Senin, 17 Juli 2017

Deregulasi




Deregulasi
Oleh : Budiman Rusli (Guru Besar  & Ket. Pusat Studi Kebijakan dan Pelayanan Publik FISIP UNPAD)


        Komitmen pemerintah untuk memajukan kehidupan ekonomi masyarakat  di daerah  tidak pernah mengendur, bahkan diera pemerintahan Jokowi –JK sekarang ini upaya kearah sana semakin gencar dilakukan  dengan menertibkan berbagai kebijakan yang dinilai tidak mendukung  program pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi, baik itu berupa keputusan menteri maupun peraturan daerah (Perda).
       Keseriusan pemerintah untuk mempermudah urusan perijinan guna mengembangkan ekonomi dan dunia usaha di daerah tampak jelas ditujukkan mulai  tahun 2006 dengan diberlakukannya Peraturan menteri dalam negeri No. 24 Tahun 2006 dan Peraturan menteri dalam negeri No. 20 Tahun 2008 tentang Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan sekaligus merupakan komitmen nyata Pemerintah untuk melakukan reformasi perizinan di daerah.
       Pelayanan Terpadu Satu Pintu dibangun untuk melakukan efisiensi pengurusan izin. Seperti percepatan dalam hal waktu, kemudahan dalam syarat/prosedur dan biaya yang proporsional. Upaya  mewujudkannya  di lakukan dengan cara menerapkan kebijakan deregulasi  berbagai peraturan yang sudah terlanjur diterapkan selama ini.
       Proses deregulasi yang dilakukan sudah banyak mengalami kemajuan, data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2016, sebanyak 460 daerah dari 508 kabupaten/kota di Indonesia (90,74%) telah membentuk dan mefungsikan Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Demikian pula  di tingkat provinsi, 28 dari 34 provinsi di seluruh tanah air (84,85%) telah memiliki dan mengoperasionalkan Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)  dengan kapasitas kelembagaan  yang baik.
       Gencarnya upaya pemerintah melakukan deregulasi ternyata tidak mendapat respon yang cepat di lapangan, terbukti pada tahun 2016 terindentifikasi sekitar 1.300 izin di tingkat nasional yang bermasalah sehingga berdampak pada munculnya berbagai perijinan operasional di daerah. Hal ini tentu saja menimbulkan konsekwensi selain berbelitnya pengurusan ijin juga menambah beban kerja pemerintah daerah.Oleh sebab itu, kebijakan deregulasi merupakan  suatu terobosan penting dalam upaya   mereformasi birokrasi perizinan untuk menumbuhkan iklim investasi dan perekonomian daerah.
     Selain itu di tingkat daerah, pada tahun 2016 itu juga ditemukan sekitar 3.143 Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang dinilai menghambat pelayanan perijinan sehingga selain menimbulkan prosedur pengurusan yang panjang juga in efisiensi, sehingga sangat merugikan publik, baik pengusaha maupun masyarakat sipil. Berkaitan denga ini, menurut Kementrian Dalam Negeri  Terdapat empat kriteria Peraturan daerah yang memenuhi syarat untuk dibatalkan, yaitu:
1. Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.
2. Perda yang menghambat proses perizinan dan investasi.
3. Perda yang menghambat kemudahan berusaha.
4. Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
        Keseriusan pemerintah Jokowi-JK dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan deregulasi ternyata masih belum berjalan mulus, hal ini terbukti tahun 2017  ditemukan kembali 23 peraturan baru menteri dan Dirjen yang dinilai menghambat perijinan sehingga membuat Jokowi berang dan menugaskan para menterinya untuk langsung terlibat aktif dalam menyusun berbagai peraturan di kementeriannya jangan hanya mempercayakan kepada bawahannya.
Saat ini di tingkat daerah ,para bupati/walikota dan gubernur telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk  melakukan deregulasi perijinan dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Pasal
2 “undang-undang nomor 30 tahun 2014 dijelaskan
 bahwa Undang-undang tentang administrasi pemerintahan dimaksudkan untuk dijadikan sebagai salah satu dasar hukum bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan, warga masyarakat, dan pihak-pihak lain yang
terkait dengan administrasi pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.”
       Materi undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan memperkuat posisi kepala daerah untuk melakukan pembenahkan perijinan sebagai upaya menarik para investor untuk menanamkan modalnya tanpa harus melalui prosedur yang berbelit.Tetapi harus diakui sampai saat ini masih sulit untuk merealisasikannya karena alasan yang berkaitan dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah. Sehingga di era otonomi daerah sekarang ini pemerintah Pusat mengalami kesulitan untuk menertibkan berbagai peraturan di tingkat daerah.
Terganjal Keputusan Mahkamah Konstitusi.
             Semangat pemerintah melakukan deregulasi  terhadap peraturan Daerah terganjal setelah Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 April 2017 mengeluarkan Putusan MK Nomor 137/- PUU-XIII/2015 yang menghapus kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur mencabut  atau membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota. Alasan yang digunakan adalah tidak benar  keputusan mendagri dan gubernur yang tidak masuk dalam urutan perundangan di Indonesia dapat menghapus sebuah peraturan daerah di tingkat kabupaten/kota  yang merupakan bagian dari tata urutan perundangan yang memiliki kekuatan hukum. Selain itu penghapusan Perda di kabupaten/kota bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang sedang  berjalan dan mendapat dukungan luas dari masyarakat.
     Keputusan Mahkamah Konstitusi ini sekali lagi menunjukkan bahwa bupati/wali kota memiliki posisi yang strategis dalam upaya membangun pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha di daerahnya  dan   harus disikapi dengan bijaksana serta  komitmen yang kuat agar dapat terhindar dari  godaan untuk menyalahgunakan kewenangan. Walaupun demikian Mendagri masih diberi kesempatan untuk mereview naskah perda kabupaten/kota  selama satu minggu sebelum perda-perda disahkan.
     Jadi setelah diterbitkannya keputusan Mahkamah Konstitusi ini Pemerintah Pusat maupun gubernur tidak memiliki kewenangan untuk mencabut atau membatalkan  sebuah peraturan daerah di kabupaten/kota. Dengan demikian maju mundurnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di daerah sangat ditentukan oleh komitmen dan political will bupati/wali kota  terpilih. Jadi  ada sebaiknya  kita harus berhati-hati dalam hal menentukan pilihan dalam pilkada kabupaten/kota agar tidak kecewa di kemudian hari. Kita perlu mengetahui rekam jejak calon agar yang terpilih adalah figure yang jujur,amanah dan berkualitas.







0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More