TEORI
POLIK HIJAU: SEBUAH
LAPORAN
JOHN
BARRY DAN ANDREW DOBSON
Teknologi kriogenis akan sangat tepat
diterapkan guna mendapatkan ‘tidur lelap’ yang dikondisikan, namun masalah
teknis dan etis melarangnya dengan tegas. Setelah itu satu-satunya kontak yang
mereka lakukan dengan dunia luar hanyalah dengan kapal pelayanan dan petugas
yang bertanggung jawab mengurusi sistem penopang kehidupan pulau karang
tersebut secara berkala.
Mereka hanya diminta mencatat
peruhahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka dan mencoba menyesuaikan,
secara umum, dengan kecepatan perubahan. Secara umum, kesimpulan yang dicapai
pada akhir eksperimen penghentian waktu itu menenangkan dan membangkitkan
harapan. Subjek eksperimen terbukti mampu mencema peruhahan-perubahan yang
telah terjadi di bidang aktivitas dan pekerjaan mereka selama isolasi
berlangsung, bahkan di bidang yang mengalami perubahan amat sangat pesat,
seperti teknologi informasi dan sereal untuk sarapan. Namun, melalui jalan yang
panjang dan berputar-putar, penjelasan lengkap dan salah satu subjek eksperimen
telah sampai ke tangan kami.
Subjek yang dibicarakan ini adalah
seorang teoretikus politik normatif, la terkenal di kalangan kolega dan
rekan-rekan sezamannya pada awal 1980-an sebagai peneliti yang mendalami ragam
luas topik dalam subdisiplin yang digelutinya kualitas-kualitas itulah yang
mendorong TLS untuk memilihnya sebagai wakil bidang aktivitasnya dalam eksperimen penghentian waktu ini. Bagian dan
laporan yang menjadi perhatian kami di sini ialah bagian yang membicarakan hal
yang oleh subjek (sebut saja namanya ‘Z’) secara bergantian disebut sebagai
teori politik ‘hijau’, ‘lingkungan’, atau ‘ekologis’.
Apa saja yang sudah terjadi selama ini?
Teori politik hijau sebenamya meminta kita menjungkirbalikkan anggapan yang telanjur
beredar ini.
BATAS-BATAS
PERTUMBUHAN
Samar-samar saya teringat argumen
tentang batas-batas terhadap pertumbuhan itu berkarakter ‘malapetaka dan
kegelapan’ serta bencana lingkungan’, yang melengkapi maraknya film-film
tentang pasca kehancuran dunia yang banyak beredar pada 1970-an, berbarengan
dengan kekurangan minyak pada 1972. Namun, ekologisme lebih sering disajikan
secara politis dan analitis sebagai ideologi progresif, ahli waris tradisi
Pencerahan, persamaan (equality),
yang berhubungan erat dengan ‘gerakan-gerakan sosial baru’ (satu lagi kategori
yang harus saya pelajari sejak pulang dan Pasifik) (lihat Bab 20) dan sejalan
dengan (kadang-kadang seperti persaingan antar saudara dengan) partai buruh dan
sosial demokratis Iainnya. Tampaknya, batas-batas terhadap pertumbuhan sebagian
merupakan ulasan deskriptif tentang hubungan metabolistis antara manusia dan
lingkungannya, dilihat dalam hubungannya dengan kapasitas lingkungan untuk
menyediakan jasa-jasa bagi produksi dan reproduksi kehidupan manusia.
Persediaan dan aliran jasa-jasa inilah yang menjadi konteks bagi segala proyek
manusia. Ideologi-ideologi lain di dalam buku-buku teks di rak saya sepanjang
1983-2003 tak satu pun yang membicarakannya. ‘Persediaan’ merujuk kepada
sumber-sumber daya seperti batu bara, yang sesungguhnya terbatas jumlahnya, dan
‘aliran’ mengacu kepada sumber-sumber daya yang secara teori dapat dibarui,
seperti ikan dan tenaga matahari, serta kapasitas sistem-sistem bumi untuk
menyerap limbah dan polusi. Sumber daya persediaan berkurang karena diambil dan
diubah menjadi bahan-bahan yang berguna bagi reproduksi kehidupan manusia.
Sumber daya persediaan dihabiskan
seolah-olah tidak ada batasnya, dan tak ada upaya yang dilakukan untuk
mencarikan pengganti yang memungkinkan jasa-jasa yang diberikan sumber-sumber
daya itu berkelanjutan. Ekologisme tampil sebagai sesuatu yang lain daripada
yang lain di antara ideologi-ideologi politik modem dengan menunjuk konteks
metabolistis ini sebagai proyek politik, dan dengan sadar diri mengkritik
ideologi-ideologi lain karena tidak berbuat serupa.
Ada pencela yang menyatakan bahwa
kesimpulan-kesimpulan tesis itu didasari model yang amat rapuh. Bagaimana
mungkin orang bisa dengan akurat membuat model ragam input dan output kompleks
yang begitu luas, sambil secara bersamaan memperhitungkan secara lengkap dan
tepat variabel-variabel yang merupakan jaring penyusun hubungan metabolistis
individu dan masyarakat dengan lingkungan mereka? Yang lain terfokus pada
variabel-variabel itu sendiri. Tentu tidak semua orang patut disalahkan secara
sama atas terlampauinya batas-batas yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan
yang terbatas, maka, saya jadi bertanya-tanya, sampai sejauh mana hal yang
tampaknya kurang memiliki analisis kekuasaan ini dapat disebut sebagai politik?
Kategori moral dan politis masyarakat
miskin yang menebangi hutan untuk bertahan hidup lain dengan kerusakan
lingkungan yang disebahkan gaya-gaya hidup konsumen mewah yang membutuhkan
banyak sekali energi dan sumber daya. Manusia mengubah rupa alam sebagaimana
alam pun mengubah rupa manusia, dan ini artinya batas-batas adalah suatu fungsi
dalam hubungan metabolistis yang dimiliki manusia-manusia dengan alam, bukan
kumpulan yang sudah lebih dahulu ditetapkan dengan cara tertentu. Namun, inikah
yang mematikan argumen hijau? Telah saya temukan bukti yang mengesankan bahwa
partai-partai politik baik kanan maupun kiri atau ideologi-ideologi yang
menjadi sumber ilham partai-partai tersebut menganggapnya sebagai pesan yang
layak untuk disimak.
STATUS
ETIS DUNIA NONMANUSIA
Saya mulai memandang alasan ‘batas-batas
terhadap pertumbuhan untuk kepedulian terhadap lingkungan itu sebagai respons
‘pragmatis’ terhadap kemunduran yang teramati pada lingkungan. Namun, alasan
yang harus diberikan ekologisme belum tercakup di dalamnya. Saya terusik oleh
bagaimana ekologisme menjadi bagian dan suatu remoralisasi politik yang lebih
luas, yang menetapkan bahwa orang bertindak benar karena itulah tindakan benar
untuk dilakukan dalam arti moral, bukan dikarenakan insentif uang atau kumpulan
alasan cermat lainnya. Dalam konteks ini, teguran menarik dalam bentuknya yang
paling umum dilancarkan beberapa ekologiman politis bahwa dunia alam nonmanusia
memiliki status moral. Perlu waktu bagi saya untuk mencerna makna dan implikasi
dan kesan tersebut.
Jika monyet rhesus benar-benar ‘serupa’
dengan manusia, maka, bukankah kita seharusnya menolak bereksperimentasi
dengannya karena alasan yang sama kita menolak bereksperimntisi dengan manusia?
Mereka mengklaim, lebih banyak yang dapat mereka pelajari dari binatang yang
secara fisiologis serupa dengan manusia daripada dari binatang yang secara
fisiokologis tidak mirip secara ilmiah hal ini memang masuk akal, tetapi,
pertanyaan pertama dalam surat itu. Juga mengandung efek moral. Ciri-ciri khas
yang menjadikan monyet rhesus begitu ideal sebagai subjek farmakologi yaitu,
kemiripannya dengan Spesies manusia adalah ciri khas yang sama yang
mengingatkan larangan moral terhadap eksperimentasi.
Penulis surat itu menerangkan, jika hal
ini berlaku untuk manusia, tentu harus berlaku pula untuk makhluk-makhluk lain
yang serupa dalam hal-hal yang relevan dengan manusia. Ada frasa yang selalu
bergema di sepanjang teori politik hijau: ‘serupa dalam hal-hal yang relevan’.
Berliter-liter tinta hijau telah dituangkan dalam debat tentang apa yang
dimaksud dengan ‘hal-hal relevan’ itu, pada khususnya. Apa tepatnya ‘faktor X’
yang menyebabkan ketertimbangan moral itu?
Jika faktor X itu adalah nalar dan/atau
komunikasi verbal, maka lingkaran moral yang istimewa itu hanya terbatas pada
manusia, atau setidaknya terbatas; pada mereka yang bisa berpikir dan/atau
berbicara. Dan tiap-tiap sudut pandang moral atau kecermatan ekologisme
memolitikkan lingkungan dengan mengungkapkan persoalan tentang penggunaan dan
penyalahgunaan lingkungan sebagai suatu persoalan politis. Saya akan
membahasnya lagi nanti, tetapi ada satu lagi aspek menarik dan pertanyaan
tentang motivasi (Mengapa melindungi lingkungan?’) yang harus saya laporkan.
Ada ketidakpuasan yang nyata kepada argumen yang berbelit-belit dan tidak
meyakinkan dalam arti politis, yang timbul karena debat ‘serupa dalam hal-hal
yang relevan’ tadi. Saya tergoda untuk membicarakan sebuah argumen yang dapat
menyelesaikan masalah rumit itu dengan memolitikkan Iingkungan secara tidak
langsung.
GENERASI
MASA DEPAN DAN LINGKUNGAN
Caranya dengan memperluas komunitas
politik ke arab yang berbeda tetapi, lagi-lagi sangat lain dengan segala hal
yang saya temukan dalam buku teks ideologi-ideologi politik. Sebelum masa
pengasingan di Pasifik, saya terbiasa berpikir tentang politik progresif
sebagai pengakuan akan klaim-klaim politis dan banyak sekali kelompok sosial
yang sebelumnya terpinggirkan. Yang paling jelas, contoh, perempuan kini diakui
dengan cara yang tak terbayangkan pada 100 tahun yang lampau. Bukan hanya jenis
sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup secara fisiologis, tetapi juga
jenis sumber daya yang dibutuhkan untuk memahami segala jenis rencana
kehidupan. Artinya, inilah lingkungan yang dipahami sebagai ‘perkataan dan
perbuatan yang membentuk dan melaksanakan berbagai rencana kehidupan.
Kini pikirkanlan semua ini dalam
hubungannya dengan keadilan. Bagaimanakah cara terjujur untuk mendistribusikan
hal (lingkungan) yang merupakan ragam opsi untuk rencana kehidupan ini? Dan
yang sangat penting bagi ekologisme, siapakah yang seharusnya diakui sebagai
penerima sah manfaat-manfaat distribusi ini? Bagi ekologisme, dalam keadilan
tidak ada alasan generasi manusia sekarang berhak mencabut hak generasi masa
depan untuk ‘berkata dan berbuat’ guna dan sebagai pangkal untuk memahami dan
melaksanakan rencana-rencana kehidupan.
Tidak sulit untuk memahami bahwa semua
ini sesungguhnya sama dengan melindungi lingkungan dengan cara tidak langsung.
Kajian-kajian politis ekologis yang saya lakukan telah mendorong saya untuk
percaya bahwa salah satu kerugian politis terbesar yang diderita ekologisme
ialah tertundanya ketidakpercayaan yang dibutuhkan saat Anda mendarat pada
sebagian partainya yang paling liar. Keadilan juga terkait dengan wacana hak,
yang merupakan tata bahasa normatif etis dan politis dominan di dalam teori dan
praktik liberal modern. Saya akan kembali ke isu generasi masa depan ini nanti.
Berdasarkan telaah ini, saya menyadari
bahwa ekologisme adalah ideologi yang keluar dan buku-buku teks
ideologi-ideologi dan masuk wilayah teori politik yang lebih luas. Saya sampai
pada pikiran bahwa cara terbaik untuk menggambarkan ekologisme dengan tepat
ialah dengan menganggapnya sedang mengungkapkan suatu tujuan politis yang kita
sebut keterpeliharaan (sustainability)’. Dan apakah sebenarya X itu?
Bentuk pertanyaan ini adalah bentuk yang
sudah diakrabi oleh para teoretikus politis. Sejarah teori politik sendiri bisa
dilihat dalam hubungannya dengan argumen prioritas dan argumen kesesuaian
antara kemerdekaan dan kesamaan, demokrasi dan perintah, keadilan dan
kemerdekaan, dan seterusnya. Pembacaan saya tentang hal yang terjadi dalam
lebih dari 20 tahun terakhir masa pengasingan saya dari perkembangan teori
politik ialah bahwa ekologisme telah menambah satu lagi tujuan politis pada
daftar pesaing.
Seakan-akan yang dinamakan ‘teoritikus
hijau’ itu bekerja melalul daftar desideratum politis dan memahami hubungan
antara desideratum itu dan keterpeliharaan dalam suatu pengertian normatif.
Peralihan dan ideologi ke teori ini tampaknya juga berakibat keluarnya teori
politik hijau dan sesuatu yang pada masa awalnya dianggap sebagai ghetto.
Pembacaan saya mengenai kepustakaan etis Iingkungan, misalnya, mengungkapkan
mengecilnya lingkaran setan debat yang relevansi politis dan ukurannya semakin
berkurang (antara ekosentrisme dan antroposentrisme, ekologi dalam dan dangkal,
hijau muda dan hijau tua) yang pasti menjadi kecemburuan para teologiman abad
pertengahan yang selalu berupaya memikirkan bagaimana caranya agar banyak
malaikat bisa pas pada satu lencana yang bulat kecil. Di lain pihak pergerakan
ke luar yang terjadi karena debat seputar konflik dan kesesuaian antara
keterpeliharaan dan tujuan-tujuan politis Iainnya, telah menarik para
teoretikus arus utama ke dalam debat teori politik hijau. Dan sudut pandang
saya yang 20 tahun absen dan teori politik, saya nilai hal ini baik untuk kedua
belah pihak.
Salah satu cara untuk mencari jawabannya
ialah dengan memikirkan politik hijau dalam hubungannya dengan wacana
utopianisme. Hai ini berbeda dengan rumus-rumus konservatif yang cenderung
melukis suatu gambaran idealis tentang suatu momen berharga di masa lampau yang
Kaum Konservatif ingin melìhatnya pulih di masa sekarang biasanya disertai
dengan pandangan negatif/realistis tentang kodrat manusia yang menetapkan
batas-batas jelas terhadap perubahan politik. Menurut saya, ekologisme berada
di antara kedua pandangan itu. Ekologisme memiliki pandangan progresif yang
sama bahwa hal yang biasa, disebut sebagai ‘kodrat manusia’ itu mudah
dipengaruhi, jadi kita tidak dituduh ‘egois’ atau perilaku tertentu lainnya,
tetapi ekologisme juga tunduk kepada pikiran-pikiran konservatif dengan
mengatakan bahwa kondisi manusialah yang menetapkan batas-batas pada proyek
kita. Perbedaan antara kodrat manusia dan kondisi manusia ini memungkinkan
ekologisme mengklaim elastisitas bagi kodrat manusia dan suatu kadar kekakuan
bagi kondisi manusia. Hasilnya ialah semacam politik progresif yang unsur
utopisnya dengan tegas mengakui batas-batas, yang merupakan aspek lain dan
ideologi ekologisme tersebut.
SAINS,
TEKNOLOGI, DAN KERENTANAN
Gagasan tentang batas-batas itu sangat
penting dalam ekologisme, dan peran sains dalam mengidentifikasi batas-batas
tersebut memberinya tempat tersendiri di dalam ekologisme. Tak seperti semua
ideologi dan teori politik lain yang saya kenal (dengan pengecualian upaya
lemah untuk mengembangkan ‘Marxisme ilmiah’), ekologisme benar-benar
berdasarkan sains.
Jadi, sains memilikì peran vital dalam
ekologisime dengan melengkapinya dengan ‘fakta-fakta dan ‘masalah-masalah’ yang
berhubungan dengan ketergantungan metabolis kita terhadap dunia non manusia dan
sistem-sistem alaminya. Meski demikian, pembacaan saya akan kepustakaan hijau
mengesankan bahwa hubungan positif dengan sains dan sikap positif terhadapnya
bukan merupakan sesuatu yang dimiliki dalam arti universal. Bagi sebagian
ekologiman politis, sains (dan perkembangan dan inovasi teknologis) adalah
bagian utama dan penyebab kerusakan lingkungan, artinya, sains adalah bagian
dan masalah, bukan bagian dan solusi.
Pandangan-pandangan seperti itu menunjuk
perkembangan ilmiah dan perkembangan teknologis seperti tenaga nuklir, mesin
pembakaran intemal, bioteknologi, dan pada umumnya pemanfaatan ‘sains dan
teknologi guna menghasilkan cara-cara yang semakin hakiki untuk menghabiskan
sumber-sumber daya planet ini sebagai bukti argumen untuk menentang sains.
Begitu pula, argumen yang kuat di dalam
teori politik hijau berhubungan dengan mentalitas ‘tekno-perbaikan’ dalam
industrialisme. Perspektif tekno-perbaikan memasukkan gagasan bahwa untuk
menemukan solusi untuk masalah ekologis, tidak diperlukan perubahan besar pada
sistem ekonomis dan politis sekarang atau pola-pola konsumsi dan produksi.
Luddite penentang teknologi’ (Holmes,
1993: 122-41) atau ideologi konservatif, berpandangan ke belakang,. dan
antimodernis (Giddens,1999c: 94-104), yang mencoba kembali ke semacam ‘Masa
Keemasan ekologis’, yana penting ekologisme politis tidak menolak sains dan
teknologi. Ekologisme menerima sains dan teknologi, tetapi dengan menginsafi
bahwa sains dan teknologi adalah instrumen politis dalam arti intrinsik, bukan
instrumen ‘netral’, bahwa sains dan teknologi memiliki implikasi-implikasi
etis, tetapi akan (bila sesuai) menjadi bagian dan solusi untuk banyak masalah
ekologis. Dalam hal ini, ekologisme benar-benar di dalam alih-alih di luar
Pencerahan dan modernitas, meski memiliki kesamaan dengan perspektif-perspektif
politis lainnya seperti sosialisme dan feminisme dalam hal status ‘orang dalam
kritis’.
Di dunia yang sedang mengglobal dan
semakin dikendalikan secara teknologis. Menanggapi batas-batas terhadap
pengetahuan manusia, batas-batas terhadap pertumbuhan, ketertimbangan etis
dunia nonmanusia, dan saling ketergantungan antara dunia manusia dan dunia
nonmanusia, Kaum hijau berbicara tentang kehati-hatian, kecermatan, dan
kepedulian. Signifikansi prinsip pencegahan yang semakin besar (dalam arti
etis, politis, ekonomis, dan epistemologis) di dalam teori politik hijau
menjadi buktinya (O’Riordan dan Jordan, 1995: 0’ Riordan, Cameron, dan Jordan,
2001). Dalam konteks ketidaktahuan yang tak berkurang (Faber, Manstetten, dan
Proops, 1992) dan kompleksitas metabolisme antara manusia dan dunia nonmanusia,
menurut Kaum hijau, kita ini nekat buru-buru berlari dengan perubahan-perubahan
berskala besar dan tak dapat dibatalkan terhadap dunia alam, yang pengaruhnya
dalam jangka panjang tidak kita pahami Perspektif hijau tersebut tercakup
dengan baik sekali dalam pandangan Aquinas bahwa ‘Kuda yang buta lebih baik
berjalan pelan-pelan’.
KETERPELIHARAAN,
DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIAL
Hal ini karena, pertama, demokrasi perlu
waktu, dan waktu sama langkanya dengan sumber daya minyak bagi para pendukung
batas-batas terhadap pertumbuhan. Bagaimana jika mereka tak ingin melakukan
perubahan yang diperlukan untuk menjalani hidup yang terpelihara? Mungkin
inilah penyebab hubungan antara demokrasi dan keterpeliharaan dipelajari dengan
begitu lengkap (Doherty dan dc Geus; 1996; Lafferty dan Meadowcroft, 1996;
Matthews, 1996). Sebagai suatu tujuan, keterpeliharaan memiliki sujumlah ciri
umum yang menjadikannya ‘bidang uji’ untuk sesuai tidaknya tujuan-tujuan
politis seperti ini dengan demokrasi. Bentuk tak tentu yang dimiliki keterpeliharaan,
misalnya. Argumen ‘batas-batas’ untuk mendukung solusi-solusi paksa bagi
ketidakterpeliharaan agaknya tergantung pada adanya jawaban yang tentu untuk
pertanyaan “Apa yang harus dilakukan?” Suatu ambang batas menunjuk titik yang
setelah dilewati, gangguan lebih lanjut terhadap suatu proses alami atau
eksploitasi lebih jauh terhadap suatu sumber daya alam akan berakhir
dengan Pendapat ini mungkin jelas secara
ilmiah, tetapi kita hanya perlu mengajukan pertanyaan ‘Tidak terpelihara untuk
siapa dan untuk apa?’ kepada diri kita sendiri untuk memahami bahwa kendati
sains mampu menyediakan informasj bagi kita untuk mendasari suatu keputusan,
tidak mungkin kita mengharapkan komputer mengolahkan sebuah jawaban yang
lengkap bagi kita.
Dua contoh Pertama, benarkah kita
menganggap generasi manusia masa depan sebagai jawaban sah untuk pertanyaan
‘Untuk siapa? Manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan
diri dan sudah terbukti mahir mengisi ceruk-ceruk ekologis (ecological niches)
yang sangat tidak cocok baginya. Kita adalah spesien yang tidak dapat
dikhususkan oleh alam dalam banyak hal, seakan-akan, seluruh planet ini menjadi
‘ceruk ekologis’ kita.
Kita mengetahui apa keterpeliharaan itu
dalam pengertian sementara atau terbatas, dengan memperdebatkannya dan
membolehkan banyak perspektif dan pendapat untuk didengar. Dan kali ini,
tampaknya epistemologi dan pragmatisme politik terjadi bersamaan dengan
leluasa. Dari sudut pandang epistemologis, jika ‘kebenaran’ tentang
keterpeliharaan memang ada, maka kemungkinan besar hal itu akan muncul dari
percakapan demokratis yang luwes, bukan dan deliberasi-deliberasi suatu
komunitas “pakar” yang tertutup dan epistemis. Dan dari sudut pandang
pragmatis, ukuran untuk keterpeliharaan lebih mungkin didukung dan disetujui
oleh masyarakat jika masyarakat sudah memperoleh kesempatan untuk memutuskan
dan merancang ukuran tersebut daripada jika tidak memilikinya. Sudut pandang
yang kedua ini penting terutama dalam berhubungan dengan memastikan legitimasi
rakyat untuk kebijakan-kebijakan keterpeliharaan yang memerlukan perubahan
dalam gaya hidup banyak orang terutama di negara-negara ‘maju’.
Terutama jika definisi dan legitimasi
itu sementara sifatnya. Namun, demokrasi tak dapat menjamin hasil yang
terpelihara. Keterlibatan hijau dengan demokrasi semakin memperjelas fakta
bahwa bentuk prosedural demokrasi berarti bahwa demokrasi tidak dapat
diharapkan untuk memberikan hasil yang khusus. Inilah pelajaran yang pantas
diketahui, diakui, dan diterapkan dalam konteks-konteks lain, dan pelajaran ini
memunculkan beberapa pertanyaan yang menarik dan lebih luas mengenai
keputusan-keputusan yang ‘dihasilkan’ oleh demokrasi.
Gagasan bahwa suatu demokrasi mungkin
memerlukan serangkaian keputusan yang membuahkan kebijakan-kebijakan yang tak
terpelihara secara sistematis sehingga melemahkan kondisi-kondisi untuk
keberadaannya sendiri, secara struktural serupa dengan pemilihan demokratis
yang menghasilkan suatu pemerintah yang memutuskan untuk mengakhiri proses
demokratis.
Kewarganegaraan ‘hijau’ atau ‘ekologis’
menuntut agar kita memikirkan kewarganegaraan dengan cara-cara yang agak baru.
Pertama, kita harus memikirkan hak dan kewajiban kewarganegaraan yang ada di
luar konteks kewarganegaraan negara-bangsa yang biasa. Ada orang-orang yang
akan mengatakan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan, bahwa sesuai definisinya
kewarganegaraan berhubungan dengan hak dan tanggung jawab individu dalam
berhubungan dengan negara-negara tempat mereka menjadi warganya. Saya melihat
di sini sedang berkembang suatu debat menarik antara pendukung yang disebut
kewargancgaraan kosmopolitan (misalnya, Linklater, 1998) dan lawan ekologis
mereka lebih lanjut lihat Bab 15, 19, dan 22). Kedua, hak dan kewajiban
warganegara dalam konsepsi tradisional biasanya dianggap timbal balik, tetapi
apa artinya hal ini dalam konteks global saat kerusakan ekologis ditimpakan
secara asimetris? Kewarganegaraan ekologis mengesankan bahwa kendati tugas saya
untuk mengurangi kerusakan, sebagai penyebab kerusakan, timbul dan hak timbal
balik orang-orang yang menjadi penerima lingkungan yang enak ditinggali, mereka
tidak punya kewajiban timbal balik dan sepadan terhadap saya. Ketiga, agaknya
kewarganegaraan ekologis menghidupkan kembaii gagasan kebajikan cukup lama
absen dari pembicaraan kewarganegaraan sejak masa jaya republikanisme
warganegara (lebih lanjut lihat Bab 13).
Isu demokrasi utama lainnya yang muncul
dari debat keterpeliharaan ialah isu representasi. Setidaknya ada tiga tipe
konstituensi dalam konteks hijau yang tidak lazim bagi teori dan praktik
demokratis hubungan dengan perbatasan ruang, waktu, dan hambatan spesies.
Pertama, kita tahu bahwa masalah lingkungan seperti pencemaran tidak dapat
dibatasi pada satu negara, jadi keputusan terkait suatu dimensi lingkungan buatan
negara tertentu mungkin bahkan mungkin sekali memengaruhi orang-orang di negara
lain. Apakah orang orang ini berhak diwakill secara demokratis berdasarkan
sesuatu seperti prinsip kepentingan yang terpengaruh’? Kedua, bahasan di atas
menunjukkan bahwa generasi manusia masa depan merupakan bagìan utama dalam
persamaan keterpeliharaan. Mereka jelas-jelas belum ada (dan tidak mungkin
pernah ada) secara aktual saat keputusan kelingkunganan dibuat, tetapi haruskah
mereka ‘hadir’ dengan cara diwakili untuk alasan demokratis? Representasi dalam
teori demokratis selalu berkenaan dengan menjadikan yang absen itu hadir, jadi
jika ada keberatan terhadap gagasan mewakili generasi masa depan secara
demokratis, hal ini mungkin karena alasan praktis, bukan alasan normatif.
Terakhir, kita lihat tadi bahwa perkembangan salah satu aspek agenda normatif
hijau berpusat pada memperluas komunitas moral dan barangkali komunitas politis
untuk mencakup (suatu) spesies di luar spesies manusia. Kepentingan
spesies-spesies lain jelas dipengaruhi oleh tindakan manusia, jadi haruskah
kepentingan-kepentingan tersebut diwakili dengan suatu cara dalam proses
demokratis?
Maka, debat ekologisme demokratis
menjadi menarik karena alasan-alasan yang internal bagi politik hijau, tetapi
pada umumnya teoretikus hijau punya alasan untuk juga memikirkan implikasi
problematika lingkungan terhadap teori dan praktik demokratis, Hal yang sama
berlaku untuk keadilan sosial (lebih lanjut lihat Bab 17). Seperti kita tahu,
keadilan sosial berhubungan dengan distribusi jujur beban dan manfaat di
masyarakat. Pertama, ada pertanyaan tentang dapat dan haruskah ‘lingkungan’
diperhatikan sehubungan dengan ‘beban dan manfaat. Tidak ada teori keadilan
yang menjadikannya persoalan utama, tetapi bentuk bersyarat pada ‘lingkungan’
untuk menjalani hidup-hidup yang bermakna akan menyatakan bahwa hal itu sudah
seharusnya. Fakta bahwa lingkungan telah diabaikan sebagai aspek potensial bagi
teori-teori keadilan sangat signifikan bagi banyak teori politik yang tak
teraba dan tak terlekat. Meski signifikan, terasa aneh mengakui bahwa hal yang
sama sekali memungkinkan keadilan sosial, sebagai teori dan sebagai praktik,
tidak punya tempat dalam kajian-kajian teoretikus keadilan sosial. Bahkan,
inilah sebagian dan signifikansi teori politik hijau, bahwa kecaman ini dapat
dterapkan bagi teori politik pada umumnya (Baxter, 1996).
Calon yang biasa ialah kesamaan,
kegunaan, dan hak sejarah. Harus diingat bahwa Walzer menolak pandangan standar
bahwa suatu metrik distribusi universal dapat diterapkan untuk semua kebaikan
dan keburukan yang dapat didistribusikan. la mengatakan bahwa kebaikan dan
keburukan (atau ‘ranah-ranah’) memiliki prinsip distribusi yang ‘melekat’ pada
kebaikan dan keburukan itu. Hal ini mirip tantangan kepada mereka yang percaya
harus diberlakukan suatu metrik yang lebih universal seperti kegunaan,
misalnya. Walzer memberikan pandangan alternatif untuk itu, dan ‘lingkungan’
merupakan kejadian pembuktian (test case)
untuk pandangan alternatif tersebut.
Hal ini berlaku juga untuk dimensi lain
dalam teori keadilan sosial dimensi yang menyangkut ‘komunitas keadilan’ atau
isu tentang siapa yang pantas dianggap sebagai bakal penerima keadilan. Inilah
salah satu ukuran sifat teori politik hijau yang mendesak perbatasan: bahwa teori
politik hijau juga menimbulkan pertanyaan yang tak biasa, yaitu, apakah makhluk
selain manusia bisa dianggap sebagai penerima keadilan (Dobson, 1998; Low dan
Gleeson, 1998).
Bentuk umum pertanyaan ini lazim bagi
kita dalam konteks kebijakan pajak redistributif, misalnya, berapa besar yang
sah untuk diminta dan oranig-orang yang harus berkorban demi berlaku adil bagi
orang-orang yang tidak harus berkorban? Dalam ‘konteks antar generasi,
pertanyaan ini menjadi berapa besar generasi sekarang diminta berkorban demi
mewariskan kesempatan (dalam hal Iingkungan) bagi generasi masa depan untuk
menjalani hidup yang lengkap dan bermakna. Sungguh misteri penyebab
pertanyaan-pentanyaan seperti ini belum pernah dibicarakan dalam Teori keadilan
sosial, dan kepajanan (exposure) saya
kepada debat keadilan/lingkungan yang terjadi sementara saya dalam pengasingan
telah membimbing saya kepada kesimpulan bahwa pekerjaan teoretikus- teoretikus
keadilan sosial tidak akan selesai dengan baik jika mereka tidak
memperhitungkan benar-benar kecaman bahwa keanggotaan pada kumunitas keadilan
adalah hal terpenting yang harus didistribusikan dan bahwa komunitas ini
mungkin sekali mencakup generasi-generasi manusia yang belum dilahirkan (juga
nonmanusia dan nonkebangsaan).
KESIMPULAN
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat
untuk dijalani. Saya tidak tahu apa yang akan saya harapkan bila pulang dan
bertemu keluarga, tetapi tentunya saya punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Pikiran yang selalu berulang ialah bahwa pulang akan seperti terlahir kembali,
dalam arti bahwa sudah terjadi perubahan-perubahan yang saya tak pernah
memiliki kontrol atasnya dan tak pemah memiliki masukan untuknya. Saya cemas
karena banyak keputusan akan dibuat tanpa memperhitungkan kebutuhan dan
keinginan potensial manusia 20 tahun dan sekarang maksudnya, saya ketika
kembali dari Pasifik. Bayangkanlah kekagetan saya ketika mendapati ‘kecemasan’
ini telah menjadi perhatian utama dalam cabang baru teori politik yang telah
berkembang selama kepergian saya teori politik hijau. Selama enak-enak duduk
diam dalam isolasi di pulau Pasifik, jelas saya menjadi anggota komunitas
politik global, tetapi ketidakhadiran aktual saya berarti bahwa saya tidak
punya peran di dalamnya, padahal keputusan-keputusan yang diambil di dalam
komunitas politik global tersebut selalu memengaruhi kepentingan saya.
Maka, teori politik hijau menantang kita
untuk meluaskan komunitas politik tersebut dan menghadapi implikasi dan
membayangkan kepentingan generasi masa depan sebagai kepentingan kita sendini,
setidaknya sebagai langkah pertama. Hubungan saya dengan sekitar saya juga
mengalami perubahan yang lebih halus. Hidup bersama flora dan fauna itu serta
mengamati ritme dan irama mereka yang langka menjadi sumber sukacita luar biasa
bagi saya dan beberapa rekan dalam eksperimen tersebut. Pulau itu ada untuk
diperlakukan sesuai kehendak saya; segala sesuatu di atasnya berada dalam belas
kasihan dan kedermawanan saya. Hal terakhir yang saya lihat sebelum naik kapal
yang akan membawa saya pulang ialah sebuah sarang berisi sebutir telur milik
pasangan burung yang kami yakini adalah pasangan burung terakhir dan jenis yang
hanya dikenal dipulau itu. Sesaat terpikir oleh saya untuk mengambil telur itu
sebagai kenang-kenangan masa 20 tahun isolasi saya dari dunia ini kemudian,
saya menyadari kejernihan yang nyata bahwa perbuatan itu keliru, bukan karena
alasan yang berhubungan dengan manusia (tak satupun yang tertinggal saat itu),
tetapi sederhana saja, karena mungkin itulah telur terakhir yang tersisa.
Tak pernah saya sangka bahwa pengalaman
itu telah menjelma menjadi aspek utama pada suatu ‘politik baru’ selama masa
kepergian saya, bahkan memolitikkan dan memoralisasikan hubungan kita dengan
dunia alam nonmanusia sudah menjadi tema utama yang selalu berutang dalam teori
pohitik hijau. Saya sendiri bukan teoretikus politik hijau, tetapi saya
benar-benar meyakini bahwa masa depan teori politik seharusnya mengandung dan
akan diperkaya dengan keterlibatan sistematis dengan tema dan tantangan teori
politik hijau. Seperti subjek umum teori politik hijau hubungan bersegi banyak,
baik fisik/metabolis dan etis politis, antara manusia dan dunia nonmanusia ada
beberapa isu yang belum tersentuh oleh teori tersebut. Mengingat kisaran
problem dan isu yang kita hadapi di abad kedua puluh satu (konsekuensi keadilan
sosial dan konsekuensi demokratis dari globalisasi yang dipimpin korporasi,
bioteknologi, dan penerapan komersial pengetahuan genetis; kekurangan energi
dan sumber daya; serta konflik-konflik berdasarkan kelangkaan sumber daya,
kemiskinan dunia, dan ketidaksetaraan global), jelas sudah bahwa teori politik
hijau akan terus berkembang sebagai aspek utama teori politik yang menolong
kita untuk memahami dengan tajam semua perkembangan ini dan menawarkan
alternatif untuknya.
CATATAN
Dalam teori politik hijau (dan gerakan
lingkungan yang lebih luas), isu tentang status etis dunia nonmanusia ini (atau
bagian-bagiannya) serta bobot yang dilekatkan pada status/nilai ini telah
memicu debat antara mazhab pemikiran ‘ekosentris’ dan mazhab pemikiran
‘antroposentris’ (Dobson, 2001; J. Barry, 2001).
Dewasa ini teori politik hijau juga
bertujuan memeriksa ketentuan dan sarana hukum dan konstitusional untuk
mewakili konstituensi-konstituensi ini dan memelihara perlindungan lingkungan.
Maksudnya, dalam argument ini tidak ada alasan yang baik untuk mendukung
perusakan kejam terhadap dunia nonmanusia. Untuk penjelasan tajam mengenai hal
ini.
0 komentar:
Posting Komentar