@
Rabu, 16 Maret 2011
Dikisahkan dalam Kitab Min
‘Ajaa’ibish Shadaqah, suatu malam ada orang fakir mengetuk pintu rumah
seorang ulama, lalu orang alim itu bertanya kepada istrinya tentang
sesuatu yang dimilikinya. Sang istri berkata, “Kita tidak memiliki
apa-apa selain sepuluh butir telur ayam.” Suaminya berkata, ”Berikanlah
telur-telur itu kepadanya.” Maka telur itu diberikannya kepada si fakir,
dan disisakan satu butir telur untuk anaknya tanpa sepengetahuan
suaminya. Tak lama kemudian, datang seorang tamu mengetuk pintu dan
membawa rejeki yang diperuntukkan untuk keduanya sebanyak 90 dinar. Lalu
orang alim itu bertanya kepada istrinya, ”Berapa telur yang kamu
berikan kepada si fakir?” Istrinya menjawab, ”sembilan butir.” Lalu
beliau berkata, ”Kita mendapatkan 90 dinar, setiap kebaikan dilipatkan
sepuluh kali.”
Kisah ini hanyalah sampel tentang sedekah yang membuahkan keberkahan.
Qadarullah, Allah berkehendak menjadikan berkah tersebut begitu nyata
dan dapat dihitung dengan rumus matematika, Allah menggantinya dengan
sepuluh kali lipat. Meski tentunya tak selalunya ’reward’ itu bisa
diindera sedemikian rupa. Yang pasti, seseorang akan mendapatkan hasil
lebih banyak dari apa yang ia sedekahkan karena Allah.
Penderma Lebih Butuh dari Penerima
Sekilas, tatakala seseorang mendermakan hartanya kepada orang fakir,
maka si fakirlah yang mendapat manfaat dari sedekah itu. Namun
sejatinya, keuntungan yang didapatkan oleh penderma, jauh lebih banyak
dan lebih besar. Tidak berlebihan jikalau disimpulkan bahwa kebutuhan
kita untuk bersedekah itu lebih besar dari kebutuhan orang fakir
terhadap harta yang kita sedekahkan. Bukankah Allah telah berfirman,
”Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), maka (faedahnya) itu untuk kamu sendiri.” (QS. al-Baqarah: 272)
Begitupun dengan firman-Nya, ”In ahsantum ahsantum li anfusikum”,
jika kamu berbuat baik, maka sesungguhnya kamu berbuat baik untuk diri
kamu sendiri. Ini menjadi kaidah umum untuk seluruh kebaikan. Adapun
kebaikan berupa sedekah sangat nyata dirasakan pengaruhnya oleh orang
yang pernah mengalaminya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah meyakinkan kita, bahwa harta tidak berkurang dengan disedekahkan,
“Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan.” (HR Muslim)
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim, bahwa maksud tidak
berkurang itu mengandung dua pengertian. Pertama bahwa harta itu
diberkahi dan dengannya madharat bisa tercegah, sehingga berkurangnya
harta secara fisik tergantikan dengan keberkahan, dan ini bisa dirasakan
dan terbukti sebagaimana pengalaman yang bisa disaksikan. Yang kedua,
meskipun secara dzatnya berkurang, namun dari sisi pahala lebih banyak
dari harta yang berkurang.”
Ada hadits lain yang menguatkan bahwa, setiap sedekah yang kita
keluarkan, pasti akan mendapatkan ganti. Sebagai pengabulan doa dari
para malaikat sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Tiada datang waktu pagi melainkan ada dua malaikat yang turun
atas manusia, lalu satunya berdoa, “Ya Allah, Berilah ganti bagi yang
bersedekah.” (HR. Bukhari)
Seribu Berkah Ba’da Sedekah
Allah tidak akan menjadikan orang yang berdema menjadi pailit. Bahkan
sebaliknya, berkah yang melimpah akan disandang oleh para dermawan.
Logika iman mengajarkan, bahwa sedekah berarti investasi kepada Allah
yang pasti untung dan mustahil merugi.
Jika seseorang atau badan usaha yang profesional, datang kepada kita
dengan cashflow yang menjanjikan keuntungan, ditambah lagi dengan
kemungkinan minimnya resiko, lalu menawarkan saham untuk kita, tentulah
kita akan bergegas untuk menyambutnya, dan menanamkan modal demi
keuntungan yang besar. Meskipun keuntungan itu masih bersifat asumsi
maupun prediksi. Masih ada resiko kerugian, atau bahkan kebangkrutan.
Baik disebabkan oleh keteledoran dalam mengelola usaha, atau adanya
faktor eksternal di luar perhitungan. Anehnya ketika tawaran itu datang
dari Dzat yang menjanjikan keuntungan jauh lebih tinggi, Dia juga Maha
Menepati janji, dan Mahakuasa membagi rejeki, masih ada orang yang
meragukan untuk menyambut tawaran-Nya. Masih berfikir jikalau investasi
itu akan berujung pada kerugian dan kemiskinan. Alangkah buruk
persangkaan mereka kepada Allah.
Bagaimana mungkin akan merugi, investasi usaha yang dikelola oleh
Allah yang Maha Mengatur segala alam semesta? Mari kita simak, jaminan
keuntungan yang Allah janjikan bagi siapapun yang berkenan menanam
investasinya kepada-Nya,
”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan
dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. al-Hadiid: 11)
Adakah yang lebih layak dipercaya selain Allah, yang Mahakaya, dan
Maha Berkuasa atas segalanya? Bagaimana mungkin orang yang berakal ragu
untuk menitipkan investasinya kepada Allah?
Allah subhanahu wa ta’ala pun telah berjanji dalam hadits qudsi,
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “Berinfaklah wahai Anak Adam,
niscaya Aku akan berinfak untukmu.”
(HR al-Bukhari)
Pun begitu, ganti yang dijanjikan itu belum tampak di depan mata.
Hanya orang yang yakin dan tawakal yang berani mengambil keputusan. Toh,
fakta menunjukkan, tak ada cerita orang yang miskin lantaran over dosis
dalam berderma.
Keberkahan sedekah tak hanya mengundang datangnya kemaslahatan yang
diharapkan, tapi juga mencegah kemadharatan yang ditakutkan. Sedekah
yang kita lakukan seakan menjadi tebusan hingga di kemudian hari kita
aman dari suatu bahaya yang mengancam.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan tentang Yahya bin
Zakariya yang memerintahkan Bani Israil dengan lima hal, salah satunya
adalah, “Aku memerintahkan kalian untuk bersedekah. Karena perumpamaan
sedekah itu seperti seseorang yang ditawan musuh, lalu tatkala musuh
sudah memegang leher dan hendak menebasnya, tiba-tiba dia berkata, ”Aku
menebusnya dari kalian dengan harta sedikit dan yang banyak.” Maka iapun
berhasil membebaskan diri dari mereka.” (HR Tirmidzi, beliau
mengatakan, ”hadits hasan shahih”)
Ibnu Syaqiq bercerita, bahwa Abdullah bin Mubarak pernah ditanya oleh
seseorang tentang luka di lututnya yang terus mengeluarkan nanah sejak
tujuh tahun. Dia juga sudah berusaha menempuh berbagai macam pengobatan,
pergi ke tempat para tabib, namun juga belum menunjukkan hasilnya. Maka
Ibnul Mubarak menyarankan, ”Pergilah dan buatkanlah sebuah sumur di
tempat perkampungan yang membutuhkan air, saya ber-harap air bisa
mengalir di sana, dan ketika itu lukamu akan sembuh. Orang itupun
melakukan saran beliau dan kemudian sembuh.
Buah Sedekah di Akhirat
Begitulah keajaiban faedah sedekah di dunia. Sedangkan faedah sedekah
di akhirat lebih hebat lagi. Karenanya, Andai saja manusia setelah mati
dikembalikan ke dunia, maka yang ingin mereka lakukan adalah
bersedekah,
”Wahai Rabbi, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku
sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku
termasuk orang-orang yang saleh” (QS. al-Munaafiqun: 10)
Ini menunjukkan betapa mereka melihat bahwa di akhirat sedekah sangat
bermanfaat. Orang yang bersedekah akan tahu, bahwa harta sejati yang
menjadi miliknya adalah harta yang disedekahkannya. Sedangkan harta yang
tersisa, atau telah dipergunakan itu akan fana.
Ketika ummul mukminin ditanya oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
tentang kambing yang disembelih, adakah masih tersisa? Aisyah menjawab,
”Telah habis dibagi, hanya tersisa sebelah bahunya saja.” Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”(yang benar), masih utuh semua,
kecuali sebelah bahunya.” (HR Muslim)
Yang dibagik-bagikan itulah hakikat harta yang sebenarnya, sedangkan
yang tersisa itu bukanlah menjadi miliknya selain hanya sementara saja.
Kemurahan Allah yang melipatkan pahala sedekah hingga 700 kali lipat dan
bahkan bahkan masih lebih banyak lagi.
Kedermawanan akan mendekatkan pelakunya menuju jannah, sekaligus
membentengi dan menjauhkan pelakunya dari neraka. Ya Allah, jauhkanlah
kami dari sifat bakhil. Amin. (Abu Umar Abdillah)
Posted in Abu Umar Abdillah, Kolom
0 komentar:
Posting Komentar