MENAKAR SUMBANGSIH FILSAFAT ILMU
DALAM PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN
Diajukan Sebagai Salah
SatuTugas Mandiri
pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen
: Prof.
(em) Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja,SH.LLM.
Disusun Oleh :
Nama
: Eddy
Heryadi
NPM
: L23.016.0018
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, karena atas rahmat dan karunia-Nya penyusunan makalah
ini berjudul “Sumbangsih Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan”
ini dapat diselesaikan.
Penyusunan makalah
ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu pada program Studi Magister Ilmu Pemerintahan
Universitas Langlangbuana Bandung.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Prof. (em) Dr. H. E. Saefullah
Wiradipradja,SH.LLM., Selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah membimbing
sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini dirasakan banyak
mendapat berbagai kesulitan, namun atas Rahmat Ilahi Robbi dan bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat diatasi.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya
bagi perkembangan Filsafat Ilmu di
Indonesia.
Bandung,
April 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 6
BAB II ........ PEMBAHASAN..............................................................................
7
BAB III ....... KESIMPULAN................................................................................
31
PUSTAKA ACUAN.................................................................................................
32
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Filsafat merupakan
ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, bahkan kebanyakan ilmuan
menyebutnya sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Secara etimologis
istilah filsafat berasal bahasa Yunani yaitu philosophia. Philo berarti cinta
atau kawan sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Seseorang yang mempelajari
filsafat diharapkan dapat berpikir komprehensif, yaitu berpikir secara
menyeluruh dan radikal atau mendalam sampai ke akar masalah. Karena filsafat
berusaha memikirkan masalah-masalah yang ada secara mendalam dengan alasan yang
benar dan teliti.[1]
Dalam hubungannya
dengan ilmu, kedua kata ini saling terkait baik secara substansial maupun
historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat
telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan bangsa lain pada
zamannya dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani
dan bangsa lain beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh
para dewa. Karenanya para dewa harus ditakuti sekaligus dihormati kemudian
disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah
menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.[2]
Perubahan besar ini
membawa implikasi yang tidak kecil. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya
hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang
terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam manusia
(mikrokosmos). Dari penelitian alam jagat ini muncullah ilmu astronomi,
kosmologi, fisika, kimia dan sebagainya, sedangkan dari manusia muncul ilmu
biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut kemudian
menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus
semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.[3]
Filsafat Ilmu sangat
penting peranannya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Sebab,
Filsafat Ilmu akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh, dan
seluas mungkin semua tentang hakikat Ilmu. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan
gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan.[4]
Filsafat ilmu saat ini mendapat perhatian yang sangat
besar dari para ilmuwan. Perkembangannya yang demikian pesat membuat individu
semakin kritis terhadap metode-metode dari ilmu tersebut. Bukan hanya bidang
ilmu psikologi saja yang dalam sejarah perkembangannya banyak dipengaruhi
pola-pola pemikiran dari filsafat akan tetapi juga dari bidang ilmu lainnya
yang saling terkait.
Keterlibatan umat manusia dengan dunia filsafat sudah
ada sejak manusia mulai bertanya dan mengagumi apa arti makna sesuatu beserta
asal mulanya yang ultimate. Setelah itu dengan segala cara dan upayanya manusia
ingin memperoleh jawaban yang dirasakan paling sesuai dengan jiwanya walaupun
jawaban itu pada akhirnya sering berada dalam kawasan spekulatif dan non
empirik.[5]
Berpangkal dari pertanyaan tentang suatu fenomena yang
muncul dalam kehidupan sehari-hari dimulailah filsafat itu. Pengalaman hidup
menjadi sumber inspirasi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sumber-sumber
pertanyaan tersebut memang terkesan sederhana memang apabila diamati dengan
benar dan cermat maka semua ilmu pengetahuan berasalah sari pertanyaan yang
berkenaan dengan fenomena yang muncul dari pengalaman kehidupan.
Thales (624 – 546 SM) orang Yunani pertama yang
menggunakan akal secara serius dalam mempersoalkan sesuatu masalah yang
digelari Bapak Filsafat. Pertanyaan yang diajukan beliau sebanarnya terkesan
sederhana yaitu apakah sebenarnya bahan alam semestra itu? Beliau sendiri menjawab
air. Setelah itu rangsangan pertanyaan-pertanyaan banru muncul. Semakin lama
persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas dan semakin rumit juga
pemecahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul semakin kompleks seiring berkembangnya
jaman. Setiap era memiliki para ahli pemikir yang memiliki konstribusi besar
terhadap pemecahan masalah yang muncul di zamannya.
Di tengah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya
spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan
mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan
tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih
diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka
dapat saling mengarahkan seluruh potensi keilmuwan yang dimilikinya untuk
kepentingan bersama umat manusia.
Filsafat dan ilmu
adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis
karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat dan juga sebaliknya, perkembangan ilmu dapat memperkuat keberadaan filsafat.
Filsafat telah berhasil merubah pola pikir bangsa Yunani dan umat manusia dari
pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa
lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi para
dewa. Karena itu para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian
disembah. Dengan filsafat pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah
menjadi pola pikir yang bergantung pada rasio. Kejadian alam seperti gerhana
tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi merupakan
kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi pada garis yang
sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.[6]
Menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan membahas dan
mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan nilai dan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.[7]
Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia
untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung
pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Setiap ilmu mempunyai filsafatnya. Sebagaimana kita
ketahui adanya filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat teknik dan demikian
pula dengan filsafat ilmu sosial. Sebab filsafat merupakan suatu landasan
pemikiran dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu itu
bermaksud mencapai tujuannya, yaitu kebenaran.[8]
Selain itu, filsafat adalah syarat dari legalitas
suatu ilmu pengetahuan. suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dinyatakan sebagai
disiplin ilmu bila didalamnya tidak ditemukan landasan ontologi, epistimologi,
dan aksiologinya.
Berdasarkan pemaparan tersebut
di atas, penulis tertarik untuk mencoba memaparkan
dalam
bentuk makalah dengan judul Menakar Sumbangsih
Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan sehingga diharapkan para pembaca dapat memahami pentingnya filsafat
ilmu dalam ilmu pengetahuan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pemaparan yang termuat dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
yang akan ditemukan dan dianalisa dalam makalah ini lebih lanjut adalah : Apakah sumbangsih
filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan ?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
masalah penelitian di atas maka tujuan penelitian dalam makalah ini adalah
untuk mengetahui sumbangsih filsafat
ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Perkembangan filsafat
ilmu sejalan dengan perkembangan filsafat. Belajar perkembangan ilmu
dimaksudkan untuk mengetahui sejarah perkembangan pemikiran mansia. Dengan
mengetahui perkembangan pamikiran manusia, banyak manfaat yang dapat diperoleh.
Tingkat peradaban manusiapun dapat diketahui melalui sejarah perkembangan ilmu.
Perkembangan ilmu meliputi zaman Yunani kuno, zaman abad pertengahan, zaman
renaissance dan modern, dan zaman kontemporer.[9]
Dari tahun 1960-1995 filsafat ilmu berkembang sangat
pesat. Sementara beberapa ahli menunjuk peristiwa tersebut sebagai indikator
matinya positivisme logik.
Perkembangan tersebut sebenarnya lebih menumbuhkan upaya telaah dari pengukuran
kuantitatif ke meta-science. Pada era
mutakhir sampai tahun-tahun sekarang, filsafat ilmu berkembang dalam konteks
postmodernisme dimana konstruk, struktur dan paradigma menjadi berkembang dan berkelakjutan.
Perkembangannya selalu terjadi rekonstruksi berkelanjutan, dekonstruksi,
berkembang pemikiran poststruktural dan postparadigmatik, dan logika standar
berkembang menjadi nonstandard logic.[10]
Muhadjir memberikan penjabaran mengenai filsafat dan
perkembangannya dalam beberapa area ilmu pengetahuan yaitu:[11]
1. Filsafat
ilmu-ilmu sosial berkembang dalam tiga ragam yaitu: metaideologi, metaphisik,
dan metodologi disiplin ilmu mensucikan batin manusia. Arti meta telah
mengalami perkembangan dari yang transeden (spekulatif) keteori (positivistik)
dan sekarang berkembang ke ethik (metaphisik). Sedangkan arti normatif yang
moral (spekulatif) telah berkembang kearti obligatif (positivistik), dan
berkembang lebih lanjut ke ethik obyektif universal (realisme), kemudian berkembang lebih lanjut ke ethic asimetris
karena multiple membership (postmodernisme).
2. Filsafat
science tumbuh dari confirmatory theories
(positivisme) ke confirmatory theories
dan theories of explanation (postpositivisme)
dan lebih lanjut ke theories of
explanation (postmodernisme). Yang pertama berupaya mendeskripsikan relasi
normatif antara hipotesis dengan evidensi, sedangkan yang kedua berupaya menjelaskan
bagaimana phenomena kecil atau besar secara sederhana.
3. Filsafat
teknologi telah bergeser dari means ends-means end menjadi means secara
berkelanjutan. Temuan personal computer menumbuhkan pertanyaan “apa lagi
pekerjaan perpustakaan yang dapat dikerjakan”. Teknologi bukan lagi dilihat
sebagai ends melainkan dilihat sebagai kepanjangan ide manusia.
4. Filsafat
seni atau filsafat esthetik mutakhir mendudukkan produk seni atau keindahan sebagai
salah satu tripartit kebudayaan. Dua lainnya adalah produk domein kognitif dan produk
alasan praktis. Produk domein kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata,
benar dan logis. Bila etik dimasukkan maka perlu ditambah koheren dengan moral.
Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria: operasional, efisien dan
produktif. Bila etik dimasukkan maka perlu ditambah: human, tidak
mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak
lingkungan. Produk seni tampil memenuhi kriteria: kreatif, indah dan harmonis. Bila
etik dimasukkan, perlu ditambah dengan mensucikan batin manusia.
Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian
yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Kekhawatiran mulai timbul dikalangan para ilmuan dan filsuf, termasuk juga
kalangan agamawan, dimana mereka beranggapan bahwa kemajuan Iptek dapat
mengancam eksistensi umat manusia bahkan alam beserta isinya.[12]
Menurut Koento Wibisono Siswomihardjo[13]
menyatakan bahwa sekarang terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara
cabang ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan
interrelasi ilmu menjadi terasa pula. Oleh karena itu menurut beliau dibutuhkan
suatu Overview untuk meletakkan jaringan
interaksi untuk saling menyapa menuju hakikat ilmu yang integral dan
integratif. Tanggung jawab dan integritas seorang ilmuan kini sedang diuji.
Semenjak Immanuel Kant (1724-1804)[14]
menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas
dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat, maka semenjak itu pula
refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian.
Lahirlah diabad ke-18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan
dimana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen-komponen
pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta
cara-cara untuk menggunakan sarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah.
Dengan mendasarkan diri atas sumber-sumber atau
sarana-sarana tertentu seperti panca indera, akal, akal budi, dan intuisi maka
berkembanglah berbagai macam school of
thought yaitu empirisme (John Lock), rasionalisme (Descartes), kritisme
(Immanuel Kant), positifisme (Auguste Comte), fenomenologi (Husserl),
konstruktivisme (Feyerabend) dan lain sebagainya yang muncul sebagai
pembaharuan. Lahirnya filsafat ilmu karena pengetahuan ilmiah atau ilmu
merupakan a higher level of knowledge sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan[15].
Perkembangan ilmu pengetahuan tidaklah berlangsung
secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap dan evolutif. Berbagai
krisis yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada
umumnya didorong oleh pemecahan masalah kemanusiaan yang sektoral. Oleh karena
itu untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, harus dilakukan berbagai
klasifikasi secara periodik. Setiap periode menampilkan ciri khas tertentu
dalam perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang akan dijelaskan dibawah ini:[16]
a. Zaman Pra
Yunani Kuno (Abad 15-7 SM) Pada masa ini manusia menggunakan batu sebagai
peralatan, karena ditemukan alat-alat yang bentuknya mirip satu sama lain
(misalnya kapak sebagai alat pemotong dan pembelah). Benda-benda tersebut
merupakan bukti bahwa manusia sebagai makhluk berbudaya yang mampu berkreasi
untuk mengatasi tantangan alam. Benda-benda yang dipergunakan manusia itu
mengalami perbaikan dan terus mengalami kemajuan, karena manusia melakukan dan mengalami
proses trial and error, uji coba yang memakan waktu yang lama. Melalui proses
trial and error ini pula manusia mulai melakukan seleksi terhadap alat-alat
yang dipergunakan, sehingga manusia menemukan bahan (materi) yang dianggap baik
atau kuat untuk membuat peralatan-peralatan tertentu.
Evolusi ilmu pengetahuan dapat
dirunut melalui sejarah perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani,
Babilonia, Mesir, Cina, Timur Tengah (peradaban Islam) dan Eropa. Disini ada keterkaitan
dan saling pengaruh antara perkembangan pemikiran disatu wilayah dengan wilayah
yang lainnya. Warisan pengetahuan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman
empirik merupakan salah satu ciri pada zaman ini. Pada masa ini pula, kemampuan
berhitung ditempuh dengan cara one-to one correspondency atau mapping process.
Secara ringkas pada zaman pra Yunani
Kuno ditandai oleh lima kemampuan sebagai berikut: pertama, know how dalam
kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman; kedua, pengetahuan yang
berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind,
keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis; ketiga, kemampuan menemukan
abjad dan system bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia
ketingkat abstraksi; keempat, kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender
yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan; kelima,
kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya
yang pernah terjadi, misalnya gerhana bulan dan matahari.
b. Zaman Yunani
Kuno (Abad 7-2 SM) Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan Filsafat,
karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau
pendapatnya. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno diawal kelahirannya adalah
ditunjukkannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai ikhtiar guna menemukan sesuatu asal mula (arche) yang merupakan unsure
awal terjadinya segala gejala.[17]
Filsuf dan beberapa pemikirannya
yang telah memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan antara
lain adalah:
1) Thales
(640-550 SM) Menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asal mula) dari segala
sesuatu, hal ini didukung oleh kenyataan bahwa air meresapi seluruh benda-benda
dijagad raya ini.[18]
Menurut Mustansyir ada tiga alas an munculnya persoalan tentang alam semesta
ini yaitu: pertama, persoalan mengenai alam semesta yang terus menerus
dipandang sebagai persoalan abadi (parennial problems) yang disebut juga
sebagai pertanyaan yang signifikan (a significant
question); kedua, pertanyaan yang diajukan Thales menimbulkan suatu konsep
baru, yaitu suatu hal tidak begitu saja ada, melainkan terjadi dari sesuatu.
Hal inilah yang menimbulkan suatu konsep tentang perkembangan, suatu evolusi,
genesis; ketiga, pertanyaan demikian hanya dapat timbul dalam pemikiran
kalangan tertentu (masyarakat intelektual yang berpikir lebih maju), bukan masyarakat
awam.
2) Anaximander
(611-545 SM) Anaximander meyakini bahwa asal mula dari segala sesuatu adalah
aperion yaitu sesuatu yang tidak terbatas.[19]
3) Anaximenes
(588-524 SM) Anaximenes mengatakan bahwa asal mula segala sesuatu itu adalah
udara, keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan unsur vital kehidupan.
4) Pythagoras
(580-500 SM) Pythagoras menyatakan bahwa asas segala sesuatu dapat diterangkan
atas dasar bilangan-bilangan. Pythogaras lebih dikenal dengan penemuannya
tentang ilmu ukur dan aritmatik antara lain (Mustansyir, 2001:: -Hukum atau
dalil Pythagoras yaitu: a 2 +b2 = c2, yang berlaku bagi setiap segitiga siku-siku
dengan sisi a dan sisi b serta hypotenusa c, sedangkan jumlah sudut dari suatu
segitiga siku-siku = 1800.- Teori tentang bilangan yaitu:pembagian antara
bilangan genap dengan bilangan ganjil, primer numbers (bilangan yang hanya
dapat dibagi dengan angka satu dan bilangan itu sendiri) dan composite number,
serta hubungan antara kuadrat natural numbers dengan jumlah ganjil. Pembentukan
benda berdasarkan segitiga, segiempat, segilima, dan sebagainya. -Hubungan
antara nada dengan panjang dawai.
5) Herakleitos
(540-475 SM) dan Parmenides (540-475 SM) Pertanyaan kedua filfuf ini tidak lagi
tentang apakah asal-usul dan kejadian alam semesta, tetapi apakah realitas itu
berubah, tidak sesuatu yang tetap. Ungkapan dari Herakleitos yang terkenal
adalah panta rhei khai uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang
tinggal mantap. Sedangkan Parmenides berpandangan sebaliknya, ia menegaskan
bahwa realitas itu tetap, tidak berubah. Kedua tokoh ini dalam sejarah filsafat
menjadi cikal bakal debat metafisika tentang “Pluralisme” dan “Monisme”, dalam
bidang epistemology antara “empirisme” dan “rasionalisme”. Herakleitos mewakili
Pluralisme dan Empirisme, sedangkan Parmenides mewakili Monisme an Rasionalisme.
6) Demokritos
(460-370 SM) Ia dikenal sebagai bapak Atom pertama, karena dialah yang
memperkenalakan konsep atom. Ia menegaskan bahwa relitas terdiri dari banyak
unsur yang disebutnya dengan atom (atomos, dari a= tidak, dan tomos= terbagi). Atom-atom
itu sama sekali tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak terhingga. Pandangannya
merupakan cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi. Pemikiran Demokritos
tentang teori atom ini mengandung sifat-sifat sebagai: konsep materialitis-monistik,
konsep dinamika perkembangan (developmental dynamics), konsep yang bersifat murni
alamiah (pure natural), bersifat kebetulan (by change).
7) Socrates
(470-399 SM) Metode Sokrates dikenal sebagai Maieutike Tekhne (ilmu/seni
kebidanan) yaitu suatu metode dialektika (bercakap-cakap) untuk melahirkan
kebenaran. Disebut demikian karena dialog atau wawancara mempunyai peranan
hakiki dalam filsafat Sokrates. Sokrates sendiri tidak menyampaikan
pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan ia membidani pengetahuan yang
terdapat dalam jiwa orang lain.
8) Plato
(428-348 SM) Plato dikenal sebagai filsuf Dualisme, artinya ia mengakui adanya
dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri yaitu dunia ide dan dunia
bayangan (inderawi). Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi, didalamnya
tidak ada perubahan. Sedangkan dunia bayangan (inderawi) adalah dunia yang
berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indera. Bertitik
tolak dari pandangannya ini, Plato mengajarkan adanya dua bentuk pengenalan. Di
satu pihak ada pengenalan idea-idea yang merupakan pengenalan dalam arti yang sebenarnya.
Pengenalan ini mempunyai sifat-sifat yang sama seperti obyek-obyek yang menjadi
arah pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah. Dipihak lain ada
pengenalan tentang benda-benda jasmani. Pengenalan ini mempunyai sifat-sifat
tidak tetap, selalu.
9) Aristoteles
(384-322 SM) Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari
penyebab-penyebab obyek yang diselidiki. Aristoteles berpendapat bahwa
tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab yang semuanya harus disebut apabila manusia
hendak memahami proses kejadian segala sesuatu yaitu penyebab material
(material cause), penyebab formal (formal cause), penyebab efisien (efisien
cause), dan penyebab final (final cause). Sedangkan ajaran Aristoteles dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bidang yaitu: metafisika, logika dan biologi.
c. Zaman
Pertengahan (Abad 2-14 M) Zaman Pertengahan (middle age) ditandai dengan
tampilnya para theolog dilapangan ilmu pengetahuan, sehingga aktivitas ilmiah
terkait dengan aktivitas keagamaan atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah
diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Filsafat zaman pertengahan biasanya
dipandang terlampau seragam, dan lebih dari itu dipandang seakan-akan tidak
penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya. Filsuf Barat yang cukup terkenal
pada zaman ini adalah Agustinus (354-430) yang pemikirannya cukup dipengaruhi oleh
filsafat Plato dan Thomas Aquinas (1125-1274) yang pemikirannya cukup
dipengaruhi oleh Aristoteles.[20]
Pada zaman ini pula Eropa berada
dalam masa kegelapan (dark age), sedangkan peradaban dunia Islam berada pada
zaman keemasan (golden age). Menurut Ali Kettani (1984: 85 dalam Mustansyir,
2001) ada lima ciri yang menandai kemajuan peradaban Islam pada masa itu yaitu:
(1) universalisme, (2) toleransi, (3) pasar yang bertaraf internasional, (4) penghargaan
terhadap ilmu dan ilmuan, (5) tujuan dan sarana ilmu yang bersifat islami.
Beberapa pemikir Islam yang cukup memberikan
sumbangsih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan diantaranya adalah:
Al-Khawarizmi (825 M) sebagai penyusun aljabar (arithmetics), Omar Khayam (1043-1132)
sebagai seorang penyair, ahli perbintangan dan ahli matematika. Dalam ilmu kedokteran
muncul Al-Razi (850-923), Ibnu Sina (980-1037), Rhazas, Abu’l Qasim, Ibnu Rushd
(1126-1198) dan Al Idris (1100-1166) yang membuat 70 peta kerajaan.
d. Zaman
Renaissance ( Abad 14-17 M) Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan
kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman peralihan
ketika kebudayaan abad Tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman Renaissance adalah manusia
yang merindukan pemikiran bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha
sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan ilahi[21].
Renaissance adalah zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis,
patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada zaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad
pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan yang revolusioner
dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat.
Ilmu pengetahuan yang berkembang
pesat pada zaman ini adalah bidang astronomi, tokoh-tokohnya antara lain adalah[22]:
1) Roger Bacon
(1214-1219)
Ia berpendapat bahwa pengalaman (empirik)
menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan.
2) Copernicus
(1473-1543)
Ia mengajukan pendapat bahwa bumi dan
planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat (heliosentrisme).
3) Tycho Brahe
(1546-1601)
Ia tertarik pada sistem astronomi
baru yang diperkenalkan oleh Copernicus. Ia membuat alat-alat berukuran besar
untuk mengamati benda-benda angkasa secara lebih teliti. Penemuan ini
membuktikan bahwa benda-benda angkasa tidak menempel pada crystalline spheres, melainkan
datang dari tempat yang sebelumnya tidak dapat dilihat untuk kemudian
menghilang lagi.
4) Johannes
Keppler (1571-1630)
Kepler menemukan tiga buah hukum yang
melengkapi penyelidikan Brahe yaitu: (1) bahwa gerak benda angkasa itu ternyata
bukan bergerak mengikuti lintasan circle seperti yang dikemukakan oleh Brahe, namun
gerak itu mengikuti lintasan elips. Orbit semua planet berbentuk elips; (2) dalam
waktu yang sama, garis penghubung antara planet dan matahari selalu melintasi bidang
yang luasnya sama; (3) dalam perhitungan matematik terbukti bahwa bila jarak
rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y, sedangkan waktu untuk
melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q, maka P2: Q2= X3: Y 3.
5) Galileo
Galilei (1546-1642)
Ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah
memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari.
Ia juga menemukan bahwa permukaan bulan sama sekali tidak datar, melainkan
penuh dengan gunung-gunung. Beberapa pokok penemuan Galileo di luar bidang
astronom yang ditulis dalam karyanya yang berjudul De Motu.
d. Zaman Modern (Abad 17-19 M)
Zaman modern ditandai dengan
berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan menurut
Slamet Iman Santoso (1977 dalam Mustansyir, 2001) sebenarnya mempunyai tiga
sumber yaitu:
1) Hubungan
antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dangan negara-negara Perancis. Para
Pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah yang
menyebarkan Ilmu Pengetahuan yang diperolehnya itu dilembaga-lembaga pendidikan
di Perancis.
2) Perang Salib
(1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang
peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang
berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga
mereka menyebarkan pengalaman mereka di negaranya masing-masing.
3) Pada tahun
1453 Istambul jatuh ketangan bangsa Turki, sehingga para pendeta atau sarjana
mengungsi ke Itali atau negara-negara lain. Mereka ini yang menjadi
pionir-pionir bagi perkembangan ilmu di Eropa.
Beberapa aliran filsafat yang cukup mewarnai wacana filsafat pada zaman
ini, secara garis besar dapat dipaparkan untuk memenuhi khasanah pengetahuan
kita, diantaranya adalah:[23]
a) Rasionalisme
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya
adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang
dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai
untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal.
Tokoh-tokoh aliran filsafat rasionalisme adalah Descartes, Spinoza dan Leibniz.
b) Empirisme
Para penganut aliran empirisme dalam berfilsafat bertolak belakang
dengan para penganut aliran rasionalisme. Menurut penganut empirisme metode
ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi apoteriori. Yang
dimaksud dengan metode a posteriori ialah metode yang berdasarkan atas hal-hal
yang datang atau terjadinya atau adanya kemudian. Bagi penganut empirisme sumber
pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman, yang dimaksud pengalaman disini
adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut
pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur
dan mengelolah bahan-bahan atau data yang diperoleh dari pengalaman. Pelopor aliran
filsafat Empirisme ini adalah Francis Bacon, kemudian tokoh-tokoh yang lainnya adalah
Thomas Hobbes, John Locke dan David Hume.
c) Kritisme
Kritisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan
kedua macam unsur dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu
hubungan yang seimbang, yang satu dengan yang lainnya tidak terpisahkan.
Pengetahuan
rasional (analitis a priori) adalah pengetahuan yang bersifat universal, tapi
tidak memberikan informasi baru. Sebaliknya pengetahuan empiris (sintetis a posteriori)
dapat memberikan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal. Tokoh
yang cukup berjasa dalam aliran ini adalah Immanuel Kant.
d) Idealisme
Idealisme berpendiran bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental ataupun
proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Pengetahuan merupakan gambaran
subyektif tentang kenyataan. Pengetahuan tidak menggambarkan kebenaran yang
sesungguhnya atau pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat tentang
hakikat sesuatu yang berada diluar pikiran[24].Tokohnya
adalah Fichte, Scelling dan Hegel.
e) Positivisme
Positivisme menyatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus
digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia pengalaman
tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Sikap
negatif positivisme terhadap kenyataan yang diluar pengalaman telah mempengaruhi
berbagai bentuk pemikiran modern, diantaranya: pragmatisme, instrumentalisme,
naturalisme ilmiah dan behaviorisme.
f) Marxisme
Filsafat Marx adalah perpaduan antara metode dialektika Hegel dan filsafat
Materialisme Feuerbach. Menurut aliran ini filsafat abstrak harus ditinggalkan,
karena teori, interpretasi, spekulasi dan sebagainya tidak menghasilkan
perubahan dalam masyarakat. Tokoh pelopornya adalah Karl Marx yang
menghubungkan antara filsafat dan ekonomi.
6. Zaman Kontemporer (Abad 20 dan seterusnya)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad 20
ini adalah pemikiran tentang bahasa. Pada masa ini tugas filsafat bukanlah membuat
pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus sebagaimana yang diperbuat
para filsuf sebelumnya, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat
ketidakpahaman terhadap bahasa logika.
Perkembangan filsafat abad 20 juga ditandai
olehmunculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran itu
merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada
abad modern seperti: neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme,
neo-positivisme dan sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru
dengan ciri dan corak yang lain sama sekali seperti: fenomenologi,
eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme dan postmodernisme.[25]
Tokoh-tokohnya diantaranya adalah Russell dan
Wittgenstein dengan metode analisa bahasa dengan memilih sikap atau keyakinan ontologis
sebagai alternatif terbaik dalam aktivitas berfilsafat, Edmund Husserl (1859-
1938) selaku pendiri aliran fenomenologi yaitu ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Phainomenon), Jean Paul Sartre
(1905-1980) sebagai salah seorang tokoh eksistensialisme yang membedakan rasio dialektis
dengan rasio analitis, Michel Foucault (1926-1984) sebagai salah satu tokoh
yang cukup berpengaruh pada aliran filsafat strukturalisme yang menyatakan
bahwa kesudahan “manusia” sudah dekat dengan maksud bahwa akan hilang konsep
“manusia” sebagai suatu kategori istimewa dlam pemikiran kita, kemudian tokoh pragmatisme
adalah William James (1842-1910) yang menganggap alirannya sebagai kelanjutan dari
empirisme Inggris akan tetapi bukan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar
atas fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan, kemudian yang terakhir adalah
aliran postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat popular
pada penghujung abad 20, tokohnya adalah Francois Lyotard (1924) yang
menurutnya modernitas ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi
mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos yang
mendasari masyarakat primitif dulu.[26]
BIDANG
GARAPAN FILSAFAT ILMU
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyanggah bagi eksistensi ilmu, yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga bidang garapan filsafat ilmu
tersebut untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dibawah ini:
1. Ontologi Menurut
Koento Wibosono Siswomihardjo[27]
menyatakan bahwa ontogi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak
lepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (being
sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme,
paham dualisme, pluralism dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik
yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai
apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Menurut Christian Wolf bahwa Ontologi merupakan bagian
dari metafisika atau tepatnya adalah metafisika umum yang membicarakan tentang
hal yang “ada” (being). Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas
persoalan tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Klasifikasi
metafisika yang diberikan oleh Wolf adalah sebagai berikut[28]:
a) Metafisika
Umum (Ontologi), yang membicarakan
tentang hal “ada” (being).
b) Metafisika
Khusus:
1) Psikologi:
membicarakan tentang hakikat manusia.
2) Kosmologi:
membicarakan tentang hakikat atau asal usul alam semesta.
3) Theologi:
membicarakan tentang hakikat keberadaan Tuhan.
Pertanyaan Immanuel Kant yang dilontarkan sekitar abad
ke-18 dalam karyanya besarnya “Kritik Atas Rasio” (apakah metafisika mungkin?),
sampai saat ini masih menggelisahkan orang. Kant berpendapat bahwa kalau
definisi tradisonal metafisika yakni sebagai ilmu yang menyelediki tentang
“yang ada sebagai yang ada” tetap dipertahankan, maka metafisika jelas tidak
mungkin. Menurut Kant, hal ini disebabkan proporsi-proporsi metafisika tidak sintetis
a priori dan secara metodologis sulit dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Kant mengatakan
bahwa bagaimana pun juga metafisika tetap mungkin kalau kedudukannya diubah,
misalnya menjadi metafisika ilmu, metafisika moral, metafisika agama, dan lain sebagainya.[29]
Metafisika itu sendiri sebenarnya berusaha memfokuskan
diri pada prinsip dasar yang terletak pada berbagai pertanyaan atau yang diasumsikan
melalui berbagai pendekatan intektual. Setiap prinsip dinamakan “pertama”, sebab
prinsip-prinsip itu tidak dapat dirumuskan kedalam istilah lain atau melalui
hal lain yang mendahuluinya. Sebagai contoh: istilah Prinsip Pertama yang
dipergunakan Aristoteles merupakan penjelasan mengenai alam semesta yakni
“penggerak yang tidak digerakkan”, dikatakan menjadi sebab dari segala gerak
tanpa dirinya digerakkan oleh hal ada yang lain Kebanyakan orang menyangsikan
sifat keilmiahan metafisika ini, karena sedemikian abstraknya obyek yang dipelajari.
2. Epistemologi
Menurut Koento Wibosono Siswomihardjo menyatakan bahwa
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Akal, akal budi, pengalaman, atau
kombinasi antara pengalaman dan akal, intuisi merupakan sarana yang dimaksud
dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme,
empirisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan
berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan kelebihan dan
kelemahan sesuatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan
(ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori
intersubyektif.
Menurut Suriasumantri bahwa masalah dalam kajian filsafati
tersebut adalah epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut sebagai
metode ilmiah. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi
oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan
yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing.
Demikian juga dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana
menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab pemasalahan mengenai dunia empiris
yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam
epistemologi berkisar pada masalah: asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan
akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan keniscayaan,
hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisme universal,
dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru
mengenai dunia. Semua persoalan-persoalan tersebut diatas terkait dengan
pesoalan-persolan penting filsafat lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat
pengalaman dan.
3. Aksiologi Istilah
aksiologi berasal dari kata axios dan logos.
Axios berarti nilai atau sesuatu yang berharga,
sedangkan logos berarti akal. Axiology berarti teori nilai, penyelidikan
mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran
filsafat Yunani, studi tentang nilai ini mengedepankan pemikiran Plato mengenai
idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan summum Bonum (kebaikan tertinggi).
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat
normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita
jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih lanjut beliau katakan bahwa
nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua
non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun
didalam menerapkan ilmu.
Thomas Aquinas membangun pemikiran tentang nilai
dengan mengidentifikasi filsafat Aristoteles tentang nilai tertinggi dengann penyebab
final (causa prima) dalam diri Tuhan sebagai keberadaan kehidupan, keabadian
dan kebaikan tertinggi. Sedangkan Spinoza memandang nilai yang didasarkan pada metafisik,
berbagai nilai diselidi secara terpisah dari ilmu pengetahuan. Runes sendiri menyatakan
bahwa ada empat faktor yang merupakan problem utama dari aksiologi yaitu:[30]
a) Kodrat nilai
berupa problem mengenai: apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan,
kepentingan, preferensi, keinginan rasio murni, pemahaman mengenai kualitas
tersier, pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian, berbagai pengalaman yang
mendorong semangat hidup, relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan
atau konsekuensi yang sungguh-sungguh dapat dijangkau.
b) Jenis-jenis
nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab
(baik barang-barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai
nilai-nilai instrinsik.
c) Kriteria
nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi
dan logika.
d) Status
metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan antara nilai terhadap
fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman, kenyataan terhadap keharusan,
pengalaman manusia tentang nilai pada realitas kebebasan manusia.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan
yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu yaitu diantaranya filsafat ilmu dan
ilmu pengetahuan.
Dengan menunjukan
sketsa umum berbagai gambaran secara garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan
ilmu pengetahuan yang pada giliranya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu,
kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau cara
penulisan karya ilmiah ataupun penelitian. Filsafat ilmu adalah
refleksi yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan imiah
untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang tidak akan pernah habis
dann tidak akan pernah selesai diterangkan.Memahami filsafat ilmu yang oleh
sementara pakar disebut sebagai ilmu tentang pengetahuan menjadikan wawasan
kita semakin luas bahwasanya filsafat, ilmu pengetahuan keberadaan serta perkembanganya
akan saling mempengaruhi. Dan ilmu
itu lahir dari yang namanya sebuah filsafat dan filsafat itu sendiri memberikan
sebuah kontribusi yang sangat banyak bagi ilmu dan teknologi sekarang ini,
sehingga buahnya dapat kita rasakan saat ini.
PUSTAKA
ACUAN
A.
BUKU
Abdul
Haris dan Kivah Aha Putra. 2012. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Amzah.
Amsal Bakhtiar. 2013. filsafat Ilmu.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Arifin
Banasura. 2013. Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Ke
Tanggung Jawab.
Bandung: Alfabeta.
Mudhofir, A. 2001.Pengenalan
Filsafat, dalamFilsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit
LIBERTY.
Mustansyir, R & Munir, M. 2002. Filsafat Ilmu., Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R. 2001. Sejarah
Perkembangan Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat
UGM. Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.
Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat
Ilmu. Yogjakarta: Penerbit
Rake Sarasin.
Siswanto, J. 1998. Sistem-Sistem
Metafisika Baratdari Aristoteles Sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.
Siswomihardjo, K.W. 2001. Ilmu
Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai
Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu,
Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.
B.
INTERNET
“Filsafat Ilmu Sosial”, https://raulchest.wordpress.com/2009/12/18/filsafat-ilmu-sosial/. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 17.00 WIB.
Supriyanto, 2012.
Kontribusi Filsafat
Ilmu Terhadap Perkembangan
Ilmu Pengetahuan”. (Online) https://mencilnet.wordpress.com/2012/03/20/kontribusi-filsafat-ilmu-terhadap-perkembangan-ilmu-pengetahuan/
Wili
Caswili, “Tujuan dan Manfaat
Filsafat Ilmu”, http://wilyhikaru22.blogspot.co.id/2014/07/jurnal-ilmiah-tujuan-dan-manfaat.html. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 17.00 WIB.
[4] https://mencilnet.wordpress.com/2012/03/20/kontribusi-filsafat-ilmu-terhadap-perkembangan-ilmu-pengetahuan/
[5] Siswomihardjo, K.W, Ilmu
Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai
Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta: Penerbit LIBERTY, 2001.
[6] Wili Caswili, “Tujuan
dan Manfaat Filsafat Ilmu”, http://wilyhikaru22.blogspot.co.id/2014/07/jurnal-ilmiah-tujuan-dan-manfaat.html. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul
17.00 WIB.
[8] “Filsafat Ilmu Sosial”,
https://raulchest.wordpress.com/2009/12/18/filsafat-ilmu-sosial/. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul
17.00 WIB.
[9] Arifin Banasura, Filsafat dan
Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Ke Tanggung Jawab,
Alfabeta,
Bandung, 2013, hlm. 87.
[10] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin,
Yogjakarta, 2001
[13] Siswomihardjo, K.W, Ilmu
Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai
Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta: Penerbit LIBERTY, 2001.
[16] Mustansyir, R. 2001. Sejarah
Perkembangan Ilmu, dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM,
Yogyakarta: Penerbit LIBERTY.
[24] Mudhofir, A, Pengenalan Filsafat,
dalamFilsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang
disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Penerbit LIBERTY, Yogyakarta,
2001.
[29] Siswanto, J, Sistem-Sistem
Metafisika Baratdari Aristoteles Sampai Derrida, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar