Deregulasi
Oleh : Budiman Rusli
(Guru Besar & Ket. Pusat Studi
Kebijakan dan Pelayanan Publik FISIP UNPAD)
Komitmen pemerintah untuk memajukan kehidupan
ekonomi masyarakat di daerah tidak pernah mengendur, bahkan diera
pemerintahan Jokowi –JK sekarang ini upaya kearah sana semakin gencar
dilakukan dengan menertibkan berbagai
kebijakan yang dinilai tidak mendukung
program pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi, baik itu berupa
keputusan menteri maupun peraturan daerah (Perda).
Keseriusan pemerintah untuk mempermudah urusan
perijinan guna mengembangkan ekonomi dan dunia usaha di daerah tampak jelas
ditujukkan mulai tahun 2006 dengan
diberlakukannya Peraturan menteri dalam negeri No. 24 Tahun 2006 dan Peraturan menteri
dalam negeri No. 20 Tahun 2008 tentang Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan
sekaligus merupakan komitmen nyata Pemerintah untuk melakukan reformasi
perizinan di daerah.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu dibangun
untuk melakukan efisiensi pengurusan izin. Seperti percepatan dalam hal waktu,
kemudahan dalam syarat/prosedur dan biaya yang proporsional. Upaya mewujudkannya di lakukan dengan cara menerapkan kebijakan deregulasi berbagai peraturan yang sudah terlanjur
diterapkan selama ini.
Proses deregulasi yang dilakukan sudah
banyak mengalami kemajuan, data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2016, sebanyak 460 daerah dari 508
kabupaten/kota di Indonesia (90,74%) telah membentuk dan mefungsikan
Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Demikian pula di tingkat provinsi, 28 dari 34 provinsi di
seluruh tanah air (84,85%) telah memiliki dan mengoperasionalkan Badan/Dinas
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
dengan kapasitas kelembagaan yang
baik.
Gencarnya upaya pemerintah melakukan deregulasi ternyata
tidak mendapat respon yang cepat di lapangan, terbukti pada tahun 2016
terindentifikasi sekitar 1.300 izin di tingkat nasional yang bermasalah
sehingga berdampak pada munculnya berbagai perijinan operasional di daerah. Hal
ini tentu saja menimbulkan konsekwensi selain berbelitnya pengurusan ijin juga
menambah beban kerja pemerintah daerah.Oleh sebab itu, kebijakan deregulasi merupakan
suatu terobosan penting dalam upaya mereformasi
birokrasi perizinan untuk menumbuhkan iklim investasi dan perekonomian daerah.
Selain itu di tingkat daerah, pada tahun
2016 itu juga ditemukan sekitar 3.143 Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah yang dinilai menghambat pelayanan perijinan sehingga selain menimbulkan
prosedur pengurusan yang panjang juga in efisiensi, sehingga sangat merugikan publik,
baik pengusaha maupun masyarakat sipil. Berkaitan denga ini, menurut Kementrian
Dalam Negeri Terdapat empat kriteria Peraturan
daerah yang memenuhi syarat untuk dibatalkan, yaitu:
1. Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan
memperpanjang jalur birokrasi.
2. Perda yang
menghambat proses perizinan dan investasi.
3. Perda yang
menghambat kemudahan berusaha.
4. Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Keseriusan
pemerintah Jokowi-JK dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan
deregulasi ternyata masih belum berjalan mulus, hal ini terbukti tahun
2017 ditemukan kembali 23 peraturan baru
menteri dan Dirjen yang dinilai menghambat perijinan sehingga membuat Jokowi
berang dan menugaskan para menterinya untuk langsung terlibat aktif dalam
menyusun berbagai peraturan di kementeriannya jangan hanya mempercayakan kepada
bawahannya.
Saat ini di tingkat daerah ,para bupati/walikota dan gubernur telah
memiliki dasar hukum yang kuat untuk
melakukan deregulasi perijinan dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 30
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Pasal
2 “undang-undang nomor 30 tahun 2014 dijelaskan
bahwa Undang-undang tentang administrasi
pemerintahan dimaksudkan untuk dijadikan sebagai salah satu dasar hukum bagi
badan dan/atau pejabat pemerintahan, warga masyarakat, dan pihak-pihak lain
yang
terkait dengan administrasi pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan.”
Materi undang-undang tentang
Administrasi Pemerintahan memperkuat posisi kepala daerah untuk melakukan
pembenahkan perijinan sebagai upaya menarik para investor untuk menanamkan
modalnya tanpa harus melalui prosedur yang berbelit.Tetapi harus diakui sampai
saat ini masih sulit untuk merealisasikannya karena alasan yang berkaitan
dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah. Sehingga di era otonomi daerah
sekarang ini pemerintah Pusat mengalami kesulitan untuk menertibkan berbagai
peraturan di tingkat daerah.
Terganjal Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Semangat pemerintah melakukan
deregulasi terhadap peraturan Daerah
terganjal setelah Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 April 2017 mengeluarkan Putusan MK Nomor 137/-
PUU-XIII/2015 yang menghapus kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur
mencabut atau membatalkan peraturan
daerah kabupaten/kota. Alasan yang digunakan adalah tidak benar keputusan mendagri dan gubernur yang tidak
masuk dalam urutan perundangan di Indonesia dapat menghapus sebuah peraturan
daerah di tingkat kabupaten/kota yang
merupakan bagian dari tata urutan perundangan yang memiliki kekuatan hukum.
Selain itu penghapusan Perda di kabupaten/kota bertentangan dengan semangat
otonomi daerah yang sedang berjalan dan
mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini sekali
lagi menunjukkan bahwa bupati/wali kota memiliki posisi yang strategis dalam
upaya membangun pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha di daerahnya dan harus disikapi dengan bijaksana serta komitmen yang kuat agar dapat terhindar dari godaan untuk menyalahgunakan kewenangan. Walaupun
demikian Mendagri masih diberi kesempatan untuk mereview naskah perda
kabupaten/kota selama satu minggu
sebelum perda-perda disahkan.
Jadi setelah diterbitkannya keputusan
Mahkamah Konstitusi ini Pemerintah Pusat maupun gubernur tidak memiliki
kewenangan untuk mencabut atau membatalkan sebuah peraturan daerah di kabupaten/kota. Dengan
demikian maju mundurnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di daerah
sangat ditentukan oleh komitmen dan political will bupati/wali kota terpilih. Jadi ada sebaiknya kita harus berhati-hati dalam hal menentukan
pilihan dalam pilkada kabupaten/kota agar tidak kecewa di kemudian hari. Kita
perlu mengetahui rekam jejak calon agar yang terpilih adalah figure yang
jujur,amanah dan berkualitas.
0 komentar:
Posting Komentar