[14/4 17.30] Doktor Unpad: AYO BUKTIKAN
Tiba2 berbuat baik, berkata kebenaran, berbagi amplop dan bersumpah untuk memberikan kesejahteraan. Semua itu ada momentumnya dan motivasinya. "Apakah masih diperlukan istiqomah ?"
Parameter dan capaian kesejahteraan diperdebatkan. Sumpah hanya tinggal sumpah. Janji pun hanya tinggal janji. Walaupun belum terealisasi yang penting tetap berani untuk kembali bersumpah dan berjanji. Tidak penting, apakah masih ada yang ingat terhadap janji2nya ?
Menurut mereka, menurunkan tingkat kemiskinan adalah keberhasilan walaupun masih ada yang tetap miskin. Mengurangi pengangguran adalah keberhasilan walaupun masih ada yang tetap menganggur. Restu kiai pun menjadi penting untuk bekal berjanji walaupun dengan memberikan amplop. Jangan buru2 mengatakan,"Mereka itu adalah kiai amplop."
Tidak ada alasan yang tepat untuk mengatakan mereka gagal walaupun data2 masih dapat diperdebatkan. Tidak dibutuhkan konfirmasi data walaupun ada yang mengatakannya salah. Bagaimana pun mereka tetap merasa benar. Tidak cukup merasa benar, lebih dari itu merasa menang. Ayo, buktikan bahwa perasaan mereka yang benar dan menang itu adalah salah. Kapan dibuktikan ? Saatnya akan tiba bahwa 17 April 2019, mereka salah.
Jakarta, 14 April 2019
Arya Palguna
(Institute Of Economic and Political Resources/IEPR)
[16/4 16.09] Doktor Unpad: MELUKIS INDONESIAKU
Dibutuhkan kejujuran untuk menikmati sebuah keindahan. Dia tumbuh dari rasa. Berbagai kemungkinan ouput yang bisa saja dihasilkannya. Cinta, amarah, dengki, semangat, sedih, putus asa adalah rasa yang dihasilkan dari kejujuran itu. Memang sangat sulit mengkombinasikan keindahan dengan rasa tersebut. Sepanjang bertujuan untuk menyejahterakan umat manusia maka kombinasinya menjadi positif dan kontributif.
Hamparan keindahan dan kekayaan alam disetiap sudut Indonesiaku membuat manusia dimuka bumi ini sangat mengaguminya. Diantara mereka, dari rasa kagum lambat laun tumbuh subur rasa untuk memilikinya. Apakah ini bentuk protes kepadaNYA ? Atau sebuah bentuk keserakahan ? Atau sebuah bentuk cinta dan perjuangan ?
Tanpa disadari, Indonesiaku bukan lagi menjadi milikku walaupun sampai saat ini dia berada dalam pangkuanku. Tidak memiliki kemampuan untuk memilikinya secara utuh. Menikmatinya pun dengan persentase yang minim. Skill untuk mengeksplorasinya tidak cukup sehingga dibutuhkan skill orang lain dan aku tidak bisa berbuat apa2 kecuali berusaha untuk menirunya. Sampai akhirnya kusadari, apakah sudah terlambat ? Bathinku mengatakan belum terlambat. Semangat untuk berbagi kenikmatan kepada anak cucuku selalu menghiasi alam pikiranku. Karena keyakinan ini menjaga setiap hantaman yang terjadi. Dia menjadi benteng pertanahan terakhir.
Melukis ditanah Indonesia yang indah ini membutuhkan energi baru. Karena itu, tanah yang suci ini sedang mencari seorang pelukis yang memiliki taksu yang kuat. Keindahan yang dihasilkannya terkandung energi yang kuat dan frekuensinya menyebarkan aramo wangi yang dapat dinikmati dan dirasakan oleh setiap insani Indonesia. Masih adakah pelukis itu ? Sabar, 17 April 2019 pelukis baru itu akan datang. Semoga dia dapat memberikan harapan baru untuk Indonesia.
Jakarta, 16 Agustus 2019
Arya Palguna
(Institute Of Economic And Political Resources/IEPR)
[18/4 17.37] Doktor Unpad: PENANTIAN MASA DEPAN
Menanti kelahiran sama dengan mengharapkan masa depan. Kehadirannya ditunggu2 dengan penuh harapan yang bercampur dengan kecemasan dan kebahagiaan. Hanya ada satu jalan untuk mengatasinya yaitu menyerahkan segalanya kepadaNYA.
Proses menuju lahirnya masa depan yang ditunggu2 umat manusia, ALLAH SWT menunjukan fenomena2 yang dapat ditangkap oleh akal sehat manusia. Terkadang fenomena itu hanya diberikan kepada orang2 yang memiliki kriteria2 tertentu.
Darah, air mata, rasa sakit bercampuk aduk menanti kelahiran masa depan itu. Kalau diperas menjadi satu, namanya perjuangan. Sang ibu berjuang dengan beban yang berat dan diringankan dengan kebahagiaan.
Pada 17 April 2019, Bangsa Indonesia telah melahirkan masa depan untuk lima tahun yang akan datang. Metode kelahirannya melalui demokrasi. Quick account (QA) memaksanya untuk diakui dan dilegitimasi oleh sang ibu.
Banyak kalangan bertanya2, apakah lembaga survei melakukan QA dengan benar ? Apakah sudah sesuai dengan kaidah2 keilmuan ? Apakah metode pengumpulan datanya sudah tepat ? Maksudnya, sang pengumpul data (surveyor) adalah benar adanya. Datanya pun yang dikumpulkannya benar adanya.
Kisaran responden yang mereka gunakan sebanyak 1000 - 2000 responden/TPS. Karena demikian, lembaga survei itu melakukan rekrutmen tenaga surveyor. Berapa tenaga surveyor yang dibutuhkan ? apakah yang dibutuhkan sebanyak 100, 500, 1000 atau 2000 org ? Bagaimana status mereka ? Apakah sistem remunerasi mereka mengacu pada UU Ketenagakerjaan ? Apakah status pekerjaan mereka itu permanen atau non permanen ? Bagaimana pola distribusi tenaga surveyor ke wilayah sebaran responden ? Berapa biaya yang dibutuhkan ? Dari mana sumber dananya ? Masih banyak pertanyaan2 yang harus dijawab oleh lembaga survei tersebut. Pertanyaan2 itu muncul sebagai akibat dari sikap skeptisme. Semoga saja mereka dapat dipercaya karena integritasnya, keilmuannya, independensinya dan kebijaksanaannya.
Jakarta, 18 April 2019
Arya Palguna
(Institute Of Economic And Political Resources/IEPR)
[19/4 14.49] Doktor Unpad: SERUAN KEMENANGAN
Takbir ! "Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar"! Seruan itu terdengar sangat indah, penuh energi dan menyatu dalam satu kekuatan untuk tujuan yang baik semata-mata karena ALLAH SWT. Semoga seruan itu dapat membelah langit dan menurunkan hujan rahmat dariNYA.
Seruan itu pun kembali menggema disaat sebagian besar umat islam merasakan ulama mereka dikriminalisasi oleh umara yang seharusnya bekerjasama seperti rel menuju tujuan kesejahteraan dan keadilan. Seruan itu menjadi perjuangan yang berbasis kekuatan umat islam. Gerakan 212 dan gerakan2 lainnya yang dimotori oleh tokoh2 islam berujung pada keinginan dan kehendak yang kuat untuk mengganti umara yang dikenal dengan #gantipresiden2019#.
Seruan itu pun terdengar kembali disaat mereka merasa dicurangi disaat pengumuman hasil quick count (QC) pemilihan presiden pada 17 April 2019 yang lalu. Mereka merasa dikelabui dengan pernyataan2 yang berbasis scientific. Menurut mereka data2 yang ditampilkan tidak benar karena ada data2 pembanding yang dimiliki oleh mereka.
Pertentangan data2 itu mengundang ilahi robbi untuk hadir sebagai penyelamat dan hakim sekaligus maha pengampun atas kecurangan yang terjadi. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui (wallahu a'lam bishawab). Semoga yang dimenangkan karenaMU.
Menarik untuk ditelusuri bahwa pengumuman QC pada tahun 2014 disambut dengan kegembiraan dan pidato kemenangan. Pidato itu tidak membutuhkan waktu lewat dari 1 hari. Hanya beberapa jam saja setelah QC diumumkan. Tapi untuk tahun 2019 tidak dilakukan tindakan yang serupa seperti 2014 yang lalu. Apakah yang terjadi ? Keraguankah atas hasil QC ? Atau upaya2 lainnya ? Tunggu saja tanggal mainnya. Apa yang akan terjadi. Semoga Allah selalu bersama yang benar.
Jakarta, 19 April 2019
Arya Palguna
(Institute Of Economic And Political Resources/IEPR)
[24/4 11.49] Doktor Unpad: PEOPLE POWER VS KONSESI
Perbincangan dikalangan elit yang semakin menarik untuk disimak adalah "People Power". Adakah yang salah dengan kata2 itu ? Bukannya people power itu adalah kekuatan rakyat ? Negara yang menganut sistem apapun, apalagi demokrasi senantiasa memberikan ruang atau menghadirkan kekuatan rakyat.
Menjadi benar, untuk mendapatkan dukungan rakyat dimobilisasi dan diklaim oleh setiap rejim dan aktor politik menjadi sesuatu yang maha penting menuju maupun mempertahankan puncak kekuasaannya.
Dalam konteks PEMILU hari ini, para kontestan harus dapat menggalang kekuatan rakyat secara demokratis dan penyelenggaraannya dilakukan dengan jurdil. Sistem demokrasi menumbuhkan gerakan partisipasi publik. Mereka hanya membutuhkan kejujuran dan keadilan. Kebutuhan itu yang seharusnya selalu hadir ditengah2 kehidupan mereka.
Pasca penyelenggaraan PEMILU kata "people power" me njadi ancaman yang serius disatu pihak. Tapi dipihak yang lain bahwa kata "people power" menjadi jimat. Di negara manapun, kata itu mengandung traumatik bagi sebuah rejim. Kata itu bagaikan turbulensi sehingga dibutuhkan upaya rekonsiliasi. Utusan menjadi tumpuan untuk menyampaikan pesan "konsesi". Kita tunggu akhir cerita ini.
Jakarta, 24 April 2019
Arya Palguna
(Institute Of Economic And Political Resources/IEPR)
[29/4 15.58] Doktor Unpad: MENANG ATAU MENANG
Frasa "Merdeka atau mati" adalah pilihan kata yang dapat menjadi barometer isu pada zaman kolonialisme. Frasa itu menjadi simbul perlawanan, pemersatu dan kehendak yang tidak dapat ditawar oleh siapapun. Frasa itu menjadi nilai yang terinternalisasi pada setiap insan nusantara yang ingin merdeka. Frasa itu lahir dari kejujuran dan keberanian. Istilah yang mendekati dalam bahasa jawanya adalah "mati siji mati kabeh atau TIJITIBEH".
Dalam bahasa politik, frasa yang seharusnya dibangun adalah "SIAP MENANG DAN SIAP KALAH". Frasa ini pun lahir dari jiwa sportifitas. Lebih tepatnya fairness. Sumbernya pun kejujuran.
Era reformasi memberikan ruang kebebasan tapi bersifat terbatas. Ciri utama era ini adalah pengakuan terhadap hak2 publik. Tidak sekedar pengakuan tapi yang paling utama adalah perlindungan. Era ini memberikan pilihan2 yang dilandasi dengan semangat konstitusional yang merupakan konsekuensi sebagai negara hukum.
Pemilu Tahun 2019 berbeda dengan Pemilu2 sebelumnya yaitu dilakukan secara serentak/bersamaan untuk anggota DPR RI, PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN dan DPD RI. Atmosfer yang terbangun adalah persaingan antar anak bangsa. Mottonya adalah "MENANG ATAU MENANG". Setiap calon bersaing tidak untuk kalah. Sehingga mereka melakukan berbagai macam upaya. Ukuran2 keadaban tidak menjadi penting. Yang penting konstitusional walaupun landasannya interprestasi subyektif. Ukuran utamanya adalah untung atau untung. Tidak boleh rugi walaupun ada yang harus dirugikan sekalipun untuk kepentingan rakyat. Semoga, akhir pemilu kali ini dapat membuat rakyat menang dan senang. MERDEKA !!
Jakarta, 29 April 2019
Arya Palguna
(Institute Of Economic And Political Resources/IEPR)
0 komentar:
Posting Komentar