Rabu, 16 Januari 2019

ROCKY GERUNG DAN KEMATIAN INTELEKTUAL

ROCKY GERUNG DAN KEMATIAN INTELEKTUAL

Oleh: Dr. Ahmad Sastra

Dalam perspektif historis, selalu ada pertentangan antara intelektualitas dan hegemoni kekuasaan. Intelektualitas mewakili pencerahan, sementara kekuasaan mewakili kedunguan. Kekuasaan biasanya anti kritik, karena takut akan menjatuhkan tahta yang telah nyaman dinikmati. Lihatlah hukuman inkuisisi yang menimpa kaum cendekiawan pada rezim Paus Innosensius IV abad 17.

Tradisi berfikir adalah proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan, bersifat ilmiah, metodis, sistematis dan logis. Metodis (yunani: hodos: cara): cara kerja terperinci baik  melalui tahapan induktif maupun deduktif. (observasi, perumusan masalah, pengumpulan dan klasifikasi fakta, generalisasi, hipotesis dan verivikasi).

Sistematis adalah ilmu sebagai suatu keseluruhan yang mandiri dari hal-hal yang saling berhubungan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Logis maknanya proposisi/postulat yang satu dengan yang lain memiliki keterhubungan yang rasional sehingga bisa ditarik suatu kesimpulan rasional.

Verifikasi yakni melakukan pengujian terhadap kebenaran yang dapat dibantah jika ada hasil yang lain. Contoh: teori Ptolomeus, astronom yunani: bumi sebagai poros edar (dijadikan keyakinan gereja katolik berabad-abad) dibantah oleh Copernicus (1473-1540)  dan Galileo (1564-1642) berteori matahari sebagai poros edar. Galileo dihukum inkuisisi oleh gereja karena dianggap bertentangan dengan doktrin gereja.  

Meski dikelilingi ancaman nyawa, namun kaum intelektual harus tetap berdiri tegak melawan kezaliman dan kedunguan, sebab begitulah kerja intelektual. Bukankah para intelektual menyandang gelar ini untuk menjadi para pemikir yang cerdas dan mendasar. Kaum intelektual adalah mereka yang netral dalam arti tidak tunduk kepada rezim dan juga tidak didikte oleh hegemoni kekuasaan. Istilah netral ini saya pinjam dari bahasa Rocky Gerung di ILC 08/01/18.

Saya bukan pengikut Rocky Gerung, bahkan saya juga banyak yang tidak bersepakat dengan alur berfikirnya, namun setidaknya dia telah membangunkan intektualitas bangsa ini. Saya bersepakat dengan Rocky Gerung bahwa suatu peradaban bangsa harus dibangun dengan fundamental intelektual. Tradisi berfikir rasional adalah bagian yang menyatu dengan peradaban suatu bangsa.

Ilmu pengetahuan tidak bersifat konstan melainkan terus berkembang sejak adanya manusia (Adam), sebab ilmu digunakan manusia untuk mengatasi masalah manusia, kehidupan sosial dan lingkungan hidupnya.

Tahapan ilmu August Comte: Pertama, tahap teologis/fictius: Tuhan sebagai sumber ilmu dan realitas. Kedua, tahap metafisika/abstrak: kekuatan abstrak sebagai sumber fenomena. Ketiga, scientific : hukum alam sebagai penyebab gejala alam semesta.

Kembali ke ajakan berfikir ala Rocky Gerung, bagaimana peradaban yang kuat, apakah ditopang oleh pemikiran Islam, sosialis atau sekuler? Nah disinilah mungkin saya akan banyak berseberangan dengan pemikiran Rocky Gerung. Namun sebagai sesama pengkaji filsafat, ajakan untuk mengembangkan daya berfikir anak bangsa dan tidak beternak kedunguan adalah sebuah ajakan yang baik. 

Apa jadinya negeri ini, jika kaum intelektual memilih bisu, di saat bangsa ini secara gamblang tengah dicengkeram oleh hegemoni ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme ateis. Padahal kedua ideologi itu sesat secara agama maupun kebangsaan. Sementara kaum intelektual malah memilih bisu, bisu sebisu-bisunya.

Tugas kaum intelektual adalah meletakkan pondasi paradigmatik bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Kaum intelektual mestinya mencintai dan membela Indonesia secara obyektif sesuai dengan predikat yang disandangnya. Kaum intelektual mestinya mengawal bangsa ini agar berjalan menuju kemajuan dan kemuliaan peradaban. Adalah naif, jika kaum intelektual menggadaikan otaknya demi sesuap nasi dari penguasa.

Bukanlah sesuatu yang sulit bagi kaum intelektual untuk melihat Indonesia. Mereka pasti tahu bahwa Indonesia tengah dicengkeram oleh ideologi penjajah Kapitalisme sekuler dan Komunisme ateis. Tapi kenapa mereka bisu? Apakah bisunya kaum intelektual karena takut ancaman rezim atau karena jebakan pragmatisme. Disinilah, keberanian Rocky Gerung melawan hegemoni rezim, patut diapresiasi.

Mungkin ada benarnya apa yang diungkapkan oleh pujangga Ronggowasito bahwa zaman udah edan, siapa yang tak ikut edan maka tak kebagian, namun manusia terbaik adalah yang selalu ingat dan waspada.

Mungkin frase ‘zaman edan’ yang dimaksud oleh sang pujangga adalah semacam hegemoni zaman dimana manusia dipaksa untuk mengikuti arus kebodohan saat itu, jika tidak maka tak dapat bagian, dan jika melawan, maka harus berani menanggung resiko.

Kita tinggalkan sejenak sang pujangga, kita terbang jauh ke zaman para Nabi. Para Nabi adalah manusia pilihan Allah yang diutus dalam sebuah hegemoni zaman yang penuh kezaliman. Musa diutus dalam hegemoni kedunguan dan kezaliman Fir’aun. Nabi Muhammad diutus dalam hegemoni kedunguan dan kezaliman Abu Jahal.

Maka saat itu disebut sebagai zaman jahiliyah atau era kedunguan. Manusia saat itu dilarang cerdas, apalagi mengkritik rezim Fir’aun, bisa-bisa disiksa bahkan dihilngkan nyawanya. Era jahiliyah, bukan hanya representasi kezaliman, tapi juga kedunguan.

Indonesia, negeri zamrud katulistiwa yang dianugerahi Allah kekayaan alam yang sangat melimpah. Tidak ada negara di dunia yang memiliki kekayaan alam seperti di Indonesia. Itulah kenapa dari dulu Indonesia selalu menjadi incaran para kolonial, baik kolonialisme gaya lama maupun penjajahan gaya baru.

Sementara Indonesia sendiri tidak pernah berdaulat secara ideologis yang menyebabkan bangsa ini mudah diintervensi bahkan dijajah oleh bangsa lain, dari dulu hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan negeri ini tidak memiliki martabat. Dalam istilah  martabat terkandung nilai kemuliaan, keadaban, kemandirian, kehormatan, dan bahkan disegani oleh orang lain.  

Psikologi keterjajahan bangsa ini telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para intelektual dengan gagasan dan pemikirannya.

Dalam perspektif Islam,  tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut Imam Syafi’i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah. Quo Vadis intelektual?

Peradaban Barat dengan landasan epistemologi sekuleristik dan ideologi komunis yang atheisitik telah melahirkan manusia-manusia jahat, rakus dan destruktif demi memenuhi kehausan duniawi dan kekuasaan. Hasilnya adalah sebuah peradaban anti Tuhan yang lebih mengedepankan kebebasan tanpa batas di semua bidang kehidupan. Sains dan teknologi aliran sekulerisme dan komunisme hanya berorientasi materialisme dan mengabaikan nilai dan moral.

Dari paradigma sains sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam Surat ar-Ruum: 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Islam dan kaum muslim pernah begitu disegani oleh siapapun karena kemajuan di bidang sains teknologi, ekonomi, budaya di bawah kekuatan teologinya. Rasulullah oleh Michael D Hart digambarkan sebagai sosok paripurna peletak peradaban agung, “…kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia..”

Ada baiknya direnungkan apa yang dikatakan oleh Ahmad Y al-Hasan, “Marilah kita meletakkan skenario hipotesis: jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu, dan jika para ilmuwan muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton? Model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astronomer-astronomer muslim yang sekualitas  Copernicus dan yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistem Heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis muslim, jika komunitas mereka terus eksis di bawah skenario hipotesis ini.”

Karena itu kaum intelektual tugasnya adalah melakukan perlawanan atas hegemoni kezaliman dan kedunguan kekuasaan, sampai mati. Demikian pula saya akan terus melawan kezaliman kekuasaan, meski saya pernah dipenjara oleh orde baru. Untuk Pak Rocky Gerung, jangan berhenti berfikir, teruslah melawan kedunguan kekuasaan dengan gaya berfikir Anda dan saya akan terus melawan rezim zalim dengan gaya berfikir saya. []


[Ahmad Sastra, Kota Hujan,09/01/18 : 14.17 WIB]

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More