Keputusan menaikkan harga produk menjadi hal yang tidak bisa ditunda.
VIVAnews
- Industri makanan dan minuman berencana menaikkan harga produksinya.
Upaya ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS.
"Kalau di industri makanan dan minuman, ketergantungan kami terhadap bahan baku impor sangat besar. Kami harus sadar itu," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S. Lukman, di sela acara "Simposium Pangan Nasional" di Indofood Tower, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2013.
"Kalau di industri makanan dan minuman, ketergantungan kami terhadap bahan baku impor sangat besar. Kami harus sadar itu," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S. Lukman, di sela acara "Simposium Pangan Nasional" di Indofood Tower, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2013.
Dengan depresiasi rupiah,
dia menjelaskan, otomatis akan berpengaruh terhadap harga produksi
perusahaan. Kondisi itu yang membuat produsen makanan dan minuman
khawatir.
Adhi menjelaskan, pengusaha makanan dan minuman kesulitan untuk menentukan biaya produksi mereka, mengingat pergerakan rupiah yang tidak dapat diprediksi.
Adhi menjelaskan, pengusaha makanan dan minuman kesulitan untuk menentukan biaya produksi mereka, mengingat pergerakan rupiah yang tidak dapat diprediksi.
Misalnya, mereka telah
menghitung biaya produksi dengan rupiah yang berada di level
Rp11.000-11.500 per dolar AS. Tapi, rupiah pernah melemah di level
Rp12.000 per dolar AS.
"Ternyata, sudah menembus Rp12.000 dan ini bisa mudah melonjak hingga Rp13.000. Itu yang menjadi sulit bagi industri. Kami mau kalkulasi harga produksi itu basisnya apa? Ini yang sedang dipelajari apakah dengan Rp12.000 atau Rp14.000," ujarnya.
Keputusan menaikkan harga produk rupanya menjadi hal yang tidak bisa ditunda lagi. Mereka merasa tidak bisa terus-menerus mengorbankan marjin produksi demi tidak ada kenaikan harga produk.
"Untuk itu, Januari (2014), kami akan menaikkan harga, karena ada faktor kenaikan harga BBM, kurs, dan penyesuaian upah minimum regional (UMR). Kenaikannya rata-rata 10-15 persen" kata dia.
Penyesuaian ini, Adhi melanjutkan, adalah harga yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Depresiasi rupiah benar-benar memukul industri makanan dan minuman.
"Ternyata, sudah menembus Rp12.000 dan ini bisa mudah melonjak hingga Rp13.000. Itu yang menjadi sulit bagi industri. Kami mau kalkulasi harga produksi itu basisnya apa? Ini yang sedang dipelajari apakah dengan Rp12.000 atau Rp14.000," ujarnya.
Keputusan menaikkan harga produk rupanya menjadi hal yang tidak bisa ditunda lagi. Mereka merasa tidak bisa terus-menerus mengorbankan marjin produksi demi tidak ada kenaikan harga produk.
"Untuk itu, Januari (2014), kami akan menaikkan harga, karena ada faktor kenaikan harga BBM, kurs, dan penyesuaian upah minimum regional (UMR). Kenaikannya rata-rata 10-15 persen" kata dia.
Penyesuaian ini, Adhi melanjutkan, adalah harga yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Depresiasi rupiah benar-benar memukul industri makanan dan minuman.
Sebab, langsung berimbas
kepada bahan produksi, seperti gula, terigu, dan kemasan. Ketergantungan
industri tersebut terhadap bahan baku impor sangat tinggi.
"Kalau berbasis terigu, ketergantungannya luar biasa. Gula juga seperti itu. Kalau kemasan itu fifty-fifty. Itu baru bahan baku impor. Belum termasuk biaya UMR dan lainnya," kata dia.
Adhi tidak memungkiri penyesuaian harga tersebut akan menimbulkan "gejolak" bagi konsumen. Tetapi, pihaknya optimistis konsumen bisa menerimanya setelah 1-2 bulan penyesuaian harga. (art)
"Kalau berbasis terigu, ketergantungannya luar biasa. Gula juga seperti itu. Kalau kemasan itu fifty-fifty. Itu baru bahan baku impor. Belum termasuk biaya UMR dan lainnya," kata dia.
Adhi tidak memungkiri penyesuaian harga tersebut akan menimbulkan "gejolak" bagi konsumen. Tetapi, pihaknya optimistis konsumen bisa menerimanya setelah 1-2 bulan penyesuaian harga. (art)
0 komentar:
Posting Komentar