Jumat, 27 Desember 2013

Jokowi-Ahok, Duet Maut Tak Saling Sikut

Added by PT. Platmerah Group Plat Merah on December 27, 2013.
Saved under Berita Unik

Jokowi_Ahok 
Jokowi-Ahok tak hanya menonjol sebagai model kepemimpinan pemerintahan daerah yang penuh terobosan. Keduanya juga menyajikan sinergi unik. Potensi konflik pasangan ini diredam dengan memaduserasikan keunggulan masing-masing. Eksperimen berharga di tengah banyak pasangan yang awalnya bersanding, akhirnya bertanding.
Ada kesamaan antara duet Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Prov. DKI Jakarta 2012, dengan pasangan SBY-JK di Pilpres 2004. Jokowi, sapaan akrab Gubernur DKI Jakarta itu dan SBY, panggilan pesiden, sama-sama rising star politik pada masanya. Elektabilitas Jokowi pasca-pemilihan gubernur Jakarta 2012 terus menanjak, begitu pula tingkat keterpilihan SBY selepas Pilpres 2004.
Dua primadona elektoral pada eranya itu juga sama-sama didampingi pasangan tak biasa: out of the box. Sosok JK sebagai wapres berbeda daripada umumnya wapres, yang sekedar konco wingking. JK tampil aktraktif, menjadi problem solver, dan banyak terobosan. Pun performa Ahok, tidak seperti kesan umum wagub yang sekedar pelengkap protokoler.
Kepada daerah populer itu biasa. Tapi tak banyak wakil kepada daerah sekondang Ahok. Mantan Bupati Belitun Timur ini banyak melontorkan gagasan kejutan, pekerja produktif, dan punya kemampuan bicara yang argumentatif. Terlihat saling mengisi dengan Jokowi yang kalem dan biacara secukupnya. Ahok tidak cuma menumpang popularitas Jokowi, melainkan juga memberi warna lebih.
Salah satu wajud pengakuan publik, tahun ini Ahok dianugerahi “Bung Hatta Anti-Corruption Award” – penghargaan yang pernah diterima Jokowi tahun 2010, saat masih menjadi Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah. Banyak yang memandang kiprah Ahok sebagai wagub mirip JK sebagai wapres. Pasangan SBY-JK dinilai tepat dan saling mengisi. SBY sosok pemikir visioner, JK tipe pekerja smart yang berorientasi kedepan.
Tapi ditengah jalan, ketegangan SBY-JK mulai berakumulasi. Puncaknya, duet ini pecah kongsi menjelang Pemilu 2009, dan akhirnya SBY bertarung melawan JK. Duet pemimpin publik yang semula bersanding, lalu bersaing, dan puncaknya bertanding, juga menjalar ke banyak kepala daerah.
Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto, pendahulu Jokowi-Ahok di DKI Jakarta, sehabis bersanding bergeser menjadi bersaing. Pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf di Jawa Barat, pada pilkada berikutnya bertanding. Banyak pula contoh lain di tingkat kabupaten/kota. Hanya sedikit pasangan kepala daerah yang langgeng dan berduet kembali pada periode kedua, seperti Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`man di Sulewesi Selatan.
Ada lagi Soekarwo-Saifullah Yusuf di Jawa Timur, meski di tengah jalan pasangan ini nyaris pecah kongsi. Konflik kepentingan kepada dan wakil kepada daerah memang potensial. Salah satu faktor penggodanya, ada aturan main, bila kepala daerah utuh, sang wakil bakal menggantikan.
Kekompakan kepada daerah termasuk faktor krusial dalam sukses pemerintah daerah (pemda). Itulah sebabnya, dalam RUU Pilkada dan revisi UU Pemda yang sekarang sedang dibahas, penerintah menawarkan konsep wakil kepada daerah diangkat dari pegawai negeri sipil, bukan dipilih lewat pilkada. Itu sebagai respons atas maraknya rivalitas pimpinan daerah. Bahkan ada opsi, wakil gubernur ditiadakan pada provinsi yang penduduknya dibawah 5 juta orang.
Duet Jokowi-Ahok bukan hanya menarik lantaran mempertontonkan banyak langkah solutif penuntasan sejumlah masalah publik: layanan kesehatan dan pendidikan gratis, penyelesaikan damai hunian ilegal Waduk Pluit yang menahun, sampai penyelesaian cemerlang pedagang liar di jalanan Pasar Tanah Abang, Jatinegara dan Pasar Minggu, yang sudah lama jadi biang kemacetan.
Pasangan ini juga menyajikan model sinergi yang khas antara gubernur dan wakil gubernur. Sinergi kuat itulah yang menompang sukses pelayan publik. Pemerintahan mereka memang baru setahun dan tidak bisa dijamin akan terus kompak. Tapi sejauh ini, gaya duet ini relatif efektif meredam potensi konflik antar-mereka. Ini bukan pasangan tanpa potensi politik.
Keduanya bekas pemimpin fenomeal di daerah masing-masing, Jokowi bintang dari Surakarta, Ahok mutiara dari Belitung. Latar parti keduanya juga berbeda. Jokowi dari PDIP, Ahok eks anggota Fraksi Golkar DPR RI yang jelang pilkada Jakarta, direkrut masuk Gerindra.
Mereka hasil perjodohan kilat antara Gerindra dan PDIP. Ketika saat ini relasi antara pimpinan Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sedang merenggang, namun kombinasi Jokowi-Ahok seperti tak tertanggung. Bahkan Wasekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menggambarkan bahwa kader PDIP Sumut itu menginginkan duet Jokowi-Ahok diusung dalam bursa Pilpres 2014.
Ahok membuka salah satu rahasia suksesnya menjalin solidaritas dengan Jokowi, Ahok menolak disebut mirip Jusuf Kalla,”Saya bukan mazhab JK,” kata Ahok.”Kalau saya mazhab JK, Pak Jokowi mungkin sudah ribut sama saya atau diam-diam ngga mau saya lagi.” Apa bedanya dengan JK? “Kalau saya, ngomong dulu baru baru mikir. Kalau JK, kerjakan duku baru mikir,” kata sosok yang gayanya memimpin rapat mudah dilihat di Youtube ini.
“Kalau saya ngomong, terus pak gubernur tidak berkenan, saya dipanggil. Kan saya belum melakukan,” katanya. “Kalau kamu kerja, lalu baru mikir, ya marah dong si Bos. Kamu kok kerja dulu ngga ada diskusi. Kalau saya sounding dulu dan pak Gubernur ngga panggil, berarti setuju, baru saya kerjakan.”
Ahok mengaku tahu diri bahwa dia bawahan gubernur.”Itu bukan berarti menghina JK,” katanya. “Kalau SBY puas dengan JK, dia akan pilih JK yang sudah lima tahun bekerja, Tapi akhirnya SBY kan milih Budiono, itu karena JK mazhabnya seperti itu.”
Jokowi lebih banyak di lapangan. Blusukan. Ahok lebih sering memimpin rapat di kantor. Jokowi sesekali saja memimpin rapat. Pembagian ini kebetulan cocok dengan karakter mereka. “Saya ngga begitu suka keliling-keliling kayak Pak Jokowi. Pusing saya kalau mesti keliling-keliling begitu,” katanya.”Saya ngga pernah keluar (dari kantor). Kalau saya mau kondisi di lapangan, saya suruh orang untuk foto.”
Sedangkan Jokowi tidak betah rapat lama-lama.”Masalah rapat-rapat itu, saya ngga kuat, jadi wagub saja,” kata Jokowi.”Wagub ngga terlalu senang turun lapangan, jadi ya saya saja yang turun,” Mungkinkah suatu saat dibalik, Jokowi banyak memimpin rapat, dan Ahok ke lapangan? “Ya ngga, kan kesenengannya sudah masing-masing, Masa tukar-tukaran kesenengan,” jawab Jokowi, tersenyum.
Resep lain, masing-masing saling memahami kelemahan dan kelebihan. Urusan seni budaya, Ahok mengaku tak menguasai.”Kayak festival-festival, saya ngga ngerti. Beliau lebih jago. Kalau beliau lebih jago, ngapain direbut. Kalau kamu ngga bisa kerjaannya ya jangan. Kalau kita bisa, yang kita ambil kita kerjakan sebaik-baiknya,” kata Ahok panjang lebar. Tapi pada kasus Kartu Jakarta Sehat (KJS) — yang pernah diboikot sejumlah rumah sakit– Ahok lebih menguasai dan Jokowi dengan legowo menyerahkannya pada Ahok.
“Kalau KJS, memang beliau kasih saya. Karena saya lebih menguasai. Saya dari tahun 2006 sudah kerjakan di Belitung. Beliau juga mengerjakan di Solo dengan Askes,” katanya.”Jadi prinsipnya, kalau Anda memang lebih menguasai, ya Anda yang mengerjakan. Kalau tujuannya pengen menonjol, pengen keliahatan namanya, pasti nanti berantem.”
Jokowi memperkuat,”Yang paling penting, kerja sama seperti harus didahului kesamaan. Tidak ada kepentingan.” Bubarnya duet kepemimpinan, kata Jokowi, biasanya cuma karena dua hal.”Kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Rebutan politik dan rebutan ekonomi,” papar Jokowi.”Yang juga sering ramai itu rebutan massa. Kalau kita ngga tahu juga, massa kita yang mana, kita merasa tidak ada yang saling ambil lahan politik atau ekonomi, Ya jadi, begini-begini saja.”
Mantan Wagub DKI Jakarta, Prijanto yang saat pilkada lalu mendukung Jokowi-Ahok, tidak mau gegabah mengambil konsklusi bahwa pasangan ini kompak.”Hati-hati membuat kesimpulan kompak atau tidak kompak, saya tidak berani simpulkan,” kata sosok yang pernah berseteru dengan Fauzi Bowo ini. Bisa saja pencitraan. “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu,” kata Prijanto.
Prijanto menyebut, faktor yang rentan meretakkan Jokowi-Ahok adalah latar keduanya sebagai politisi plus pengusaha,”Apalagi dua-duanya masih muda dan belum selesai dengan diri masing-masing,” katanya. Pensiunan jenderal bintang dua ini lebih banyak memperingatkan Jokowi-Ahok.”Mereka harus hati-hati pada pihak luar, biasanya pengusaha kakap atau politisi senior mereka,”katanya.”Kalau sampai benar-benar terpengaruh, bisa pecah duet ini.”
Perbedaan karakter Jokowi yang lebut dan Ahok yang meledak-ledak, Prijanto khawatir ini juga menjadi bumerang. Perihal pembangian kerja, Jokowi banyak blusukan, Ahok banyak memimpin rapat, kata Prijanto, sudah tepat. Salah besar, katanya jika wagub lebih banyak kluyuran.”Apalagi menjelang pilkada, bisa dianggap mau kampanye,” katanya.”Wagub itu ibarat ibu rumah tangga, mengkoordinasikan staf. Jadi sudah pas.”
Prijanto tidak terlalu memuji beberapa agenda Jokowi-Ahok yang selama ini diapresiasi luas. Penertiban Tanah Abang, kata Prijanto, memang sudah tugas.”Dulu saya dan pak Fauzi Bowo juga menertibkan Pasar Senen dan Jatinegara,” katanya.”Itu sudah tugas dan biasa saja,” Ia menambahkan.”Waktu itu prioritasnya belum ke Pluit dan Tanah Abang.”
“Pengerukan Waduk Pluit bukan pekerjaan yang luar biasa karena memang tugas pemerintah daerah,” ujarnya. “Yang luar biasa itu kalau bisa berantas korupsi. Kalau cuma ngeruk kali, selokan, penertiban kan memang pekerjaannya.” Prijanto mengaku sektor kesehatan dengan KJS dan pendidikan dengan KJP lebih baik dari sistem sebelumnya.
Andrinof Chaniago, analis kebijakan publik dari UI, melihat meski ada perbedaan karakter komunikasi Jokowi dengan Ahok, karakter pribadi dua pasangan ini hampir sama.”Mereka sama-sama rasional, fair dan tujuannya mengejar hasil.” kata Andrinof. Berbeda dari kepemimpinan SBY yang tidak mengejar hasil, tapi menyenangkan semua orang.”Padahal yang disenangkan itu kepentingan pribadinya.”
Buat Jokowi-Ahok, kepentingan publik jadi target.”Walaupun mendadak, bahkan sering muncul terbosan belum matang sudah dilontarkan,” katanya. Berbeda dari pasangan pemimpin Banten Atut-Rano Karno, yang dinilai tidak memiliki visi dan karakter kepemimpinan kuat.
Soal visi, kata Andrinof, duet Jokowi-Ahok sebenarnya biasa, Tidak visioner seperti SBY,”Tetapi kepemipinan SBY tidak progresif,” katanya. Apalagi setelah SBY berpasangan dengan Boediono. Sedangkan Jokowi-Ahok sama-sama progresif dan ingin berbuat yang kongkret.
Berbeda dari Prijanto, Andrinof belum melihat ada faktor krusial yang berpotensi meretakkan pasangan ini, termasuk isu pencapresan Jokowi. Kuncinya, karena pasangan ini dapat memposisikan diri secara tepat. Ahok menempatkan diri sebagai wagub.”Ahok tidak menonjolkan posisi sebagai orang yang bersama-sama satu paket,” Andrinof menjelaskan.
Pekerjaan Ahok di kantor juga berat karena butuh pengorbanan psikologis. Ia harus rutin di kantor yang mungkin membosankan.”Kalau dua-duanya di kapangan kan kacau nanti.” Jokowi memang kadang tak setuju gaya Ahok dan menegur.”Tetapi Jokowi bukan tipe orang yang menyalahkan sepenuhnya. Dia memahami perbedaan karakter orang,” katanya. Sisi lain, Ahok orang yang fair dan mudah menerima masukan.”Jika ditegur, apalagi logis, dia menerima”.
Dalam telaah Andrinof, pembagian kerja saling mendukung antara pasangan pemimpin sekarang ini belum banyak. SBY saat ini, kata Andrinof, tidak memperoleh pasangan yang pas. Akan lebih baik jika yang satu pemikir dan perencana, pasangannya harus problem solver, penggerak dan eksekutor. Sebenarnya, kata Andrinof, JK pasangan cukup ideal buat SBY, karena melengkapi karakter SBY yang pemikir-perencana.
Tapi masalahnya, kata Andrinof,”Karakter pribadi mereka tidak cocok.” SBY terlihat tidak nyaman bersanding dengan JK karena SBY tipikal orang yang tidak ingin disamai, apalagi dilampaui. Situasi semacam itu, sejauh ini, tidak terjadi pada pasangan Jokowi-Ahok. [MG/Ahok.org]

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More