Kamis, 18 Mei 2017

Resume Teori Politik Hijau



TEORI POLIK HIJAU: SEBUAH
LAPORAN
JOHN BARRY DAN ANDREW DOBSON

Teknologi kriogenis akan sangat tepat diterapkan guna mendapatkan ‘tidur lelap’ yang dikondisikan, namun masalah teknis dan etis melarangnya dengan tegas. Setelah itu satu-satunya kontak yang mereka lakukan dengan dunia luar hanyalah dengan kapal pelayanan dan petugas yang bertanggung jawab mengurusi sistem penopang kehidupan pulau karang tersebut secara berkala.
Mereka hanya diminta mencatat peruhahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka dan mencoba menyesuaikan, secara umum, dengan kecepatan perubahan. Secara umum, kesimpulan yang dicapai pada akhir eksperimen penghentian waktu itu menenangkan dan membangkitkan harapan. Subjek eksperimen terbukti mampu mencema peruhahan-perubahan yang telah terjadi di bidang aktivitas dan pekerjaan mereka selama isolasi berlangsung, bahkan di bidang yang mengalami perubahan amat sangat pesat, seperti teknologi informasi dan sereal untuk sarapan. Namun, melalui jalan yang panjang dan berputar-putar, penjelasan lengkap dan salah satu subjek eksperimen telah sampai ke tangan kami.
Subjek yang dibicarakan ini adalah seorang teoretikus politik normatif, la terkenal di kalangan kolega dan rekan-rekan sezamannya pada awal 1980-an sebagai peneliti yang mendalami ragam luas topik dalam subdisiplin yang digelutinya kualitas-kualitas itulah yang mendorong TLS untuk memilihnya sebagai wakil bidang aktivitasnya dalam  eksperimen penghentian waktu ini. Bagian dan laporan yang menjadi perhatian kami di sini ialah bagian yang membicarakan hal yang oleh subjek (sebut saja namanya ‘Z’) secara bergantian disebut sebagai teori politik ‘hijau’, ‘lingkungan’, atau ‘ekologis’.
Apa saja yang sudah terjadi selama ini? Teori politik hijau sebenamya meminta kita menjungkirbalikkan anggapan yang telanjur beredar ini.

BATAS-BATAS PERTUMBUHAN

Samar-samar saya teringat argumen tentang batas-batas terhadap pertumbuhan itu berkarakter ‘malapetaka dan kegelapan’ serta bencana lingkungan’, yang melengkapi maraknya film-film tentang pasca kehancuran dunia yang banyak beredar pada 1970-an, berbarengan dengan kekurangan minyak pada 1972. Namun, ekologisme lebih sering disajikan secara politis dan analitis sebagai ideologi progresif, ahli waris tradisi Pencerahan, persamaan (equality), yang berhubungan erat dengan ‘gerakan-gerakan sosial baru’ (satu lagi kategori yang harus saya pelajari sejak pulang dan Pasifik) (lihat Bab 20) dan sejalan dengan (kadang-kadang seperti persaingan antar saudara dengan) partai buruh dan sosial demokratis Iainnya. Tampaknya, batas-batas terhadap pertumbuhan sebagian merupakan ulasan deskriptif tentang hubungan metabolistis antara manusia dan lingkungannya, dilihat dalam hubungannya dengan kapasitas lingkungan untuk menyediakan jasa-jasa bagi produksi dan reproduksi kehidupan manusia. Persediaan dan aliran jasa-jasa inilah yang menjadi konteks bagi segala proyek manusia. Ideologi-ideologi lain di dalam buku-buku teks di rak saya sepanjang 1983-2003 tak satu pun yang membicarakannya. ‘Persediaan’ merujuk kepada sumber-sumber daya seperti batu bara, yang sesungguhnya terbatas jumlahnya, dan ‘aliran’ mengacu kepada sumber-sumber daya yang secara teori dapat dibarui, seperti ikan dan tenaga matahari, serta kapasitas sistem-sistem bumi untuk menyerap limbah dan polusi. Sumber daya persediaan berkurang karena diambil dan diubah menjadi bahan-bahan yang berguna bagi reproduksi kehidupan manusia.
Sumber daya persediaan dihabiskan seolah-olah tidak ada batasnya, dan tak ada upaya yang dilakukan untuk mencarikan pengganti yang memungkinkan jasa-jasa yang diberikan sumber-sumber daya itu berkelanjutan. Ekologisme tampil sebagai sesuatu yang lain daripada yang lain di antara ideologi-ideologi politik modem dengan menunjuk konteks metabolistis ini sebagai proyek politik, dan dengan sadar diri mengkritik ideologi-ideologi lain karena tidak berbuat serupa.
Ada pencela yang menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan tesis itu didasari model yang amat rapuh. Bagaimana mungkin orang bisa dengan akurat membuat model ragam input dan output kompleks yang begitu luas, sambil secara bersamaan memperhitungkan secara lengkap dan tepat variabel-variabel yang merupakan jaring penyusun hubungan metabolistis individu dan masyarakat dengan lingkungan mereka? Yang lain terfokus pada variabel-variabel itu sendiri. Tentu tidak semua orang patut disalahkan secara sama atas terlampauinya batas-batas yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan yang terbatas, maka, saya jadi bertanya-tanya, sampai sejauh mana hal yang tampaknya kurang memiliki analisis kekuasaan ini dapat disebut sebagai politik?
Kategori moral dan politis masyarakat miskin yang menebangi hutan untuk bertahan hidup lain dengan kerusakan lingkungan yang disebahkan gaya-gaya hidup konsumen mewah yang membutuhkan banyak sekali energi dan sumber daya. Manusia mengubah rupa alam sebagaimana alam pun mengubah rupa manusia, dan ini artinya batas-batas adalah suatu fungsi dalam hubungan metabolistis yang dimiliki manusia-manusia dengan alam, bukan kumpulan yang sudah lebih dahulu ditetapkan dengan cara tertentu. Namun, inikah yang mematikan argumen hijau? Telah saya temukan bukti yang mengesankan bahwa partai-partai politik baik kanan maupun kiri atau ideologi-ideologi yang menjadi sumber ilham partai-partai tersebut menganggapnya sebagai pesan yang layak untuk disimak.

STATUS ETIS DUNIA NONMANUSIA
Saya mulai memandang alasan ‘batas-batas terhadap pertumbuhan untuk kepedulian terhadap lingkungan itu sebagai respons ‘pragmatis’ terhadap kemunduran yang teramati pada lingkungan. Namun, alasan yang harus diberikan ekologisme belum tercakup di dalamnya. Saya terusik oleh bagaimana ekologisme menjadi bagian dan suatu remoralisasi politik yang lebih luas, yang menetapkan bahwa orang bertindak benar karena itulah tindakan benar untuk dilakukan dalam arti moral, bukan dikarenakan insentif uang atau kumpulan alasan cermat lainnya. Dalam konteks ini, teguran menarik dalam bentuknya yang paling umum dilancarkan beberapa ekologiman politis bahwa dunia alam nonmanusia memiliki status moral. Perlu waktu bagi saya untuk mencerna makna dan implikasi dan kesan tersebut.
Jika monyet rhesus benar-benar ‘serupa’ dengan manusia, maka, bukankah kita seharusnya menolak bereksperimentasi dengannya karena alasan yang sama kita menolak bereksperimntisi dengan manusia? Mereka mengklaim, lebih banyak yang dapat mereka pelajari dari binatang yang secara fisiologis serupa dengan manusia daripada dari binatang yang secara fisiokologis tidak mirip secara ilmiah hal ini memang masuk akal, tetapi, pertanyaan pertama dalam surat itu. Juga mengandung efek moral. Ciri-ciri khas yang menjadikan monyet rhesus begitu ideal sebagai subjek farmakologi yaitu, kemiripannya dengan Spesies manusia adalah ciri khas yang sama yang mengingatkan larangan moral terhadap eksperimentasi.
Penulis surat itu menerangkan, jika hal ini berlaku untuk manusia, tentu harus berlaku pula untuk makhluk-makhluk lain yang serupa dalam hal-hal yang relevan dengan manusia. Ada frasa yang selalu bergema di sepanjang teori politik hijau: ‘serupa dalam hal-hal yang relevan’. Berliter-liter tinta hijau telah dituangkan dalam debat tentang apa yang dimaksud dengan ‘hal-hal relevan’ itu, pada khususnya. Apa tepatnya ‘faktor X’ yang menyebabkan ketertimbangan moral itu?
Jika faktor X itu adalah nalar dan/atau komunikasi verbal, maka lingkaran moral yang istimewa itu hanya terbatas pada manusia, atau setidaknya terbatas; pada mereka yang bisa berpikir dan/atau berbicara. Dan tiap-tiap sudut pandang moral atau kecermatan ekologisme memolitikkan lingkungan dengan mengungkapkan persoalan tentang penggunaan dan penyalahgunaan lingkungan sebagai suatu persoalan politis. Saya akan membahasnya lagi nanti, tetapi ada satu lagi aspek menarik dan pertanyaan tentang motivasi (Mengapa melindungi lingkungan?’) yang harus saya laporkan. Ada ketidakpuasan yang nyata kepada argumen yang berbelit-belit dan tidak meyakinkan dalam arti politis, yang timbul karena debat ‘serupa dalam hal-hal yang relevan’ tadi. Saya tergoda untuk membicarakan sebuah argumen yang dapat menyelesaikan masalah rumit itu dengan memolitikkan Iingkungan secara tidak langsung.

GENERASI MASA DEPAN DAN LINGKUNGAN
Caranya dengan memperluas komunitas politik ke arab yang berbeda tetapi, lagi-lagi sangat lain dengan segala hal yang saya temukan dalam buku teks ideologi-ideologi politik. Sebelum masa pengasingan di Pasifik, saya terbiasa berpikir tentang politik progresif sebagai pengakuan akan klaim-klaim politis dan banyak sekali kelompok sosial yang sebelumnya terpinggirkan. Yang paling jelas, contoh, perempuan kini diakui dengan cara yang tak terbayangkan pada 100 tahun yang lampau. Bukan hanya jenis sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup secara fisiologis, tetapi juga jenis sumber daya yang dibutuhkan untuk memahami segala jenis rencana kehidupan. Artinya, inilah lingkungan yang dipahami sebagai ‘perkataan dan perbuatan yang membentuk dan melaksanakan berbagai rencana kehidupan.
Kini pikirkanlan semua ini dalam hubungannya dengan keadilan. Bagaimanakah cara terjujur untuk mendistribusikan hal (lingkungan) yang merupakan ragam opsi untuk rencana kehidupan ini? Dan yang sangat penting bagi ekologisme, siapakah yang seharusnya diakui sebagai penerima sah manfaat-manfaat distribusi ini? Bagi ekologisme, dalam keadilan tidak ada alasan generasi manusia sekarang berhak mencabut hak generasi masa depan untuk ‘berkata dan berbuat’ guna dan sebagai pangkal untuk memahami dan melaksanakan rencana-rencana kehidupan.
Tidak sulit untuk memahami bahwa semua ini sesungguhnya sama dengan melindungi lingkungan dengan cara tidak langsung. Kajian-kajian politis ekologis yang saya lakukan telah mendorong saya untuk percaya bahwa salah satu kerugian politis terbesar yang diderita ekologisme ialah tertundanya ketidakpercayaan yang dibutuhkan saat Anda mendarat pada sebagian partainya yang paling liar. Keadilan juga terkait dengan wacana hak, yang merupakan tata bahasa normatif etis dan politis dominan di dalam teori dan praktik liberal modern. Saya akan kembali ke isu generasi masa depan ini nanti.
Berdasarkan telaah ini, saya menyadari bahwa ekologisme adalah ideologi yang keluar dan buku-buku teks ideologi-ideologi dan masuk wilayah teori politik yang lebih luas. Saya sampai pada pikiran bahwa cara terbaik untuk menggambarkan ekologisme dengan tepat ialah dengan menganggapnya sedang mengungkapkan suatu tujuan politis yang kita sebut keterpeliharaan (sustainability)’. Dan apakah sebenarya X itu?
Bentuk pertanyaan ini adalah bentuk yang sudah diakrabi oleh para teoretikus politis. Sejarah teori politik sendiri bisa dilihat dalam hubungannya dengan argumen prioritas dan argumen kesesuaian antara kemerdekaan dan kesamaan, demokrasi dan perintah, keadilan dan kemerdekaan, dan seterusnya. Pembacaan saya tentang hal yang terjadi dalam lebih dari 20 tahun terakhir masa pengasingan saya dari perkembangan teori politik ialah bahwa ekologisme telah menambah satu lagi tujuan politis pada daftar pesaing.
Seakan-akan yang dinamakan ‘teoritikus hijau’ itu bekerja melalul daftar desideratum politis dan memahami hubungan antara desideratum itu dan keterpeliharaan dalam suatu pengertian normatif. Peralihan dan ideologi ke teori ini tampaknya juga berakibat keluarnya teori politik hijau dan sesuatu yang pada masa awalnya dianggap sebagai ghetto. Pembacaan saya mengenai kepustakaan etis Iingkungan, misalnya, mengungkapkan mengecilnya lingkaran setan debat yang relevansi politis dan ukurannya semakin berkurang (antara ekosentrisme dan antroposentrisme, ekologi dalam dan dangkal, hijau muda dan hijau tua) yang pasti menjadi kecemburuan para teologiman abad pertengahan yang selalu berupaya memikirkan bagaimana caranya agar banyak malaikat bisa pas pada satu lencana yang bulat kecil. Di lain pihak pergerakan ke luar yang terjadi karena debat seputar konflik dan kesesuaian antara keterpeliharaan dan tujuan-tujuan politis Iainnya, telah menarik para teoretikus arus utama ke dalam debat teori politik hijau. Dan sudut pandang saya yang 20 tahun absen dan teori politik, saya nilai hal ini baik untuk kedua belah pihak.
Salah satu cara untuk mencari jawabannya ialah dengan memikirkan politik hijau dalam hubungannya dengan wacana utopianisme. Hai ini berbeda dengan rumus-rumus konservatif yang cenderung melukis suatu gambaran idealis tentang suatu momen berharga di masa lampau yang Kaum Konservatif ingin melìhatnya pulih di masa sekarang biasanya disertai dengan pandangan negatif/realistis tentang kodrat manusia yang menetapkan batas-batas jelas terhadap perubahan politik. Menurut saya, ekologisme berada di antara kedua pandangan itu. Ekologisme memiliki pandangan progresif yang sama bahwa hal yang biasa, disebut sebagai ‘kodrat manusia’ itu mudah dipengaruhi, jadi kita tidak dituduh ‘egois’ atau perilaku tertentu lainnya, tetapi ekologisme juga tunduk kepada pikiran-pikiran konservatif dengan mengatakan bahwa kondisi manusialah yang menetapkan batas-batas pada proyek kita. Perbedaan antara kodrat manusia dan kondisi manusia ini memungkinkan ekologisme mengklaim elastisitas bagi kodrat manusia dan suatu kadar kekakuan bagi kondisi manusia. Hasilnya ialah semacam politik progresif yang unsur utopisnya dengan tegas mengakui batas-batas, yang merupakan aspek lain dan ideologi ekologisme tersebut.

SAINS, TEKNOLOGI, DAN KERENTANAN
Gagasan tentang batas-batas itu sangat penting dalam ekologisme, dan peran sains dalam mengidentifikasi batas-batas tersebut memberinya tempat tersendiri di dalam ekologisme. Tak seperti semua ideologi dan teori politik lain yang saya kenal (dengan pengecualian upaya lemah untuk mengembangkan ‘Marxisme ilmiah’), ekologisme benar-benar berdasarkan sains.
Jadi, sains memilikì peran vital dalam ekologisime dengan melengkapinya dengan ‘fakta-fakta dan ‘masalah-masalah’ yang berhubungan dengan ketergantungan metabolis kita terhadap dunia non manusia dan sistem-sistem alaminya. Meski demikian, pembacaan saya akan kepustakaan hijau mengesankan bahwa hubungan positif dengan sains dan sikap positif terhadapnya bukan merupakan sesuatu yang dimiliki dalam arti universal. Bagi sebagian ekologiman politis, sains (dan perkembangan dan inovasi teknologis) adalah bagian utama dan penyebab kerusakan lingkungan, artinya, sains adalah bagian dan masalah, bukan bagian dan solusi.
Pandangan-pandangan seperti itu menunjuk perkembangan ilmiah dan perkembangan teknologis seperti tenaga nuklir, mesin pembakaran intemal, bioteknologi, dan pada umumnya pemanfaatan ‘sains dan teknologi guna menghasilkan cara-cara yang semakin hakiki untuk menghabiskan sumber-sumber daya planet ini sebagai bukti argumen untuk menentang sains.
Begitu pula, argumen yang kuat di dalam teori politik hijau berhubungan dengan mentalitas ‘tekno-perbaikan’ dalam industrialisme. Perspektif tekno-perbaikan memasukkan gagasan bahwa untuk menemukan solusi untuk masalah ekologis, tidak diperlukan perubahan besar pada sistem ekonomis dan politis sekarang atau pola-pola konsumsi dan produksi.
Luddite penentang teknologi’ (Holmes, 1993: 122-41) atau ideologi konservatif, berpandangan ke belakang,. dan antimodernis (Giddens,1999c: 94-104), yang mencoba kembali ke semacam ‘Masa Keemasan ekologis’, yana penting ekologisme politis tidak menolak sains dan teknologi. Ekologisme menerima sains dan teknologi, tetapi dengan menginsafi bahwa sains dan teknologi adalah instrumen politis dalam arti intrinsik, bukan instrumen ‘netral’, bahwa sains dan teknologi memiliki implikasi-implikasi etis, tetapi akan (bila sesuai) menjadi bagian dan solusi untuk banyak masalah ekologis. Dalam hal ini, ekologisme benar-benar di dalam alih-alih di luar Pencerahan dan modernitas, meski memiliki kesamaan dengan perspektif-perspektif politis lainnya seperti sosialisme dan feminisme dalam hal status ‘orang dalam kritis’.
Di dunia yang sedang mengglobal dan semakin dikendalikan secara teknologis. Menanggapi batas-batas terhadap pengetahuan manusia, batas-batas terhadap pertumbuhan, ketertimbangan etis dunia nonmanusia, dan saling ketergantungan antara dunia manusia dan dunia nonmanusia, Kaum hijau berbicara tentang kehati-hatian, kecermatan, dan kepedulian. Signifikansi prinsip pencegahan yang semakin besar (dalam arti etis, politis, ekonomis, dan epistemologis) di dalam teori politik hijau menjadi buktinya (O’Riordan dan Jordan, 1995: 0’ Riordan, Cameron, dan Jordan, 2001). Dalam konteks ketidaktahuan yang tak berkurang (Faber, Manstetten, dan Proops, 1992) dan kompleksitas metabolisme antara manusia dan dunia nonmanusia, menurut Kaum hijau, kita ini nekat buru-buru berlari dengan perubahan-perubahan berskala besar dan tak dapat dibatalkan terhadap dunia alam, yang pengaruhnya dalam jangka panjang tidak kita pahami Perspektif hijau tersebut tercakup dengan baik sekali dalam pandangan Aquinas bahwa ‘Kuda yang buta lebih baik berjalan pelan-pelan’.

KETERPELIHARAAN, DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIAL
Hal ini karena, pertama, demokrasi perlu waktu, dan waktu sama langkanya dengan sumber daya minyak bagi para pendukung batas-batas terhadap pertumbuhan. Bagaimana jika mereka tak ingin melakukan perubahan yang diperlukan untuk menjalani hidup yang terpelihara? Mungkin inilah penyebab hubungan antara demokrasi dan keterpeliharaan dipelajari dengan begitu lengkap (Doherty dan dc Geus; 1996; Lafferty dan Meadowcroft, 1996; Matthews, 1996). Sebagai suatu tujuan, keterpeliharaan memiliki sujumlah ciri umum yang menjadikannya ‘bidang uji’ untuk sesuai tidaknya tujuan-tujuan politis seperti ini dengan demokrasi. Bentuk tak tentu yang dimiliki keterpeliharaan, misalnya. Argumen ‘batas-batas’ untuk mendukung solusi-solusi paksa bagi ketidakterpeliharaan agaknya tergantung pada adanya jawaban yang tentu untuk pertanyaan “Apa yang harus dilakukan?” Suatu ambang batas menunjuk titik yang setelah dilewati, gangguan lebih lanjut terhadap suatu proses alami atau eksploitasi lebih jauh terhadap suatu sumber daya alam akan berakhir dengan  Pendapat ini mungkin jelas secara ilmiah, tetapi kita hanya perlu mengajukan pertanyaan ‘Tidak terpelihara untuk siapa dan untuk apa?’ kepada diri kita sendiri untuk memahami bahwa kendati sains mampu menyediakan informasj bagi kita untuk mendasari suatu keputusan, tidak mungkin kita mengharapkan komputer mengolahkan sebuah jawaban yang lengkap bagi kita.
Dua contoh Pertama, benarkah kita menganggap generasi manusia masa depan sebagai jawaban sah untuk pertanyaan ‘Untuk siapa? Manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri dan sudah terbukti mahir mengisi ceruk-ceruk ekologis (ecological niches) yang sangat tidak cocok baginya. Kita adalah spesien yang tidak dapat dikhususkan oleh alam dalam banyak hal, seakan-akan, seluruh planet ini menjadi ‘ceruk ekologis’ kita.
Kita mengetahui apa keterpeliharaan itu dalam pengertian sementara atau terbatas, dengan memperdebatkannya dan membolehkan banyak perspektif dan pendapat untuk didengar. Dan kali ini, tampaknya epistemologi dan pragmatisme politik terjadi bersamaan dengan leluasa. Dari sudut pandang epistemologis, jika ‘kebenaran’ tentang keterpeliharaan memang ada, maka kemungkinan besar hal itu akan muncul dari percakapan demokratis yang luwes, bukan dan deliberasi-deliberasi suatu komunitas “pakar” yang tertutup dan epistemis. Dan dari sudut pandang pragmatis, ukuran untuk keterpeliharaan lebih mungkin didukung dan disetujui oleh masyarakat jika masyarakat sudah memperoleh kesempatan untuk memutuskan dan merancang ukuran tersebut daripada jika tidak memilikinya. Sudut pandang yang kedua ini penting terutama dalam berhubungan dengan memastikan legitimasi rakyat untuk kebijakan-kebijakan keterpeliharaan yang memerlukan perubahan dalam gaya hidup banyak orang terutama di negara-negara ‘maju’.
Terutama jika definisi dan legitimasi itu sementara sifatnya. Namun, demokrasi tak dapat menjamin hasil yang terpelihara. Keterlibatan hijau dengan demokrasi semakin memperjelas fakta bahwa bentuk prosedural demokrasi berarti bahwa demokrasi tidak dapat diharapkan untuk memberikan hasil yang khusus. Inilah pelajaran yang pantas diketahui, diakui, dan diterapkan dalam konteks-konteks lain, dan pelajaran ini memunculkan beberapa pertanyaan yang menarik dan lebih luas mengenai keputusan-keputusan yang ‘dihasilkan’ oleh demokrasi.
Gagasan bahwa suatu demokrasi mungkin memerlukan serangkaian keputusan yang membuahkan kebijakan-kebijakan yang tak terpelihara secara sistematis sehingga melemahkan kondisi-kondisi untuk keberadaannya sendiri, secara struktural serupa dengan pemilihan demokratis yang menghasilkan suatu pemerintah yang memutuskan untuk mengakhiri proses demokratis.
Kewarganegaraan ‘hijau’ atau ‘ekologis’ menuntut agar kita memikirkan kewarganegaraan dengan cara-cara yang agak baru. Pertama, kita harus memikirkan hak dan kewajiban kewarganegaraan yang ada di luar konteks kewarganegaraan negara-bangsa yang biasa. Ada orang-orang yang akan mengatakan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan, bahwa sesuai definisinya kewarganegaraan berhubungan dengan hak dan tanggung jawab individu dalam berhubungan dengan negara-negara tempat mereka menjadi warganya. Saya melihat di sini sedang berkembang suatu debat menarik antara pendukung yang disebut kewargancgaraan kosmopolitan (misalnya, Linklater, 1998) dan lawan ekologis mereka lebih lanjut lihat Bab 15, 19, dan 22). Kedua, hak dan kewajiban warganegara dalam konsepsi tradisional biasanya dianggap timbal balik, tetapi apa artinya hal ini dalam konteks global saat kerusakan ekologis ditimpakan secara asimetris? Kewarganegaraan ekologis mengesankan bahwa kendati tugas saya untuk mengurangi kerusakan, sebagai penyebab kerusakan, timbul dan hak timbal balik orang-orang yang menjadi penerima lingkungan yang enak ditinggali, mereka tidak punya kewajiban timbal balik dan sepadan terhadap saya. Ketiga, agaknya kewarganegaraan ekologis menghidupkan kembaii gagasan kebajikan cukup lama absen dari pembicaraan kewarganegaraan sejak masa jaya republikanisme warganegara (lebih lanjut lihat Bab 13).
Isu demokrasi utama lainnya yang muncul dari debat keterpeliharaan ialah isu representasi. Setidaknya ada tiga tipe konstituensi dalam konteks hijau yang tidak lazim bagi teori dan praktik demokratis hubungan dengan perbatasan ruang, waktu, dan hambatan spesies. Pertama, kita tahu bahwa masalah lingkungan seperti pencemaran tidak dapat dibatasi pada satu negara, jadi keputusan terkait suatu dimensi lingkungan buatan negara tertentu mungkin bahkan mungkin sekali memengaruhi orang-orang di negara lain. Apakah orang orang ini berhak diwakill secara demokratis berdasarkan sesuatu seperti prinsip kepentingan yang terpengaruh’? Kedua, bahasan di atas menunjukkan bahwa generasi manusia masa depan merupakan bagìan utama dalam persamaan keterpeliharaan. Mereka jelas-jelas belum ada (dan tidak mungkin pernah ada) secara aktual saat keputusan kelingkunganan dibuat, tetapi haruskah mereka ‘hadir’ dengan cara diwakili untuk alasan demokratis? Representasi dalam teori demokratis selalu berkenaan dengan menjadikan yang absen itu hadir, jadi jika ada keberatan terhadap gagasan mewakili generasi masa depan secara demokratis, hal ini mungkin karena alasan praktis, bukan alasan normatif. Terakhir, kita lihat tadi bahwa perkembangan salah satu aspek agenda normatif hijau berpusat pada memperluas komunitas moral dan barangkali komunitas politis untuk mencakup (suatu) spesies di luar spesies manusia. Kepentingan spesies-spesies lain jelas dipengaruhi oleh tindakan manusia, jadi haruskah kepentingan-kepentingan tersebut diwakili dengan suatu cara dalam proses demokratis?
Maka, debat ekologisme demokratis menjadi menarik karena alasan-alasan yang internal bagi politik hijau, tetapi pada umumnya teoretikus hijau punya alasan untuk juga memikirkan implikasi problematika lingkungan terhadap teori dan praktik demokratis, Hal yang sama berlaku untuk keadilan sosial (lebih lanjut lihat Bab 17). Seperti kita tahu, keadilan sosial berhubungan dengan distribusi jujur beban dan manfaat di masyarakat. Pertama, ada pertanyaan tentang dapat dan haruskah ‘lingkungan’ diperhatikan sehubungan dengan ‘beban dan manfaat. Tidak ada teori keadilan yang menjadikannya persoalan utama, tetapi bentuk bersyarat pada ‘lingkungan’ untuk menjalani hidup-hidup yang bermakna akan menyatakan bahwa hal itu sudah seharusnya. Fakta bahwa lingkungan telah diabaikan sebagai aspek potensial bagi teori-teori keadilan sangat signifikan bagi banyak teori politik yang tak teraba dan tak terlekat. Meski signifikan, terasa aneh mengakui bahwa hal yang sama sekali memungkinkan keadilan sosial, sebagai teori dan sebagai praktik, tidak punya tempat dalam kajian-kajian teoretikus keadilan sosial. Bahkan, inilah sebagian dan signifikansi teori politik hijau, bahwa kecaman ini dapat dterapkan bagi teori politik pada umumnya (Baxter, 1996).
Calon yang biasa ialah kesamaan, kegunaan, dan hak sejarah. Harus diingat bahwa Walzer menolak pandangan standar bahwa suatu metrik distribusi universal dapat diterapkan untuk semua kebaikan dan keburukan yang dapat didistribusikan. la mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan (atau ‘ranah-ranah’) memiliki prinsip distribusi yang ‘melekat’ pada kebaikan dan keburukan itu. Hal ini mirip tantangan kepada mereka yang percaya harus diberlakukan suatu metrik yang lebih universal seperti kegunaan, misalnya. Walzer memberikan pandangan alternatif untuk itu, dan ‘lingkungan’ merupakan kejadian pembuktian (test case) untuk pandangan alternatif tersebut.
Hal ini berlaku juga untuk dimensi lain dalam teori keadilan sosial dimensi yang menyangkut ‘komunitas keadilan’ atau isu tentang siapa yang pantas dianggap sebagai bakal penerima keadilan. Inilah salah satu ukuran sifat teori politik hijau yang mendesak perbatasan: bahwa teori politik hijau juga menimbulkan pertanyaan yang tak biasa, yaitu, apakah makhluk selain manusia bisa dianggap sebagai penerima keadilan (Dobson, 1998; Low dan Gleeson, 1998).
Bentuk umum pertanyaan ini lazim bagi kita dalam konteks kebijakan pajak redistributif, misalnya, berapa besar yang sah untuk diminta dan oranig-orang yang harus berkorban demi berlaku adil bagi orang-orang yang tidak harus berkorban? Dalam ‘konteks antar generasi, pertanyaan ini menjadi berapa besar generasi sekarang diminta berkorban demi mewariskan kesempatan (dalam hal Iingkungan) bagi generasi masa depan untuk menjalani hidup yang lengkap dan bermakna. Sungguh misteri penyebab pertanyaan-pentanyaan seperti ini belum pernah dibicarakan dalam Teori keadilan sosial, dan kepajanan (exposure) saya kepada debat keadilan/lingkungan yang terjadi sementara saya dalam pengasingan telah membimbing saya kepada kesimpulan bahwa pekerjaan teoretikus- teoretikus keadilan sosial tidak akan selesai dengan baik jika mereka tidak memperhitungkan benar-benar kecaman bahwa keanggotaan pada kumunitas keadilan adalah hal terpenting yang harus didistribusikan dan bahwa komunitas ini mungkin sekali mencakup generasi-generasi manusia yang belum dilahirkan (juga nonmanusia dan nonkebangsaan).

KESIMPULAN
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk dijalani. Saya tidak tahu apa yang akan saya harapkan bila pulang dan bertemu keluarga, tetapi tentunya saya punya banyak waktu untuk memikirkannya. Pikiran yang selalu berulang ialah bahwa pulang akan seperti terlahir kembali, dalam arti bahwa sudah terjadi perubahan-perubahan yang saya tak pernah memiliki kontrol atasnya dan tak pemah memiliki masukan untuknya. Saya cemas karena banyak keputusan akan dibuat tanpa memperhitungkan kebutuhan dan keinginan potensial manusia 20 tahun dan sekarang maksudnya, saya ketika kembali dari Pasifik. Bayangkanlah kekagetan saya ketika mendapati ‘kecemasan’ ini telah menjadi perhatian utama dalam cabang baru teori politik yang telah berkembang selama kepergian saya teori politik hijau. Selama enak-enak duduk diam dalam isolasi di pulau Pasifik, jelas saya menjadi anggota komunitas politik global, tetapi ketidakhadiran aktual saya berarti bahwa saya tidak punya peran di dalamnya, padahal keputusan-keputusan yang diambil di dalam komunitas politik global tersebut selalu memengaruhi kepentingan saya.
Maka, teori politik hijau menantang kita untuk meluaskan komunitas politik tersebut dan menghadapi implikasi dan membayangkan kepentingan generasi masa depan sebagai kepentingan kita sendini, setidaknya sebagai langkah pertama. Hubungan saya dengan sekitar saya juga mengalami perubahan yang lebih halus. Hidup bersama flora dan fauna itu serta mengamati ritme dan irama mereka yang langka menjadi sumber sukacita luar biasa bagi saya dan beberapa rekan dalam eksperimen tersebut. Pulau itu ada untuk diperlakukan sesuai kehendak saya; segala sesuatu di atasnya berada dalam belas kasihan dan kedermawanan saya. Hal terakhir yang saya lihat sebelum naik kapal yang akan membawa saya pulang ialah sebuah sarang berisi sebutir telur milik pasangan burung yang kami yakini adalah pasangan burung terakhir dan jenis yang hanya dikenal dipulau itu. Sesaat terpikir oleh saya untuk mengambil telur itu sebagai kenang-kenangan masa 20 tahun isolasi saya dari dunia ini kemudian, saya menyadari kejernihan yang nyata bahwa perbuatan itu keliru, bukan karena alasan yang berhubungan dengan manusia (tak satupun yang tertinggal saat itu), tetapi sederhana saja, karena mungkin itulah telur terakhir yang tersisa.
Tak pernah saya sangka bahwa pengalaman itu telah menjelma menjadi aspek utama pada suatu ‘politik baru’ selama masa kepergian saya, bahkan memolitikkan dan memoralisasikan hubungan kita dengan dunia alam nonmanusia sudah menjadi tema utama yang selalu berutang dalam teori pohitik hijau. Saya sendiri bukan teoretikus politik hijau, tetapi saya benar-benar meyakini bahwa masa depan teori politik seharusnya mengandung dan akan diperkaya dengan keterlibatan sistematis dengan tema dan tantangan teori politik hijau. Seperti subjek umum teori politik hijau hubungan bersegi banyak, baik fisik/metabolis dan etis politis, antara manusia dan dunia nonmanusia ada beberapa isu yang belum tersentuh oleh teori tersebut. Mengingat kisaran problem dan isu yang kita hadapi di abad kedua puluh satu (konsekuensi keadilan sosial dan konsekuensi demokratis dari globalisasi yang dipimpin korporasi, bioteknologi, dan penerapan komersial pengetahuan genetis; kekurangan energi dan sumber daya; serta konflik-konflik berdasarkan kelangkaan sumber daya, kemiskinan dunia, dan ketidaksetaraan global), jelas sudah bahwa teori politik hijau akan terus berkembang sebagai aspek utama teori politik yang menolong kita untuk memahami dengan tajam semua perkembangan ini dan menawarkan alternatif untuknya.
CATATAN
Dalam teori politik hijau (dan gerakan lingkungan yang lebih luas), isu tentang status etis dunia nonmanusia ini (atau bagian-bagiannya) serta bobot yang dilekatkan pada status/nilai ini telah memicu debat antara mazhab pemikiran ‘ekosentris’ dan mazhab pemikiran ‘antroposentris’ (Dobson, 2001; J. Barry, 2001).
Dewasa ini teori politik hijau juga bertujuan memeriksa ketentuan dan sarana hukum dan konstitusional untuk mewakili konstituensi-konstituensi ini dan memelihara perlindungan lingkungan. Maksudnya, dalam argument ini tidak ada alasan yang baik untuk mendukung perusakan kejam terhadap dunia nonmanusia. Untuk penjelasan tajam mengenai hal ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More