangi Berretty jatuh di Suriah. Setelah ia meninggal dalam usia 44 tahun, Villa Isola diambil alih dan dikelola oleh Fr JA van Es, pengelola Hotel Homann. Ketika zaman penjajahan Jepang, Villa Isola dijadikan markas pusat tentara Jepang dan sempat digunakan sebagai kediaman dari Jenderal Hitoshi Imamura. Villa ini pernah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi. Saat ini, Villa Isola dipakai oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) atau yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia – UPI.
(Sumber artikel : Mooi Bandoeng, Robert T.S. Nio)
0 komentar:
Posting Komentar