Senin, 09 Desember 2013

Jutaan rakyat miskin menangis, sulit penuhi kebutuhan dasar Rakyat tanggung utang Rp2,737 Triliun, kekayaan Migas dikuras asing

Jutaan rakyat miskin menangis, sulit penuhi kebutuhan dasar

Rakyat tanggung utang Rp2,737 Triliun, kekayaan Migas dikuras asing

Oleh: Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM)
PERTAMINA yang dilahirkan 10 Desember 1957, 56 tahun silam, menggantikan nama PT Pertambangan Minyak Nasional (Permina) setelah selesai membenahi rerongsokan eksplorasi minyak dan membereskan kilangnya yang berserakan pasca ditinggalkan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) di Pangkalan Brandan.
Hanya dengan modal semangat dari mainstreamnya perjuangan Trikora, atau tanpa modal negara. Dalam perkembangannya, faktanya, Pertamina mampu membangun puluhan ribu Puskesmas dengan dokter bantunya; beribu-ribu SD Inpres dengan guru honorernya; ribuan Pasar Inpres dengan kucuran kredit pedagang lemahnya; dan membiayai program Bimas sampai tercapainya swasembada pangan.
Ketika kita lengah mengawal Pertamina, amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang menjadi marwah Pertamina, yang menurunkan UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan dan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.
Dengan mudah dieksekusi oleh manifest Letter of Intent IMF 20 Januari 2000 dengan dukungan USAID, berhasil mempengaruhi Pemerintah dan DPR untuk menerbitkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Jadilah harga bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara, dipaksa mengikuti mekanisme pasar yang mengandalkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002.
Kedua, undang-undang langsung dieksekusi dan Pertamina diamputasi ke dalam pola unbundling, tidak terintegrasi, dan berlawanan dengan trend merger seperti Exxon Mobil, TotalFina, ConocoPhillip, dan lainnya. Jadilah Pertamina terbonsaikan.
Ketika kita lalai mempertahankan Pertamina, UU Migas No. 22 Tahun 2001 sebagai hasil kemenangan IMF terus mempengaruhi dan menekan Pemerintah. Kendati Dirut Pertamina Widya Purnama dengan lantang mampu menjadi operator Blok Cepu, nasibnya tak lama disingkirkan. Blok Cepu pun dikuasai oleh ExxonMobil bertepatan ada kunjungan Menlu AS Condolesa Rise ke Jakarta. Jadilah kekayaan sumber daya alam Migas kita dihisap oleh asing.
Peran Pertamina yang semula membawahi para kontraktor Kontrak Bagi Hasil (PSC) dan sudah diambil alih BP Migas, harus ikut tender dan akan kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan migas asing yang menjadi kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan BP Migas.
Ketika kita abai memperkuat Pertamina, sejalan dengan putusan MK membubarkan BP Migas pada November 2012. Lalu, Pemerintah menggantikan baju BP Migas menjadi SKK Migas, DPR pun meresponsnya dengan merevisi UU Migas No. 22 Tahun 2001. Komisi VII yang membidangi energi, nampaknya terpendam rasa ketidaksukaannya terhadap Pertamina.
Mereka akan membuat pasal dalam RUU Migas yang memilih membentuk badan atau lembaga baru menggantikan SKK Migas yang berstatus BHMN atau dari SKK Migas melahirkan badan atau lembaga baru yang akan mengelola migas, dengan mengesampingkan peran Pertamina sebagai BUMN Migas atau National Oil Company. Namun Komisi VI yang membidangi BUMN bicara lain, dukungan politiknya membela Pertamina untuk mengelola Blok Mahakam pasca 2017.
Dari pengalaman di banyak negara, terutama di belahan Amerika Latin seperti Bolivia, Ekuador, Venezuela dan Argentina. Khususnya Venezuela di bawah Komandante Hugo Chavez yang saat berkunjung ke Presiden Gus Dur, menyatakan nasionalisasi Migas di negaranya sebenarnya mengikuti sejarah nasionalisasi minyak di Indonesia saat Bung Karno mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1960.
Perusahaan minyak nasionalnya yang diperkuat dan hasil-hasilnya seperti Raja Faisal saat menasionalisasi minyak Aramco Saudi tahun 1974, bangsa Arab Saudi yang semula miskin menjadi sejahtera.
Dalam rangka memperingati HUT Pertamina Ke-56 inilah, Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) bermaksud menggelar ‘Silaturahmi Anak Bangsa’ dengan mengangkat tema: “Kawal, Pertahankan dan Perkuat Pertamina Harga Mati Dengan Semangat Nasionalisasi Migas” bukanlah utopia, dan justru kita upayakan untuk mewujudkannya.
Pemicu dari upaya GNM mengangkat tema tersebut, ketika utang Pemerintah hingga September 2013 mencapai Rp. 2.273,76 triliun dan rendahnya komitmen Pemerintah mengurangi utang. Seandainya rakyat Indonesia dilibatkan langsung untuk melunasi utang Pemerintah sebesar Rp. 2.217,95 triliun, hitungan per Agustus 2013. Maka jika dibagi dengan populasi penduduk 240 juta jiwa, setiap orang harus menyisihkan dana sebesar Rp. 9,1 juta.
Tapi, jumlah penduduk miskin Indonesia pada bulan Maret 2013 mencapai 28,07 juta dan dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala dibawah Rp233.740,- atau di bawah Rp7.780,- per orang per hari. Sudah jelas rakyat tidak akan mampu melunasi utang Pemerintah, meski dengan kerja keras dan ikat pinggang sekali pun. Tragis, buruh hidup di Jakarta –menanggung isteri dan dua anak– untuk memenuhi kebutuhan dasar saja tiap bulan selalu “gali lubang tutup lubang”.
Bukti rincian kebutuhan keluarga miskin (dua anak sekolah SD); Anggaran makan (nanak nasi+menu): Per hari Rp 20 ribux30= Rp 600 ribu; biaya jajan dua anak (di sekolah+rumah) Rp 10ribux30=Rp 300 ribu: biaya sekolah 2 anak (non SPP)= Rp50 ribu; Biaya perlengkapan mandi keluarga sebulan= Rp100 ribu; Biaya sewa rumah petak sebulan Rp500 ribu; bayar listrik= Rp50ribu ; biaya BBM satu motor Rp6.5 ribux30=Rp195 ribu; biaya kredit motor Rp500ribu; uang saku/makan saat bekerja (kepala keluarga) Rp10 ribux10= Rp300 ribu. Total kebutuhan dasar rumah tangga buruh (dua anak) Rp2.695,-
Tragis. Buruh tinggal di Jakarta dan yang beruntung dapat gaji UMP (Upah Minimum Provinsi) Rp2,4 juta saja tidak cukup, bahkan masih harus “gali lubang tutup lubang”. Lantas, bagaimana yang tinggal di luar Jakarta dan UMP-nya cuma Rp2 juta atau di bawahnya. Bagaimana pula untuk mereka yang anaknya SMP atau SMA, bahkan mahasiswa? Belum lagi kalau buruh biaya ada musibah. Lebih menderita lagi jika anak lebih dari dua.
Menyedihkan. Kalau saja APBN tidak terserap bayar utang negara, tentu bisa dipakai subsidi sembilan bahan pokok, misalnya. Sehingga beras tidak sampai per kilo Rp9ribu-Rp10ribu, gula Rp20 ribu, bahkan BBM bersubsidi Rp6.500.
Ketua KPK Abraham Samad dalam Dialog Kebangsaan di Senayan pada 21 Oktober 2013, menegaskan kalau tidak ada korupsi, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia bisa mencapai puluhan juta per bulan, atau ratusan juta per tahun. Dari sektor Migas saja, hampir 50 persen tambang di Indonesia tidak membayar royalti ke Pemerintah.
Angka itu jika dirupiahkan menjadi Rp20.000 triliun. Kalau ini saja dibagi dengan 241 juta jiwa, maka akan ditemukan pendapatan terendah Rp30 juta per bulan. Jika demikian, rakyat tidak usah dilibatkan untuk melunasi utang. Sebab dengan pendapatan terendah saja, Indonesia akan terbebas dari utang, terbangun infrastruktur dan rakyat menjadi adil, makmur dan sejahtera.
Sebab itu, Ketua KPK mendorong Pemerintah untuk menasionalisasi Migas dan tambang. @

 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More