Kamis, 31 Mei 2018

BUYA MEMAAFKAN MEREKA...

BUYA MEMAAFKAN MEREKA...

Jumat 24 Juli 1981, pukul 10.37.

Hamka meminta Azizah,  putrinya, membantunya menjalankan salat duha, di ranjangnya. Tubuhnya lah lemah. Tak lama, setelah salat duha itu, ia mengembuskan nafas terakhirnya. Ketika buya dinyatakan wafat, jari-jarinya  itu masih bergerak, laiknya zikir yang selalu dilakukannya. Dilantunkannya sepanjang hidupnya, dalam sukanya, dalam dukanya.

Buya lah tiada. Ulama besar itu berpulang, dengan senyum yang mengembang. Tuntas sudah tugas hidupnya. Lepas landas...

*

Ramadan 1383, 27 Januari 1961, sekira pukul 11.00.

Buya Hamka dijemput aparat di rumahnya. Rezim orde lama itu menjebloskannya ke penjara Sukabumi. Ia dituduh merencanakan makar, keanggotaannya di Masyumi dipermasalahkan, Masyumi dibubarkan, medianya Panji Masyarakat dibredel setelah memuat tulisan kritis mantan wakil presiden Mohammad Hatta 'Demokrasi Kita", lebih 'gila' lagi ia dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Soekarno.

Bagaimana mungkin? Mereka bersahabat begitu dalamnya.  Mereka saling dukung sebelum Indonesia merdeka bahkan setelah sahabatnya itu berjaya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dipilih. Dua tahun, empat bulan ia dipenjara tanpa proses pengadilan.

Selama 15 hari awal, siksa terus datang padanya. Interogasi terus dilakukan, tak hanya intimidasi psikis,  fisiknya pun tak diberi ampun. Ia punya asma, di tempat dingin ia ditempatkan. Sakit menyiksa.

"Tidak berhenti-henti, siang-malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja." Tulisnya dalam buku Tasawuf Modern.

Siksa berkepanjangan membuatnya putus asa tak kepalang. Bunuh diri pun hampir dilakukannya. Pisau silet hampir menghabisi dirinya sendiri. Hamka pernah di titik terendah dalam hidupnya.

Namun ia memilih tak mau mengalah. Dalam bui ia menuntaskan Tafsir Al-Azhar,  tafsir Al-Quran 30 juz. Ia damai dengan dirinya sendiri.

Hingga lepas masa derita itu.  Ia bersyukur pernah dipenjara, jika tidak, menurutnya,  manalah mungkin tuntas Tafsir Al-Azhar ditulisnya.

Satu hari Juni 1970, Mayjen Soeryo,  ajudan Soekarno datang membawa pesan. Jika ia meninggal, ingin Hamka yang mengimami salat jenazahnya.

Tak pikir panjang, Hamka menyanggupi. Meski ia pernah difitnah, tak diberi keadilan, dimiskinkan,  dicemarkan nama baiknya,  disiksa jiwa raganya saat Soekarno berkuasa. Ia melupakan semua itu. Ia hanya melihat Soekarno,  sahabatnya.

"Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa," katanya.

Ketika Soekarno meninggal. Ia tepati janjinya. Ia menjadi imam salat jenazah sahabat lamanya itu. Ia telah memaafkan semua.

Begitu pula dikisahkan betapa M. Yamin tak menyukainya karena kritiknya tentang Pancasila di awal terbentuknya.  Namun,  Yamin di akhir usia meminta ia yang menunggu dan menuntunnya dengan syahadat di akhir nafasnya. Hamka melakukannya, meluruhkan seluruh benci itu.

Pramoedya Ananta Toer, berapi-api pernah menuduhnya sebagai plagiat terhadap karya raganya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Tulisan Pram di rubrik Lentera di Harian Bintang Timoer, haluan Lekra organisasi sayap PKI, terus mencercanya.

Hingga puluhan tahun kemudian,  Pram mengutus anak perempuannya dan calon menantunya yang mualaf, belajar tentang Islam kepadanya. Hamka menerima. Tuduhan begitu kejam terhadap diri dan karyanya,  ia lupakan. Diajarinya sungguh-sungguh Astuti, putri Pram itu tentang Islam. Di tuntunnya Daniel Setiawan,  menantu Pram,  memeluk Islam sesuai keinginan mertuanya.

Bahkan ketika buku-buku Pram dilarang oleh rezim orde baru,  Hamka tak setuju.

"Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula, kata beliau," kata Taufiq Ismail, berkisah.

Hamka memaafkan mereka yang telah menistakannya, membencinya sedemikian rupa, mencoret nama baiknya. Hamka memaafkan tanpa syarat. Bahkan dilakukan dengan tindakan yang tak semua orang akan mampu melakukannya. Dendam tak ada padanya, hingga akhir hayatnya.

Sesal mereka yang memusuhinya. Buya memaafkan segalanya.

*

Tanah Sirah, Agam,  Sumatera Barat tentu tak lupa pada putranya. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Buya HAMKA kemudian sanak dan orang mengenalnya. Di sisi Danau Maninjau,  alam elok nan dirindu. Rangkai pantun diberi senandung. Rancak laku anak nagari,  bertuhan ia dalam makna sesungguhnya,  bertuhan ia.

#sayabelajarhidup bersama Ursamsi Hinukartopat

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More