Jumat, 12 Mei 2017

Filsafat Ilmu



MENAKAR SUMBANGSIH FILSAFAT ILMU
DALAM PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN



Diajukan Sebagai Salah SatuTugas Mandiri
pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen : Prof. (em) Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja,SH.LLM.



Disusun Oleh :
Nama : Eddy Heryadi
NPM : L23.016.0018









PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG







 

KATA PENGANTAR


Bismillaahirrohmaanirrohiim,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, karena atas rahmat dan karunia-Nya penyusunan makalah ini berjudul “Sumbangsih Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan” ini dapat diselesaikan.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu pada program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas  Langlangbuana Bandung.
            Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. (em) Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja,SH.LLM., Selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah membimbing sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini dirasakan banyak mendapat berbagai kesulitan, namun atas Rahmat Ilahi Robbi dan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat diatasi.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi perkembangan Filsafat Ilmu di Indonesia.

Bandung, April 2017

Penyusun
 




DAFTAR ISI
                                                                                                                           Halaman
KATA PENGANTAR ...........................................................................................               i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................   ii
BAB I             PENDAHULUAN...........................................................................    1
A.  Latar Belakang ............................................................................    1
B.  Rumusan Masalah .......................................................................    6
C. Tujuan  Penelitian..........................................................................    6
BAB II  ........ PEMBAHASAN..............................................................................  7
BAB III  ....... KESIMPULAN................................................................................ 31

PUSTAKA ACUAN................................................................................................. 32











BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, bahkan kebanyakan ilmuan menyebutnya sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Secara etimologis istilah filsafat berasal bahasa Yunani yaitu philosophia. Philo berarti cinta atau kawan sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Seseorang yang mempelajari filsafat diharapkan dapat berpikir komprehensif, yaitu berpikir secara menyeluruh dan radikal atau mendalam sampai ke akar masalah. Karena filsafat berusaha memikirkan masalah-masalah yang ada secara mendalam dengan alasan yang benar dan teliti.[1]
Dalam hubungannya dengan ilmu, kedua kata ini saling terkait baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan bangsa lain pada zamannya dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus ditakuti sekaligus dihormati kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.[2]
Perubahan besar ini membawa implikasi yang tidak kecil. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari penelitian alam jagat ini muncullah ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia dan sebagainya, sedangkan dari manusia muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.[3]
Filsafat Ilmu sangat penting peranannya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Sebab, Filsafat Ilmu akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh, dan seluas mungkin semua tentang hakikat Ilmu. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan.[4]
Filsafat ilmu saat ini mendapat perhatian yang sangat besar dari para ilmuwan. Perkembangannya yang demikian pesat membuat individu semakin kritis terhadap metode-metode dari ilmu tersebut. Bukan hanya bidang ilmu psikologi saja yang dalam sejarah perkembangannya banyak dipengaruhi pola-pola pemikiran dari filsafat akan tetapi juga dari bidang ilmu lainnya yang saling terkait.
Keterlibatan umat manusia dengan dunia filsafat sudah ada sejak manusia mulai bertanya dan mengagumi apa arti makna sesuatu beserta asal mulanya yang ultimate. Setelah itu dengan segala cara dan upayanya manusia ingin memperoleh jawaban yang dirasakan paling sesuai dengan jiwanya walaupun jawaban itu pada akhirnya sering berada dalam kawasan spekulatif dan non empirik.[5]
Berpangkal dari pertanyaan tentang suatu fenomena yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dimulailah filsafat itu. Pengalaman hidup menjadi sumber inspirasi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sumber-sumber pertanyaan tersebut memang terkesan sederhana memang apabila diamati dengan benar dan cermat maka semua ilmu pengetahuan berasalah sari pertanyaan yang berkenaan dengan fenomena yang muncul dari pengalaman kehidupan.
Thales (624 – 546 SM) orang Yunani pertama yang menggunakan akal secara serius dalam mempersoalkan sesuatu masalah yang digelari Bapak Filsafat. Pertanyaan yang diajukan beliau sebanarnya terkesan sederhana yaitu apakah sebenarnya bahan alam semestra itu? Beliau sendiri menjawab air. Setelah itu rangsangan pertanyaan-pertanyaan banru muncul. Semakin lama persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas dan semakin rumit juga pemecahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul semakin kompleks seiring berkembangnya jaman. Setiap era memiliki para ahli pemikir yang memiliki konstribusi besar terhadap pemecahan masalah yang muncul di zamannya.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling mengarahkan seluruh potensi keilmuwan yang dimilikinya untuk kepentingan bersama umat manusia.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat dan juga sebaliknya, perkembangan ilmu dapat memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil merubah pola pikir bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi para dewa. Karena itu para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang bergantung pada rasio. Kejadian alam seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi pada garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.[6]
Menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.[7]
Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Setiap ilmu mempunyai filsafatnya. Sebagaimana kita ketahui adanya filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat teknik dan demikian pula dengan filsafat ilmu sosial. Sebab filsafat merupakan suatu landasan pemikiran dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu itu bermaksud mencapai tujuannya, yaitu kebenaran.[8]
Selain itu, filsafat adalah syarat dari legalitas suatu ilmu pengetahuan. suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dinyatakan sebagai disiplin ilmu bila didalamnya tidak ditemukan landasan ontologi, epistimologi, dan aksiologinya.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, penulis tertarik untuk mencoba memaparkan  dalam bentuk makalah dengan judul Menakar Sumbangsih Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan sehingga diharapkan  para pembaca dapat memahami pentingnya filsafat ilmu dalam ilmu pengetahuan.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan yang termuat dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan ditemukan dan dianalisa dalam makalah ini lebih lanjut adalah : Apakah sumbangsih filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan ?
C.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian di atas maka tujuan penelitian dalam makalah ini adalah untuk mengetahui sumbangsih filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan.









BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan filsafat ilmu sejalan dengan perkembangan filsafat. Belajar perkembangan ilmu dimaksudkan untuk mengetahui sejarah perkembangan pemikiran mansia. Dengan mengetahui perkembangan pamikiran manusia, banyak manfaat yang dapat diperoleh. Tingkat peradaban manusiapun dapat diketahui melalui sejarah perkembangan ilmu. Perkembangan ilmu meliputi zaman Yunani kuno, zaman abad pertengahan, zaman renaissance dan modern, dan zaman kontemporer.[9]
Dari tahun 1960-1995 filsafat ilmu berkembang sangat pesat. Sementara beberapa ahli menunjuk peristiwa tersebut sebagai indikator matinya positivisme logik. Perkembangan tersebut sebenarnya lebih menumbuhkan upaya telaah dari pengukuran kuantitatif ke meta-science. Pada era mutakhir sampai tahun-tahun sekarang, filsafat ilmu berkembang dalam konteks postmodernisme dimana konstruk, struktur dan paradigma menjadi berkembang dan berkelakjutan. Perkembangannya selalu terjadi rekonstruksi berkelanjutan, dekonstruksi, berkembang pemikiran poststruktural dan postparadigmatik, dan logika standar berkembang menjadi nonstandard logic.[10]
Muhadjir memberikan penjabaran mengenai filsafat dan perkembangannya dalam beberapa area ilmu pengetahuan yaitu:[11]
1.    Filsafat ilmu-ilmu sosial berkembang dalam tiga ragam yaitu: metaideologi, metaphisik, dan metodologi disiplin ilmu mensucikan batin manusia. Arti meta telah mengalami perkembangan dari yang transeden (spekulatif) keteori (positivistik) dan sekarang berkembang ke ethik (metaphisik). Sedangkan arti normatif yang moral (spekulatif) telah berkembang kearti obligatif (positivistik), dan berkembang lebih lanjut ke ethik obyektif universal (realisme), kemudian berkembang lebih lanjut ke ethic asimetris karena multiple membership (postmodernisme).
2.    Filsafat science tumbuh dari confirmatory theories (positivisme) ke confirmatory theories dan theories of explanation (postpositivisme) dan lebih lanjut ke theories of explanation (postmodernisme). Yang pertama berupaya mendeskripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi, sedangkan yang kedua berupaya menjelaskan bagaimana phenomena kecil atau besar secara sederhana.
3.    Filsafat teknologi telah bergeser dari means ends-means end menjadi means secara berkelanjutan. Temuan personal computer menumbuhkan pertanyaan “apa lagi pekerjaan perpustakaan yang dapat dikerjakan”. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends melainkan dilihat sebagai kepanjangan ide manusia.
4.    Filsafat seni atau filsafat esthetik mutakhir mendudukkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tripartit kebudayaan. Dua lainnya adalah produk domein kognitif dan produk alasan praktis. Produk domein kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar dan logis. Bila etik dimasukkan maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria: operasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan maka perlu ditambah: human, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan. Produk seni tampil memenuhi kriteria: kreatif, indah dan harmonis. Bila etik dimasukkan, perlu ditambah dengan mensucikan batin manusia.
Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kekhawatiran mulai timbul dikalangan para ilmuan dan filsuf, termasuk juga kalangan agamawan, dimana mereka beranggapan bahwa kemajuan Iptek dapat mengancam eksistensi umat manusia bahkan alam beserta isinya.[12]
Menurut Koento Wibisono Siswomihardjo[13] menyatakan bahwa sekarang terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara cabang ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan interrelasi ilmu menjadi terasa pula. Oleh karena itu menurut beliau dibutuhkan suatu  Overview untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling menyapa menuju hakikat ilmu yang integral dan integratif. Tanggung jawab dan integritas seorang ilmuan kini sedang diuji.
Semenjak Immanuel Kant (1724-1804)[14] menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat, maka semenjak itu pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Lahirlah diabad ke-18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan dimana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen-komponen pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta cara-cara untuk menggunakan sarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah.
Dengan mendasarkan diri atas sumber-sumber atau sarana-sarana tertentu seperti panca indera, akal, akal budi, dan intuisi maka berkembanglah berbagai macam  school of thought yaitu empirisme (John Lock), rasionalisme (Descartes), kritisme (Immanuel Kant), positifisme (Auguste Comte), fenomenologi (Husserl), konstruktivisme (Feyerabend) dan lain sebagainya yang muncul sebagai pembaharuan. Lahirnya filsafat ilmu karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan[15].
Perkembangan ilmu pengetahuan tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap dan evolutif. Berbagai krisis yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya didorong oleh pemecahan masalah kemanusiaan yang sektoral. Oleh karena itu untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, harus dilakukan berbagai klasifikasi secara periodik. Setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang akan dijelaskan dibawah ini:[16]
a.    Zaman Pra Yunani Kuno (Abad 15-7 SM) Pada masa ini manusia menggunakan batu sebagai peralatan, karena ditemukan alat-alat yang bentuknya mirip satu sama lain (misalnya kapak sebagai alat pemotong dan pembelah). Benda-benda tersebut merupakan bukti bahwa manusia sebagai makhluk berbudaya yang mampu berkreasi untuk mengatasi tantangan alam. Benda-benda yang dipergunakan manusia itu mengalami perbaikan dan terus mengalami kemajuan, karena manusia melakukan dan mengalami proses trial and error, uji coba yang memakan waktu yang lama. Melalui proses trial and error ini pula manusia mulai melakukan seleksi terhadap alat-alat yang dipergunakan, sehingga manusia menemukan bahan (materi) yang dianggap baik atau kuat untuk membuat peralatan-peralatan tertentu.
Evolusi ilmu pengetahuan dapat dirunut melalui sejarah perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani, Babilonia, Mesir, Cina, Timur Tengah (peradaban Islam) dan Eropa. Disini ada keterkaitan dan saling pengaruh antara perkembangan pemikiran disatu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Warisan pengetahuan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empirik merupakan salah satu ciri pada zaman ini. Pada masa ini pula, kemampuan berhitung ditempuh dengan cara one-to one correspondency atau mapping process.
Secara ringkas pada zaman pra Yunani Kuno ditandai oleh lima kemampuan sebagai berikut: pertama, know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman; kedua, pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis; ketiga, kemampuan menemukan abjad dan system bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ketingkat abstraksi; keempat, kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan; kelima, kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi, misalnya gerhana bulan dan matahari.
b.    Zaman Yunani Kuno (Abad 7-2 SM) Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan Filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno diawal kelahirannya adalah ditunjukkannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan sesuatu asal mula (arche) yang merupakan unsure awal terjadinya segala gejala.[17]
Filsuf dan beberapa pemikirannya yang telah memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan antara lain adalah:
1)    Thales (640-550 SM) Menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asal mula) dari segala sesuatu, hal ini didukung oleh kenyataan bahwa air meresapi seluruh benda-benda dijagad raya ini.[18] Menurut Mustansyir ada tiga alas an munculnya persoalan tentang alam semesta ini yaitu: pertama, persoalan mengenai alam semesta yang terus menerus dipandang sebagai persoalan abadi (parennial problems) yang disebut juga sebagai pertanyaan yang signifikan (a significant question); kedua, pertanyaan yang diajukan Thales menimbulkan suatu konsep baru, yaitu suatu hal tidak begitu saja ada, melainkan terjadi dari sesuatu. Hal inilah yang menimbulkan suatu konsep tentang perkembangan, suatu evolusi, genesis; ketiga, pertanyaan demikian hanya dapat timbul dalam pemikiran kalangan tertentu (masyarakat intelektual yang berpikir lebih maju), bukan masyarakat awam.
2)    Anaximander (611-545 SM) Anaximander meyakini bahwa asal mula dari segala sesuatu adalah aperion yaitu sesuatu yang tidak terbatas.[19]
3)    Anaximenes (588-524 SM) Anaximenes mengatakan bahwa asal mula segala sesuatu itu adalah udara, keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan unsur vital kehidupan.  
4)    Pythagoras (580-500 SM) Pythagoras menyatakan bahwa asas segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan. Pythogaras lebih dikenal dengan penemuannya tentang ilmu ukur dan aritmatik antara lain (Mustansyir, 2001:: -Hukum atau dalil Pythagoras yaitu: a 2 +b2 = c2, yang berlaku bagi setiap segitiga siku-siku dengan sisi a dan sisi b serta hypotenusa c, sedangkan jumlah sudut dari suatu segitiga siku-siku = 1800.- Teori tentang bilangan yaitu:pembagian antara bilangan genap dengan bilangan ganjil, primer numbers (bilangan yang hanya dapat dibagi dengan angka satu dan bilangan itu sendiri) dan composite number, serta hubungan antara kuadrat natural numbers dengan jumlah ganjil. Pembentukan benda berdasarkan segitiga, segiempat, segilima, dan sebagainya. -Hubungan antara nada dengan panjang dawai.
5)    Herakleitos (540-475 SM) dan Parmenides (540-475 SM) Pertanyaan kedua filfuf ini tidak lagi tentang apakah asal-usul dan kejadian alam semesta, tetapi apakah realitas itu berubah, tidak sesuatu yang tetap. Ungkapan dari Herakleitos yang terkenal adalah panta rhei khai uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap. Sedangkan Parmenides berpandangan sebaliknya, ia menegaskan bahwa realitas itu tetap, tidak berubah. Kedua tokoh ini dalam sejarah filsafat menjadi cikal bakal debat metafisika tentang “Pluralisme” dan “Monisme”, dalam bidang epistemology antara “empirisme” dan “rasionalisme”. Herakleitos mewakili Pluralisme dan Empirisme, sedangkan Parmenides mewakili Monisme an Rasionalisme.
6)    Demokritos (460-370 SM) Ia dikenal sebagai bapak Atom pertama, karena dialah yang memperkenalakan konsep atom. Ia menegaskan bahwa relitas terdiri dari banyak unsur yang disebutnya dengan atom (atomos, dari a= tidak, dan tomos= terbagi). Atom-atom itu sama sekali tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak terhingga. Pandangannya merupakan cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi. Pemikiran Demokritos tentang teori atom ini mengandung sifat-sifat sebagai: konsep materialitis-monistik, konsep dinamika perkembangan (developmental dynamics), konsep yang bersifat murni alamiah (pure natural), bersifat kebetulan (by change).
7)    Socrates (470-399 SM) Metode Sokrates dikenal sebagai Maieutike Tekhne (ilmu/seni kebidanan) yaitu suatu metode dialektika (bercakap-cakap) untuk melahirkan kebenaran. Disebut demikian karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki dalam filsafat Sokrates. Sokrates sendiri tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain.
8)    Plato (428-348 SM) Plato dikenal sebagai filsuf Dualisme, artinya ia mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri yaitu dunia ide dan dunia bayangan (inderawi). Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi, didalamnya tidak ada perubahan. Sedangkan dunia bayangan (inderawi) adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indera. Bertitik tolak dari pandangannya ini, Plato mengajarkan adanya dua bentuk pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan idea-idea yang merupakan pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Pengenalan ini mempunyai sifat-sifat yang sama seperti obyek-obyek yang menjadi arah pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah. Dipihak lain ada pengenalan tentang benda-benda jasmani. Pengenalan ini mempunyai sifat-sifat tidak tetap, selalu.
9)    Aristoteles (384-322 SM) Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab-penyebab obyek yang diselidiki. Aristoteles berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab yang semuanya harus disebut apabila manusia hendak memahami proses kejadian segala sesuatu yaitu penyebab material (material cause), penyebab formal (formal cause), penyebab efisien (efisien cause), dan penyebab final (final cause). Sedangkan ajaran Aristoteles dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang yaitu: metafisika, logika dan biologi.
c.    Zaman Pertengahan (Abad 2-14 M) Zaman Pertengahan (middle age) ditandai dengan tampilnya para theolog dilapangan ilmu pengetahuan, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Filsafat zaman pertengahan biasanya dipandang terlampau seragam, dan lebih dari itu dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya. Filsuf Barat yang cukup terkenal pada zaman ini adalah Agustinus (354-430) yang pemikirannya cukup dipengaruhi oleh filsafat Plato dan Thomas Aquinas (1125-1274) yang pemikirannya cukup dipengaruhi oleh Aristoteles.[20]
Pada zaman ini pula Eropa berada dalam masa kegelapan (dark age), sedangkan peradaban dunia Islam berada pada zaman keemasan (golden age). Menurut Ali Kettani (1984: 85 dalam Mustansyir, 2001) ada lima ciri yang menandai kemajuan peradaban Islam pada masa itu yaitu: (1) universalisme, (2) toleransi, (3) pasar yang bertaraf internasional, (4) penghargaan terhadap ilmu dan ilmuan, (5) tujuan dan sarana ilmu yang bersifat islami.
Beberapa pemikir Islam yang cukup memberikan sumbangsih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan diantaranya adalah: Al-Khawarizmi (825 M) sebagai penyusun aljabar (arithmetics), Omar Khayam (1043-1132) sebagai seorang penyair, ahli perbintangan dan ahli matematika. Dalam ilmu kedokteran muncul Al-Razi (850-923), Ibnu Sina (980-1037), Rhazas, Abu’l Qasim, Ibnu Rushd (1126-1198) dan Al Idris (1100-1166) yang membuat 70 peta kerajaan.
d.    Zaman Renaissance ( Abad 14-17 M) Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman peralihan ketika kebudayaan abad Tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern.  Manusia pada zaman Renaissance adalah manusia yang merindukan pemikiran bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan ilahi[21]. Renaissance adalah zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan yang revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat.
Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada zaman ini adalah bidang astronomi, tokoh-tokohnya antara lain adalah[22]:
1)    Roger Bacon (1214-1219)
Ia berpendapat bahwa pengalaman (empirik) menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan.
2)    Copernicus (1473-1543)
Ia mengajukan pendapat bahwa bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat (heliosentrisme).
3)    Tycho Brahe (1546-1601)
Ia tertarik pada sistem astronomi baru yang diperkenalkan oleh Copernicus. Ia membuat alat-alat berukuran besar untuk mengamati benda-benda angkasa secara lebih teliti. Penemuan ini membuktikan bahwa benda-benda angkasa tidak menempel pada crystalline spheres, melainkan datang dari tempat yang sebelumnya tidak dapat dilihat untuk kemudian menghilang lagi.
4)    Johannes Keppler (1571-1630)
Kepler menemukan tiga buah hukum yang melengkapi penyelidikan Brahe yaitu: (1) bahwa gerak benda angkasa itu ternyata bukan bergerak mengikuti lintasan circle seperti yang dikemukakan oleh Brahe, namun gerak itu mengikuti lintasan elips. Orbit semua planet berbentuk elips; (2) dalam waktu yang sama, garis penghubung antara planet dan matahari selalu melintasi bidang yang luasnya sama; (3) dalam perhitungan matematik terbukti bahwa bila jarak rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y, sedangkan waktu untuk melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q, maka P2: Q2= X3: Y 3.
5)    Galileo Galilei (1546-1642)
Ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari. Ia juga menemukan bahwa permukaan bulan sama sekali tidak datar, melainkan penuh dengan gunung-gunung. Beberapa pokok penemuan Galileo di luar bidang astronom yang ditulis dalam karyanya yang berjudul De Motu.
d. Zaman Modern (Abad 17-19 M)
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan menurut Slamet Iman Santoso (1977 dalam Mustansyir, 2001) sebenarnya mempunyai tiga sumber yaitu:
1)    Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dangan negara-negara Perancis. Para Pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah yang menyebarkan Ilmu Pengetahuan yang diperolehnya itu dilembaga-lembaga pendidikan di Perancis.
2)    Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka di negaranya masing-masing.
3)    Pada tahun 1453 Istambul jatuh ketangan bangsa Turki, sehingga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Itali atau negara-negara lain. Mereka ini yang menjadi pionir-pionir bagi perkembangan ilmu di Eropa.
Beberapa aliran filsafat yang cukup mewarnai wacana filsafat pada zaman ini, secara garis besar dapat dipaparkan untuk memenuhi khasanah pengetahuan kita, diantaranya adalah:[23]
a)    Rasionalisme
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal. Tokoh-tokoh aliran filsafat rasionalisme adalah Descartes, Spinoza dan Leibniz.
b)    Empirisme
Para penganut aliran empirisme dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Menurut penganut empirisme metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi apoteriori. Yang dimaksud dengan metode a posteriori ialah metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang atau terjadinya atau adanya kemudian. Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman, yang dimaksud pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengelolah bahan-bahan atau data yang diperoleh dari pengalaman. Pelopor aliran filsafat Empirisme ini adalah Francis Bacon, kemudian tokoh-tokoh yang lainnya adalah Thomas Hobbes, John Locke dan David Hume.
c)    Kritisme
Kritisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang, yang satu dengan yang lainnya tidak terpisahkan.
Pengetahuan rasional (analitis a priori) adalah pengetahuan yang bersifat universal, tapi tidak memberikan informasi baru. Sebaliknya pengetahuan empiris (sintetis a posteriori) dapat memberikan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal. Tokoh yang cukup berjasa dalam aliran ini adalah Immanuel Kant.
d)    Idealisme
Idealisme berpendiran bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Pengetahuan merupakan gambaran subyektif tentang kenyataan. Pengetahuan tidak menggambarkan kebenaran yang sesungguhnya atau pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat tentang hakikat sesuatu yang berada diluar pikiran[24].Tokohnya adalah Fichte, Scelling dan Hegel.
e)    Positivisme
Positivisme menyatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Sikap negatif positivisme terhadap kenyataan yang diluar pengalaman telah mempengaruhi berbagai bentuk pemikiran modern, diantaranya: pragmatisme, instrumentalisme, naturalisme ilmiah dan behaviorisme.
f)     Marxisme
Filsafat Marx adalah perpaduan antara metode dialektika Hegel dan filsafat Materialisme Feuerbach. Menurut aliran ini filsafat abstrak harus ditinggalkan, karena teori, interpretasi, spekulasi dan sebagainya tidak menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Tokoh pelopornya adalah Karl Marx yang menghubungkan antara filsafat dan ekonomi.
6. Zaman Kontemporer (Abad 20 dan seterusnya)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad 20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Pada masa ini tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus sebagaimana yang diperbuat para filsuf sebelumnya, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa logika.
Perkembangan filsafat abad 20 juga ditandai olehmunculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran itu merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern seperti: neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme dan sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali seperti: fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme dan postmodernisme.[25]
Tokoh-tokohnya diantaranya adalah Russell dan Wittgenstein dengan metode analisa bahasa dengan memilih sikap atau keyakinan ontologis sebagai alternatif terbaik dalam aktivitas berfilsafat, Edmund Husserl (1859-
1938) selaku pendiri aliran fenomenologi yaitu ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Phainomenon), Jean Paul Sartre (1905-1980) sebagai salah seorang tokoh eksistensialisme yang membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis, Michel Foucault (1926-1984) sebagai salah satu tokoh yang cukup berpengaruh pada aliran filsafat strukturalisme yang menyatakan bahwa kesudahan “manusia” sudah dekat dengan maksud bahwa akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dlam pemikiran kita, kemudian tokoh pragmatisme adalah William James (1842-1910) yang menganggap alirannya sebagai kelanjutan dari empirisme Inggris akan tetapi bukan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan, kemudian yang terakhir adalah aliran postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat popular pada penghujung abad 20, tokohnya adalah Francois Lyotard (1924) yang menurutnya modernitas ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitif dulu.[26]
BIDANG GARAPAN FILSAFAT ILMU
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyanggah bagi eksistensi ilmu, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga bidang garapan filsafat ilmu tersebut untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dibawah ini:
1.    Ontologi Menurut Koento Wibosono Siswomihardjo[27] menyatakan bahwa ontogi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak lepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (being sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, paham dualisme, pluralism dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Menurut Christian Wolf bahwa Ontologi merupakan bagian dari metafisika atau tepatnya adalah metafisika umum yang membicarakan tentang hal yang “ada” (being). Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas persoalan tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Klasifikasi metafisika yang diberikan oleh Wolf adalah sebagai berikut[28]:
a)    Metafisika Umum (Ontologi), yang membicarakan tentang hal “ada” (being).
b)    Metafisika Khusus:
1)    Psikologi: membicarakan tentang hakikat manusia.
2)    Kosmologi: membicarakan tentang hakikat atau asal usul alam semesta.
3)    Theologi: membicarakan tentang hakikat keberadaan Tuhan.
Pertanyaan Immanuel Kant yang dilontarkan sekitar abad ke-18 dalam karyanya besarnya “Kritik Atas Rasio” (apakah metafisika mungkin?), sampai saat ini masih menggelisahkan orang. Kant berpendapat bahwa kalau definisi tradisonal metafisika yakni sebagai ilmu yang menyelediki tentang “yang ada sebagai yang ada” tetap dipertahankan, maka metafisika jelas tidak mungkin. Menurut Kant, hal ini disebabkan proporsi-proporsi metafisika tidak sintetis a priori dan secara metodologis sulit dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Kant mengatakan bahwa bagaimana pun juga metafisika tetap mungkin kalau kedudukannya diubah, misalnya menjadi metafisika ilmu, metafisika moral, metafisika agama, dan lain sebagainya.[29]
Metafisika itu sendiri sebenarnya berusaha memfokuskan diri pada prinsip dasar yang terletak pada berbagai pertanyaan atau yang diasumsikan melalui berbagai pendekatan intektual. Setiap prinsip dinamakan “pertama”, sebab prinsip-prinsip itu tidak dapat dirumuskan kedalam istilah lain atau melalui hal lain yang mendahuluinya. Sebagai contoh: istilah Prinsip Pertama yang dipergunakan Aristoteles merupakan penjelasan mengenai alam semesta yakni “penggerak yang tidak digerakkan”, dikatakan menjadi sebab dari segala gerak tanpa dirinya digerakkan oleh hal ada yang lain Kebanyakan orang menyangsikan sifat keilmiahan metafisika ini, karena sedemikian abstraknya obyek yang dipelajari.
2.    Epistemologi
Menurut Koento Wibosono Siswomihardjo menyatakan bahwa Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi antara pengalaman dan akal, intuisi merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubyektif.
Menurut Suriasumantri bahwa masalah dalam kajian filsafati tersebut adalah epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut sebagai metode ilmiah. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian juga dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab pemasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistemologi berkisar pada masalah: asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan keniscayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Semua persoalan-persoalan tersebut diatas terkait dengan pesoalan-persolan penting filsafat lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan.
3.    Aksiologi Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos.
Axios berarti nilai atau sesuatu yang berharga, sedangkan logos berarti akal. Axiology berarti teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi tentang nilai ini mengedepankan pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan summum Bonum (kebaikan tertinggi).
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih lanjut beliau katakan bahwa nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun didalam menerapkan ilmu.
Thomas Aquinas membangun pemikiran tentang nilai dengan mengidentifikasi filsafat Aristoteles tentang nilai tertinggi dengann penyebab final (causa prima) dalam diri Tuhan sebagai keberadaan kehidupan, keabadian dan kebaikan tertinggi. Sedangkan Spinoza memandang nilai yang didasarkan pada metafisik, berbagai nilai diselidi secara terpisah dari ilmu pengetahuan. Runes sendiri menyatakan bahwa ada empat faktor yang merupakan problem utama dari aksiologi yaitu:[30]
a)    Kodrat nilai berupa problem mengenai: apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, kepentingan, preferensi, keinginan rasio murni, pemahaman mengenai kualitas tersier, pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian, berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup, relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguh dapat dijangkau.
b)    Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab (baik barang-barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai instrinsik.
c)    Kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi dan logika.
d)    Status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman, kenyataan terhadap keharusan, pengalaman manusia tentang nilai pada realitas kebebasan manusia.











BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu yaitu diantaranya filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan.
Dengan menunjukan sketsa umum berbagai gambaran secara garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada giliranya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu, kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau cara penulisan karya ilmiah ataupun penelitian. Filsafat ilmu adalah refleksi yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan imiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang tidak akan pernah habis dann tidak akan pernah selesai diterangkan.Memahami filsafat ilmu yang oleh sementara pakar disebut sebagai ilmu tentang pengetahuan menjadikan wawasan kita semakin luas bahwasanya filsafat, ilmu pengetahuan keberadaan serta perkembanganya akan saling mempengaruhi. Dan ilmu itu lahir dari yang namanya sebuah filsafat dan filsafat itu sendiri memberikan sebuah kontribusi yang sangat banyak bagi ilmu dan teknologi sekarang ini, sehingga buahnya dapat kita rasakan saat ini.


PUSTAKA ACUAN

A.   BUKU

Abdul Haris dan Kivah Aha Putra. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.

Amsal Bakhtiar.  2013. filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Arifin Banasura. 2013. Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Ke Tanggung Jawab. Bandung: Alfabeta.

Mudhofir, A. 2001.Pengenalan Filsafat, dalamFilsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.

Mustansyir, R & Munir, M. 2002. Filsafat Ilmu., Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Mustansyir, R. 2001. Sejarah Perkembangan Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.

Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat Ilmu. Yogjakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Siswanto, J. 1998. Sistem-Sistem Metafisika Baratdari Aristoteles Sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Siswomihardjo, K.W. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.


B.   INTERNET

Filsafat Ilmu Sosial”, https://raulchest.wordpress.com/2009/12/18/filsafat-ilmu-sosial/. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 17.00 WIB.


Supriyanto, 2012. Kontribusi Filsafat Ilmu Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan”. (Online) https://mencilnet.wordpress.com/2012/03/20/kontribusi-filsafat-ilmu-terhadap-perkembangan-ilmu-pengetahuan/

Wili  Caswili, “Tujuan dan Manfaat Filsafat Ilmu”, http://wilyhikaru22.blogspot.co.id/2014/07/jurnal-ilmiah-tujuan-dan-manfaat.html. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 17.00 WIB.



[1] Abdul Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam. AMZAH, Jakarta: 2012, hlm. 2.
[2] Amsal Bakhtiar, filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. xi.
[3] Ibid, hlm. xii.
[4] https://mencilnet.wordpress.com/2012/03/20/kontribusi-filsafat-ilmu-terhadap-perkembangan-ilmu-pengetahuan/
[5] Siswomihardjo, K.W, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta: Penerbit LIBERTY, 2001.
[6] Wili  Caswili, “Tujuan dan Manfaat Filsafat Ilmu”, http://wilyhikaru22.blogspot.co.id/2014/07/jurnal-ilmiah-tujuan-dan-manfaat.html. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 17.00 WIB.
[7] Ibid
[8] “Filsafat Ilmu Sosial”, https://raulchest.wordpress.com/2009/12/18/filsafat-ilmu-sosial/. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 17.00 WIB.
[9] Arifin Banasura, Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Ke Tanggung Jawab, Alfabeta, Bandung, 2013, hlm. 87.
[10] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001
[11] Ibid
[12] Mustansyir, R & Munir, M, Filsafat Ilmu, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2002.
[13] Siswomihardjo, K.W, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta: Penerbit LIBERTY, 2001.
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Mustansyir, R. 2001. Sejarah Perkembangan Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.

[17] Mustansyir, R & Munir, Op.cit
[18] Ibid
[19] ibid
[20] Mustansyir, Op.cit, hlm. 74-76.
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Mudhofir, A, Pengenalan Filsafat, dalamFilsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Penerbit LIBERTY, Yogyakarta, 2001.

[25] Mustansyir, R & Munir, Op.cit
[26] ibid
[27] Koento Wibosono Siswomihardjo, Op.cit
[28] Mustansyir, R & Munir, Op.cit
[29] Siswanto, J, Sistem-Sistem Metafisika Baratdari Aristoteles Sampai Derrida, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.

[30] Mustansyir, R & Munir, Op.cit
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More