Diajukan Sebagai Salah
SatuTugas Mandiri
Pada Mata Kuliah Teori Politik
Prof.
DR. Samugyo Ibnuredjo, MA
Dan
DR.
Drs, Awan Yuswanda, M.Si
Oleh
:
Nama : Ade
Surahman
NPM : L23.016.0021
PROGRAM
STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS
LANGLANGBUANA
BANDUNG
PEMIKIRAN
POLITIK ISLAM MODERN
MICHAELLE
BROWERS
Ketika untuk pertama kalinya dalam
sejarah umat Muslim menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan
ekonomi oleh penjajah Barat Kristen, mereka mulai mengajukan pertanyaan sebagai
berikut:
Sebab-sebab
apakah yang menimbulkan degradasi umum pada umat Muslim modern?
Jika
Islam adalah iman yang mempersatukan, mengapa banyak ragamnya di kalangan umat
Muslim?
Apakah
kesatuan di kalangan umat Muslim adalah harapan masuk akal yang dapat terwujud?
Mungkinkah
bagi kami untuk menjadi nasionalis yang loyal dan pada saat yang bersamaan
menjadi Muslim sejati?
Mengapa
negara modern hanya terjadi pada negara-negara Kristen?
Apakah
islam menoleransi lembaga-lembaga bebas liberal (dan) sanggupkah Islam
mengadaptasi diri dengan tuntutan lembagal-lembaga tersebut?
Mengapa
kami sampai pernah menjadi penyangkal ilmu pengetahuan dan memusuhi kearifan?
Siapa
yang pernah membayangkan bahwa Islam yang berdasarkan pada nalar dan pemikiran
akan terampas kebebasannya untuk berijtihad (interpretasi keagamaan rasional)
dan terkungkung di bawah taklid (teladan para cendekiawan)?
Apa
yang harus dilakukan?
Saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan
inilah kita jumpai awal mula pemikiran Islam modern. Kaum Modernis Islam
pertama kali mengangkat isu ini pada awal abad kesembilan belas ketika
‘beberapa negara Islam mengambil penyelenggaraan teknik dan militer Eropa, dan
berbagai musafir Muslim di Eropa kembali dengan membawa kisah-kisah berpengaruh
tentang progres dan pencerahan’ (Kurzman. 2002:4). Sehubungan dengan reformasi
politik. Kaum Modernis Islam berusaha mengambil aspek sistem politik Eropa di
satu sisi, dan menegaskan kembali islam sebagai sistem sosio-politik dalam
keselarasan yang sempurna dengan modernitas di sisi yang lain. Ada pula suatu
pemahaman yang disampaikan oleh pengamat-pengamat non-Islam, bahkan dan pihak
pemikir-pemikir Islam sendiri, bahwa pemikiran politik Islam di masa kini
tampaknya telah mencapai kebuntuan, sedikitnya dalam tiga isu: bagaimana
menangani tradisi Islam, fungsi agama di dalam masyarakat, dan dasar organisasi
politik. Memang benar bahwa isu-isu ini terus-menerus muncul kembali di dalam
tiga kecenderungan teorisasi politik Islam yang dibahas di sini: modernisme
Islam, Islamisme, dan liberalism Islam.
MODERNISME ISLAM
Kemunculan modernisme di dalam pemikiran
Islam mirip yang disebut Nahda (renaisans atau terjaga kembali) dalam
bahasa Arab. Umat muslim yang bekerja dalam tradisi ini berusaha membangkitkan
kembali pemikiran Islam dengan mengukuhkan kesinambungan dengan masa lalu dan
menyesuaikan hal yang mereka anggap sebagai pencapaian Eropa modern terutama,
teknologi materi modern, teknik modern dalam memobilisasi dan menyelenggarakan
masyarakat, serta lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen.
Afghani, menganggap peniruan membabi
buta terhadap Barat tak lebih daripada’ peniruan membabi buta terhadap masa
lampau, karena ‘pengalaman dan bukti dari masa lampau telah mengajarkan kita
bahwa para peniru di setiap bangsa dan mereka yang meniru adat istiadat asing
merupakan celah dan kekosongan yang dapat dirembesi dominasi asing untuk
memasuki sebuah negara’ (dalam Awwad, 1986: 84).
Perhatian utama dalam wacana politik
Islam modernis ialah menyampaikan pemahaman yang rasional mengenai hubungan
antara agama dan negara. Salah satu unsur awal pemikiran Islam modernis memberi
Islam pemahaman nasionalistis yang berfokus pada pembangunan negara kuat yang
mampu bersaing dengan Barat.
Menurut ortodoksi Sunni, pemimpin harus
dipilih oleh kelas elite yang disebut ahl
al-hall wa al-’aqd (secara harfiah, mereka yang melonggarkan dan mengikat),
orang-orang dengan otoritas dan kedudukan di dalam komunitas seperti kepala
suku, gubernur provinsi, pemuka negara.
Dalam memajukan klaim-klaim mereka,
beberapa Modernis Islam memilih satu bagian di dalam Qur’an yang menasihati
Muhammad untuk ‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (Surat 3, Ayat
159), lalu menginterpretasikan artinya seperti yang dilakukan Musa Kazin
(Turki, 1858-1920), bahwa para pemimpin diwajibkan untuk ‘bermusyawarah bersama
umat dalam setiap urusan’ (dalam Kurzman, 2002: 176). Dalam sebuah esai yang
memuat ayat tersebut sebagai judulnya. Namik kemal (turki, 1840-88) menyatakan
bahwa untuk ‘menjaga negara tetap dalam batas-batas keadilan’, umat Muslim
wajib menjalankan dua perbaikan: (1) menjadikan tindakan pemerintah bersifat
umum dan terbuka terhadap pemeriksaan, yaitu, ‘membebaskan prinsip-prinsip
fundamental administrasi dan wilayah interpretasi implisit dan menjadikannya
umum’, serta (2) melaksanakan ‘metode musyawarah (al-syura), yang mengambil
kekuasaan legislatif dari tangan anggota pemerintahan’ dan meletakkannya kepada
anggota komunitas Islam yang lebih besar (umat) (dalam Kurzman, 2002: 145). Yang
lemah di antara kamu adalah kuat (bagiku) sampai aku memberikan hak mereka.
Yang kuat di antara kamu adalah lemah (bagiku) sampai aku mengambil dan mereka
apa yang menjadi hak yang lain. Kukatakan hal ini dan kumohon ampunan Allah
untuk diriku dan untuk kamu sekalian. (dalam Kurzman. 2002: 93-4).
Pemikir Maroko, Muhammad ‘Abd al-Jabiri
(lahir 1936), menerangkan bahwa generasi yang meliputi Afghani dan Abduh kerap
berupaya menjembatani tradisi Arab-Islam dan Pencerahan Eropa dengan cara
mengorelasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep Eropa.
Meski gerakan-gerakan konstitusional
menerima banyak gagasan Kaum Modernitas dan golongan-golongan agama mendukung
eksperimen konstitusional yang berlangsung di Tunisia (1860), Turki (1876),
Mesir (1881), dan Persia (1905), seperti yang ditunjukkan Majid Khadduri,
konstitusi-konstitusi yang pada akhirnya dilaksanakan tidak sedikit pun
menghiraukan prinsip-prinsip Islam, kecuali menyebut Islam sebagai agama resmi
negara.
KEBANGKITAN KEMBALI
PERHATIAN KEPADA ISLAM
Pada separuh kedua 1970-an, semua pihak
menyaksikan kekorupan dan ketidakcakapan sejumlah negara sosialis dan
nasionalis Arab yang ada di kawasan itu, dan kaum Islamis, yang menolak model
negara Barat juga tampaknya telah mengapropriasi beberapa model sosialis Barat
dengan maksud untuk merebut kekuasaan negara.
Harus dibedakan antara Revivalis Islam
sering disebut sebagai ‘Fundamentalis Islam’ yang berupaya kembali pada
sumber-sumber autoritatif dalam tradisi Islam dengan tujuan melegitimasikan
perubahan-perubahan di masa kini, dengan tradisionalis Islam, yang menolak
perubahan dan berupaya melestarikan ortodoksi Islam. Revivalis dan Modernis
sama-sama menganut keyakinan yang sudah ada sebelum mereka bahwa Islam dapat
dan seharusnya beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern. Muslim tradisionalis
cenderung menghindari ijtihad dan lebih memilih taklid (meniru buta) pemahaman
dan tradisi Islam yang sudah teruji oleh waktu. Kaum tradisionalis atau mereka
yang menyatakan bahwa turath
(warisan) Islam Qur’an dan Sunah (tradisi Nabi) tidak terpengaruh oleh perubahan
keadaan dan menunjukkan keberadaan sebuah tradisi yuridis terlembagakan (‘ilm al.fiqh) sebagai pelindung agama,
sudah selalu ada di dalam tradisi Islam. Kaum Islamis cenderung lebih mendekati
aktivisme politik daripada teologi dan juga lebih selektif (dalam mengedepankan
segmen-segmen Qur’an yang mendukung tujuan mereka. Untuk tujuan kita di sini,
Revivalis dan respons mereka baik terhadap Islam modernis maupun terhadap
masalah masalah yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer lebih relevan dikarenakan
mereka merupakan kecenderungan khas modern di dalam pemikiran politik Islam.
Gerakan baru ini muncul dengan semboyan
‘Islam adalah solusi’ (al-Islam huwa
al-hall atau al-hall al-islami) dan menyerukan untuk ‘kembali kepada para
pendahulu’ (al-sala)). Dan situlah
lahir nama gerakan Salafiyyah, yang menganjurkan untuk kembali kepada ortodoksi
cenderung ke syariat (shari’a-minded
orthodoxy) yang akan memurnikan Islam dan tambahan-tambahan asing. Sumber
sejarah terpenting untuk kecenderungan di dalam Islam ini ialah yuris Suriah,
Taqiyal-Din Ibri Taymiyya (1236-1328), seorang pendukung setia Islam Sunni
berdasarkan ketaatan yang kaku pada Qur’an dan Sunah autentik. Ibn Taymiyya
menulis di tengah-tengah percekcokan yang timbul karena agresi asing dan tentara
Perang Salib Kristen dan orang Mongolia, juga perjuangan perebutan kekuasaan di
dalam negeri. Ia yakin bahwa kedua sumber ini memuat segala pedoman keagamaan
dan rohani yang diperlukan bagi umat Muslim dan kebangkitan kembali dunia
Islam.
Mawdudi menyerukan agar kembali kepada
Qur’an dan Sunah yang telah dimurnikan sebagai cara untuk menghidupkan kembali
Islam. Mawdudi menyebut Islam sebagai ideologi dan menyebut negara Islam sebagai
negara ideologis: ‘Jelas dan kajian cermat Qur’an dan Sunah bahwa negara di
dalam Islam berdasarkan pada ideologi dan tujuannya ialah menegakkan ideologi
itu’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 256-7). Ia berpendapat bahwa
satu-satunya cara agar bal ini bisa benar-benar dijalankan ialah melului negara
islam yang dalam ‘segala hal, dibangun di atas hukum yang ditetapkan oleh Allah
melalul Rasul-nya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 271) dan inilah tujuan
politik yang dikejarnya di Pakistan.
Menurut penilaian Qutb, zaman
kontemporer adalah zaman kebodohan, ketiadaan Tuhan, dan kebingungan terang
dalam gagasan jahiliah tersebut dan umat Muslim harus mundur dan masyarakat
jahili mendirikan tatanan sosial Islam sejati (al-nizam al-islami) dan
akhirnya, menaklukkan (kembali) tatanan bodoh yang ada (al-nizam al-jahili).
Menurut perspektif ini, Islam tidak cocok dengan realitas ‘sekular’ modern dan
umat Islam baru dapat tumbuh dan berkembang dengan balk bila mengabaikan
realitas ini, Satu-satunya penawar bagi keadaan jahiliah saat itu terutama
materialisme Barat yang dianggapnya sebagai pencemar utama jalah hakimiyya
Allah: pandangan hidup Islami yang total dan sistem Islam yang diperintahkan
secara ilahi. Jihad’, klaim Mawdudi, adalah bagian dan pembelaan menyeluruh
terhadap Islam ini. Jihad berarti perjuangan dengan kemampuan semaksimal
mungkin yang dimiliki. Seorang manusia yang mencurahkan diri secara jasmani
atau rohani atau membelanjakan kekayaannya di jalan Allah sudah tentu melakukan
Jihad. Namun, menurut bahasa Syariat, istilah ini digunakan terutama untuk
perang yang dilakukan semata-mata dengan nama Allah dan terhadap mereka yang
melakukan penindasan sebagai musuh-musuh Islam. (1960: 150).
Qutb membedakan dunia menjadi dua ranah:
dar al-Islam dan dar al.-harb. Ranah kedua terdiri dari setiap teritori yang
aturan-aturan Islam tidak diberlakukan di dalamnya, tak peduli apakah
penguasanya mengklaim sebagai Muslim (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 241-2).
Meski Mawdudi menyebut jihad sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, Qutb sangat
jelas dalam menyatakan dalam konteks ranah-ranah yang bertentangan ini bahwa
jihad adalah kewajiban yang berlaku pada seluruh Muslim sejati. Agar memberi
hasil yang diinginkan negara Islam’Jihad Islami’ harus memberikan umat Muslim
‘atmosfer bebas untuk melaksanakan keyakinan yang telah dipilihnya. Jihad
Islami dapat sepenuhnya menghancurkan sistem-sistem politik yang berkuasa, atau
menaklukkannya, memaksa sistem-sistem tersebut untuk tunduk dan menerima Jizyah
(pajak yang dibayar oleh non-Muslim di sebuah negara Islam).
Pemikiran Qutb mengandung dua inovasi
yang terbukti sangat signifikan bagi Kaum Islamis yang tergugah olehnya.
Pertama, dengan mengumumkan bahwa bukan cuma pemerintah non-Islam, tetapi juga
pemerintah-pemerintah yang dipimpin umat Muslim bisa dianggap berada dalam
keadaan jahiliah, ia memberikan persetujuan Islami kepada umat Muslim untuk
menentang dan menggulingkan pemerintah yang memerintah mereka. Perintah mutlak
ini juga ada di dalam Qur’an, bahwa tak seorang pun boleh berhubungan dengan
orang yang memalingkan wajahnya dan mengingat Allah dan hanya mencari dunia
sebagai tujuan dan pandangannya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 205).
Namun, target utama Kaum Islamis ialah negara-bangsa secular di negara-negara
Islam, dan tujuan akhir mereka ialah mendirikan sebuah negara Islam. Negara impian
mereka akan memiliki Qur’an sebagai konstitusinya, pemimpin yang melaksanakan
syariat, yang juga mengikat atasnya, dan menghidupkan syura (musyawarah).
Seperti ditulis Qutb, ‘teori politik di dalam Islam bersandar pada dasar
keadilan di pihak para pemimpin, kepatuhan di pihak yang dipimpin, dan
kolaborasi di antara pemimpin dan yang dipimpin’ (1980: 93). Menurut Qutb, umat
Muslim yang mendukung kedaulatan manusia di dalam politik merancukan penggunaan
kekuasaan dengan sumbernya. Karena hukum islam sudah menyediakan sistem hukum
dan moral yang lengkap, tidak mungkin ada pembuatan undang-undang lebih lanjut
atau tidak perlu ada. Mawdudi pun mengklaim bahwa ‘sudah sangat jelas bahwa
Islam yang berbicara dari sudut pandang filsafat politik adalah antiteis dan
demokrasi Barat sekular itu sendiri’ (dalam Donohuc dan Esposito, 1982: 254).
Vilayat-I faqih didirikan berdasarkan
keberadaan ‘klerus’ Syi’ah yang
hierarkis dan terlembagakan (sesuatu yang tidak ada pada tradisi Sunni). Namun,
beberapa partai dan gerakan Islamis seperti Muslim Brethren di Jordan, secara
resmi telah menerima sarana dan praktik lembaga sekular dan telah
diintegrasikan ke dalam proses politik. Sebagian besar perhatian dan energi
Kaum Isiamis tetap terfokus pada permaslahan internal negara dan masyarakat
yang didominasi oleh penduduk Muslim atau hanya berpenduduk Muslim. Meski
demikian, bahkan dimensi terbaru pada pemikir politik Islami ini menguatkan
penilaian Robert Hefner bahwa ‘benturan peradaban’ atau ‘pandangan dunia (world Views)’ yang sesungguhnya di
periode kontemporer bukan terjadi ‘di antara Barat dan suatu “pihak lain” yang
homogen, tetapi di antara para pembawa tradisi yang saling bersaing di dalam
bangsa dan peradaban yang sama(1998:92).
ISLAM LIBERAL
Kemenonjolan dan kekuatan Islamisme
mengalami pasang surut di sepanjang pertengahan dan bagian akhir abad kedua
puluh. Pada akhir abad kedua puluh, wacana modernis dihidupkan kembali dan
diperkuat bersama hal yang disebut sebagai ‘liberalisme Islam’. Menurut
Kurzman, Kaum Liberal islam ‘berusaha menghidupkan kembali reputasi dan
pencapaian Kaum Modernis terdahulu’ (2002:4). Liberalisme Islam kontemporer
berbeda dan baik Kaum Modernis Islam maupun Kaum Islamis dalam tiga hal.
Pertama, terhadap semboyan Islamis bahwa
‘Islam adalah solusi’, serta klaim sekularis bahwa Islam adalah masalah. Kaum
Liberal Islam menyebut sebagian besar penyakit sosial dan politik disebabkan
oleh kurangnya demokrasi dan hak-hak asasi, terutama kebebasan dalam berpikir.
Menanggapi Kaum Islamis, Sadek J. Sulaiman
(Oman, lahir 1933) menyatakan bahwa ‘sebagai konsep dan sebagai prinsip, syura
di dalam Islam tak berbeda dengan demokrasi’, dan ‘hubungan antara demokrasi
dan syura menyentuh hakikat keberadaan nasional kita (qawmiyyah). Syura menentukan kualitas pengalaman kewarganegaraan
kita dan dunia yang ingin kita wariskan kepada generasi yang akan datang.
adalah
istilah politik yang relatif baru diciptakan dan menunjukkan faktor (atau
banyak faktor) tetap dan tertentu pada suatu masyarakat tempat kekuatan koersif
berada dengan sepatutnya guna dipatuhi kehendaknya. Jelas sekali bahwa dalam
pengertian ini Allah tidak berdaulat dan hanya manusia yang dapat dan memang
berdaulat. (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 264).
Mengakui kedaulatan Allah, menurut
pandangan Rahman, mencakup menerima ‘prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalam
Qur’an (yang) merupakan keadilan dan fair play’.
Pemikir-pemikir Islam Liberal berpendapat bahwa sistem demokrasi yang paling
baik dalam mengodifikasi dan memelihara hak dan kewajiban akan dapat mengurangi
kesewenang-wenangan dan autoritarianisme di pihak negara. Di antara nilai-nilai
terpenting yang dianggap berasal dari demokrasi menurut pemikiran Islam
terdapat toleransi, dan di antara hak-hak terpentìngnya terdapat kebebasan
berpikir dan kebebasan berbicara. Nurcholish Madjid (Indonesia, lahir 1939)
menyebut kebebasan berpikir dan berbicara sebagai hak dasar terpenting yang
dimiliki individu dan menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang terdengar aneh atau
tidak benar pun harus dilindungi:
Tidak
jarang gagasan dan pemikiran yang mulanya dianggap keliru, (di kemudian hari)
diketahui benar. Selanjutnya, dalam menghadapi gagasan dan pemikiran, bahkan
kekhilafan pun bisa jadi sangat berguna, karena kekhilafan akan mendorong
kebenaran untuk mengungkapkan diri dan berkembang sebagai kekuatan yang hebat.
‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami
berikan Aturan dan Jalan yang terang. Aspek khusus kedua dan para pemikir Islam
liberal ialah bahwa mereka menghindari upaya-upaya untuk merebut kekuasaan
negara, atau bahkan untuk meng-Islamisasikan negara, serta lebih berfokus
kepada menghidupkan kembali etos Islam di tingkat masyarakat. Menurut ‘Abd
al-Raziq, pemerintahan ‘adalah tujuan duniawi, dan Allah, semoga Dia selalu
ditinggikan, menjadikannya sebagai persoalan yang harus diselesaikan oleh
pikiran kita, dan membiarkan manusia bebas mengolahnya sesuai tuntunan yang
diberikan oleh pikiran, pengetahuan, minat, hasrat, dan tendensi mereka’ (dalam
Kurzman, 1998: 35).
Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam
liberal menunjukkan pergeseran signifikan terkait penggantian argumen teokratis
dengan argumen yang dimaksudkan untuk menanamkan atau melindungi etos Islam.
Sebagian, seperfi Khalaf-Allah, menyatakan bahwa ‘jika ada pemerintah yang
dapat disebut Islami, hal itu tentu dalam pengertian “Islam sebagai budaya”
(al-Islam al-hadara) dan bukan “Islam sebagai agama” (al-Islam al-din)’ (Ayoubi, 1991: 302).
Agar berhasil, agama harus mengakui
bahwa ia adalah iman akan kekuatan besar yang ditanamkan di dalam nurani
manusia untuk menghubungkan Individu dengan imannya, masyarakat, kemanusiaan,
dan kosmos pada umumnya. (1998: 71). Unsur ketiga yang membedakan sedikitnya
sebagian Liberal Islam/dengan Modernis, Islamis, dan Tradisionalis berhubungan
dengan pendekatan mereka terhadap isu menginterpretasikan tradisi agama atau
ijtihad. Kaum Modernis Islam telah menerima ortodoksi Sunni yang mengklaim
bahwa ‘pintu ijtihad’ telah ditutup pada abad-abad pertama Islam, bahwa umat
Muslim di kemudian hari perlu mengikuti praktik taklid, meneladani
tradisi-tradisi yang sudah mapan. Misalnya, pada pergantian abad yang Iampau,
Mahmud Shukni al-Alusi (Irak, 1857-1924) menganggap ‘tesis tentang tertutupnya
pintu ijtihad’ yang diajukan oleh rekan sezamannya, Yusuf al-Nabbani yang ‘bodoh’
dan ‘merana’ (Palestina-Lebanon, 1850-1932) itu, ‘palsu dan heretis’ (dalam
Kurzman, 2002: 171). Kekhilafan, segala kekhilafan itu, terletak pada peniruan
membabi buta dan pengekangan pikiran’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 182).
Afghani berpendapat bahwa umat Muslim ‘tidak boleh puas hanya dengan taklid dan
leluhur mereka’ (dalam Keddie, 1968: 171). Dalam memerangi praktik taklid,
Modernis Islam berusaha merehabilitasi dan memperluas hak untuk melakukan
ijtihad guna menginterpretasi ulang tradisi Islam agar memenuhi kebutuhan :
zaman modern, Wael Hallaq membedakan dua unsur dalam pemikiran hukum Islam
kontemporer yang menawarkan visi-visi ijtihad yang saling bertentangan. Meski
Turabi mungkin pantas dimasukkan di kalangan Liberal islam, berdasarkan penekanannya
pada demokrasi dan pluralisme, pembedaan Hallaq mencakup sisi Kaum Liberal
Islam kontemporer yang dominan dan khas. Baik unsur liberal maupun unsur
utilitarian, menurut Hallaq, memiliki tujuan yang sama: ‘merumuskan kembali
teori hukum dengan cara yang menyukseskan sintesis : antara nilai-nilai
keagamaan dasar Islam, di satu sisi, dengan hukum substantif yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sebuah masyrakat modern dan terus berubah, di sisi yang
lain’. Namun, hal yang paling membedakan dua kecenderungan ini ialah metode
yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada 1982, Rahman mengatakan bahwa
adalah ironi bila menghadapkan yang disebut Fundamentalis Muslim : sebagai
lawan dan Modernis Muslim, sebab, selama prosedur mereka yang mengagumkan itu
terus berlangsung, ucapan Kaum Modernis Muslim akan selalu tepat sama dengan
ucapan kaum yang disebut sebagai Fundamentalis Muslim tersebut. Bahwa umat
Muslim wajib kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli dan definitif serta
menjalankan ijtihad dengan berdasarkan sumber-sumber tersebut. (1982: 142).
Baik Kaum Modernis maupun Kaum Isiamis
‘memberikan jawaban yang sama sekali berbeda untuk beberapa isu dasar sesuai
dengan lingkungan mereka masing-masing’, tetapi seperti yang dilihat oleh
Rahman, yang menjadi masalah bukanlah kesimpulan mereka yang berbeda, tetapi
tidak adanya ‘metode’ dalam menginterpretasikan tradisi islam agar dapat
memberikan interpretasi yang meyakinkan dan tepercaya serta menghapuskan
interpretasi yang ‘asal-asalan’.
Dalam mendekati Qur’an, an-Na’im
mengikuti metode eksegesis tradisional dengan membedakan ayat-ayat yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Mekah dan ayat-ayat yang diwahyukan di
Madinah.
Berdasarkan hal inilah Shahrour
membedakan antara yang ‘disahkan secara ketuhanan (halal) dengan yang dilarang
secara ketuhanan (haram) dan yang dilarang secara manusiawi (mamnu)’, dengan menyatakan bahwa ‘ajaran
dasar Islam ialah bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang secara khusus itu
diperbolehkan’ (1990: 141). Metode Shahrour mengilustrasikan pendekatan
metodologi yang sudah umum bagi Kaum Liberal Islam. Sementara Muslim modernis
mencari berbagai gagasan liberal di dalam warisan Islam, Kaum Liberal Islam
meyakini bahwa warisan tersebut tidak banyak berbicara mengenai isu-isu
tertentu. Al-’Ashmawy, misalnya, mengatakan bahwa ‘dari 6.000 ayat Qur’an,
hanya 200 yang mengandung aspek hukum, yaitu, kira-kira sepertigapuluh dari isi
Qur’an, termasuk ayat-ayat yang telah dihapuskan dengan ayat-ayat sesudahnya’
(dalam Kurzman, 1998:51).
DIALOG YANG
TERPUTUS-PUTUS
Pada periode kontemporer, yang
diperhatikan bukan cuma berbagai interpretasi ‘yang sama sekali berbeda’
terhadap tradisi Islam, tetapi juga beberapa metode interpretasi yang sama
sekali berbeda. Namun, teridentifikasi sedikitnya dua transformasi penting di
dalam pemikiran politik Islam.
Seperti halnya Kaum Modernis Islam,
pemikir-pemikir Islam liberal juga menawarkan cara yang menjanjikan dalam
menegosiasikan konflik antara modernisasi dan warisan Islam serta memenuhi
tuntutan baik modernisasi maupun warisan Islam, tetapi mereka pun menghadapi
tantangan serius, Mereka tengah diserang dan dua sisi sekahigus: dikecam karena
terlalu liberal, juga karena terlalu Islami. Kaum Sekularis melihat Islam
liberal (juga Islam modernis) sebagai oksimoron dan menyatakan bahwa Islam
terlalu kaku untuk ditransformasi atau bahwa Islam harus diturunkan ke ranah
pribadi. Baik Kaum Islamis revivalis maupun Kaum Islamis tradisional
berpendapat bahwa Kaum Liberal Islam tak lebih dan Kaum Sekularis yang berkedok
Islam, menyangkal bahwa nilai-nilai modern memiliki tempat di dalam leksikon
Islam atau mengutip nilai-nilai modern untuk menganggap liberalisme mereka
kebablasan sehingga mengorbankan warisan Islam.
Bahkan, yang paling tidak toleran dan Kaum
Islamis pun beberapa pengecam dan penghujat Hanafi yang paling buruk dalam
pengertian tertentu juga menempati ruang diskursif yang sama dan setidaknya,
secara sebagian, meleburkan wacana liberal dan pemikiran modernis.
TEORI
POLIK HIJAU: SEBUAH
LAPORAN
JOHN
BARRY DAN ANDREW DOBSON
Teknologi kriogenis akan sangat tepat
diterapkan guna mendapatkan ‘tidur lelap’ yang dikondisikan, namun masalah
teknis dan etis melarangnya dengan tegas. Setelah itu satu-satunya kontak yang
mereka lakukan dengan dunia luar hanyalah dengan kapal pelayanan dan petugas
yang bertanggung jawab mengurusi sistem penopang kehidupan pulau karang
tersebut secara berkala.
Mereka hanya diminta mencatat
peruhahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka dan mencoba menyesuaikan,
secara umum, dengan kecepatan perubahan. Secara umum, kesimpulan yang dicapai
pada akhir eksperimen penghentian waktu itu menenangkan dan membangkitkan
harapan. Subjek eksperimen terbukti mampu mencema peruhahan-perubahan yang
telah terjadi di bidang aktivitas dan pekerjaan mereka selama isolasi
berlangsung, bahkan di bidang yang mengalami perubahan amat sangat pesat,
seperti teknologi informasi dan sereal untuk sarapan. Namun, melalui jalan yang
panjang dan berputar-putar, penjelasan lengkap dan salah satu subjek eksperimen
telah sampai ke tangan kami.
Subjek yang dibicarakan ini adalah
seorang teoretikus politik normatif, la terkenal di kalangan kolega dan
rekan-rekan sezamannya pada awal 1980-an sebagai peneliti yang mendalami ragam
luas topik dalam subdisiplin yang digelutinya kualitas-kualitas itulah yang
mendorong TLS untuk memilihnya sebagai wakil bidang aktivitasnya dalam eksperimen penghentian waktu ini. Bagian dan
laporan yang menjadi perhatian kami di sini ialah bagian yang membicarakan hal
yang oleh subjek (sebut saja namanya ‘Z’) secara bergantian disebut sebagai
teori politik ‘hijau’, ‘lingkungan’, atau ‘ekologis’.
Apa saja yang sudah terjadi selama ini?
Teori politik hijau sebenamya meminta kita menjungkirbalikkan anggapan yang telanjur
beredar ini.
BATAS-BATAS
PERTUMBUHAN
Samar-samar saya teringat argumen
tentang batas-batas terhadap pertumbuhan itu berkarakter ‘malapetaka dan
kegelapan’ serta bencana lingkungan’, yang melengkapi maraknya film-film
tentang pasca kehancuran dunia yang banyak beredar pada 1970-an, berbarengan
dengan kekurangan minyak pada 1972. Namun, ekologisme lebih sering disajikan
secara politis dan analitis sebagai ideologi progresif, ahli waris tradisi
Pencerahan, persamaan (equality),
yang berhubungan erat dengan ‘gerakan-gerakan sosial baru’ (satu lagi kategori
yang harus saya pelajari sejak pulang dan Pasifik) (lihat Bab 20) dan sejalan
dengan (kadang-kadang seperti persaingan antar saudara dengan) partai buruh dan
sosial demokratis Iainnya. Tampaknya, batas-batas terhadap pertumbuhan sebagian
merupakan ulasan deskriptif tentang hubungan metabolistis antara manusia dan
lingkungannya, dilihat dalam hubungannya dengan kapasitas lingkungan untuk
menyediakan jasa-jasa bagi produksi dan reproduksi kehidupan manusia.
Persediaan dan aliran jasa-jasa inilah yang menjadi konteks bagi segala proyek
manusia. Ideologi-ideologi lain di dalam buku-buku teks di rak saya sepanjang
1983-2003 tak satu pun yang membicarakannya. ‘Persediaan’ merujuk kepada
sumber-sumber daya seperti batu bara, yang sesungguhnya terbatas jumlahnya, dan
‘aliran’ mengacu kepada sumber-sumber daya yang secara teori dapat dibarui,
seperti ikan dan tenaga matahari, serta kapasitas sistem-sistem bumi untuk
menyerap limbah dan polusi. Sumber daya persediaan berkurang karena diambil dan
diubah menjadi bahan-bahan yang berguna bagi reproduksi kehidupan manusia.
Sumber daya persediaan dihabiskan
seolah-olah tidak ada batasnya, dan tak ada upaya yang dilakukan untuk
mencarikan pengganti yang memungkinkan jasa-jasa yang diberikan sumber-sumber
daya itu berkelanjutan. Ekologisme tampil sebagai sesuatu yang lain daripada
yang lain di antara ideologi-ideologi politik modem dengan menunjuk konteks
metabolistis ini sebagai proyek politik, dan dengan sadar diri mengkritik
ideologi-ideologi lain karena tidak berbuat serupa.
Ada pencela yang menyatakan bahwa
kesimpulan-kesimpulan tesis itu didasari model yang amat rapuh. Bagaimana
mungkin orang bisa dengan akurat membuat model ragam input dan output kompleks
yang begitu luas, sambil secara bersamaan memperhitungkan secara lengkap dan
tepat variabel-variabel yang merupakan jaring penyusun hubungan metabolistis
individu dan masyarakat dengan lingkungan mereka? Yang lain terfokus pada
variabel-variabel itu sendiri. Tentu tidak semua orang patut disalahkan secara
sama atas terlampauinya batas-batas yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan
yang terbatas, maka, saya jadi bertanya-tanya, sampai sejauh mana hal yang
tampaknya kurang memiliki analisis kekuasaan ini dapat disebut sebagai politik?
Kategori moral dan politis masyarakat
miskin yang menebangi hutan untuk bertahan hidup lain dengan kerusakan
lingkungan yang disebahkan gaya-gaya hidup konsumen mewah yang membutuhkan
banyak sekali energi dan sumber daya. Manusia mengubah rupa alam sebagaimana
alam pun mengubah rupa manusia, dan ini artinya batas-batas adalah suatu fungsi
dalam hubungan metabolistis yang dimiliki manusia-manusia dengan alam, bukan
kumpulan yang sudah lebih dahulu ditetapkan dengan cara tertentu. Namun, inikah
yang mematikan argumen hijau? Telah saya temukan bukti yang mengesankan bahwa
partai-partai politik baik kanan maupun kiri atau ideologi-ideologi yang
menjadi sumber ilham partai-partai tersebut menganggapnya sebagai pesan yang
layak untuk disimak.
STATUS
ETIS DUNIA NONMANUSIA
Saya mulai memandang alasan ‘batas-batas
terhadap pertumbuhan untuk kepedulian terhadap lingkungan itu sebagai respons
‘pragmatis’ terhadap kemunduran yang teramati pada lingkungan. Namun, alasan
yang harus diberikan ekologisme belum tercakup di dalamnya. Saya terusik oleh
bagaimana ekologisme menjadi bagian dan suatu remoralisasi politik yang lebih
luas, yang menetapkan bahwa orang bertindak benar karena itulah tindakan benar
untuk dilakukan dalam arti moral, bukan dikarenakan insentif uang atau kumpulan
alasan cermat lainnya. Dalam konteks ini, teguran menarik dalam bentuknya yang
paling umum dilancarkan beberapa ekologiman politis bahwa dunia alam nonmanusia
memiliki status moral. Perlu waktu bagi saya untuk mencerna makna dan implikasi
dan kesan tersebut.
Jika monyet rhesus benar-benar ‘serupa’
dengan manusia, maka, bukankah kita seharusnya menolak bereksperimentasi
dengannya karena alasan yang sama kita menolak bereksperimntisi dengan manusia?
Mereka mengklaim, lebih banyak yang dapat mereka pelajari dari binatang yang
secara fisiologis serupa dengan manusia daripada dari binatang yang secara
fisiokologis tidak mirip secara ilmiah hal ini memang masuk akal, tetapi,
pertanyaan pertama dalam surat itu. Juga mengandung efek moral. Ciri-ciri khas
yang menjadikan monyet rhesus begitu ideal sebagai subjek farmakologi yaitu,
kemiripannya dengan Spesies manusia adalah ciri khas yang sama yang
mengingatkan larangan moral terhadap eksperimentasi.
Penulis surat itu menerangkan, jika hal
ini berlaku untuk manusia, tentu harus berlaku pula untuk makhluk-makhluk lain
yang serupa dalam hal-hal yang relevan dengan manusia. Ada frasa yang selalu
bergema di sepanjang teori politik hijau: ‘serupa dalam hal-hal yang relevan’.
Berliter-liter tinta hijau telah dituangkan dalam debat tentang apa yang
dimaksud dengan ‘hal-hal relevan’ itu, pada khususnya. Apa tepatnya ‘faktor X’
yang menyebabkan ketertimbangan moral itu?
Jika faktor X itu adalah nalar dan/atau
komunikasi verbal, maka lingkaran moral yang istimewa itu hanya terbatas pada
manusia, atau setidaknya terbatas; pada mereka yang bisa berpikir dan/atau
berbicara. Dan tiap-tiap sudut pandang moral atau kecermatan ekologisme
memolitikkan lingkungan dengan mengungkapkan persoalan tentang penggunaan dan
penyalahgunaan lingkungan sebagai suatu persoalan politis. Saya akan
membahasnya lagi nanti, tetapi ada satu lagi aspek menarik dan pertanyaan
tentang motivasi (Mengapa melindungi lingkungan?’) yang harus saya laporkan.
Ada ketidakpuasan yang nyata kepada argumen yang berbelit-belit dan tidak
meyakinkan dalam arti politis, yang timbul karena debat ‘serupa dalam hal-hal
yang relevan’ tadi. Saya tergoda untuk membicarakan sebuah argumen yang dapat
menyelesaikan masalah rumit itu dengan memolitikkan Iingkungan secara tidak
langsung.
GENERASI
MASA DEPAN DAN LINGKUNGAN
Caranya dengan memperluas komunitas
politik ke arab yang berbeda tetapi, lagi-lagi sangat lain dengan segala hal
yang saya temukan dalam buku teks ideologi-ideologi politik. Sebelum masa
pengasingan di Pasifik, saya terbiasa berpikir tentang politik progresif
sebagai pengakuan akan klaim-klaim politis dan banyak sekali kelompok sosial
yang sebelumnya terpinggirkan. Yang paling jelas, contoh, perempuan kini diakui
dengan cara yang tak terbayangkan pada 100 tahun yang lampau. Bukan hanya jenis
sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup secara fisiologis, tetapi juga
jenis sumber daya yang dibutuhkan untuk memahami segala jenis rencana
kehidupan. Artinya, inilah lingkungan yang dipahami sebagai ‘perkataan dan
perbuatan yang membentuk dan melaksanakan berbagai rencana kehidupan.
Kini pikirkanlan semua ini dalam
hubungannya dengan keadilan. Bagaimanakah cara terjujur untuk mendistribusikan
hal (lingkungan) yang merupakan ragam opsi untuk rencana kehidupan ini? Dan
yang sangat penting bagi ekologisme, siapakah yang seharusnya diakui sebagai
penerima sah manfaat-manfaat distribusi ini? Bagi ekologisme, dalam keadilan
tidak ada alasan generasi manusia sekarang berhak mencabut hak generasi masa
depan untuk ‘berkata dan berbuat’ guna dan sebagai pangkal untuk memahami dan
melaksanakan rencana-rencana kehidupan.
Tidak sulit untuk memahami bahwa semua
ini sesungguhnya sama dengan melindungi lingkungan dengan cara tidak langsung.
Kajian-kajian politis ekologis yang saya lakukan telah mendorong saya untuk
percaya bahwa salah satu kerugian politis terbesar yang diderita ekologisme
ialah tertundanya ketidakpercayaan yang dibutuhkan saat Anda mendarat pada
sebagian partainya yang paling liar. Keadilan juga terkait dengan wacana hak,
yang merupakan tata bahasa normatif etis dan politis dominan di dalam teori dan
praktik liberal modern. Saya akan kembali ke isu generasi masa depan ini nanti.
Berdasarkan telaah ini, saya menyadari
bahwa ekologisme adalah ideologi yang keluar dan buku-buku teks
ideologi-ideologi dan masuk wilayah teori politik yang lebih luas. Saya sampai
pada pikiran bahwa cara terbaik untuk menggambarkan ekologisme dengan tepat
ialah dengan menganggapnya sedang mengungkapkan suatu tujuan politis yang kita
sebut keterpeliharaan (sustainability)’. Dan apakah sebenarya X itu?
Bentuk pertanyaan ini adalah bentuk yang
sudah diakrabi oleh para teoretikus politis. Sejarah teori politik sendiri bisa
dilihat dalam hubungannya dengan argumen prioritas dan argumen kesesuaian
antara kemerdekaan dan kesamaan, demokrasi dan perintah, keadilan dan
kemerdekaan, dan seterusnya. Pembacaan saya tentang hal yang terjadi dalam
lebih dari 20 tahun terakhir masa pengasingan saya dari perkembangan teori
politik ialah bahwa ekologisme telah menambah satu lagi tujuan politis pada
daftar pesaing.
Seakan-akan yang dinamakan ‘teoritikus
hijau’ itu bekerja melalul daftar desideratum politis dan memahami hubungan
antara desideratum itu dan keterpeliharaan dalam suatu pengertian normatif.
Peralihan dan ideologi ke teori ini tampaknya juga berakibat keluarnya teori
politik hijau dan sesuatu yang pada masa awalnya dianggap sebagai ghetto.
Pembacaan saya mengenai kepustakaan etis Iingkungan, misalnya, mengungkapkan
mengecilnya lingkaran setan debat yang relevansi politis dan ukurannya semakin
berkurang (antara ekosentrisme dan antroposentrisme, ekologi dalam dan dangkal,
hijau muda dan hijau tua) yang pasti menjadi kecemburuan para teologiman abad
pertengahan yang selalu berupaya memikirkan bagaimana caranya agar banyak
malaikat bisa pas pada satu lencana yang bulat kecil. Di lain pihak pergerakan
ke luar yang terjadi karena debat seputar konflik dan kesesuaian antara
keterpeliharaan dan tujuan-tujuan politis Iainnya, telah menarik para
teoretikus arus utama ke dalam debat teori politik hijau. Dan sudut pandang
saya yang 20 tahun absen dan teori politik, saya nilai hal ini baik untuk kedua
belah pihak.
Salah satu cara untuk mencari jawabannya
ialah dengan memikirkan politik hijau dalam hubungannya dengan wacana
utopianisme. Hai ini berbeda dengan rumus-rumus konservatif yang cenderung
melukis suatu gambaran idealis tentang suatu momen berharga di masa lampau yang
Kaum Konservatif ingin melìhatnya pulih di masa sekarang biasanya disertai
dengan pandangan negatif/realistis tentang kodrat manusia yang menetapkan
batas-batas jelas terhadap perubahan politik. Menurut saya, ekologisme berada
di antara kedua pandangan itu. Ekologisme memiliki pandangan progresif yang
sama bahwa hal yang biasa, disebut sebagai ‘kodrat manusia’ itu mudah
dipengaruhi, jadi kita tidak dituduh ‘egois’ atau perilaku tertentu lainnya,
tetapi ekologisme juga tunduk kepada pikiran-pikiran konservatif dengan
mengatakan bahwa kondisi manusialah yang menetapkan batas-batas pada proyek
kita. Perbedaan antara kodrat manusia dan kondisi manusia ini memungkinkan
ekologisme mengklaim elastisitas bagi kodrat manusia dan suatu kadar kekakuan
bagi kondisi manusia. Hasilnya ialah semacam politik progresif yang unsur
utopisnya dengan tegas mengakui batas-batas, yang merupakan aspek lain dan
ideologi ekologisme tersebut.
SAINS,
TEKNOLOGI, DAN KERENTANAN
Gagasan tentang batas-batas itu sangat
penting dalam ekologisme, dan peran sains dalam mengidentifikasi batas-batas
tersebut memberinya tempat tersendiri di dalam ekologisme. Tak seperti semua
ideologi dan teori politik lain yang saya kenal (dengan pengecualian upaya
lemah untuk mengembangkan ‘Marxisme ilmiah’), ekologisme benar-benar
berdasarkan sains.
Jadi, sains memilikì peran vital dalam
ekologisime dengan melengkapinya dengan ‘fakta-fakta dan ‘masalah-masalah’ yang
berhubungan dengan ketergantungan metabolis kita terhadap dunia non manusia dan
sistem-sistem alaminya. Meski demikian, pembacaan saya akan kepustakaan hijau
mengesankan bahwa hubungan positif dengan sains dan sikap positif terhadapnya
bukan merupakan sesuatu yang dimiliki dalam arti universal. Bagi sebagian
ekologiman politis, sains (dan perkembangan dan inovasi teknologis) adalah
bagian utama dan penyebab kerusakan lingkungan, artinya, sains adalah bagian
dan masalah, bukan bagian dan solusi.
Pandangan-pandangan seperti itu menunjuk
perkembangan ilmiah dan perkembangan teknologis seperti tenaga nuklir, mesin
pembakaran intemal, bioteknologi, dan pada umumnya pemanfaatan ‘sains dan
teknologi guna menghasilkan cara-cara yang semakin hakiki untuk menghabiskan
sumber-sumber daya planet ini sebagai bukti argumen untuk menentang sains.
Begitu pula, argumen yang kuat di dalam
teori politik hijau berhubungan dengan mentalitas ‘tekno-perbaikan’ dalam
industrialisme. Perspektif tekno-perbaikan memasukkan gagasan bahwa untuk
menemukan solusi untuk masalah ekologis, tidak diperlukan perubahan besar pada
sistem ekonomis dan politis sekarang atau pola-pola konsumsi dan produksi.
Luddite penentang teknologi’ (Holmes,
1993: 122-41) atau ideologi konservatif, berpandangan ke belakang,. dan
antimodernis (Giddens,1999c: 94-104), yang mencoba kembali ke semacam ‘Masa
Keemasan ekologis’, yana penting ekologisme politis tidak menolak sains dan
teknologi. Ekologisme menerima sains dan teknologi, tetapi dengan menginsafi
bahwa sains dan teknologi adalah instrumen politis dalam arti intrinsik, bukan
instrumen ‘netral’, bahwa sains dan teknologi memiliki implikasi-implikasi
etis, tetapi akan (bila sesuai) menjadi bagian dan solusi untuk banyak masalah
ekologis. Dalam hal ini, ekologisme benar-benar di dalam alih-alih di luar
Pencerahan dan modernitas, meski memiliki kesamaan dengan perspektif-perspektif
politis lainnya seperti sosialisme dan feminisme dalam hal status ‘orang dalam
kritis’.
Di dunia yang sedang mengglobal dan
semakin dikendalikan secara teknologis. Menanggapi batas-batas terhadap
pengetahuan manusia, batas-batas terhadap pertumbuhan, ketertimbangan etis
dunia nonmanusia, dan saling ketergantungan antara dunia manusia dan dunia
nonmanusia, Kaum hijau berbicara tentang kehati-hatian, kecermatan, dan
kepedulian. Signifikansi prinsip pencegahan yang semakin besar (dalam arti
etis, politis, ekonomis, dan epistemologis) di dalam teori politik hijau
menjadi buktinya (O’Riordan dan Jordan, 1995: 0’ Riordan, Cameron, dan Jordan,
2001). Dalam konteks ketidaktahuan yang tak berkurang (Faber, Manstetten, dan
Proops, 1992) dan kompleksitas metabolisme antara manusia dan dunia nonmanusia,
menurut Kaum hijau, kita ini nekat buru-buru berlari dengan perubahan-perubahan
berskala besar dan tak dapat dibatalkan terhadap dunia alam, yang pengaruhnya
dalam jangka panjang tidak kita pahami Perspektif hijau tersebut tercakup
dengan baik sekali dalam pandangan Aquinas bahwa ‘Kuda yang buta lebih baik
berjalan pelan-pelan’.
KETERPELIHARAAN,
DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIAL
Hal ini karena, pertama, demokrasi perlu
waktu, dan waktu sama langkanya dengan sumber daya minyak bagi para pendukung
batas-batas terhadap pertumbuhan. Bagaimana jika mereka tak ingin melakukan
perubahan yang diperlukan untuk menjalani hidup yang terpelihara? Mungkin
inilah penyebab hubungan antara demokrasi dan keterpeliharaan dipelajari dengan
begitu lengkap (Doherty dan dc Geus; 1996; Lafferty dan Meadowcroft, 1996;
Matthews, 1996). Sebagai suatu tujuan, keterpeliharaan memiliki sujumlah ciri
umum yang menjadikannya ‘bidang uji’ untuk sesuai tidaknya tujuan-tujuan
politis seperti ini dengan demokrasi. Bentuk tak tentu yang dimiliki keterpeliharaan,
misalnya. Argumen ‘batas-batas’ untuk mendukung solusi-solusi paksa bagi
ketidakterpeliharaan agaknya tergantung pada adanya jawaban yang tentu untuk
pertanyaan “Apa yang harus dilakukan?” Suatu ambang batas menunjuk titik yang
setelah dilewati, gangguan lebih lanjut terhadap suatu proses alami atau
eksploitasi lebih jauh terhadap suatu sumber daya alam akan berakhir
dengan Pendapat ini mungkin jelas secara
ilmiah, tetapi kita hanya perlu mengajukan pertanyaan ‘Tidak terpelihara untuk
siapa dan untuk apa?’ kepada diri kita sendiri untuk memahami bahwa kendati
sains mampu menyediakan informasj bagi kita untuk mendasari suatu keputusan,
tidak mungkin kita mengharapkan komputer mengolahkan sebuah jawaban yang
lengkap bagi kita.
Dua contoh Pertama, benarkah kita
menganggap generasi manusia masa depan sebagai jawaban sah untuk pertanyaan
‘Untuk siapa? Manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan
diri dan sudah terbukti mahir mengisi ceruk-ceruk ekologis (ecological niches)
yang sangat tidak cocok baginya. Kita adalah spesien yang tidak dapat
dikhususkan oleh alam dalam banyak hal, seakan-akan, seluruh planet ini menjadi
‘ceruk ekologis’ kita.
Kita mengetahui apa keterpeliharaan itu
dalam pengertian sementara atau terbatas, dengan memperdebatkannya dan
membolehkan banyak perspektif dan pendapat untuk didengar. Dan kali ini,
tampaknya epistemologi dan pragmatisme politik terjadi bersamaan dengan
leluasa. Dari sudut pandang epistemologis, jika ‘kebenaran’ tentang
keterpeliharaan memang ada, maka kemungkinan besar hal itu akan muncul dari
percakapan demokratis yang luwes, bukan dan deliberasi-deliberasi suatu
komunitas “pakar” yang tertutup dan epistemis. Dan dari sudut pandang
pragmatis, ukuran untuk keterpeliharaan lebih mungkin didukung dan disetujui
oleh masyarakat jika masyarakat sudah memperoleh kesempatan untuk memutuskan
dan merancang ukuran tersebut daripada jika tidak memilikinya. Sudut pandang
yang kedua ini penting terutama dalam berhubungan dengan memastikan legitimasi
rakyat untuk kebijakan-kebijakan keterpeliharaan yang memerlukan perubahan
dalam gaya hidup banyak orang terutama di negara-negara ‘maju’.
Terutama jika definisi dan legitimasi
itu sementara sifatnya. Namun, demokrasi tak dapat menjamin hasil yang
terpelihara. Keterlibatan hijau dengan demokrasi semakin memperjelas fakta
bahwa bentuk prosedural demokrasi berarti bahwa demokrasi tidak dapat
diharapkan untuk memberikan hasil yang khusus. Inilah pelajaran yang pantas
diketahui, diakui, dan diterapkan dalam konteks-konteks lain, dan pelajaran ini
memunculkan beberapa pertanyaan yang menarik dan lebih luas mengenai
keputusan-keputusan yang ‘dihasilkan’ oleh demokrasi.
Gagasan bahwa suatu demokrasi mungkin
memerlukan serangkaian keputusan yang membuahkan kebijakan-kebijakan yang tak
terpelihara secara sistematis sehingga melemahkan kondisi-kondisi untuk
keberadaannya sendiri, secara struktural serupa dengan pemilihan demokratis
yang menghasilkan suatu pemerintah yang memutuskan untuk mengakhiri proses
demokratis.
Kewarganegaraan ‘hijau’ atau ‘ekologis’
menuntut agar kita memikirkan kewarganegaraan dengan cara-cara yang agak baru.
Pertama, kita harus memikirkan hak dan kewajiban kewarganegaraan yang ada di
luar konteks kewarganegaraan negara-bangsa yang biasa. Ada orang-orang yang
akan mengatakan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan, bahwa sesuai definisinya
kewarganegaraan berhubungan dengan hak dan tanggung jawab individu dalam
berhubungan dengan negara-negara tempat mereka menjadi warganya. Saya melihat
di sini sedang berkembang suatu debat menarik antara pendukung yang disebut
kewargancgaraan kosmopolitan (misalnya, Linklater, 1998) dan lawan ekologis
mereka lebih lanjut lihat Bab 15, 19, dan 22). Kedua, hak dan kewajiban
warganegara dalam konsepsi tradisional biasanya dianggap timbal balik, tetapi
apa artinya hal ini dalam konteks global saat kerusakan ekologis ditimpakan
secara asimetris? Kewarganegaraan ekologis mengesankan bahwa kendati tugas saya
untuk mengurangi kerusakan, sebagai penyebab kerusakan, timbul dan hak timbal
balik orang-orang yang menjadi penerima lingkungan yang enak ditinggali, mereka
tidak punya kewajiban timbal balik dan sepadan terhadap saya. Ketiga, agaknya
kewarganegaraan ekologis menghidupkan kembaii gagasan kebajikan cukup lama
absen dari pembicaraan kewarganegaraan sejak masa jaya republikanisme
warganegara (lebih lanjut lihat Bab 13).
Isu demokrasi utama lainnya yang muncul
dari debat keterpeliharaan ialah isu representasi. Setidaknya ada tiga tipe
konstituensi dalam konteks hijau yang tidak lazim bagi teori dan praktik
demokratis hubungan dengan perbatasan ruang, waktu, dan hambatan spesies.
Pertama, kita tahu bahwa masalah lingkungan seperti pencemaran tidak dapat
dibatasi pada satu negara, jadi keputusan terkait suatu dimensi lingkungan buatan
negara tertentu mungkin bahkan mungkin sekali memengaruhi orang-orang di negara
lain. Apakah orang orang ini berhak diwakill secara demokratis berdasarkan
sesuatu seperti prinsip kepentingan yang terpengaruh’? Kedua, bahasan di atas
menunjukkan bahwa generasi manusia masa depan merupakan bagìan utama dalam
persamaan keterpeliharaan. Mereka jelas-jelas belum ada (dan tidak mungkin
pernah ada) secara aktual saat keputusan kelingkunganan dibuat, tetapi haruskah
mereka ‘hadir’ dengan cara diwakili untuk alasan demokratis? Representasi dalam
teori demokratis selalu berkenaan dengan menjadikan yang absen itu hadir, jadi
jika ada keberatan terhadap gagasan mewakili generasi masa depan secara
demokratis, hal ini mungkin karena alasan praktis, bukan alasan normatif.
Terakhir, kita lihat tadi bahwa perkembangan salah satu aspek agenda normatif
hijau berpusat pada memperluas komunitas moral dan barangkali komunitas politis
untuk mencakup (suatu) spesies di luar spesies manusia. Kepentingan
spesies-spesies lain jelas dipengaruhi oleh tindakan manusia, jadi haruskah
kepentingan-kepentingan tersebut diwakili dengan suatu cara dalam proses
demokratis?
Maka, debat ekologisme demokratis
menjadi menarik karena alasan-alasan yang internal bagi politik hijau, tetapi
pada umumnya teoretikus hijau punya alasan untuk juga memikirkan implikasi
problematika lingkungan terhadap teori dan praktik demokratis, Hal yang sama
berlaku untuk keadilan sosial (lebih lanjut lihat Bab 17). Seperti kita tahu,
keadilan sosial berhubungan dengan distribusi jujur beban dan manfaat di
masyarakat. Pertama, ada pertanyaan tentang dapat dan haruskah ‘lingkungan’
diperhatikan sehubungan dengan ‘beban dan manfaat. Tidak ada teori keadilan
yang menjadikannya persoalan utama, tetapi bentuk bersyarat pada ‘lingkungan’
untuk menjalani hidup-hidup yang bermakna akan menyatakan bahwa hal itu sudah
seharusnya. Fakta bahwa lingkungan telah diabaikan sebagai aspek potensial bagi
teori-teori keadilan sangat signifikan bagi banyak teori politik yang tak
teraba dan tak terlekat. Meski signifikan, terasa aneh mengakui bahwa hal yang
sama sekali memungkinkan keadilan sosial, sebagai teori dan sebagai praktik,
tidak punya tempat dalam kajian-kajian teoretikus keadilan sosial. Bahkan,
inilah sebagian dan signifikansi teori politik hijau, bahwa kecaman ini dapat
dterapkan bagi teori politik pada umumnya (Baxter, 1996).
Calon yang biasa ialah kesamaan,
kegunaan, dan hak sejarah. Harus diingat bahwa Walzer menolak pandangan standar
bahwa suatu metrik distribusi universal dapat diterapkan untuk semua kebaikan
dan keburukan yang dapat didistribusikan. la mengatakan bahwa kebaikan dan
keburukan (atau ‘ranah-ranah’) memiliki prinsip distribusi yang ‘melekat’ pada
kebaikan dan keburukan itu. Hal ini mirip tantangan kepada mereka yang percaya
harus diberlakukan suatu metrik yang lebih universal seperti kegunaan,
misalnya. Walzer memberikan pandangan alternatif untuk itu, dan ‘lingkungan’
merupakan kejadian pembuktian (test case)
untuk pandangan alternatif tersebut.
Hal ini berlaku juga untuk dimensi lain
dalam teori keadilan sosial dimensi yang menyangkut ‘komunitas keadilan’ atau
isu tentang siapa yang pantas dianggap sebagai bakal penerima keadilan. Inilah
salah satu ukuran sifat teori politik hijau yang mendesak perbatasan: bahwa teori
politik hijau juga menimbulkan pertanyaan yang tak biasa, yaitu, apakah makhluk
selain manusia bisa dianggap sebagai penerima keadilan (Dobson, 1998; Low dan
Gleeson, 1998).
Bentuk umum pertanyaan ini lazim bagi
kita dalam konteks kebijakan pajak redistributif, misalnya, berapa besar yang
sah untuk diminta dan oranig-orang yang harus berkorban demi berlaku adil bagi
orang-orang yang tidak harus berkorban? Dalam ‘konteks antar generasi,
pertanyaan ini menjadi berapa besar generasi sekarang diminta berkorban demi
mewariskan kesempatan (dalam hal Iingkungan) bagi generasi masa depan untuk
menjalani hidup yang lengkap dan bermakna. Sungguh misteri penyebab
pertanyaan-pentanyaan seperti ini belum pernah dibicarakan dalam Teori keadilan
sosial, dan kepajanan (exposure) saya
kepada debat keadilan/lingkungan yang terjadi sementara saya dalam pengasingan
telah membimbing saya kepada kesimpulan bahwa pekerjaan teoretikus- teoretikus
keadilan sosial tidak akan selesai dengan baik jika mereka tidak
memperhitungkan benar-benar kecaman bahwa keanggotaan pada kumunitas keadilan
adalah hal terpenting yang harus didistribusikan dan bahwa komunitas ini
mungkin sekali mencakup generasi-generasi manusia yang belum dilahirkan (juga
nonmanusia dan nonkebangsaan).
KESIMPULAN
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat
untuk dijalani. Saya tidak tahu apa yang akan saya harapkan bila pulang dan
bertemu keluarga, tetapi tentunya saya punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Pikiran yang selalu berulang ialah bahwa pulang akan seperti terlahir kembali,
dalam arti bahwa sudah terjadi perubahan-perubahan yang saya tak pernah
memiliki kontrol atasnya dan tak pemah memiliki masukan untuknya. Saya cemas
karena banyak keputusan akan dibuat tanpa memperhitungkan kebutuhan dan
keinginan potensial manusia 20 tahun dan sekarang maksudnya, saya ketika
kembali dari Pasifik. Bayangkanlah kekagetan saya ketika mendapati ‘kecemasan’
ini telah menjadi perhatian utama dalam cabang baru teori politik yang telah
berkembang selama kepergian saya teori politik hijau. Selama enak-enak duduk
diam dalam isolasi di pulau Pasifik, jelas saya menjadi anggota komunitas
politik global, tetapi ketidakhadiran aktual saya berarti bahwa saya tidak
punya peran di dalamnya, padahal keputusan-keputusan yang diambil di dalam
komunitas politik global tersebut selalu memengaruhi kepentingan saya.
Maka, teori politik hijau menantang kita
untuk meluaskan komunitas politik tersebut dan menghadapi implikasi dan
membayangkan kepentingan generasi masa depan sebagai kepentingan kita sendini,
setidaknya sebagai langkah pertama. Hubungan saya dengan sekitar saya juga
mengalami perubahan yang lebih halus. Hidup bersama flora dan fauna itu serta
mengamati ritme dan irama mereka yang langka menjadi sumber sukacita luar biasa
bagi saya dan beberapa rekan dalam eksperimen tersebut. Pulau itu ada untuk
diperlakukan sesuai kehendak saya; segala sesuatu di atasnya berada dalam belas
kasihan dan kedermawanan saya. Hal terakhir yang saya lihat sebelum naik kapal
yang akan membawa saya pulang ialah sebuah sarang berisi sebutir telur milik
pasangan burung yang kami yakini adalah pasangan burung terakhir dan jenis yang
hanya dikenal dipulau itu. Sesaat terpikir oleh saya untuk mengambil telur itu
sebagai kenang-kenangan masa 20 tahun isolasi saya dari dunia ini kemudian,
saya menyadari kejernihan yang nyata bahwa perbuatan itu keliru, bukan karena
alasan yang berhubungan dengan manusia (tak satupun yang tertinggal saat itu),
tetapi sederhana saja, karena mungkin itulah telur terakhir yang tersisa.
Tak pernah saya sangka bahwa pengalaman
itu telah menjelma menjadi aspek utama pada suatu ‘politik baru’ selama masa
kepergian saya, bahkan memolitikkan dan memoralisasikan hubungan kita dengan
dunia alam nonmanusia sudah menjadi tema utama yang selalu berutang dalam teori
pohitik hijau. Saya sendiri bukan teoretikus politik hijau, tetapi saya
benar-benar meyakini bahwa masa depan teori politik seharusnya mengandung dan
akan diperkaya dengan keterlibatan sistematis dengan tema dan tantangan teori
politik hijau. Seperti subjek umum teori politik hijau hubungan bersegi banyak,
baik fisik/metabolis dan etis politis, antara manusia dan dunia nonmanusia ada
beberapa isu yang belum tersentuh oleh teori tersebut. Mengingat kisaran
problem dan isu yang kita hadapi di abad kedua puluh satu (konsekuensi keadilan
sosial dan konsekuensi demokratis dari globalisasi yang dipimpin korporasi,
bioteknologi, dan penerapan komersial pengetahuan genetis; kekurangan energi
dan sumber daya; serta konflik-konflik berdasarkan kelangkaan sumber daya,
kemiskinan dunia, dan ketidaksetaraan global), jelas sudah bahwa teori politik
hijau akan terus berkembang sebagai aspek utama teori politik yang menolong
kita untuk memahami dengan tajam semua perkembangan ini dan menawarkan
alternatif untuknya.
CATATAN
Dalam teori politik hijau (dan gerakan
lingkungan yang lebih luas), isu tentang status etis dunia nonmanusia ini (atau
bagian-bagiannya) serta bobot yang dilekatkan pada status/nilai ini telah
memicu debat antara mazhab pemikiran ‘ekosentris’ dan mazhab pemikiran
‘antroposentris’ (Dobson, 2001; J. Barry, 2001).
Dewasa ini teori politik hijau juga
bertujuan memeriksa ketentuan dan sarana hukum dan konstitusional untuk
mewakili konstituensi-konstituensi ini dan memelihara perlindungan lingkungan.
Maksudnya, dalam argument ini tidak ada alasan yang baik untuk mendukung
perusakan kejam terhadap dunia nonmanusia. Untuk penjelasan tajam mengenai hal
ini.
PENGANTAR
ANDRINOF A.
Chaniago
Dalam khazanah kepustakaan ilmu politik,
pemakaian kata teori politik di dalam berbagai buku tidak selalu memiliki makna
yang persis sama. Paling tidak, ada dua makna yang berbeda di antara buku-buku yang
menggunakan judul teori politik, atau kata Teori Politik, dalam judul yang
digunakan. Pertama, teori politik di dalam sebuah buku bermakna sebagai ide-ide
dan pemikiran fiIsafat politik. Di dalam buku yang memaknai teori politik
seperti ini, kita akan menemukan pemikiran para filsuf tentang kekuasaan,
negara, hubungan negara dan masyarakat, kelembagaan, dan norma-norma untuk
menjalankan kekuasaan. Kedua, teori politik dimaknai, atau dimaksudkan, sebagai
hukum pergerakan antar variabel yang bisa digunakan untuk menangkap dan menjelaskan
isi suatu fenomena politik.
Buku
SP Varma adalah buku yang menggunakan jenis makna yang kedua, Dengan memaknai teori
politik sebagai hukum. Buku teori politik Modern ini jelas Iebih dimaksudkan untuk
memberikan alat analisis untuk melihat berbagai fenomena politik di era modern.
Sebuah teori, kita bisa menangkap fenomena dan melihat hubungan-hubungan logis
yang terdapat di dalam suatu fenomena politik. Sebagai hukum. la tidak berbeda
dengan hukum-hukum fisika yang ditemukan dan pengamatan sisternatis atas suatu fenomena
alam.
Dari fungsì praktisnya, teori politik,
seperti teori-teori sosial pada umumnya, kedudukannya tidak berbeda dari
teori-teori dalam ilmu alam. Tetapi, dalam kedudukan teori politik sebagai
objek ilmu pengetahuan, sifat dan posisinya memiliki perbedaan dengan
teoni-teori di dalam ilmu alam. Jika elemen-elemen dalam sebuah teori di dalam
ilmu alam jarang yang berubah, kecuali bertambah dalam rentang waktu yang lama,
elemen-elemen teori dalam sebuah teori sosial dan teori politik sering berubah
dan bertambah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sifat yang lebih mudah
berubah dan bertambah, termasuk juga lebih mudah runtuh, dari teori-teoni sosial
dan politik ini mencerminkan juga sifat dan fenomena sosial yang berbeda dengan
fenomena alam.
Sifat yang berbeda dan teori-teori
sosial dan politik ini membuat tugas akademik seorang analis sosial dan analis
politik sedikit berbeda dengan seorang analis dari bidang eksakta. Analis
sosial dan analis politik seyogyanya mengalokasikan waktu lebih banyak untuk
mencermati perkembangan teori-teori sosial dan perkembangan elemen-elemen di
dalam suatu teori sosial, dibanding dengan analis bidang eksakta.
Cara
SP Varma menyajikan teori-reori politik di dalam buku ini jelas sangat
mempertimbangkan karakter teori dan fenomena politik yang dinamis itu. Untuk
keperluan praktis, teori-teori politik yang diperlukan seorang mahasiswa
ataupun analis politik memang telah dikhususkan diletakkan pada Bagian Dua yang
berisi empat bab pembahasan. Varma juga telah membantu pembaca, khususnya
pengguna teori-teori untuk analis politik, untuk tidak perlu membaca buku-buku
yang berisi berbagai ide filsafat politik atau buku-buku yang menyorot berbagai
aliran dan paradigma dalam ilmu politik, yang biasanya harus menyeret seseorang
masuk ke dalam suatu bidang dalam ilmu politik, atau cabang dan pengetahuan sosial
Bagian Satu yang terdiri atas empat bab pembahasan dimaksudkan untuk membantu
pengguna teori-teori untuk analis politik agar memahami konstruksi ide
sekaligus konteks lahirnya setiap teoni politik yang dimuat di dalam bukunya.
Untuk kebutuhan praktis, para pengguna
teori memang bisa Iangsung memilih teori yang relevan pada bagian dua buku ini.
Untuk tiap teori, Varma telah mengurai elemen-elemen tiap teori dan
masing-masing pencetus teori, tetapi kemudian merangkainya satu sama lain
menurut masing-masing pencetus teori tersebut. Cara penyajian yang dibuat SP
Varma ini tentu membuat buku ini terutama sangat cocok digunakan oleh para
mahasiswa ilmu politik dan analis yang sering mengamati kehidupan politik
praktis sehari-hari. Kehadiran buku ini dalam versi Bahasa Indonesia jelas
sangat berguna, mengingat buku tentang teori politik, dalam makna sebagai hukum
di balik fenomena politik, yang terbit dalam edisi Bahasa Indonesia Iebih
sedikit dibanding dengan buku-buku teori politik dalam makna ide-ide politik. Pengalaman
saya sebagai pengajar dalam mengikuti aktivitas pembelajaran para mahasiswa
ilmu politik, mulai dari berdiskusi, menulis paper, mengerjakan ujian esai
hingga menulis karya akhir, memperlihatkan bahwa buku seperti yang ditulis SP
Varma ini belum dimanfaatkan secara optimal. Bagian Dua dari buku teori politik Modern ini sangatlah
membantu untuk memahami sebagian besar teori politik yang masih relevan
digunakan saat ini sehelum kita membaca sumber pertama dan tiap teori dan karya
pencetus teori-teori tersebut.
Bagaimanapun, di dalam kehidupan sosial
dan politik juga ada hukum-hukum yang bekerja, meskipun hukum atau elemen-elemen
di dalam hukum itu lebih mudah berubah dibanding dengan hukum-hukum di dalam
ilmu eksakta. Karena zaman terus bergerak, teori-teori sosial dan teori-teori
politik tentu juga selalu menunjukkan kedekatannya dengan sebuah zaman, Zaman
modern tentu berlanjut dengan zaman posimodern, atau zaman berikutnya. Zaman
baru tidak jarang melahirkan sekumpulan ide baru dan teori-teori baru yang
sekaligus mengkritisi teori-teori zaman sebelumnya. Varma telah mengantisipasi kebutuhan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu ketika buku ini pertama kali diterbitkan
pada tahun 1982. Saat itu, teori-teori kritis di bidang sosial dan budaya belum
lama lahir dan belum dikenal luas diseluruh dunia. Dalam kenyataannya, kebangkitan
teori-teori baru di bidang sosial dan budaya itu amat lambat ditarik untuk
membangun teori-teori politik. Kita harus berterima kasih kepada SP Varma yang
telah mengingatkan hingga sekarang para ilmuwan politik di Indonesia masih
gamang untuk menarik teori-teori Mahzab Frankfrut dan mahzab kritis lainnya menjadi
sumber teori-teori baru di bidang Ilmu politik.
PENDEKATAN-PENDEKATAN
POSMODERN
TERHADAP TEORI POLITIK
JANE BENNETT
Istilah posmodernisme sudah umum di dalam teori politik, juga di dalam
studi sastra, filsafat, antropologi, seni, dan wacana populer, namun dalam
setiap hal memiliki fungsi yang agak berbeda. Penggunaan istilah tersebut dapat
dirangkum dalam tiga kategori: (1) sebagai nama sosiologis untuk perubahan
penting pada cara pengorganisasian kehidupan kolektif (dan kontrol terpusat dan
hierarkis ke struktur jaringan); (2) sebagai genre aestetis (kesusastraan yang
bereksperimen dengan narasi nonlinear, susunan jenaka aneka gaya, apresiasi
terhadap kebudayaan populer yang membuat rumit pembedaan antara yang tinggi dan
yang rendah; (3) sebagai kumpulan kritik filsafat tentang konsepsi teleologis
dan/atau konsepsi rasionalis alam, sejarah, kekuasaan, kemerdekaan, dan
subjektivitas.
Judith
Butler menyatakan bahwa menggunakari kategori ‘teori posmodern’ itu sama dengan
membuat asumsi yang dianggap problematis oleh teoretikus- teoretikus posmodern,
yaitu, bahwa teori-teori menawarkan diri dalam berkas-berkas atau
totalitas-totalitas yang terorganisasi, dan bahwa ... sekumpulan teori yang
strukturnya mirip tampil sebagai artikulasi kondisi refleksi manusia yang
berkonteks sejarah (1995: 38).
Kompleks klaim epistemologis dan
ontologis yang menjadi gaya khas pemikiran yang disebut posmodern ini tidak
bisa dengan adil direduksi menjadi negativisme. Posmodernisme di dalam teori
politik muncul dan terus berkembang dalam hubungan erat dengan
pendekatan-pendekatan teoretis lainnya, termasuk feminisme, liberalisme, teori
psikoanalitis, teori kritis, dan utopisme.
Salah
satu wawasan politik teori posmodern ialah bahwa ‘taruhan yang dihadapi politik
demokratis ,..adalah tentang krisis perwakilan modern juga tentang distribusi
barang-barang lain’ (Dumm, 1999:60). Teori posmodern menyadari adanya
kepura-puraan pada yang alami dan materialitas pada yang budaya.
EKSES ELUSIF DAN
EKSES PRODUKTIF
Jean-Francois
Lyotard menyebutnya ‘yang melebihi setiap yang diberikan pada bentuk atau
objek, tetapi tidak ada di tempat lain, kecuali di dalam benda atau objek itu
sendiri’ (1997: 29).
Namun dalam segala hal, pertanyaan ini
berfungsi sebagai pembatas yang meresahkan bagi proyek-proyek penguasaan
politik, aturan moral final, atau konsensus normatif, yang mengingatkan kita
akan kapasitas untuk melawan, bahkan saat-saat untuk bebas dan hidup dan dunia.
Teori politik posmodern mencoba mengenali perlawanan ini dan melawan desakan
untuk mengeluarkan kekuatan disruptif ini dan politik (Honig. 1993).
Artinya, perbedaan ada di dalam yang
positif dan membantu menghasilkan positivitas-positivitas baru; inilah ‘prinsip
generativitas itu sendiri: bahwa kekuatan atau gerakan yang ... memungkinkan
terjadinya makna dan lembaga-lembaga masih terus membayangi’ (Coole, 2000: 74).
Di satu sisi, differance, yang virtual, non identitas, dll., nama, pokoknya hal
yang terkecualikan dari semua penjelasan teoretis, dan di sisi lain, energi
kreatif di dalam bentuk-bentuk apa pun yang ada, yang melahirkan benda-benda
baru (identitas, hak.. gerakan sosial) (lebih lanjut lihat Bab 20). Proses
kreatif itu diketahui berlangsung terus-menerus: segala yang ada (being) tertentu bila diletakkan pada
periode masa berlangsung yang sesuai dianggap berada dalam proses menjadi (becoming), yaitu, menjadi sesuatu yang
lain dan kondisinya sekarang.
Berbeda dari ‘politik’, atau makna tetap
institusional untuk mengorganisasi kehidupan kolektif, ‘politis’ di sini
rnengacu pada peristiwa-peristiwa terobosan yang menyebut ‘politik’ sebagai
penyembunyian kualitas ‘kenyataan’ yang selalu berbeda-beda dan gelisah atau
yang selalu melampaui aktualitas dan minghindari ekspresi simbolis.
Gagasan Lacanian tentang fungsi-fungsi
politik mirip dengan hal yang oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1987),
dengan menggunakan kosakata yang lebih fisikalis, disebut sebagai kosmis.
Kosmis adalah dimensi pada entitas, perbuatan, atau klaim yang energetik dan
tidak terorganisasi menjadii objek pengetahuan atau benda yang dapat
diidentifikasi. Kosmis terletak pada ‘kekuatan, densitas, intensitas’ yang
sukar dikendalikan dan tak terduga-duga yang ‘tidak terpikirkan di dalam
kekuatan, densitas, intensitas itu sendiri (1987: 342-3). Kosmis adalah dunia
virtual yang ada di aktual dan kehadirannya ditandai dengan ledakan tiba-tiba
peristiwa yang tak terbayangkan oleh siapa pun. Kosmis adalah dimensi ‘politis’
dari keberadaan ini.
Mengapa teoretikus politik posmodern
menyebut-nyebut wilayah bergejolak dan elusif ini? Pertama, untuk menegaskan
bahwa sia-sia saja berusaha mencapai tatanan politik yang berbentuk final dan
tetap proyek yang tampaknya mirip kemustahilan ontologis. Kedua, untuk
mendukung budaya demokratis, dengan ketegangan antara tatanan dan kekacauan
yang sudah menjadi sifatnya, sebagai bentuk tata kelola pemerintahan yang
secara paradoksal umumnya selaras dengan bentuk yang ada.
SEBUAH
METANARASI TENTANG IMANENSI
Metanarasi adalah teori utama tentang
bekerjanya dunia, sebuah kisah tentang karakter dasar alami-sosial jagat raya.
Karena itu, metanarasi berfungsi sebagai kerangka acuan (frame of reference) untuk menilai teori-teori lain yang lingkup dan
aspirasinya lebih terbatas. Metanarasi dapat dialami sebagai kebenaran religius
atau sebagai kebenaran imajiner metafisis dengan nilai heuristis kontingen,
atau sebagai kebenaran yang mengisi salah satu dan sekian banyak tempat di
antara kedua posisi yang berlawanan ini. Contoh: Hobbes menggunakan metanarasi
tentang dunia berisì badan-badan alami yang terus-menerus bergerak dan Tuhan
Ayub yang jauh untuk mendasari gagasan-gagasannya tentang kedaulatan, kontrak,
pidato politik dan perdamaian warga. Contoh-contoh mengenai yang terakhir itu
meliputi pembedaan Plato antara dunia bentuk yang sebenarnya dengan dunia
penampakan indrawi yang palsu, Kota Tuhan dan Kota Manusianya Agustinus,
wilayah noumenal dan wilayah fenomenal Kant, dan Ide implisit Hegel saat
terbentang menjadi sejarah.
Seperti Hobbes, teoretikus-teoretikus
ini menghubungkan klaim politis mereka dengan klaim spekulatif tentang alam
maten, atau yang ada.
Jadi,
tidak semua teoretikus posmodern mengklaim sebagai posmetafisis; begitu pula,
yang mengklaim sebagai posmetafisis, seperti Rawis dan Habermas serta
orang-orang yang terilhami mereka pun, bukan teoretikus posmodeen (lihat Bab 7
dan Bab 12).
Nietzsche kerap menjadi ilham di balik
ontokisah-ontokisah yang ditegaskan di dalam teori posmodern, baik dalam hal
muatan maupun gaya.
tahukah Anda apa
pandangan saya tentang ‘dunia’? ... energi yang sangat besar ... yang tidak
habis sendiri, tetapi hanya bertransformasi : ... (Sebuah) permainan yang
terdiri dari kekuatan dan gelombang kekuatan, satu dan banyak pada waktu yang
bersamaan ... sebuah; lautan, kekuatan-kekuatan yang mengalir dan mendesak
bersama-sama, selamanya berubah-ubah ... dengan bentuk-bentuknya yang pasang
dan surut; dan bentuk-bentuk paling sederhana yang berjuang ke arah yang paling
kompleks, dari bentuk-bentuk yang paling tenang, paling kaku, paling dingin ke
arah yang paling panas, paling bergejolak ... dan lalu dari keadaan yang
berlimpahan ini kembali lagi ke yang sederhana, dari permainan kontradiksi
kembali ke riangnya kerukunan (Nietzsche. 1987: 1067).
Kisan Deleuze tentang dunia yang terdiri
dari kekuatan-kekuatan protean memiliki kesamaan dengan Nietzsche dalam hal
menekankan dinamisme dan aliran yang mudah berubah, juga dengan ‘label pos
modern’-nya Lyotard, sebuah cerita fiksi ilmiah tentang manusia yang bersiap
meninggalkan bumi ketika matahari akan meledak. Sama seperti Nietzsche pula,
Lyotard mendeskripsikan sebuah dunia tanpa menjanjikan sebuah pencapaian final atau
eskatologis. Kata Lyotard, jika menjadi modern itu sama dengan mendambakan
untuk membangun kembali ‘relasi penuh dan utuh dengan hukum tentang yang Liyan
... seperti ini ... adalah awalnya’, maka menjadi postmodern sama dengan
mencoba melenyapkan pemikiran dan tindakan yang mendamba eskatologis ini (1997:
96-7). Lyotard :melihat keinginan ini bukan hanya di dalam teori potitik
Kristen, tetapi juga di dalam beberapa narasi Pencerahan, di dalam dialektika
Romantisis atau dialektika spekulatif dan di dalam Marxisme. Teori politik
Lacanian, yang lebih rumit hubungannya dengan posmodernisme dalam hal-hal lain,
juga menolak keinginan akan kesempurnaan yang terlihat di dalam banyak teori
politik (Laclau dan Moufle, 1985).
Dalam bahasa yang lebih umum, teori posmodern
yang tidak berusaha menjadi posmetafisis akan mengejar metafisika imanensi,
sebuah ontokisah ketika yang ada hanyalah dunia material yang sangat kompleks,
luar biasa bermacam-macam, dan tidak pernah jelas sepenuhnya. Di dalam
metafisika dua dunia Plato, Agustinus, dan Kant, imanensi dipahami sebagai
imanen pada suatu transenden yang merupakan keunggulan konseptual atau moral
tertentu (Berg-Sorensen, 2001). Sebaliknya, tujuan para ahli metafisika modern
ialah memikirkan imanensi tanpa membawa kembali transendensi, menceritakan hal
yang oleh Giorgio Agamben disebut ‘vertigo yang di dalamnya tak bisa sepenuhnya
dibedakan antara luar dan dalam, imanensi dan transendensi’ (1999: 238-9). ‘
Ada energetika materialis di dalam
beberapa versi posmodernisme hukan materialisme mekanis dan metafisika klasik,
tetapi materialisme imanen yang di dalamnya dunia sendiri mengandung kekuatan
untuk bermetamorfosis pada perhubungan yang tak terduga dan bentuk lama menjadi
bentuk baru dan mengejutkan. Deleuze dan Guattari, misalnya, berbicara tentang
alam sebagai sebuah mesin abadi karena senantiasa menghasilkan
komposisi-komposisi baru dan dinamis: alam sebagai ‘bidang imanensi murni ...
yang di atasnya ditetapkan segala sesuatu, tempat unsur dan material yang belum
terbentuk bergerak-gerak lincah’ (1987: 255).
Teori
posmodern memang menguatkan wawasan Hegel tentang karakter protean yang
dimiliki kehidupan, tetapi bercita-cita meraih keseimbangan yang berbeda antara
yang ada (being) dan menjadi (becoming) dalam kehidupan sosial.
MANUSIA,
BINATANG, DAN CYBORG
Teorisasi posmodern mengubah posisi
manusia dalam berhubungan dengan entitas dan kekuatan nonmanusia yang
bersama-sama menghuni dunia ini. Sebagai gantinya, kita dipandang sebagai
formasi yang kompleks dan reflektif, berbeda dan bentuk-bentuk lain pada taraf
yang signifikan, tetapi tidak pada jenis. ‘Jenis manusia dianggap sebagai
sistem material kompleks; kesadaran, sebagai efek bahasa; dan bahasa, sebagai
sistem material yang sangat kompleks’ (Lyotard 1997: 98).
Manusia digambarkan sebagai perpaduan
kategori-kategori benda yang biasa mendevinisikannya. Kita adalah hasil kawin
silang antara binatang dan mesin, budaya dan biologi, bahasa dan afek. Diskusi
Deleuze dan Guattari (1987) tentang permainan kanak-kanak ‘menjadi binatang’,
meneliti potensi positif dan kawin-silang yang mudah berubah-ubah ini.
terlepas dari
evolusi yang membawa mereka menuju kedewasaan, seakan-akan ada ruang di dalam
diri anak untuk proses menjadi yang lain (other
becomings), ‘kemungkinan-kemungkinan kontemporer yang lain’ yang bukan
regresi, melainkan involusi kreatif
yang menyaksikan ‘suatu ketidakmanusiaan yang langsung dirasakan di dalam tubuh
seperti itu’. (1987: 273).
Penekanan posmodern pada kesamaan
material di dalam semua benda di dalam manusia, binatang, artefak, dan
benda-benda alam juga memajukan pemahaman mengenai keterkaitan (interconnectedness) ekologis. Melalui
environmentalisme-nya, posmodernisme bersaing dengan pendekatan-pendekatan
teoretis lain sebagai jalan menuju politik yang lebih progresif (lebih lanjut
lihat Bab 14).
FISIKA TENTANG
MENJADI
Teoretikus-teoretikus posmodern
menggambarkan manusia seperti semua hal lain, yaitu, terus-menerus menjalani
transisi antara yang ada (being) dan
menjadi (becoming). Bagi Derrida,
menjadi (becoming) ialah hal yang
memungkinkan terjadinya setiap progres atau perbaikan ke arah suatu ideal dalam
kehidupan politik:
Jika manusia
adalah makhluk yang dapat disempurnakan, maksudnya, jika identitas manusia
adalah sesuatu ‘yang masih sedang dibuat’, maka batas-batas kemanusiaan tidak
dapat ditentukan ... Jadi, dari sudut pandang itu,. bersikap curiga tentang
batas-batas manusia bukanlah antihumanis, tetapi, merupakan salah satu cara
untuk menghargai hal yang ‘masih sedang dibuat’, di balik nama dan wajah yang
kita sebut ‘manusia’ itu. (2001:44).
Kemanusiaan adalah sumber daya yang
baik, kendati tidak memadai, untuk mencampuri kehidupan dan mengubah arah
menjadi (the direction of becoming).
Diyakini bahwa bahan untuk menjadi (becoming)
itu adalah energi, daya, afek, intensitas, atau kehidupan. Semua entitas
tradisional ini tidak disangkal, tetapi semuanya dianggap sebagai formasi
tingkat dua yang muncul dari sesuatu yang bukan merupakan formasi tersebut.
Dalam fabel itu,
bukan spesies manusia yang menjadi pahlawan. tetapi energi. Fabel tersebut
menceritakan beberapa seri episode yang menandai keberhasilan hal yang
merupakan kematian yang paling mungkin, kemudian keberhasilan sesuatu yang
paling
tidak mungkin
dan paling genting, dan juga hal yang paling efisien, paling kompleks. (1997:
92).
Pada akhir fabel, yang ada tertentu
sedang berusaha melarikan diri dari bumi, tetapi entah yang ada itu adalah
manusia lelaki/perempuan dan otaknya, ataukah otak dan manusianya, ‘hal itu
tidak diceritakan dalam kisah ini’ (1997: 83).
Teori posmodern bereksperimen dengan
gagasan bahwa masyarakat dan alam berpartisipasi dengan logika yang mirip,
penggolongan nonlinear pada sebuah jejaring interdependensi. Kini para
teoretikus budaya telah berupaya menyesuaikan teori kompleksitas, yang semula
dikembangkan oleh ilmuwan untuk mendeskripsikan sistem-sistem fisika yang
paling membingungkan, untuk mendeskripsikan relasi politik dan relasi sosial.
Ia dan kolaboratornya, filsuf ilmu
pengetahuan Isabelle Stengers, menghindari model alam yang tersirat dalam
dinamika klasik, yang menyajikan ‘sebuah dunia bisu ... alam yang mati, pasif,
alam yang berlaku seperti otomatisasi, yang begitu diprogram akan terus-menerus
mengikuti aturan-aturan yang tertanam di dalam programnya’ (Prigogine dan
Stengers, 1984: 6).
Teori posmodern, dengan aneka
manifestasinya, cenderung memahami hubungan di antara tatanan sosial dan
perubahan dengan cara yang mirip, sebagai sebuah sistem yang belum terstruktur
dengan sempurna, sebuah sistem terbuka yang mudah sekali menghadapi hal-hal
yang tak terduga dan kemunculan formasi-formasi baru secara berkala.
NALAR DAN AFEK
Menggunakan penalaran tanpa
mempertimbangkan Nalar, seperti yang dilakukan teori posmodern, sama dengan
mengembangkan kepekaan yang sudah ditinggikan terhadap bahaya etika dan bahaya
politiknya mengandalkan penalaran di luar hubungannya dengan bentuk-bentuk
pengetahuan (knowing) dan pengalaman
(experiencing) yang kurang kognitif.
Ada ketakutan dan kecemasan tersendiri
yang mendorong pemikiran posmodern, termasuk regulasi berlebihan dan
normalisasi orang, tempat, dan pengalaman. Salah satu efek negatif dari
rasionalisasi ke masyarakatan dan kategorisasi ilmiah ialah peminggiran dan
pencemaran nama orang-orang yang diketahui tak cukup baik untuk memenuhi
kriteria-kriteria rasionalitas, normalitas, dan tanggungjawab, yang berlaku
(White, 1998). Unsur kekejaman di dalam rasionalitas ini konon berdampingan
dengan pencapaian-pencapaiannya yang lebih mulia.
Meski dalam cara bercakap biasa afek
digunakar sebagai sinonim untuk emosi, dalam teori postmodern afek
diasosiasikan dengan jenis kekuatan yang lebih protean, sebuah intensitas yang
belum terorganisasi menjadi bentuk emosi tersendiri (Massumi, 2002). Tentang
model etika ini, etika memerlukan baik kode moral (yang memadatkan ideal-ideal
moral dan asumsi-asumsi metafis menjadi prinsip rasional dan aturan-aturan
masuk akal) maupum sensibilitas yang terjelmakan (yang mengorganisasi afek
menjadi satu gaya dan menghasilkan impetus guna melaksanakan kode tersebut).
Kini
teori posmodern mengadopsi dan mengubah sebuah wawasan dan Romantisme pada pentingnya ritual, kegiatan fisik
latihan berulang-ulang, dan litany adalah satu contoh perhatian teori
postmodern pada dimensi afektif dan dimensi aestetis kehidupan dan pemikiran
politik dan beretika.
MAKROPOLITIK DAN
MIKROPOLTIK
Sebagian sebagai respons terhadap
kritik-kritik Marxis, gagasan mikropolitik itu adalah versi yang lebih
intersubjektif dan kolektivis dan gagasan teknologi atau praktik diri-nya
Foucault yang olehnya didefinisikan sebagai cara yang digunakan manusia untuk
menjalankan ‘sejumlah operasi tertentu atas raga dan jiwa pikiran kelakuan, dan
penampilannya, demi untuk mentransformasi dirinya sendiri’ (1988: 18). Program
perbaikan, visi tentang masa depan), tetapi juga sensibilitas terjelmakan yang
mengorganisasi afek menjadi satu gaya dan menghasilkan dorongan untuk
melaksanakan prinsip, program, dan visi (Curtis, 1999).
Aktivis agama bersembahyang dan
menghadiri pertemuan gereja sebagai cara untuk mendisplinkan tubuh dan
mengembangkan karakter yang baik Deleuze dan Guattari menggunakan teknik-teknik
mikropolitik untuk bereksperimen dengan menjadi yang lain dan mencegah
tereduksinya nenjadi (becoming)
menjadi yang-ada (being). Teori
politik posmodern mengakui bahwa mikropolitik dapat dijalankan untuk
tujuan-tujuan yang berlainan dan ragam luas ideologi politik.
KEKUATAN
PENDISIPLIN DAN PELUANG KEBEBASAN
Salah
satu wawasan posmodern yang berpengaruh adalah bahwa kekuasaan yang dijalankan
atas warganegara dan rakyat tidak Cuma keluar dari tempat-tempat yang nyata
seperti negara dan hukumnya. Kekuasaan juga bekerja dengan lebih tersebar dan
lebih tersembunyi melalui kebiasaan normal sehari-hari tanpa ada pemrakarsanya,
tetapi tampil sebagaimana adanya segala sesuatunya berjalan. Foucault
rnendeskripsikan yang pertama sebagai model yuridis kekuasaan dan yang kedua
sebagai normalisasi pendisiplin atau bio-power.
Namun, fokus pada kekuasaan yang luas
ini bukan berarti bahwa dan perspektif posmodern tidak ada yang namanya
kebebasan. Keterampilan ini juga membungkus sikap, suara, dan citra menjadi
proses itu, sehingga lebih giat bersinggungan dengan ragam afektif yang ada.
Jika inti di dalam genealogi-genealogi awal Foucault adalah mengekspos individu
normal sebagai tipu muslihat kekuasaan dan mengacaukan asosiasi disiplin dini
kita dengan kebebasan, maka inti dalam karya Foucault berikutnya adalah
menyatakan tesis yang lebih kompleks bahwa tidak ada diri tanpa kekuasaan dan
disiplin, dan tidak ada kekuasaan atau disiplin juga yang tidak melindungi
kesempatan untuk memperoleh kebebasan dalam hal seni diri.
Kebebasan dimaknai kembali dengan
meletakkannya di dalam suatu hubungan dengan rasionalitas dan penjelmaan
manusia yang terkonteks menurut sejarah. Tujuannya, untuk menemukan cara
memajukan kendali diri (self-direction)
yang lebth tinggi di dalam dan terhadap sistem kekuasaan pendisiplin. Kebebasan
bukan didefinisikan sebagai sesuatu yang lahir di atas hasrat, sensibilitas,
dan perasaan, melainkan sebagai semacam heretonomi reflektif dan sering kali
agonistis. Yang dimaksud sebagai kendali diri itu bergantung pada
partikularitas-partikularitas tentang kondisi yang telah dicapai seseorang (what one has become) dan jenis hambatan
dan kesempatan yang tersedia secara budaya.
Konfigurasi-konligurasi
baru ini masih merupakan salah satu fungsi pada matriks institusional: masih
tersiratkan di dalam praktik-praktik kekuasaan yang kontingen menurut sejarah,
dan terus-menerus menghadapi sebuah badan yang tidak pernah sepenuhnya selaras
dengan subjektivitas yang tersedia baginya.
Teorisasi politik posmodern terutama
bergerak maju berdasarkan asumsi bahwa saat-saat kebebasan kritis itu terjadi
di dalam sistem kekuasaan. Kekuasaan
merembesi
sistern konseptual sendiri yang berupaya mengatasi ketentuan-ketentuannya,
termasuk posisi subjek terhadap pengkritik; dan ... implikasi
ketentuan-ketentuan pengkritik ini terhadap medan kekuasaan bukan berupa
datangnya relativisme nihilistis yang tidak mampu menyediakan norma, tetapi lebih
merupakan prasyarat untuk sebuah kritik yang digarap secara politis. (Butler,
1995: 38-9; lihat juga Spivak, 1999),
STRUKTUR
RIZOMATIS DAN GARIS-GARIS PERSEBARAN
Ketakutannya, bahwa kisah posmodern
tersebut menambah parah kondisi postmodern yang dicirikan sebagai keadaan
perpecahan yang diganggu krisis makna. Namun, menyangsikan kredibilitas sejarah
kisah tentang koherensi komunitas dan kosmologis ini berarti melihat situasi
dengan cara pandang yang berbeda.
Ia menyebut retasi di antara dan di
dalam minoritas-minoritas ini sebagai rizomatis, bukan perpecahan. Teoretikus
posmodern sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai isu ini. Yang
lain menekankan potensi pembebasan dan keajaiban-keajaiban di dunia yang terus
berkembang ini.
Hardt dan Negri mentransformasi gagasan
lama tentang proletariat, yang didefinisikan dalam hubungannya dengan kerja
berupah di bidang industri, menjadi kekuatan yang Lebih protean dan multikelas
bernama the multitude. Juga, logika kapitalisme menjadi sesuatu yang lebih
luwes dan impersonal sehingga lebih kejam dan kurang cakap; kapitalisme
digantikan oleh empire kekaisaran.
Teori
posmodern melihat potensi terbatas namun nyata untuk keadilan dan kebebasan di
dalam ekonomi pasar dan ekonomi berpusat komoditas. Posmodernisme ini tidak
niscaya menganjurkan ekonomi pos-pasar, dan posmodernisme ini juga menolak
citra modal global sebagai monster yang melahap apa saja yang menghalangi
jalannya karena tidak akurat secara empiris dan melumpuhkan secara politis:
Wajib ditegaskan
lagi bahwa tatanan global itu mustahil terjadi. Jika kita bisa menerima bahwa
mustahil setiap makhluk individu, tempat, dan praktik dipaksa tunduk kepada
hukum universal ...maka, akibathya, yang lokal tidak bisa sepenuhnya berada di
dalam yang global, potensi inventifnya juga tidak bisa dicakup dengan bayangan
tunggal (tentang ekonomi). (Gibson-Graham, 2003).
Teori tersebut bermaksud menyangkal
kapitalisme, kemanjuran dan kemampuan totalisasi yang oleh para pengkritik (dan
pendukungnya) kerap dihubungIan dengan kapitalîsrne, serta mengeksploitasi
potensi etika positif yang tersembunyi di dalamnya (Bennett, 2001). Analisis
tersebut juga bekerja dengan citra kekuasaan tertentu, yang di dalamnya ‘selalu
ada sesuatu yang mengal atau lenyap, yang
menghindari ... mesin penyandi berlebihan itu’ (Deleuze dan
Guattari,1987: 216).
Gagasan garis-garis persebaran yang
selalu ada di dalam jaringan-jaringan kekuasaan yang paling padat atau jaringan
subsistensi dunia virtual di dalam yang aktual, atau jaringan kemungkinan yang
membangun koneksi rizomatis di antara orang yang tidak memiliki kerangka pikir
moral yang sama mengungkapkan hubungan di antara teori posmodern dan revolusi
kebudayaan yang penuh harapan politis pada 1960-an. Teori posmodern menguatkan
pentingnya idealisasi, meski idealisasi itu berupa ideal regulatif yang tidak
dapat sepenuhnya tercapai.
Foucault
menunjukkan bahwa kebebasn politik dimungkinkan oleh hasrat mustahil akan
kendali diri dan mimpi tentang subjektivitas yang dirancang dengan indah.
Derrida meyakini suatu keadilan yang merupakan ‘semacam cadangan yang tidak
akan habis oleh konsep keadilan apa pun’;
Di satu sisi,
Anda punya hukum yang dapat didekonstruksi; maksudnya, perangkat legislasi ...
yang .. dapat didekonstruksi karena kita mengubahnya, kita memperbaikinya, kita
ingin memperbaikinya, kita mampu memperbaikinya ... Di sisi lain, keadilan,
yang dengannya orang mendekonstruksi hukum, ternyata tidak dapat
didekonstruksi. (2001: 6, 9).
Jika ada visi politik yang sama untuk
semua teori posmodern, maka itu adalah visi tentang sebuah wilayah politik yang
membicarakan ulang debat lama antara yang ada (being) dan menjadi (becoming)
agar ada lebih banyak ruang bagi menjadi (becoming)
dan membuat wilayah politik lebih bersikap terbuka terhadap perubahan dan lebih
demokratis dalam pelaksanaannya.
TEORI POLITIK
DEMOKRATIS
JOHN S. DRYZEK
DEMOKRASI YANG
KELEBIHAN
Penjelasan tentang keadaan teori
demokratis dapat ditulis dengan menguraikan dan menjajarkan makna dan ke-54 kata
sifat ini. Daftar ini panjang; ada banyak demokrasi di dalamnya, setidaknya
secara teori, dan murnkin dalam praktik.
Kategori-kategori yang diwakili dengan
adjektiva tadi bukannya tidak mungkin diterapkan pada waktu yang bersamaan.
Walau ada pertentangan biner yang nyata (agregatif melawan deliberatif,
partisipatif melawan representatif, banyak kombinasi yang masuk akal dan
memiliki pendukung serta pengkritik.
Kategoni-kategori yang diwakili oleh
adjektiva tadi tidak Iengkap dalam arti kolektif. Perbincangan tentang
perkembangan demokratis tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, (Ini
bagus; mungkin kelangsungan perbincangan ini memang intrinsik dengan demokrasi
itu sendiri, meski hanya untuk demokrasi yang dikonseptualisasik, oleh sebagian
dari kategori-kategori tersebut.)
Para penyumbang untuk upaya itu semuanya
membicarkan persoalan yang menyangkut konstruksi, distribusi, aplikasi, dan
pembatasan kolektif atas otoritas politik. Persoalan-persoalan inilah yang
menentukan perkumpulan demokratis, jumlah komunikasi tentang demokrasi. Dalam
batas-batas ini ditemukam wilayah penting tempat para praktisi mengkaji apa
arti kekuasaan oleh rakyat dan persamaan politis yang disiratkan di
masyarakat-masyarakat komplek kontemporer yang juga menghargai kemerdekaan dan
efisiensi. Mesiki senang rasanya bisa menetapkan dengan lebih tepat sejumlah
masalah yang sama yang hendak diupayakan penyelesaiannya oleh
teoretikus-teoretikus demokratis, juga sejumlah standar untuk membuat solusi
yang pantas, saya yakin hal itu mustahil, sebab standar-standar tersebut muncul
dalam proses dialog di kalangan teoretikus (dan lain-lain; dan muatannya bisa
berubah seiring dengan waktu.
Kegagalan yang paling mencolok ialah
lawan otoriter demokrasi yang sudah berjalan lama. Pada 1989 Robert Dahi
mengorganisasi pernyataan penting tentang demokrasi dan pembelaan untuknya
dengan menggunakan pengawalan pembandinga gagasan bahwa sebagian elite
mengetahui apa yang terbaik untuk masyarakat sekaligus memiliki keahlian yang
sesuai untuk melaksanakan program itu. Pada 2004 upaya itu tidak layak lagi.
Kegagalan lain meliputi demokrasi
rakyat, demokrasi di tempat kerja, demokrasi komunitas (dalam arti mobilisasi
seluruh komunitas), pertanian kolektif, demokrasi yuridis Theodore Lowi (1969),
dan mungkin sosialisme demokratis. Meski demikian, hanya segelintir demokrasi
yang benar-benar gagal dan jumlahnya pun selalu lebih sedikit daripada
kegagalan demokrasi baru, jadi, seiring waktu, teori demokrasi tidak lan adalah
demokrasi itu sendiri yang menjadi semakin berbeda dan semakin kompleks.
Menghadapi keanekaragaman yang terus
bertambah itu, orang mungkin akan putus asa. Kadang-kadang demokrasi memang
tampak sedikit mirip pohon Natal, lambang positif yang dapat dipasangi semua
benda bagus yang disukai. dan pegangan dunia nyata daripada ‘demokrasi’.
Pendekatan seperti itu tidak akan cukup karena dua alasan. Pertama, sebagian
dari hal yang membuat demokrasi menarik baik dalam teori maupun praktik ialah
penyangsian seputar esensinya. Kedua, segala pencarian akan makna esensial
demokrasi dirusak oleh historikus-historikus konseptual yang menunjuk kebetulan
historis tak terelakkan yang menimpa konsep-konsep politis utama seperti
demokrasi (Hanson, 1989), serta bahwa makna demokrasi itu sendini merupakan
bagian dari politik pada waktu khusus dan tempat khusus.
Sejarah konseptual akan memadai untuk
teori politik tentang sejarah mode gagasan. Bahkan, sejarah yang baik sekali
milik Russell Hanson (1989) bermanfaat karena mengingatkan kita bahwa baru pada
abad kesembilan belas demokrasi sebagai sebuah konsep tidak lagi dicerca secara
universal dan mulai menarik konotasi-konotasi positif. Di Amerika Serikat, hal
ini umumnya timbul sebagai akibat kepedulian populis dan Jacksonian kepada
‘Demokrasi’, maksudnya, kepada rakyat jelata melawan plutokrasi. Namun, walau
perlu, sejarah konseptual tidak memadai bagi orang-orang berpandangan kritis
dan evaluative yang ingin menyumbang bagi kelanjutan percakapan tentang
perkembangan demokratis. Selain itu, sejarah konseptual memang tidak membekali
kita untuk mengatasi variasi radikal pada suatu era (seperti masa sekarang
ini), berbeda dengan perubahan lintas era. Hanson sendiri menghadapi variasi
sekarang hanya dengan menyesali fakta bahwa tampaknya demokrasi telah
dikosongkan dan makna, disusul dengan dalih agar mengembalikan
konotasi-konotasi berkelas dan istilah tersebut (1989: 85-6).
Cara untuk mengatasi variasi ialah
dengan mengisolasikan dan membandingkan model-model utama demokrasi, Contoh,
inilah pendekatan yang diambil David Held (1996) dalam survei buki teks terbaik
di bidang itu. Kumpulan ini amat berguna dalam menyediakan kosakata dasar dan
mengenali sebagian pusat perhatian utama dalam teori demokratis sepanjang
zaman. Jadi, survei Held adalah bacaan penting, tetapi hanya dalam mencakup
ragam pemikiran kontemporer yang menarik tentang demokrasi.
Karena ada banyak adjektiva untuk
membatasi dan menerangkan demokrasi, maka ada banyak persekutuari tidak sepaham
tentang apa yang bisa, harus, dan tidak seharusnya menjadi demokrasi. Selain
itu, lain penjelasan tentang demokrasi lain pula pentìngnya persekutuan yang
diperselisihkan.
Meski demokrasi muncul dalam banyak
variasi, kini arus yang dominan dalam teori demokratis ialah arus deliberatif.
Titik awal yang kedua ialah pandangan yang
sangat lain terhadap demokrasi itu sendiri yang sama-sama dianut oleh sebagian
besar orang yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bahkan, penggambaran
variasi demokrasi dalam teori dan praktik yang saya mulai pasti mengagetkan
ilmuwan politik yang mendalami politik komparatif tentang demokrasi, juga para
pengamat yang lebih jurnalistik terhadap masa hidup dan zaman demokrasi
sekarang ini. Bagi kelompok yang kedua ini, yang mencolok pada demokrasi
kontemporer bukanlah variasinya, melainkan keseragamannya. Berlalunya Soviet
sebagai alternatif dan sirnanya sosialisme demokratis di Barat dalam waktu yang
bersamaan mengisyaratkan kepada kelompok ini akan adanya kemenangan global
model demokrasi liberal, elektoralis, elitis, kapitalis, dan minimalis yang jelas
makna dan intensinya.
Model kapitalis liberal ini mencakup
banyak sekali hal yang penting tentang demokrasi di dunia nyata. Yang harus
diutamakan ialah rnemisahkan hubungan antara demokrasi deliberatif dan model
liberal minimalis yang digunakan Kaum Komparativis.
PERALIHAN KE
ARAH DELIBERATIF
Peralihan
ke arah deliberatif terjadi di dalam teori demokratis pada awal 1990-an. Namun,
sebelum itu sudah ada pendahulunnya, dan Aristoteles dan polis Athena. Kaum Konservatif seperti Edmund Burke (menurutnya
deliberasi berkonotasi dengan pemikiran masak yang berlawanan dengan tindakan
tergesa-gesa), juga kaum liberal seperti John Stuart Mill dan John Dewey (untuk
sejarah yang bagus, lihat pengantar untuk Bohman dan Rehg, 1997). Ada pula
penekanan terus menerus bersama Kaum Demokrat partisipatif seperti Carole
Pateman (1970) yang tidak puas dengan kurangnya kesempatan untuk merasakan
pengalaman berdemokrasi mendalam pada demokrasi-demokrasi liberal kontemporer.
Bila dilihat ke masa lampau, ‘demokrasi kuat’ Benjamin Barber (1984) terlihat
sebagai jembatan antara demokrasi paritisipatif dan demokrasi deliberatif,
mengingat penekanannya pada ‘pembicaraan demokratis yang kuat’. Namun, sebelum
1990, para teoretiKus pada umumnya menginterpretasikan demokrasi dalam hubungannya
dengan agregasi kepentingan atau preferensi anggota demi melalui mekanisme
seperti pemungutan suara dan perwakilan yang menghasilkan keputusan-keputusan
kolektif.
Dengan peralihan ke arah deliberatif,
inti legitimasi demokratis menjadi hak atau kemampuan mereka yang tunduk pada
keputusan umum untuk ikut serta dalam deliberasi sejati (lihat Manin, 1987;
Cohen, 1989, istilah ‘demokrasi deliberatif’ pertama kali digunakan oleh
Bessette, 1980). Keputusan itu sendiri harus dijustifikasi oleh orang-orang
tersebut dalam hal-hal yang, berdasarkan pemikiran masa), bisa mereka terima.
Dalam arti yang lebih formal, deliberasi mengandung aspek argumentatif,
informasional, dalam (reflective),
dan sosial yang terakhir ini mengacu pada kesetiakawanan yang lahir di kalangan
para peserta deliberasi. Aspek dalam (reflective)
berarti bahwa preferensi, keputusan, dan pandangan yang dianggap sudah tetap
pada model-model agregatif dianggap mudah berubah dalam deliberasi.
Pentingnya peralihan ke arah deliberatif
itu dikuatkan pada 1990-an dengan pengumuman-pengumuman dan teoretikus liberal
yang paling penting, John Rawls, serta teoretikus kritis Jurgen Habermas, bahwa
mereka adalah Demokrat deliberatif (Rawls, 1993; 1997: 771-2; Habermas, 1996).
Mengingat begitu banyak teoretikus
demokratis yang kini mengibarkan bendera deliberatif, juga mazhab pemikiran
mereka yang menurut sejarah berbeda-beda (konservatisme, liberalisme, dan teori
kritis) seharusnya ada banyak sekali variasi di kalangan Demokrat deliberative.
Namun, yang kini menonjol ialah lebih sedikit variasi daripada keseragaman.
Baik atau buruk, demokrasi deliberatif terutama dibaurkan dengan
konstitusionalisme liberal, yang dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan
menyelesaikan perbedaan di antara kepentingan-kepentingan yang lebih dulu
ditetapkan sebelum interaksi politis dibawah kumpulan aturan dan hak netral.
Pembauran terjadi dalam tiga cara.
Pertama, komitmen kepada prinsip-prinsip deliberatif dapat digunakan untuk
menjustifikasi sebagian (tetapi tidak semua) hak yang sudah lama dijunjung
tinggi oleh Kaum liberal. Argumen ini berlaku dengan paling lugas untuk
kebebasan berekspresi dan berkumpul, juga, dengan sedikit lebih meluas, untuk
kebebasan beragama dan persamaan politik (Cohen, 1996). Kedua, konstitusi-konstitusi
liberal dapat diinterpretasikan sebagai alat yang memajukan deliberasi. Ketiga,
pembuatan konstitusi dapat dilihat sebagai proses deliberatif dalam arti
kuintesens, dituntun oleh nalar publik yang tidak memihak, meskipun politik
normal di bawah konstitusi adalah agregatif, strategis, dan dikendalikan
kepentingan-kepentingan yang memihak. Teoretikus deliberatif yang mengutamakan
pembuatan konstitutsi meliputi Bruce Ackerman (1991), David Estlund (1993), dan
Rawls (1993) (yang juga menghendaki deliberasi bertuntun nalar publik untuk
membicarakan perkara-perkara ‘keadilan dasar’). Dalam bal ini, mungkin
mengejutkan bahwa Habermas, yang pemah menyoroti kekuatan-kekuatan tersebut,
kini mengabaikan kekuatan-kekuatan tersebut dan semakin mendekatkan teori
kritis deliberasinya kepada liberalisme. Ranah publik sendiri dilihat dalam
istilah yang kurang memberontak daripada argumen untuk Habermas yang dulu
(contoh, 1989), dan tidak ada pengakuan akan kebutuhan apa pun untuk
mendemokrasi perekonomian, negara administratif, atau sistem hukum, yang
semuanya menerima legitimasi dengan mudah.
Sebagian liberal deliberatif bukan
demokratis dalam arti khusus. Terutama Rawis, pada akhirnya ingin memercayakan
deliberasi kepada para pakar dalam nalar publik seperti hakim-hakim Mahkamah
Agung, yang hanya harus mendeliberasi dalam arti personal kata itu, yang
berbeda dari arti interaktifnya (lihat Goodin, 2000, untuk pembelaan eksplisit
deliberasi personal yang berbeda dan deliberasi interaktif). Hal ini dibenarkan
karena Rawis memercayai nalar publik itu bersifat kesatuan, dapat dimengerti
dalam istilah-istilah yang sama oleh semua individu yang berpikir, sehingga
paling dimengerti oleh individu (individu) yang paling memenuhi syarat.
Konstitusionalisme liberal menegaskan hal yang tak pelak merupakan lokasi
pentingnegara, tetapi yang mungkin semakin dibatasi oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi yang menentukan isi kebijakan publik.
PARA PENGKRITIK
DELIBERASI
Demokrasi deliberatif punya tiga
kelompok pengkritik, yang di luar itu tak memiiki kesamaan sedikit pun:
teoretikus pilihan sosial, Demokrat perbedaan, dan Egalitarian skeptis.
Teori pilihan sosial tentu jauh lebih
tua darpada peralihan ke arah deliberatif, tetapi untuk alasan-alasan yang akan
saya jelaskan secara singkat, signifikansi kontemporernya kini sebagian besar
terletak pada hubungannya dengan demokrasi deliberatif. Penjelasan pilihan
sosial tentang demokrasi memperoleh pengaruhnya dan demonstrasi Kenneth Arrow
(1951) tentang kemustahilan segala bentuk mekanisme pilihan kolektif, misalnya,
sistem pemungutan suara, yang secara bersamaan juga mewujudkan kumpulan kondisi
yang tidak berbahaya (suara bulat, tanpa pemerintahan diktator, ketransitifan,
domain preferensi tanpa batas, dan kebebasan dan alternatif-alternatif yang tak
relevan). William Riker (1982) meradikalkan kritik pilihan sosial terhadap
demokrasi dengan mengatakan bahwa masalah Arrow pada sistem dan aturan
pemungutan suara yang berbeda-beda hanya dapat dihindari dengan memasukkan
unsur kesewenang-wenangan ke pilihan kolektif. Mengingat bahwa lain mekanisme
lain pula hasil yang akan diberikan dan distribusi prelerensi yang identik,
maka tidak ada yang namanya kehendak rakyat yang bebas dari mekanisme yang
memastikannya. Akibatnya demokrasi dikosongkan dari maknanya.
Ketika
demokrasi mengalami kemajuan di dunia nyata, keduanya, dengan beberapa
pengecuaIian justru bergerak ke arah yang berlawanan. Lapangan pilihan publik
yang terbentuk oleh keduanya menjadi rumah bagi banyak pertunjukan
kesewenang-wenangan, kepincangan, kedegilan, dan pemubaziran dalam politik
demokratis. Selain Riker yang mengungkapkan kekosongan di pusat demokrasi,
teoretikus-teoretikus pilihan publik mengemukakan bahwa:
·
Dalam
sistem politik sebesar apa pun, pemungutan suara adalah irasional.
·
Aturan
mayoritas mengakibatkan pemerasan Pareto-suboptimal terhadap golongan-golongan
minoritas.
·
Wakil-wakil
terpilih yang mementingkan kepentingan sendiri paling-paling membuat
program-program yang menguntungkan konstituennya sendiri dengan mengorbankan
kepentingan umum, yang terburuk dengan sengaja merancang program-program yang
tak kepalang tanggung buruknya sampai-sampai campur tangan mereka sendiri
dibutuhkan agar keuntungan dihasilkan.
·
Besarnya
belanja negara pada umumnya merupakan konsekuensi birokrat-birokrat egois yang
memaksimumkan anggaran. Para birokrat bersekongkol dengan kelompok kepentingan
khusus dan politikus-poiltikus pendukungnya untuk mengalihkan sumber daya
negara bagi keuntungan mereka sendiri.
·
Secara
umum, ‘koalisi distribusional’ seperti serikat pekerja dan pemberi pekerjaan
menjamin hukum dan kebijakan agar melindungi hak-hak istimewa mereka sendiri
dengan mengorbankan efisiensi ekonomis.
·
Politik
demokratis tidak bertanggung jawab dalam arti intrinsic sebab semua aktornya
mencari keuntungari untuk diri sendiri sambil menimpakan kerugian pada orang
lain; akibatnya ialah permainan jumlah-negatif dengan harga total melebihi
manfaat total.
Kini, tak semua analis pilihan publik
mengemukakan semua hal di atas; aspek-aspek yang secara terus-menerus sangat
antinegara hanya dijumpai di pilihan publik gaya Virginia (lihat Mitchell dan
Simmons,1994, untuk pernyataannya).
Lalu, apa yang tersisa dari pilihan
publik sebagai teori demokratîs? Jawabannya, pilihan publik menyediakan
sejumlah peringatan tentang akan jadi seperti apa politik demokratis nantinya
bila aktor-aktor politik berlaku dengan gaya Homo economicus, dan jika tidak ada mekanisme untuk mengekang
kecenderungan-kecenderungan perilaku ini dan segenap konsekuensinya. Demokrasi
deliberatif menyediakan baik paradigma komunikatif keperseorangan (personhood)
maupun mekanisme-mekanisme untuk mengendalikan Nomo economicus berikut segenap interaksinya ini (alternatif
nondeliberatif dapat dijumpai di dalam gagasan Shepsie pada 1979 tentang
ekuilibrium yang dipicustruktur).
Demokrat deliberatif dapat menjawab
bahwa ada mekanisme yang intrinsik dengan deliberasi yang bertindak menyusun
preferensi dengan cara-cara yang menyelesaikan permasalahan pilihan sosia!
(Dryzek dan List, 2003). Meski pengkritik pilihan sosial terhadap demokrasi
mengkhawatirkan keanekaragaman tak terkendali yang dapat digiatkan deliberasi.
Kaum Demokrat perbedaan mencela deliberasi justru karena alasan yang
berlawanan: bahwa deliberasi menekan keanekaragaman. Pada taraf yang lebih besar
atau lebih kecil. Demokrat perbedaan mendapat pengaruh dan teori posmodern
tentang identitas dan perbedaan.. yang meyakini esensi demokrasi dilihat dalam
hubungannya dengan perjumpaan kreatif dengan orang-orang yang beridentitas lain
(contoh. Namun, Demokrat perbedaan mempermasalahkan komunikasi dan mencela
bentuk-bentuk komunikasi yang dianggap netral yang ditegaskan. ‘Demokrasi
komunikatif’ Young akan menonjolkan salam, retorika, dan bercerita (atau
kesaksian, atau narasi) juga argumen bentuk-bentuk komunikasi yang diyakininya
lebih terjangkau oleh golongan minoritas yang tak diuntungkan. Hal ini
mengingatkan pada advokasi Young sebelumnya (1990) tentang perwakilan terjamin
dan kekuasaan veto atas kebijakan-kebijakan yang memengaruhi kebijakan bagi golongan
yang tidak diuntungkan.
Malahan trio itu harus ditampilkan untuk
menghadapi uji tanpa paksaan, kapasitas untuk merangsang pemikiran masak, dan
kemampuan untuk menghubungkan yang partikular dan yang general (Dryzek. 2000:
6-71).
Kelompok pengkritik deliberasi ketiga
yang saya namakan Kaum Egalitarian skeptis mendukung penjelasan demokrasì yang
lebih tradisional terhadap perubahan ke arah deliberatif. Dalam hal ini, mereka
yang berkepentingan untuk memperbaiki mutu demokrasi harus mengupayakan penyamaan
kekuasaan; di sinii, isu-isu demokrasi dihubungkan dengan keadilan distributif.
Kaum Skeptik seperti itu dapat menunjuk pada fakta yang agak memalukan bahwa
deliberasi tidak mungkin menjadi teori lengkap tentang demokrasi karena para
penganjurnya tidak menentukan bagaimana cara mencapai keputusan kolektif
(Saward, 2000). Jika benar, maka Kaum Demokrat deliberatif mungkin terpaksa
mundur ke mekanisme agregatif yang lebih lazim, dan dikotomi
deliberatif/agregatif terbukti salah, karena kemudian demokrasi niscaya
agregatif, dan terpaksa dilakukan pemungutan suara (Przeworski, 1998: 140-2).
Goodin (2000) rnenerangkan bahwa deliberasi adalah aktivitas yang tak pemah
dalam arti realistis melibatkan lebih dan segelintir orang. Saward (2000)
percaya bahwa pertimbangan-pertimbangan seperti itu berarti bahwa karenanya
Kaum Egalitarian harus menolak kecendeungan aristokratis deliberasi yang pasti
mengecualikan mereka yang berpreferensi non deliberatif; dalam hal ini,
memperluas demokrasi dengan gaya yang lebih langsung (contoh, dengan
memperbanyak penggunaan referendum) akan jauh lebih baik.
Dalam jajak pendapat deliberatif Fishkin
(1995), para peserta sebuah forum deliberatif dipìlih secara acak dan populasi,
dan pada akhir proses mengisi kuesioner. Jun-jun warga juga direkrut dengan
pemilihan acak, tetapi pada akhir proses menghasilkan rekomendasi kebijakan
yang dibuat dan disepakati oleh para anggota jun. bukan kuesioner (Smith dan
Wales, 2000).
Sebelum meninggalkan peralihan ke arah
deliberatif dan para pengkritiknya, satu lagi argumen menentang deliberasi yang
mungkin perlu dipertimbangkan. Jika demokrasi melibatkan agregasi (meski
dianggap kurang penting oleh Demokrat deliberatif), hal itu mungkin saja
berlangsung untas keput-usart dan bukan hanya !intas preferensi seperti yang
ditegaskan dalam teorii pilihan sosial. Keputusan-keputusan seperti itu mungkin
mencakup ketidaksepalcatan penihal (misalnya) apa yang menjadi kebaikan
bersama. Cara berpikir epistemik tentang demokrasi ini diasosiasikan dengan
Rousseau, yang menurutnya keheridak umum dapat diketahui melalui pemungutan
suara. Jadi, tidak boleh ada faksi (yang mengurangi jumlah efektif pemilih),
dan mungkin tidak boleh ada komunikasi. Kemudian, Good in menyangsikan suatu
demokrasi epistemik yang berpangkal dan Rousseau dan teorema jun derigan
menunjukkan bahwa dalam konteks dinamis, implikasinya ialah bahwa golongan
minoritas hams dengan segera dan secara rasional menghentika perlawanan mereka
jika ditentang suara mayoritas. Baik atau buruk, pendekatan deliberatif
menetapkan agenda untuk teori demokrasi kontemporer. Namun, jelas masih ada
banyak sekali yang perlu diperdebatkan, baik di kalangan rnereka yang sama-sama
menganut onientasi deliberatif maupun mereka yang menolaknya. Meski demikian,
ada sarjana-sarjana demokrasi yang masih belum tersentuh oleh pendekatan
deliberatif, dan kepada merekalah saya akan beralih kini.
MINIMALISME
LIBERAL DAN ALTERNATIF-ALTERNATIFNYA
Model demokrasi paling populer di
kalangan sarjana politik komparatif, terutama mereka di lapangan transisi dan
konsolidasi demokratis yang sedang berkembang, Harapan mereka dan demokrasi
jauh lebih sedikit daripada harapan Demokrat deliberatif. Model ini pada
dasarnya pernah diusulkan lama berselang oleh Schumpeter (1942): demokrasi
hanyalah persaingan di kalangan elite yang memperebutkan persetujuan rakyat
yang memberikan hak untuk memerintah. Pada 1950-an gagasan ini menjadi fondasi
untuk teori-teori ‘empiris tentang demokrasi yang puas dengan peran apatis
massa yang bodoh dan mungkin otoriter (Berelson, 1952; Sartori 1962).
Model-model cutis kompetitif seperti itu sudah lama disangsikan di kalangan
teoretikus demokratis terutama teoretikus seperti DahI (1989) yang dahulu
pernah memercayai model-model itu baik
sebagai deskripsi akurat tentang politik Amerika Serikat maupun sebagai
situasi yang dikehendaki. Namun, model-model itu masìh hidup di kalangan
transitolog dan kondisiolog, yang melihat tanda suatu demokrasi terkonsolidasi
sebagai kumpulan pihak berkelakuan baik yang mewakili kepentingan-kepentingan
material yang terlibat dalam persaingan pemilihan yang diatur dengan aturan
konstitusional (lihat, contohnya, Di Palma, 1990; Huntington, 1991; Mueller,
1996; Schedler, 1998). Warganegara yang aktif tidak punya peran dalam
model-model tersebut. Apa yang menyebabkan kepopuleran model elektoralis
minimalis ini? Sebagian karena model ini memberikan pengaruh analitis kuat bagi
mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bagi sarjana-sarjana demikian,
karakter demokrasi yang dapat disangsikan di dalam teori politik itu adalah
suatu nuansa ketika tiba waktunya menemukan indikator-indikator empiris guna
membandingkan negeri-negeri yang berbeda dan menelusuri transisi dan
konsolidasi demokratis di negeri-negeri khusus. Model minimalis bisa diterapkan,
contoh, di dalam uji dua pemilihan terkenal milik Huntington (1991: 267) untuk
demokrasi terkonsolidasi, yang mewajibkan pemerintah terpiih menyerahkan
kekuasaan bila kalah dalam pemilihan berikutnya. Barangkali penyebab yang lebih
utama untuk kepopuleran mininialisme liberal itu ialah keselarasannya dengan
perkembangan yang menyaksikan marketisasi kapitalis dan demokratisasi bergerak
bersama-sama. Tentu sudah lama menjadi perhatian bahwa ada korelasi antara
kapitalisme dan demokrasi liberal. Bupset (1959), penyebabnya adalah persoalan
kapitalisme yang menghasilkan suatu kelas menengah yang memiliki segenap
kebajikan demokratis kanan, yaitu, tenggang rasa dan sikap moderat. Bagi Adam
Przeworski et al. (2000), bukan kapitalisme yang menyebabkan demokrasi, sebab
negara-negara bisa menjadi demokratis pada segala tingkat pembangunan. Namun,
kapitalisme menghasilkan kekayaan yang nantinya menyediakan perlindungan
terhadap tergulingnya demokrasi.
Seperti dikatakan Lindblom (1982) di
antara yang lain, konteks pasar kapitalis secara otomatis menghukum pemerintah
yang mengejar kebijakan yang meruntuhkan kepercayaan investor atau calon
investor karena menyebabkan divestasi dan pelarian modal.. Akibatnya, terlalu
banyak demokrasi negara berarti ketidaktentuan yang membahayakan dalam
kebijakan publik (Dryzek, 1996). Mungkin arti demokrasi bukan lagi ‘negara
tempe rakyat papa, yang memegang kekuasaan, dapat membunuh sebagian dan
membuang yang lain, kemudian membagi-bagi jabatan di antara warga yang tersisa,
biasanya dengan menarik indian’, seperti define B Plato untuk negara di dalam
Republik. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa terlalu banyak demokrasi mungkin
akan mengurangi ketidaksamaan yang mendasari terciptanya kekayaan efektif,
karena itu, tampaknya model minimalis cocok dengan cara yang khas dengan
ekononi politik kapitalis liberal kontemporer.
Kombinasi kapitalisme dan demokrasi
minimalis liberal ini barang kali memperoleh ulasan yang paling positif (dan
sedikit Hegel) dalam, triumfalisme ‘akhir sejarah’ Francis Fukuyama (1989;
1992). Namun, gagasan dasar bahwa demokrasi itu dominan dalam arti global,
bahwa model demokrasi kapitalis liberal tak banyak mendapat tantangan masuk
akal, jika ada, yang layak disebut ‘demokrasi’, masih menjadi pandangan dominan
di kalangan transitolog. Hidup dengan model ini, tanpa jenis
pertanyaan-pertanyaan kritis yang cenderung diangkat teoretikus demokratis,
tentunya lebih sederhana bagi transitolog. Sartori ingin menyudahi urusan
dengan para pengkritik: ‘pemenangnya ialah demokrasi yang liberal secara
keseluruhan, bukan hanya pemerintah yang dipilih oleh rakyat terbanyak, tetapi
juga, dan secara tak terpisahkan, pemerintah konstitusional; maksudnya,
“demokrasi formal” yang mengendalikan penggunaan kekuasaan, yang sampai saat
itu sering diremehkan’ (1991: 437).
Sikap lebih kritis yang cenderung
diambil teoretikus demokrasi menyoroti batasan-batasan atas demokrasi yang
disebabkan oleh dominansi global demokrasi liberal minimalis ditambah
kapitalisme ini. Sebagian dan respons tersebut mungkin mencakup penguatan dan
demokratisasi lembaga-lembaga internasional sebagai respons terhadap migrasi
kekuatan politik dan negara ke ekonomi politik lintas bangsa. Inilah, contoh,
pendekatan yang diambil oleh Held dan sesama penganjur suatu demokrasi kosmopolitan
yang mencakup Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum PBB yang
lebih kuat, referendum lintas-negara, dan otoritas peradilan, otoritas militer,
dan otoritas ekonomi internasional yang bertanggung jawab terhadap badan
parlementer regional dan global (Held, 1995; Archibugi. Held dan Köhler, 1998).
Atau, jika demokrasi negara hanya bisa minimalis, teoretikus dapat menjelajahi
lokasi-lokasi nonnegara untuk mencari demokrasi. Pembelaan normatif yang jarang
sekali terjadi untuk mode minimalis diberikan oleh Przeworski (1999) yang
mengatakan bahw model tersebut setidaknya mengakhiri kekerasan politik berskala
besar begitu pihak yang terkalahkan bersedia mengakui bahwa mereka punya
kesempatan yang realistis untuk kembali dan menang suatu hari kelak (para
pengusung demokrasi konsensual seperti Lijphart, 1999, akan merespons bahwa
pembagian kekuasaan, bukan aturan mayoritas, adalah dukungan terbaik melawan
kekerasan pada masyarakat yang terpecah-belah). Mengingat struktur kepentingan
pada suatu masyarakat kompleks berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang
saling bersaing tidak akan pernah dapat disamakan perbedaannya, resolusi
sementara mereka dalam persaingan elektoral ialah tentang hal terbaik yang
dapat kita lakukan. Namun, pembelaan Riker gagal karena analisisnya sendiri
menunjukkan bahwa tidak ada kehendak dan para pemilih yang bebas dari mekanisme
yang dianggap mengukurnya dan hal ini harus mencakup kehendak untuk memakzulkan
para tiran atau yang tidak cakap (Coleman dan Ferejohn, 1986: 22).
TEORI DAN
PRAKTIK DEMOKRASI
Teoretikus demokratis berada pada posisi
yang sangat baik untuk menyoroti kegagalan-kegagalan tersebut dan memindahkan
percakapan di luar kegagalan-kegagalan itu.
Pertama, minimalisme membolehkan
bentuk-bentuk demokrasi yang sangat lemah, sampai-sampai nyaris tak pantas
menyandang sebutan ‘demokratis’. Menurut demokrasi delegatif, yang terutama
dijumpai di Amerika Latin, tetapi juga di negara-negara pascakomunis, para
pemimpin tunduk kepada pemilihan regular, tetapi selain itu juga memerintah
tanpa akuntabilitas, tanpa pengertian apa pun bahwa janji-janji semasa
pemilihan perlu diingat, dan tanpa batasan konstitusional (kecuali tentu saja
batasan yang menetapkan pemilihan bebas regular). Demokrasi delegatif sama
sekali tidak rnenghiraukan hal yang oleh Philip Pettit (1999) dinamakan aspek
penyangsian demokrasi, yang berlawanan dengan aspek elektoralnya.
Kedua, minimalisme tidak peka terhadap
variasi bentuk-bentuk yang dapat diambil demokrasi dalam praktik juga dalam
teori, menyebabkan salah interpretasi atas peristiwa dan perkembangan, serta
mengurangi pengaruh analitis yang merupakan salah satu justifikasi utama
minimalisme. Contoh, dalam pengaruh suatu model liberal untuk demokrasi, Juan
Linz dan Alfred Stepan (1996) mencemaskan demokrasi di Polandia dan Republik
Ceska pascakomunis dikarenakan warisan jenis politik yang mencirikan masyarakat
madani mereka yang tak menguntungkan di era Soviet: ‘Masyarakat madani etis
menggambarkan “kebenaran”, tetapi masyarakat politis pada suatu demokrasi
terkonsolidasí normalnya menggambarkan “kepentingan-kepentingan”’ (1996: 272).
Namun, jenìs politik yang mereka cela tak hanya selaras dengan searah republik
yang lebih dalam pada kedua negeri ini (kembali ke abad ke-18 di Polandia),
tetapi juga selaras dengan teori politik republik warga kontemporer (Sandel,
1996). Dalam hal ini, praktik dan wacana yang disesalkan Linz dan Stepan
sebenarnya menyediakan sumber daya bagi mereka yang berminat mengonsolidasi dan
memperdalam demokrasi (Dryzek dan Holmes, 2002: Bab 14 dan Bab 15).
Praktik dan sikap tersebut mungkin juga
meliputi atribut-atribut warga yang disuburkan dalam kehidupan berkumpul yang,
menurut Robert Putnam (1993; 2000), adalah kunci untuk ‘membuat demokrasi
berhasil’. Bagi Putnam, orientasi warga yang dianut secara luas yang tidak
dapat direduksi menjadi kepentingan material pribadi diperlukan untuk mendukung
demokrasi negara melawan klientelisme asusila (seperti di Italia selatan) atau
individualisme yang menjadi-jadi (seperti di Arnerika Serikat dalam beberapa
dasawarsa belakangan ini).
Variasi sistem demokratis yang teramati
di negara-bangsa kontemporer yang lolos uji minimalis: masyarakat madani
libertarian dan demokrasi sosial, masyarakat madani elitis dan pluralis,
masyarakat madani presidensial dan parlementer, masyarakat madani nasionalis
dan kosmpolitan, masyarakat madani padat dan lemah.
Alasan ketiga penyebab tidak layaknya
minimalisme ialah bahwa minimalisme tidak tepat untuk demokratisasi seperti
yang dipahami oleh banyak aktor politik di sistem-sistem transisional. Aktor
yang lebih idealistis seperti Vaclav Havel, Presiden Cekoslovakia yang kemudian
menjadi Republik Ceska itu, melihat eksperimentasi lanjutan dengan
bentuk-bentuk demokrasi dan dialog tentangnya di pusat proyek demokratis
(Lienesch, 1992: 1012; tentang gagasan demokrasi sebagai sebuah proyek yang
belum selesai, lihat juga Downs, 1987: 146). Meski idealisme Havel mungkin
menempatkannya ke dalam golongan minoritas, minimalisme tidak berlaku adil
untuk variasi konsepsi-konsepsi yang digunakan elite politik dan rakyat jelata
di masyarakat-masyarakat ini ketika menjadi ekspektasi dan harapan mereka untuk
demokrasi (untuk bukti tentang ke-13 negara pascakomunis, lihat Dryzek dan
Holmes, 2002).
Jenis pertimbangan tersebut menyiratkan
bahwa mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata (dan terutama
transisi-transisi demokratis) seharusnya lebih sering mendengarkan teoretikus
demokratis. Namun, kebalikannyalah yang terjadi: teoretikus demokratis yang
harus lebih memerhatikan batasan dan kemungkinan di dunia nyata yang
sesungguhnya dapat dibantu jelaskan oleh ilmu sosial empiris. Sama dengan
banyak bidang teori politik, teori demokratis kadang-kadang tergelincir menjadi
dialog yang mengacu pada dirinya sendiri sehingga koneksi dengan peristiwa,
batasan, dan kemungkinan di dunìa nyata menjadi lenyap (Gunnel, 1986). Entah
situasi ini memuaskan atau tidak, pada akhirnya tergantung pada konsepsi
seseorang mengenai nilai dan peran teori politik. Contoh, Young (1992), yang
menaruh perhatian pada model demokrasi asosiatif yang diusulkan Joshua Cohen
dan Joel Rogers (1992), menghendaki tugas pertama negara ialah mengorganisasi
golongan minoritas tertindas menjadi kekuatan yang sanggup menjalankan
kekuasaan riil. Ini bukan jenis negara yang keberadaannya masuk akal untuk
didalilkan, terutama mengingat banyaknya batasan dan imperatif yang harus
dipatuhi negara riil. Garis pertahanan terakhir sang teoretikus di sini mungkin
bahwa abstraksi serupa itu diperlukan untuk mempertahankan jarak yang kritis,
untuk menyajikan cita-cita berlawanan-dengan fakta yang mengungkap cacat-cacat
pada situasi dunia nyata dalam bentuk yang sebenarnya. Tidak mungkinkah kritik
yang peka dalam arti kontekstual bisa lebih produktif? Dan bukankah wacana
tentang teori demokratis yang melulu mengacu pada dirinya sendiri dan tertutup
justru menjadi tidak demokratis dalam arti refleksif karena memisahkan diri dan
mereka yang berjuang untuk memajukan, membela, mengembangkan, dan memperdalam
demokrasi? (Pendekatan yang sangat refleksif terhadap teori demokratis akan
dimulai dengan konsepsi-konsepsi populer lentang demokrasi; lihat Dryzek dan
Berejikian1 1993).
Tadi sudah saya sebutkan bahwa dua kutub
utama dalam pemikiran kontemporer tentang demokrasi adalah pendekatan deliberatif
dan minimialisme liberal. Republikanisme warga memiliki banyak sinergi dengan
deliberasi, dan juga dapat digunakan untuk mencela penerapan minimalisme
liberal pada sistem-sistem politik di dunia nyata. Namun, masih belum banyak
keterlihatan langsung antara Demokrat deliberatif dan minimalisme liberal
sarjana-sarjana komparatif transisi dan konsolidasi demokratis. Situasi ini
mungkin menunjukkan adanya gap antara teori demokratis dan praktik demokratis,
meski seperti saya katakan semula. Dan fakta bahwa ada banyak pihak perantara
menunjukkan bahwa gap itu dapat dijembatani.
KESIMPULAN
Ukuran kesuksesan teori demokratis ialah
sejauh mana teori itu mampu melonggarkan cengkeraman minimalisme liberal
terhadap mereka yang mendalami polilik komparatif antara demokrasi dan
demokratisasi. Ukuran kedua yang lebih menuntut dapat dijumpai pada sejauh mana
teori demokratis mampu menyumbang bagi percakapan global tentang perkembangan
demokratis, di demokrasi-demokrasi liberal yang mapan dan ajang lintas bangsa,
juga masyarakat transisional dan demokrasi demokrasi baru. Namun, teoretikus
politik demokratis, tepatnya karena ini merupakan teori politik demokratis,
dalam hal ini tidak segampang itu meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan
sebagian besar bidang lain dalam teori politik.
KEADAAN POLITIK
DEWASA INI:
MENURUN ATAUKAH
TIMBUL KEMBALI
Walaupun dalam perjalanan sejarahnya
filsafat politik menempati kedudukan yang penting, tapi tradisi yang memungkinkan
lahirnya karya-karya para filsuf yang terkenal boleh dikatakan hampir berakhir.
Dayid Easton, Alfred Cobban dan sejumlah penulis kontemporer lainnya
berpendapat bahwa teori politik, yang bagi mereka termasuk pula filsafat
politik, kini tengah mengalami kemerosotan yang tajam. Kalau mereka hanya
bicara tentang “kemerosotan”, yang lain lebih bicara tentang posisinya yang
terpojok,atau sudah “mati” kata Peter Laslett dan Robert A, DahI. Bahkan di
Oxford, tempat asal teori politik klasik, pernyataan bahwa teori politik telah
mati atau sedang melaju mundur bukanlah barang baru. Untuk mendukung penilaian
tersebut mereka menyatakan bahwa sejak Marx dan Mill (dan barangkali juga
Laski) kini sudah tidak ada lagi filsuf politik yang menonjol. Dalam
menjelaskan gejala tersebut. Easton mengemukakan bahwa umumnya gagasan-gagasan
politik itu lahir dan berkembang pada saat terjadi perubahan atau pergolakan
sosial. Hal ini terbukti dan kemunculan karya-karya mereka saat itu. Ketika
terjadi pergolakan sosial di Yunani Kuno, ketika terjadi kekacauan sebagai
akibat sengketa agama dan politik padaabad ke-16 dan ke-17 di Inggris, dan
ketika gagasan-gagasan politik melahirkan revolusi besar di Perancis pada abad
ke-18, saat itulah karya-karya dari para filsuf besar itu lahir, Lebih lanjut
Easton menegaskan bahwahal itu kembali berulang ketika pada pertengahan abad
ke-20 terjadi perubahan budaya yang mendasar dan konflik sosial yang meluas di
beberapa bagian dunia, meski pada bagian dunia lainnya pemikiran politik itu
tidak berkembang secara berarti. Tahun 1951 sekali lagi ini menegaskan bahwa
pemikiran politik yang ada saat ini lebih banyak berpijak pada gagasan-gagasan
lama, dan sialnya upaya untuk mengembangkan sintesa-sintesa politik baru
amatlah kecil. Parahnya lagi, landasan untuk bisa memunculkan fikiran kreatif
tidak dipersiapkan, Melihat kenyataan inilahsejumlah penulis telah mencoha
mencari tahu penyebabnya.
KEMEROSOTAN
TEORI POLITIK: SEBAB-SEBAB UTAMA
Easton menyebut “kemiskinan”,
“kemiskinan” dan “kemerosotan teoripolitik” itu sebagai akibat langsung dan
pernyataan para ilmuan politik kontemporer yang: (a) hidup secara parasit dari
gagasan-gagasan yang telah usang dan (b) gagal mengembangkan suatu sintesa
politik baru, Menurutnya mereka terlalu sibuk dengan analisa pemikiran politik
abad-abad sebelumnya disamping dalam menelusuri falsafah politik individu dan
Iingkungan hidup yang melingkupi pemikir tersebut,ini mungkin merupakan kerja
istimewa dalam menemukan fakta historis, tetapi menurut Easton analis: historis
semacam ini merupakan penyebab utama hancurnya aktivitas mental yang hidup
dalam peradaban tinggi dan yang muncul dari kebutuhan manusia yang universal.
Dengan kata lain, pada waktu-waktu belakangan ini para ilmuwan politik lebih
suka memusatkan perhatiannya pada hubungan nilai dan lingkungan yang
melahirkannya ketimbang pada upaya untuk mencoba menciptakan konsep nilai yang
baru yang dapat mendukung kebutuhan mereka. Tidak heran kalau tenaga dan
fikirannya tidak lagi banyak tercurah pada tugas tradisionalnya untuk
merumuskan kembati pokok nilai (content of values) di setiap masa, atau dalam
pengembangan teori yang sistematis tentang perilaku politik dan bekerjanya
lembaga-lembaga politik, suatu tugas yang oleh para ahli ekonomi dan sosiologi
telah dikerjakan dengan baik. Mereka teIah berusaha memberikan koherensi dari
kesatuan pada riset-riset empiris dengan membangun teori-teori umum, yang
justru diabaikan oleh ilmuwan politik. Dalam hal ini Easton sendiri tidak
melulu menyorot kesalahan yang ada pada teori politik modern, melainkan juga
pada keseluruhan teori politik yang telah berkembang hingga kini. Menurutnya,
suatu teori tidak hanya menanganinilai tetapi juga fakta, karena itulah suatu
teori perlu mensistematisikan dasar-dasar empirisnya. Kegagalan teori politik
untuk melakukan tugas itulah yang dikeluhkan Easton.Teoripolitik ternyata lebib
bersifat spekulatif dan kurang berlandaskan pada observasi yang seksama
terhadap peristiwa politik,kontemporer dan pengetahuan tentang sejarah manusia.
Manusia tak hanya tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa lalu,
tapi juga ingin menyaksikan apa yang akan terjadi pada masa
mendatang,inimenyangkut pernyataan-pernyataan yang berorientasi pada nilai (value oriented), atauyang disebut Easton
sebagai suatu ‘teorinilai” (value theory),
Berbedadengan penganut mazhab “perilaku” yang lain, Easton bukanlah orang yang
tidak setuju dengan teorinilai, sekalipun seperti juga yang lain
lebihmementingkan teori kausal. Ia memandang teorinilai, yang dalam
tulisan-tulisan politik kinicenderung ditinggalkan, bukanlah tidak penting,’
“HISTORISISME”
Easton tampaknya begitu berang terhadap
Dunning, Sabine Melllwaindan Lindsay, yang begitu banyak nenghabiskan waktunya
untuk menelaahgagasan-gagasan politik masa lalu. Para penulis ini kurang
tertarik untukmenghubungkan informasi tentang arti, konsistensi dan
perkembangankesejarahan nilai-nilai politik baik yang kontemporer atau yang
telahlampau. Easton membagi ahli politik masa kini ke dalam empat kategori:
1.
Penganut
faham kelembagaan, seperti Carlyle dan Melliwain yang tampaknya lebih tertarik
untuk menelusuri asal-usul gagasan dansudutpandang bahwa gagasan itu telah
memberi rasionalisasi padakepentingan-kepentingan politik dan pengembangan
kelembagaandaripada menentukan bagaimana gagasan tersebut mempengaruhiperistiwa-peristiwa
masa kini.
2.
Interaksionis,
seperti Allen dan kadang-kadang Carlyle, yang mencobamenguraikan interaksi
antara gagasan dan lembaga yang memberikanpengaruh besar terhadap proses
perubahan sosial pada setiap negara.
3.
Materialis,
termasuk Dunning, Sabine dan banyak lagi sarjana yang lain,yang menelaah teori
politik untuk menemukan dan mengungkapkanlatar-belakang budaya dan sejarah yang
mempengaruhi pemikiranpolitik pada masa tertentu, Para penulis yang mewakili
mayoritas inimencoba memahami ideologi dalam pengertian matriks
budayakeseluruhan.
4.
Kelompok
keempat diwakili oleh Lindsay, yang lebih tertarik pada nilai-nilai kontemporer
tertentu seperti demokrasi, dan senang menelusuri perkembangan sejarah ya,
dengan tujuan menentukan banyaknya dukungan sejarah pada nilai tersebut. Mereka
nampaknya percaya bahwa nilai-nilai yang telah diuji oleh waktu berhak untuk
mendapat pengakuan.
Easton memandang semua penulis
kontemporer tersebut sebagaihistoricit, muksudnya adalah bahwa “mereka tidak
menggunakan sejarahnilaisebagai alat untuk merangsang fikiran mereka guna
mencari kemungkinan mendalilkan kembali tujuan-tujuan politik”, melainkan untuk
memahami kondisi yang telah menimbulkan ideologi sistem atau nilai tertentu.
Ini merupakan tugas utamanya para sejarawan, bukan ilmuwan politik. Selama
lebih dari dua ribu tahun, sejak kaum Sophist dan Socrates hinggaHegel dan
Marx, para pemikir politik telah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar dan telah mencoba menjawabnya denganmaksud untuk menetapkan
nilai-nilai tertentu bagi masyarakat. Baru padaabad kedua puluh, Easton
menyayangkan bahwa pemikir politik telah mengambil alih peranan ahil sejarah
dan menolak mengatasi masalah-masalah sosial atau berusaha mencari
pemecahannya. Penulis seperli Dewey, Barker, Croce, dan Laski merupakan
kekecualian, tapi mayoritas penulis ilmu politik abad kedua puluh berpatokan
pada pendekatan historis”, dan hal inilah yang menurut Easton lebh “berhasil
menghancurkan teorinilai”.
“RELATIVISME
MORAL”
Easton
cenderung berpendapat bahwa kemerosotan teori politikdisebabkan juga oleh
tumbuhnya sikap nisbi terhadap nilaiyangdisebutnya sebagai “relativisme
moral’seperti yang muncul dalam tulisan-tulisan Hume dan terkristalisasi dalam
ilmu sosial abad/ke-20 oleh Max Weber, Bermula dengan Hume dan berakhir dengan
Comte sertaMarx, usaha untuk memisahkan nilai dan fakta itu dilakukan. Menurut
mereka nilai merupakan cormin kecenderungan individu atau kelompok,dan
kecenderungan tersebut menjadi cermin pengalaman hidupnyamasing-masing. Kalau
nilai semata merupakan cermin kecenderungan individu atau kelompok, maka yang
perlu dilakukan oleh seorang peneliti adalah menghubungkannya dengan kondisi
politik, sosial dan ekonomidalam masyarakat.Nilai, berdasarkan pandangan di
atas, tak dapatdipindahkan dan periode sejarah yang satu ke yang lain, Karena
itu pulaía tidak dapat diharapkan penerapannya pada situasi masa kini.
Merosotnya perhatian pada nilai-nilai
kreatif dan berkembangnyarelativisme moral boleh dikatakan merupakam akibat
dari situasi historisEropa pada tahun 1848 dan 1918, yaitu ketika ada kesatuan
pendapat yangbelum pernahterjadi sebelumnya tentang nilai-nilai di duniaBarat.
Kapitalisme, nasionalisme dan demokrasi telah menjadi nilai-nilai yang
diterimaoleh seluruh Eropa, dan sedikit demi sedikit mulaimenyebar ke
benua-benualain. Baru pada tahun 1917 ketika suatu sistem politik dan sistem
nilai yangberbeda berkembang di Rusia, konsep-konsep tersebut tertantangi
(meskikemudian menyesuaikan diri dengan konsep nasionalisme). Kemudian jugapada
akhir tahun dua puluhan dan awal tahun tiga puluhan, dengan munculnya kaum
Fasis, Nazi dan sistem-sistem militer di Italia, Jerman dan Jepang,konsep
demokrasi benar-benar dikepalai. Dan sejak itulah konflik di antaraberbagai
sistemnilai yang ada mulai menajam dan mengeras. Situasi sepertiini seharusnya
membangkitkan reaksi para pemikir politik. Easton herankenapa dalam situasi
baru yang demikian tak ada usaha untuk menempatkannilai-nilai lama di bawah
“analisa yang kritis dan rekonstruksi imajinatif’. Menurut Easton penyebab
utamanya adalah karena ilmu politik dan ilmuilmu lain banyak dipengaruhi oleh
Max, Weber, yang memisahkan nilai-nilai politik dan penelitian empiris.
Karl Mannheim dan para ahli sosiologi
lain saat ini memilikì pandangan bahwa nilai adalah bagian yang integral dan
kepribadian, yang tak dapatdilepas seperti halnya seseorang membuka
bajunya.Nilai-nilaiini mempengaruhi kita pada setiap tahap pekerjaan risetpada
saat kira memilihmasalah yang diteliti, dalamcara kita menerjemahkan hasil, dan
dalammenentukan saran-saran yang mungkin kita ajukan agar hasil tersebut
dapatberguna bagi masyaraka. Dengan kata lain, ilmuwan politik bukan
hanyapenganalisa nilai tapi juga pembangunan nilai. Seharusnya tidak
mungkinbagi seorang ilmuwan sosial untuk memisahkan diri
darimasalah-masalahsosial yang penting pada zamannya, Jika seorang ilmuwan
sosial melakukan risetnya di dalam sebuah lingkungan yang tertutup rapat dari
pengaruh nilai, maka selalu ada bahaya bahwa ia menghabiskan waktunya menangani
masalah-masalah yang hampir tak ada relevansinya bagi masyarakat. Mengejar ilmu
pengetahuan adalah sebuah kegiatan yang penting, tapi kitatak boleh lupa bahwa
pengetahuan diperoleh untuk tujuan tertentu. “Pengetahuan untuk apa”,
pertanyaan yang sekaligus merupakan judul bukuRobert S, Lynd ini adalah sebuah
pertanyaan yang penting. Disayangkan bahwa dalam usaha mencariilmu politik yang
bebasnilai, beberapa orangteoritisi politik modern menghindari pertanyaan di
atas.
Gagasan bahwa “riset dan perkembngan konstruksif
dan nilai-nilai adalah bagian integral dari studi politik”, sebagaimana
diuraikan Easton dalam pidatonya sebagai ketua pada pertemuan American
Political ScienceAssociation tahun 1969, dapat ditelusuri kembali sampai pada
tulisan-tulisannya yang terdahulu tentang hal ini, ketika la menganjurkan
‘latihan bagi ilmuwan sosial dalam bidang analisa dan rekonstruksi
sistemnilai.’Menurut Easton, seorang ilmuwan politik harus bereaksi dengan
tanggap terhadap persoalan masyarakat yang mendesak dan kebutuhan sosial yang
sedang muncul selain mencoba mengetengahkan sistem nilai yang canggih. Ia
menulis bahwa “Teori politik kreatif masa lalu telah terlibat dengan
usahmengatur konsepsi kebutuhan zamannya yakni mengaitkan pengetahuan tentang
fakta-fakta politik dengan tujuan-tujuan politik.” Jikateori yang kritis
dihidupkan kembali, maka akan “terdapat kembali sebuah jembatan antara
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan pengetahuan ilmu-ilmu sosial”. Tiada alasan,
tulis Faston, mengapa ilmuwan politik harus membatasi diri pada tugas memahami
hubungan-hubungan politik sebagaimana adanya, tanpa mempertanyakan hubungan
politik yang lama atau menciptakan sintesa politik baru.Teorinilai yang
difahami berdasarkan pengertian kreatif, seharusnya memainkan peranan yang
penting dalam studi-studi politik. Dalam pandangan Easton, bukan hanya
ditinggalkannya teorinilaisebagai aktivitas kreatif, dan digantikannya oleh
historisisme, melainkan juga tidak adanya perhatian terhadap teori perilaku
politik yang empiris,kausal dan sistematis, yang telah menyebabkan kemerosotan
teori politik.
KEKACAUAN ANTARA
ILMU PENGETAHUAN DAN TEORI
Sebab lain, yang dipandang oleh Easton
sebagai penyebab merosotnya teori politik adalah kenyataan bahwa kita dalam
waku tiga perempat abad terakhir telah menggunakan ilmu pengetahuan dan teor
isecara salah, danmengacaukan ilmu pengetahuan dengan teori, dan lupa bahwa
teorilebihluasdari ilmu pengetahuan. Menggunakan metode ilmiah dalam tugas
risetmeskipun pentingadalah berbeda dengan mengembangkan sebuah teori yang
didasarkan pada riset yang telah dilakukan, betapapun ilmiahsipatnya. Mereka
yang menganggap dirinya ilmuwan politik pada umumnyaberusaha mengumpulkan fakta
dan berdasarkan fakta-fakta itu merekamencoba mengembangkan mekanisme
alternatif untuk memperbaikistruktur dan proses politik. Percobaan ini mungkin
bersifat ilmiah, tetapibelum pasti berkembang dengan sendirinya menjadi sebuah
teori, kecualikalau kita mampu mengidentitikasikan variabel-variabel kehidupan
politikyang terutama dan menetapkan hubungannya satu sama lain. Kalau
kitamengecualikan beberapa orang ilmuwan politik, Merriam,
Freidrich,Simon,Lasswell, dan beberapa orang lainnyamaka kita akan
menemukanbahwa sebagian besar ilmuwan politik modern, setelah sengaja
mengalihkan perhatian mereka dari insitusi kepada proses dan kadang-kadang
motifdi bawah dampak sosiologi dan psikologibelum juga mulaimengembangkan
sebuah kerangka konseptual yang cukup bagi studi ilmupolitik. Mempelajari
proses dan motivasi adalah pentingpasti lebihpenting dari pada studi tentang
lembaga tetapi tak dapat dengan sendirinya membangun teori, Kaum tradisionalis
dan behaviouralis telah melibatkan diri terlalu lama dalam perdebatan apakah
yang seharusnya terjadi lebih penting daripada apa yang sudah ada, dan
sebaliknya, dan apakah wawasan saja yang diperlukan guna pernahaman politik
yang mencukupi,ataukah observasi terhadap gejala politik yang nyata juga
penting. Kaum“behavioralis’ dengan suara bulat telah menyatakan pentingnya apa
yangsudah ada, tetapi mereka hampir tak pernah berusaha mencari tahu mengapad an
bagaimana yang sudah ada itu menjadi ada, Di sinilah letak peran teori.
HYPERFAKTUALISME
Ilmu politik, menurut Easton, sudah
terlalu Lama didominasi oleh Hyperfaktualisme. Pada umumnya Bryce yang
dipersalahkan tetah memberikan tekanan yang berlebihan pada hyperfaktualisme.
Tapi harus dikatakandemi kebaikan Bryce bahwa dalam pekerjaannya yang
terdahulu, misalnya dalam American Commonwealth, ia tidak mengabaikan teori, ia
hanya tidaksuka pada pembentukan sistem, terutama pada filsafat sejarah dan
analisa hukum Jerman yang disebutnya ideologomachies. Tanyanya, “apayang
mungkin lebih kosong, lebih kering dan beku dan gersang daripada tulisan-tulisan
sok tahu tentang kedaulatan seperti yang kita temukan dalam John Austin dan beberapa
orang penulis yang lebih baru?”, Dalam tulisan-tulisannya yang terdahulu Bryce menekankan
perlunya mengumpulkan fakta melalui hipotesa dan teori, dan menolak anggapan
bahwa ia meremehkan generalisasi sejarah atauteori politik. Ia menyatakan
bahwas tudi tentang fakta-fakta dimaksudkan untuk “tujuan karena itu sulit untuk
tidak setuju dengan Easton ketika ia menulis bahwaa, teori tanpa fakta bagaikan
kapal dengan nakhoda yang baik tetapi dengan limas yang rusak”. Tapi kalau
kesibukan pengumpulan fakta menghabiskan energy sehingga tidak dapat melihat
fakta-fakta itu dalam bobot teoritis maka nilai akhir riset fakta ini sendiri
bisa hilang.
KONDISI DUNIA
KONTEMPORER
Seperti Easton,Cobban juga berpendapat
bahwa teori politik sedang merosot, dan ia tidak terlalu optimis teori politik
akan hidup kembali. Ia menulis bahwa telah ada tradisi intelektual di Barat
selama lebih 2.500 tahun, mencakup keyakinan terhadap interaksi konstan antara
gagasan dan institusi, yang satu mengubah yang lain. Tapi tiada sintesa seperti
ini yang muncul dalam zaman kita ataupun sejak beberapa waktu lampau menurut Cobban
sejak abad ke-18. Kita selalu dapat berkata bahwa pemikir politik yang besar
tidak bisa timbul begitu saja, dan jarak satu abad atau lebih dalam sejarah
teori politik mungkin tidak perlu dicemaskan benar. Padamasa lampau sejarah
perkembangan teori politik juga terputus-putus, seperti dalam abad-abad setelah
memuncaknya gagasan politik Yunani dalam tulisan-rulisan Plato dan Aristoteles.
Bahkan jika Natural Law School dan konsep yurisprudensi Romawi dilihat sebagai
suatu kontinuitas, pemikiran politik telah mati selama puncak kejayaan
Kekaisaran Romawi. Cobban khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini serupa dengan
keadaan masa Kekaisaran Romawi; dan jika hal ini berlangsung untuk periode yang
lebih lama, maka ada bahaya bahwa sungai pemikiran politik dapat menjadi
kering. Di antara kondisi inheren dalam pemikiran politik dunia modern. Ia
menyebutkan adanya perluasan kegiatan kenegaraan, kontrol yang luas dan
birokrasi terhadap semua kegiatan kemasyarakatan dan terciptanya “mesin”
militer yang besar. Cobban mengakui bahwa baik di dunia komunis maupun di dunia
Barat, angkatan bersenjata tidaklah di atas sipil, akan tetapi pada zaman Romawi
pun kelompok legion lama berada pada kedudukan yang tidak menonjol. Dalam dunia
komunis, bentuk organisasi partainya menandakan adanya pemerintahan oligarki
kecil, munculnya suatu super bureaucrat atau ketua partai mengambil kesimpulan
dan penguasaan prinsip, dan kalau tidak begitu maka hal itu tak punya nilai
ilmiah. Tapi setelah ia melanjutkan pekerjaannya, dan mencoba merumuskan
kembali teori untuk memberikan orientasi empiris, maka teori menjadi tergantung
pada pengumpulan fakta,dan ada saatnya teori hampir tak tampak. Sebenarnya
Bryce hanyalah produk positivisme sejarah pada akhir abad kesembilan belas,
yang menekankan pengumpulan data positif sebagai cara untuk menciptakan kembali
masayang lalu, dan ia mendapat kesulitan untuk mengatasi keadaan itu.
Kepentingan tulisan-tulisannya tentang politik terletak pada
caranyamenggambarkan situasi yang dapat dilihat dan dimengertinya
berdasarkanobservasi dan studi tentang fakta-fakta, ltulah metode sejarah yang
sudahditerima, tetapi tidak seperti Hegel dan lain-lainnya yang telah mencoba mengembangkan
sebuah filsafat dan sejarah, Bryce tetap puas dalam sikap membatasi diri pada
empirisisme yang tidak diolah.
Kebiasaan ini masih terus mempengaruhi
ilmu politik hingga tahun dua puluhan, ketika kecenderungan umum di fihak
ilmuwan politik adalah mencari “masalah-masalah penting yang dapat dhjadikan
bahan riset tanpa ada usaha untuk mengetahui bahwa suatu gejala politik
sebaiknya dapat dimengerti, bukan dengan cara menggambarkan seteliti mungkin
berbagai variabel yang ada berdasarkan penemuan empiris, tetapi dengan jalan menganalisa
variabel-varabel yang ditemukan sebagai tipe-tipe tertentu dalam segala situasi
politik, Misalnya “The National Conferences on the Science of Polities
(1922-24)” memusatkan perhatian terbesar pada pengembangan teknik-teknik baru
untuk pengumpulan data. Tak dapat diragukan bahwa para ilmuwan politik selama
tahun-tahun terakhir telah maju dengan pesat dalam hal mengembangkan teknik
yang canggih untuk memahami perilaku dalam pemberian suara, pendapat umum,
kepemimpinan legislatif tapi hampir tak mampu memberikan orietasi teori pada
studi mereka, suatu keadaan yang oleh Easton disebut sebagai “kurang gizi dalam
bidang teori dan kejenuhan dalam bidang fakta”. Dalam hal usaha mencari detail
ilmuwan politik seperti telah kehilangan pandangan politik yang menyeluruh, dan
gagal menumbuhkan alat-alat canggih yang dapat digunakan dengan baik untuk
studi semacam itu. Perhatian mereka sebagian besar menetap pada masalah-masalah
tertentu yang membutuhkan penyelesaian, dan mereka semakin tidak tergerak untuk
melihat hubungan yang ada kaitannya dan dengan sistem sebagai keseluruhan. Oleh
pemegang kekuasaan, dan pembentukan mekanisme penindasan (represi) untuk
digunakan terhadap mereka yang tak sejalan, sedang mesin partai tersebut tidak
kurang kuasanya dibandingkan dengan mesin militer. Kita mungkin hendak
menyangkaladanya keadaan tersebut dalam dunia demokrasi. Tetapi Cobban
tidakyakin, ia melihat kesamaan yang ada di antara dua bagian dunia tersebut.
Meskipun gagasan politik yang dominan dalam dunia Barat adalah demokrasi, namun
hampir tidak ada ahli teori politik dewasa ini. Konsep demokrasi berasal dan
abad ke-18, tetapi pada abad ke-19 tiada usaha untuk membentuknya kembali
sesuai dengan perubahan kebutuhan. Abad ke- 19 adalah awal mula nasionalisme,
komunisme, dan fasisme, dan bukan tumbuhnya demokrasi, Demokrasi telah menjadi
formula tanpa makna. “Uang logam”, tulis Cobban, “tetap merupakan alat tukar
yang sah meskipun sudah aus terpakai. Akan tetapi gagasan politik perlu
pembentukan kembali secara periodik jika hendak tetap mempunyai nilai. Dalam
beberapa decade terakhir ini ada sejumlah penulis yang mempunyai pendapat yang
cukup berbobot tentang situasi politik masa kini. Cobban menyebut Ferrero,
Bertrandde Jouvenel, Bertrand Russel, E.H, Carr, Reinhold Niebuhr, Harold
Lasswell, dan Hans Morgenthau. Tetapi mereka memandang negara dari segi power dan
tidak memasukkan etika ke dalam lapangan politik. Setiap atom yangmembentuk
masyarakat dikumpulkan bersama dilempar dan dihancurkanoleh power yang tak
diciptakannya dan tak dapat dikontrolnya. Jadi tidaklah mengherankan bahwa
teori polilik sedang merosot. Toynbee dapat mengatakan bahwa hancurnya suatu
peradaban mungkin berarti Iahirnyasuatu agama, akan tetapi hal itu tidak akan
memuaskan seorang ilmuwan politik.
Kemudian hari, Cobban mencoba mengubah sedikit pendapatnya dan menyatakan
bahwa keadaannya masih belum terlambat paling tidak di satu bagian dunia.
Birokrasi belum menjadi realita pemerintahan di negara Barat mana pun, pretorian guard ataupun partai politik
belum menjadi majikan.
KONDISI INTERNAL
ILMU POLITIK
Jika kondisi eksternal masyarakat tak
dapat dipandang sebagai faktor penentu dalam kemerosotan teoripolitik,
alternatif satu-satunya adalah kondisi internal, yaitu adanya kesalahan dalam
hakikat pemikiran politik itu sendiri,Cobban yakin bahwa itulah yang terjadi
bahwa ada salah arah dalam pemikiran politik dewasa ini. Cobban percaya bahwa
tiadanya arah di antarapara ilmuwan politik dewasa ini merupakan penyebab utama
kemerosotan teoripolitik masa kini. Semua pemikir politik besar masa lalu-Miii,
Bentham, Burke, Rousseau, Montesque, Locke, Hobbes, Spinoza, dan bahkan Plato
dan Anstotetes, menulis dengan tujuan praktis dan dengan maksud untuk
mempengaruhi tingkah laku politik yang sebenarnya. Mereka menulis untuk
mengutuk atau mendukung lembaga dan sistem politik yang ada atau meyakinkan
orang untuk mengubahnya karena pada dasamya mereka terlibat dengan sasaran dan
tujuan masyarakat politik. Pemikiran politik tak pernah lepas dari kenyataan
kehidupan kontemporer seperti anggapan ilmuwan politik modern. Para pemikir
politik awal merupakan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu: mereka ingin
mengubah dan menciptakan kembali masyarakatnya. Mereka terikat pada apa yang
dianggap sebagai tatanan sosial yang baik, dan mereka membawa kekuatan gagasan
danbahasa,”mereka untuk menyebarluaskan apa yang mereka anggap baik. Teori
politik dari Plato hingga Mill atau Marx pada pokoknya adalah bagian dari moral
atau etika. Cobban berpendapat bahwa perubahan yang terjadipada para pemikir
politik, yang semula terlibat tujuan ideal berubah sikap menjadi value free, bersikap objektif, dan
menganalisa gejala-gejalapolitik secara abstrak, diakibatkan oleh pengaruh
pendekatan historis di satu fihak, dan karena pengembangan apa yang dianggap
sebagai sikap ilmiahdi fihak lain.
Bagi seorang ahli sejarah, semua gagasan
dan cara bertingkah lakudibentuk secara historis dan bersifat sementara. Ahli
sejarah tidak memiliki patokan nilai selain “keberhasilan”, dan tidak ada
ukuran selain pencapaian kekuasaan, atau kelangsungan hidup yang sedikit lebih
lama dan pada lembaga dan individu lawan. Ketergantungan teori politik pada
sejarah dalam tahun-tahun terakhir ini, ketika ahli-ahli sejarah cenderung menganggap
penilaian etika sebagai suatu tindakan yang tidak sah, sama dengan
Machiavellisme. Tetapi akan menjadikan lebih berbahaya jika ketika dihubungkan
dengan proses sejarah, seperti yang telah dilakukan oleh Hegel dan Marx,
Keduanya melihat pada satu bagian alam yang kecil,yang sama pada negara
teritorial dan yang lain pada kelas proletariat, mereka mencampuradukkan apa
yang diinginkan dengan apa yang menjadi keharusan sejarah.
Keadaan ini diperburuk lagi oleh para
ilmuwan. Para ilmuwan politik sebelum
ini, sejak Plato dan Anstoteles, menerima dengan fikiran terbukabantuan yang
diberkan oleh disiplin ilmu lain, seperti matematika danpsikologi, bagi
pernahaman politik. Akan tetapi mereka tidak pernah berfikir bahwa metode ilmu
pasi dapat diterapkan secara mutlak pada studi politik. Tak dapat dibantah
bahwa ilmu politik memiliki elemen ilmu pengetahuan di dalam dirinya, dan tidak
ada alasan untuk membantah bahwa gejala politik dapat ditangani secara ilmiah,
tetapi ilmuwan politik dewasa ini nampaknya percaya bahwa adalah mungkin untuk
mempelajari politik dengan metode-metode yang telah terbukti berhasil dalam
ilmu pasti. Mereka lupa bahwa penelitian-penelitian politik harus mencari jawab
atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak dapat dijawab oleh metodologi ilmu
pasti, bagaimanapun pasti dan telitinya metodologi tersebut, Ilmu pengetahuan membantu
kita memahami dan menganalisa sesuatu, tetapi tidak menyediakan kriteria
penilaian yang diharapkan dari suatu teori politik. Ini tak berarti bahwa
ilmuwan politik harus mengambil bagian dalam politik aktif. Cobban secara tegas
menyatakan bahwa berbeda dengan pada ilmu pasti, dalam lapangan teori politik
perlu dimasukkan unsur moral, Ilmu pengetahuan dapat memberikan petunjuk
penting dalam rangka pencapaian sasaran yang hendak dituju, tetapi tak dapat
membantu memutuskan apa sasaran yang hendak dituju tersebut. Ilmu dapat
memberikan peralatan teknis untuk pergi kesuatu tempat tetapi tak dapat
mengatakan ke mana harus pergi. Ilmu tak dapat memberikan arah jalan tujuan
yang hanya dapat diberikan oleh teori. Falsafah teori telah mati dibunuh oleh
logika kaum positivis dan para penerus mereka.
REDUKSIONISME
IDEOLOGIS
Seperti Easton dan Cobban, Germino juga
percaya bahwa teori politik menurun pada sebagian besar abad ke- 19 dan awal
abad ke-20. Seperti jugaAlfred Cobban, ia menunjuk positivisme sebagai penyebab
kemerosotan teori politik pada periode lanjut, telapi ia juga menyebut
“ideologi” atau“doktrin politik” yang berpuncak pada Marxisme sebagai faktor
tambahan pada periode awal. Tetapi, berbeda dengan Easton dan Cobban, la
berpendapat bahwa teori politik sekarang ini sedang timbul kembal.Teoripolitik
tradisional, yang selama 150 tahun terakhir telah tertutupi oleh
kekuatan-kekuatan intelektual dan gerakan-gerakan politik disatu fihak, dan
oleh ketergila-gilaan pada “keilmiahan” difihak lain, pada masa sekarang ini
menurut Germino sedang naik kembali. Bahkan pada masa kejayaan positivisme ada
aliran-aliran filosofis yang menentangnya sepertidalam tulisan-tulisan
Benedetto Croce, Henri Bergson, Julien Benda,Max Scheler, dan lain-lain. Inidiikuti
oleh adanya “sisa” teori politikdalam aliran elitis seperti yang diwakili oleh
Guido Dorso, serta kemudian dihidupkannya kembali teori politik sepenuhnya oleh
Michael Oakeshott, Hannah Arendt, Bertrand Jouvenel, Leo Strauss, dan
EricVoegelin. Tanpa menyinggung telaahan terinci mengenai pemikiran politik
kontemporer yang ditekankan Germino, di sini kita dapat memeriksa secara
singkat hal-hal yang dianggapnya sebagai penyebab menurunnya teori politik pada
abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.
Di antara sebab-sebab utama, Germino
menunjuk pada reduksionisme ideologis dari Tracy, Comte, dan Marx sebagai
penyebab terpenting. Tracy merupakan orang pertama yang menggunakan istilah
“ideologi” sebagai suatu “ilmu untuk menentukan asal mula gagasan. Tracy
berkeyakinan bahwa semua pikiran adalah cerminan dari, dan ditentukan oleh,
pengalaman panca indera, dan dunia yang dapat ditangkap oleh panca-indera
adalah realita tunggal. Baginya, ideologi sama saja dengan bagian dari zoology,
dan kecerdasan manusia dapat diperiksa dan digambarkan sama seperti
memeriksadan menggambarkan sifat suatu zat kalau tanaman, atau suatu keadaan menakjubkan
dalam kehidupan suatu binaang. Bagi Tracy, Metafisika hanyalah ilusi dan fantasi,
merupakan hasil imajinasi demi kesenangan orang dan bukan untuk mengatur orang.
Pengetahuan baginya hanya terdiri atas ide-ide yang berhubungan dengan
pengalaman yang “nyata”, yaitu pengalaman panca indera. Seperti Condillsc,
Helvetius dan para pemikir prarevulusi lainnya di Perancis. Tracy percaya bahwa
tiada sumber gagasan lain selain perasaan bahwa semua pemikiran akhirnya dapat
ditelusuri hingga pada perasaan sentio
ergo sum (saya merasa, karena itu saya ada). Dan dengan menelusuri semua
gagasan sampai pada pengalaman pancaindera, dapat diciptakan suatu ilmu baru
tentang, manusia untuk menjadi petunjuk bagi keseluruhan kehidupan politik dan
ekonomi ummat manusia. Seseorang yang dapat membedah suatu ide (dengan
menelusuri sampai pada asal-usulnya yaitu pengalaman panca, indera) dapat menggunakan ilmu ini untuk
membentuk kembali tatanan sosial baru tempat manusia dapat dididik dan dibentuk
kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang diinginkan, Kata
“ideologi” tidak lagi dipakai dalam pengertian yang digunakan Tracy, sekarang
kata itu berarti suatu perangkat gagasan apa pun yang digunakan untuk mendukung
sistem politik atau ekonomi tertentu. Tetapi Tracy telah memulai suatu gerakan fikiran
yang berpuncak pada “reduksionisme ideologis” Karl Marx.
AUGUST COMTE DAN
POSITIVISME
August Comte umumnya dipandang sebagai
bapak positivism. Comte, seorang ahli matematik, mencoba membentuk pekerja
filosofis berdasarkan suatu definisi ilmu yang baru, ilmu yang sasarannya
terbatas pada penggambaran. Penggambaran atau deskripsi ini merupakan kebalikan
dari penjelasan dan juga, yang mengarah pada kemungkinan peramalan kejadian dan
akhirnya pada pengendalian kejadian tersebut.
Positivisme” menurut Comte adalah
penerapan metode empiris dan ilmiah tiada setiap lapangan penelitian.
Positivisme ini menunjukkan suatu penolakan terhadap setiap bentuk pengetahuan
yang berlandaskan pemikiran bahwa ada realita lain di luar eksistensi material.
Menurut Comte, sosiologi adalah ilmu yang mencari hukum-hukum yang mengatur
tìngkahlaku manusia dengan kepastian seperti pada ilmu pasti. Sekali manusia menemukan
bahwa evolusi dunia nyata diatur oleh hukum-hukum tertentu, manusia dapat
memanfaatkan dan mempercepat “operasi”nya. Comte percayaa) dunia tertata secara
rasional, dan ada hukum-hukum perkembangan daninteraksi sosial yang dapat
ditemukan; (b) penemuan hukum-hukum tersebutadalah mungkin sebab manusia
memiliki penalaran yang cukup; (e) manusiajuga cukup berakal untuk menggunakan
pengetahuan mereka untuk kepentingannya sendiri; (d) penalaran tidak hanya
memungkinkan ditemukannya hukum-hukum tingkah-Iaku sosial tetapi juga
memungkinkan manusia untuk menemukan tujuan-tujuan nyata yang diinginkan. Comte
yakin terhadap adanya kemajuan (progress). la menafsirkan perkembangan sejarah
dalam tiga tahap: (a) tahap “teologis”, dengan kepercayaan bahwa nasib manusia diatur
oleh kekuatan-kekuatan ketuhanan, dan sejak awal sejarah hingga Reformasi
Protestan; (b) tahap metafisika, yang merupakan zaman yang bersifat kritis dan
zaman pemberontakan yang berpuncak pada Revolusi Perancis; dan (e) tahap
“positif” atau “ilmiah”, yang merupakan zaman kontemporer, ketika pengetahuan
tentang manusia dan alam menggantikan ketidaktahuan, tahayul, dan ilusi yang
ada pada tahap-tahap sebelumnya, inilah masa sintesa antara tatanan dan
kemajuan.
SEDIKIT TENTANG
KARL MARX
Sementara SpenCer juga yakin tentang
adanya hukum-hukum perkembangan dan interaksi, dan terkadang ia digambarkan
sebagai sain dan tiga serangkai yang mendominasi abad ke-19 bersama Comte dan
Marx, tetapi Marxlah yang membawa reduksionisme ideologis sampai ke puncaknya.
Bagi Marx, realita tidak mempunyai struktur selain yang diterakan oleh aktivitas
produktif-praktis manusia. Manusia sendiriri tidak memiliki hakikat tetapi
berubah melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan Iingkungan alamnya.
Semua pemikiran adalah pencerminan dari lingkungan tempat manusia itu sendiri.
Akan tetapi, jika Tracy menunjukkan bahwa Iingkungan menentukan manusia, Marx
percaya bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri jika memiliki
pengetahuan ilmiah tentang masyarakat. Perubahan revolusioner dalam sifat
positivisme dapat terjadi oleh adanya ilmu Komunisme (Marxis). Jika Tracy,
Comte, dan Spencer percaya bahwa hukum-hukum perkembangan manusia dapatlah
ditemukan, Marx percaya bahwa ia telah menemukannya.
Dengan menolak tiga sumber tradisi
humanis teosentris Barat yaitu filsafat Yunani, Yudaisme, dan Kristen, Marx
mengungkapkan bahwa pada masa yang akan datang, manusia sebagai kreator dapat
merupakan senjata paling berkuasa dalam perubahan sosial. Marx percaya pada
adanya kesatuan teori dan praktek, bukan kesadaran yang menentukan
kehidupanmelainkan kehidupan yang menentukan kesadaran”. Perkembangan
masyarakat materiallah yang menciptakan perbedaan semu antara teori dan praktek,
jiwa dan benda, eksistensi dunia ini dan dunia yang lain. Menurut Marx, teori
adalah pembantu kepentingan material praktis. “Teori’ komunis bagi Marx bukan
saja penggambaran atau penjelasan tentang realita kehidupan masyarakat dan
manusia, ataupun ramalan masa datang, melainkan juga semata yang diperlukan
bagi penghancuran masyarakat kelas dan sebuah cetak biru bagi pembentukan dunia
baru, berlandaskan pengetahuan bahwa manusia dapat menciptakan dirinya sendiri.
“POSITIVISASI
ILMU-ILMU SOSIAL”
Di dalam lingkungan demikianlah gerakan
“positivisasi ilmu-ilmu sosial” tumbuh, Positivisme seperti yang dinyatakan
oleh Arnold Brecht, menjadi sinonim dan gerakan “pemurnian metodologis” dan
bersamasama dengan gerakan Positivisme Logis dan Filsafat Linguistis yang
mengikuti jejaknya, mendorong perkembangan yang dahsyat dari suatu gerakan intelektual
yang mendukung diadakannya pemisahan sempuma antara“fakta” dan nilai”. Benih
gagasan bahwa “nilai tak ada sangkut-pautnya dengan “fakta” dapat ditelusuri
kembali sampai ada Kant dan Mill, namun keduanya telah mencoba membangun
jembatan antara nilai” dan “fakta”, yang masing-masing dicirikan oleh Brecht
sebagai “jembatan moral” dan“jembatan kebahagiaan”. Lahirnya Gulf
Doctrine(lagi-lagi suatu istilah yang digunakan oleh Brecht untuk pemisahan
logis antara “yang ada” (is)
dengan“yang seharusnya” (ought) dapat
ditelusuri kembali pada sejumlah pemikir Jerman seperti Arnold Kitz (lahir
1807), Julius von Kirchmann (1802-1894), Wilhelm Windelband (1848-1915), para
penganut Kant Baru (Neo-Kantians) Heinrich Rickert (1863-1936), dan Georg
Simmel (1 858-1918), dan dianggap telah mencapai puncaknya dalam
tulisan-tulisan ahil sosiologi Max Weber(1864 -19201, yang dianggap berjasa
telah memprakarsai Neo-Positivisme atau Positivisme post-Comte, yang secara
langsung mempengaruhi pertumbuhan “behavioralisme” dalam ilmu politik. Bahkan
judul makalah Arnold Kitz yang dibuat dalam tahun 1864, yakni Seyn und Sallen (“yangada” dan “yang
seharusnya”) menunjukkan adanya kesadaran yang mendalam tentang perbedaan
antara Sein (waktu itu dieja Seyn, “yang ada”)dengan Sallen (“yang
seharusnya”). la menulis, “Dari kenyataan bahwa sesuatu ‘ada’, dapat diartikan
bahwa sesuatu yang lain pernah ada atau akan ada, tapi tidak pernah berarti
bahwa sesuatu ‘seharusnya ada’,” lima tahun kemudian dalam bukunya tentang
konsep-konsep dasar hukum dan moral, Kirchmann menarik perbedaan yang jelas
antara asal psikologis pengertian “yang seharusnya” dengan ciri logisnya, lalu
menekankan bahwa yang sainakan mungkin didapatkan sebagai turunan (derivasi)
dan yang lain, Dengan cara serupa, numun dengan ketenarannya sebagai seorang
filsuf yang jauh lebih besar, Windelband menekankan kembali perbedaan antara Naturgesetzeatau hukum alam (“yang ada”)
dengan norma-norma (“yang seharusnya”). Kaum Neo-Kantian, di antaranya Rickert
dan Simmel, mengembangkan gagasan itu lebih lanjut, Rickert berbicara lentang
perbedaan antara Being (kenyataan)
dan Meaning (arti) yang tidak nyata dan
tidak ada, dan menekankan hahwa dalam pembicaraan logis setiap tipe Meaning
harus benar-benar dipisahkan dari tipe Being
yang mana pun, Akhirnya yang berbicara tentang subjek ini dengan lebih jelas
dan tegas daripada siapa pun juga sampai saat ituadalah Simmel, ketika ia
menulis “Dalam setiap kasus menarik kesimpulan logis dan ‘yang ada’ kepada
‘yang seharusnya’ adalah salah.” “Dengan analisa logis (zergliederung) dalam kasus manapun kita tak dapat menemukan mengapa
‘yang seharusnya’ mengandung sifatnya yang khas, begitu pula dari adanya sifat
khas itu mengapa kita harus berbuat demikian.
MAX WEBER:
NEO-POSITIVISME
“Pada permulaan abad kedua puluh,
terutama di bawah dampak gagasan-gagasan Weber,” tulis Easton, “ilmuwan sosial
telah menerima sebagaisesuatu yang benar dan tak dapat dipertanyakan segala
sesuatu yang telah dipelajarinya sebagai mahasiswa yang belum berpengalaman,
yakni bahwa nilai-nilai politik harus dipisahkan secara tegas dari riset
empiris. Makalah Weber Objectivity of Knowledge in Social Science and Social
Policy,yang diterbitkan dalam tahun 1904, memberi pengaruh yang sangat
besarpada perkembangan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat. Dalam makalah itu Max
Weber berusaha menetapkan perbedaan yang ketat antara pengetahuan empiris
dengan pertimbangan nilai (valuejudgemen),
yang diakuinya sebagai pendekatan yang tidak baru, melainkan hanya merupakan
penerapan hasil-hasil logika modern yang telah diketahui secara luas tentang
persoalan kitasendiri. la menulis, “Mereka yang mengenal karya ahli-ahli logika
modern akan segera tahu bahwa segala apa yang penting dalam tulisan ini ada
kaitannya dengan pekerjaan mereka,” Yang dimaksudnya adalah Windeihand, Simmels,
dan Rickert, la tak setuju dengan pandangan kaum Marxian tentang kehidupan
ekonomi masyarakat yang diatur oleh: (a) hukum-hukum alamyang tak dapat diubah,
dan (b) asas-asas evolusi yang jelas, dan keseluruhan usaha untuk
mengidentifikasikannya dengan penilaian normatif. Tentang apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh Max Weber terdapat sejumlah kekacauan. Bagi Max Weber !“wertf reiheit” tidak mengandung
pengertian seperti apa yang sekarang digambarkan sebagai “ilmu pengetahuan
tanpa nilai”. Ia tidak menolak adanya “perkaitan nilai” (valeu-relatedness), antara semua cabang ilmu pengetahuan seperti
yang biasa dikatakan. Ia menegaskan bahwa dengan kata itu ia tidak bermaksud
menyatakan bahwa semua pertimbangan nilai harus dijauhkan dari diskusi ilmiah
pada umumnya, tetapi bahwa ilmu pengetahuan hanya memainkan peran terbatas
dalam persoalan pertimbangan nilai. Perlakuan ilmiah yang paling jauh terhadap Pertimbangan
nilai hanyalah sampai pada tingkat menerangkan. Tindakan mengambil keputusan,
tulis Weber dengan jelas, ‘bukan tugas yang dapat dilakukan oleh ilmu
pengetahuan, itu adalah tugas orang yang mau melakukannya: ia menimbang-nimbang
dan memilih dari antara nilai-nilai yang ada hubungannya menurut hati nuraninya
sendiri dan menurut pandangan pribadinya tentang dunia,” “Soal apakah orang
yang menyatakan pertimbangan nilai ini ‘seharusnya’ mengikuti standar-standar
tertinggi adalah urusannya sendiri yang terlibat di sini adalah kemauan dan
hati nurani, bukan pengetahuan empiris,” la mempertegas maksudnya ketika berkata
bahwa “suatu ilmu empiris tak dapat menyuruh orang untuk melakukan apa ‘yang
seharusnya’, hanyalah apa yang ‘dapat’ dilakukan, dandalam keadaan tertentu apa
yang ‘ingin’ dilakukan,” Arbold Brecht menulis, “Dengan segala penegasannya
tentang batasan-batasan ilmu pengetahuan Max Weber sendiri tak pernah berhenti
mempercayai adanya nilai-nilai tertinggi (ultimate),
la juga tak pernah memandang rendah terhadap pentingnya kepercayaan demikian
bagi kepribadian dan martabat manusia.Tetapi ia mengulangi lagi bahwa
“mempertimbangkan keabsahan nilai-nilai demikian adalah persoalan iman (faith), dan bukan ilmu pengetahuan.
Di bagian lebih lanjut dari makalah yang
sama Max Weber mengembangkan teorinya tentang “tipe-tipe ideal” (ideality pen),
yang melibatkan, seperti apa yang ditunjukkan oleh Brecht, pendekatan empiris
dan bukan pendekatan normatif, yang tujuannya menerangkan kenyataan sosial
dengan cara membantu kita agar mengerti mengapa suatu gejala tertentu
berkembangdan menjadi apa yang ada, dan bukan yang lain, la menjelaskan bahwa
tipe-tipe ideal hanyalah ciptaan fikiran (mind)
dan tidak pernah dapat dijadikan standar normatif. Tapi lambat laun Weber
terdorong tanpa ampun oleh logika pendekatannya dan mengembangkan sikap agak
mencemooh terhadap nilai-nilai dan secara relatif lebih mementingkan ilmu
pengetahuan. Dalam makalahnya Science as
a Vocation yang diterbitkan satu tahun sebelum kematiannya, la mengutarakan
pandangannya tentang apa yang kemudian dikenal sebagai “netralitas etis” (ethical
neutrality) secara lebih tegas? Ia menginginkan agar pengajar
“memperlakukan subjek-subjek politik dengan sikap ilmiah”, dan tanpa ada
pengaruh nilai apa pun. Berbicara tentang demokrasi misalnya, la “ingin
berdiskusi tentang bentuknya yang beranekaragam, ingin menganalisa caranya
berfungsi, ingin mencari tahu akibat-akibat apa yang ditanggung oleh seseorang
bagi kondisi hidupnya, ingin mempertentangkannya dengan bentuk-bentuk lain yang
tidak demokratis dan berusaha sedemikian rupa sehingga mahasiswa mampu
menemukan titik tempatnya berdiri karena cita-cita yang dipunyainya sendiri (stellung nehmen kann). “Tapi dampak
ajaran Max Weber adalah kenyataan bahwa pemikiran normatif yang merupakan
sesuatu yang tidakterpisahkan dari teori politik selama ini menjadi berkurang
nilainya. Bagi dia, bukan tugas ilmu-ilmu sosial untuk “menawarkan norma-norma
dan cita-cita yang mengikat” dan “menyediakan resep untuk praktek”. Pada saat banyak
terjadi perbenturan nilai di dalam jiwa Eropa, Weber mengajarkan, dan
mempraktekkan netralitas etis”, Tanpa banyak menyadari bahwa bersama-sama
dengan dibuangnya air kotor ideologi dan bak mandi, ia juga membuang, bayi
teori politik.
Germino rupanya yakin bahwa teori
politik tak dapat tumbuh bersama Positivisme: “kebangkitan penuh teori politik
kritis tidak mungkin dicapai ditengah alam diskusi yang positivistis”. Ia
menyayangkan kecenderungan sementara tidak pada waktu ini untuk berusaha
“mempersatukan kembali’komponen disiplin yang tradisional dan yang
behavioralistis dan mencoba membangun jembatan antara posisi yang bersaingan,
Ia mengakui bahwa tidak semua penganut Positivisme dapat dimasukkan ke dalam
satu golongan. Ada variasi penekanan dan berdasarkan itu ia ingin membagi
mereka dalam empat golongan utama:
1.
Secara
relatif terbuka dan tidak dogmatis seperti Weber dan Brecht yang peka terhadap
keterbatasan dan kesulitan yang dikarenakan tindak pemisahan fakta dengan nilai
dan benar-benar berhasil menyisihkan sebagian kecil kenyataan yang mengandung
asas-asas rasional yang krtis.
2.
Kaum
“Hybristic” di sini la menempatkan kaum
behavioralis yang ekstrim dan tokoh-tokoh perekayasa sosial ‘(sociaI engineers), seperti Simon dan
Lasswell, “yang telah ditulari golongan “hybris Comtean”dan yang mendukung
adanya “suatu masyarakat tertutup yang dapat dimanipulir dengan kedok
objektiviras”, dan yang menyelundupkan nilai-nilai “dengan kedok fakta atau
rencana berdasarkan konsep.”
3.
Kaum
Hyperfaktualistis, di sini ia menempatkan kelompok umum ilmuwan politik yang
dengan bangga menamakan diri behavioralis, jumlahnya agak besar, tapi tidak
begitu penting”, tak punya kecangihan intelektual” dan terlibat dalam “riset
tentang fakta tanpa pengertian yang jelas bagaimana cara mengatur atau menghubungkan
fakta itu”;
4.
Kaum
Positivis Axiologis (Axiological Positivists) seperti Easton, Dwilight Waldo
dan Cobban, yang mengaku bahwa pertimbangan nilai tidak dan tak akan menjadi
ilmiah, tetapi disamping itu meyakinkan bahwa tidak hanya merupakan
“kepantasan”, tapi juga “keharusan bagi fihak ilmuwan politik untuk melakukan
spekulasi nilai.
Namun Germino yakin buhwa tak ada aliran
Positivisme, betapapun lunak, yang akan membawa akibat lain kecuali “suatu
kemunduran dalam sejarah pemikiran politik dan sosial”.
Meskipun demikian Positivisme terus
mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu
sosial dalam abad kedua puluh, terutama di bidang ilmu politik,psikologi
akademis dan sosiologi, yang disebut “ilmu-ilmu behaviouralis”
Pada saat Perang Dunia Pertama”, seperti
yang ditunjukkan oleh Donald Atwell Zoll, “ilmu-ilmu sosial telah menjadi usaha
besar. Tujuan utamanya ialah memberikan pandangan ilmiah dan alat metodologi
yang sama kepada studi tentang persoalan manusia seperti apa yang menjadi
ciri-ciri ilmu aIam”. Ia menggambarkan dasar filsafatnya sebagai “secara substansi
neo-positivistis”, dan menyimpulkan dasar-dasarnya yang utama ke dalam delapan
bagian di bawah ini: (1) Keyakinan akan determinisme sebab-akibat (causal); (2)
penolakan atas hal-hal yang metafisis dan analisa abstrak yang berhubungan
dengan itu, (3) Kepercayaan akan perlunya menemukan “hukum-hukum” tingkah-laku
manusia; (dedikasi terhadap“objektivitas” ilmiah; (5) metodologi yang empiris
dan sebagian besarkuantitatif (6) perkawinan relativisme nilai dengan kultural;
(7) kepercayaan pada atomisme sosial; dan (8) pilihan atas organisasi yang pluralistis
dan demokratis. Dalam bidang psikologi orientasi neo-positivistis mengambil
bentuk teori-teori fisikalis (Physicalist)
tentang rangsangan dan reaksi, seperti Pavlov
atau behaviouralisme John Watson, dan di bidang sosioiogi dalam bentuk dominasi
analisa kuantitatit yang deskriptif, maka di bidang studi-studi politik juga
timbul behaviouralisme dalam arti bahwa penelitian tentang tingkah-laku manusia
dianggap lebih berarti daripada diskusi tentang prinsip-prinsip yang abstrak
atau analisa Kelembagaan. Penerbitan Human Nature in Politics karya Graham
Wallasdan Process of Government karya Arthur Bentley pada tahun 1908 dapat dianggap
sebagai peristiwa besar dalam perkembangan ini. Namun gerakan itu maju secara
lebih efektif di Amerika Serikat seperti yang dapat dilihatdari karya William
James, Mary Follet, John Dewey, dan Herbert Mead. Comte mempengaruhi satu generasi
pemikir di Eropa, antara lain LS , Mill di Inggris, P,J, Proudhon, Emile
Durkhem dan Lucien Levy-Bruhl diPerancis, dan Ludwig Feuerbach dan Ernest Mach
di Jerman.
Positivisme abad kesembilan belas
terutama menekankan pandangan menyeluruh dan usaha filosofis yang menyontoh
orientasi ilmu-ilmu, terutama ilmu alam, sambil menolak bahwa hipotesa yang
metafisik dapat dipercaya, dan orientasi ilmiah yang sebagian besar empiris dan
kuantitatif. Keandalannya yang utama terletak pada kemampuannya meramal gejala
dengan cara menggunakan metode ilmiah yang tepat untuk nempelajari tingkah-laku
manusia, perorangan dan sosial, Apa yang dapat diramalkan secara sosial dapat
direncanakan. Positivisme memandang manusia sebagai suatu organisme
psiko-biologis semata yang secara substansi tidak berbeda dengan jenis-jenis
makluk yang lainnya. Positivisme juga menganjurkan netralitas nilai dan
mempertahankan relativisme etis. Ciri-ciri Positivisme abad kesembilan belas
ini sangat mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh.
Dalam gerakan itu terdapat simpungun-simpangan, meskipun baik Emile Durkhem
maupun Max Weber masing-masing telah mempengaruhi perkembangannya dengan
caranya sendiri, tidak dapat dianggap
sebagai seorang positivis dalam artinya yang murni. Sambil menyuarakan sikap
positivis yang anti metalisik. Durkhem juga merasakan kebutuhan untuk mengakui
adanya komponen moral dalam penelitian sosial, dan karena itu ia mendapat
julukan “positivis canggih”(sophisticated
positivist). Bukan sekedar seorang fisikalis, ia berusaha mencari jalan
tengah antara Positivisme primitif dengan idealisme barudan menganggap gejala
nilai sebagai bagian yang vital dalam analisa sosial, Max Weber, seringkali
disebut seorang positivis baru (neo-positivist) terutama tertarik untuk
menciptakan metode yang berlaku untuk analisa sosial metode Verstehen, mengerti
yang harus mengatasi tingkatan sekedar data dan pembicaraan yang diperlukan
secara sempit. Namun Weber percaya akan keabsahan “hukum-hukum” tingkah-laku
manusiayang ditentukan secara empiris dan menganggap bahwa hukum-hukum ini
dapat diramalkan dan selanjutnya bahwa hukum-hukum ini dapat dijadikan dasar
bagi penilaian normatif. Weber tidak menyangkal adanya predisposisi nilai pada
pengamat adalah faktor yang tak dapat dihindarkan, tapi la masih percaya bahwa
ia harus bertahan pada “netralitas nilai”dalam analisanya tentang gejala.
Pandangan seperti itu telah memberikan pengaruh yang sangat besar, tidak saja
pada analisanya sendiri tentang birokrasi atau karisima, yang keduanya tidak
disetujuinya, namun diakuinya sebagai bagian dari realitas sosial yang tak
dapat dihindari tapi juga pada sikap ilmu-ilmu sosial yang sedang tumbuh.
PERINGATAN
POSITIVISME
Pada tahun 1960-an pengaruh Positivisme
menurun, dan orang dapat menyaksikan pemunculan kembali filsafat spekulatif
bahkan di Inggris yang merupakan benteng analisa linguistis. Orang Eropa yang
tak pernah menaruh banyak perhatian pada Positivisme terus menyibukkan diri
dengan bermacam ragam ilmu gejala (phenomenology) dan realisme baru
(neorealism). Juga ilmu sosial Amerika yang dicap positivis perlahan-lahan menurun,
sebagian disebabkan oleh serangan terhadapnya dari radikalisme sosial baru
dengan semangat moralistisnya yang kuat dan sebagian lagi disebabkan oleh
kritik yang sangat gencar terhadap pengakuannya atas objektivitas sosial dan
netralitas nilai dan terhadap kekurangan dasar ilmiahnya. Objektivitas ilmu
sosial neo-positivis sekarang mulai dianggap sebagai suatu ‘sikap pura-pura
suatu kecenderungan ideologis” yang menuju‚ada introduksi pertimbangan nilai
yang menyeluruh di bawah kedok keharusan ilmìah, dan pengakuannya akan cap
ilmiah sebagaipengrtian “ilmu” berdasarkan pendapat yang sudah tak berlaku
“ilmu”seperti yang diartikan orang dalam abad kesembilan belas, seperti dalam buku
Canons of Induction karya Mill.
Sebagai akibat kemajuan yang luar biasa di bidang biologi, genetika, dan
neurofisiologi, ilmu pengetahuan sekarang mengembangkan dasar-dasar yang sama
sekali baru, dan ilmu-ilmu sosial belum dapat menyesuaikan diri dengannya.
Dasar-dasar ini secara luas dapat didefinisikan sebagai: (1) Kepercayaan pada
ada nyakonsep-konsep yang tak terbatas kemungkinannya, yang evolusinya
tergantung dan kebaikan dan kegunaan konsep itu, dan bukan dan “kebenaran”dalam
arti tiruan dan suatu tujuan dan “pola akbar” (grand design) yangdapat
diuraikan, dengan kata lain penolakan terhadap apa yang disebut olehMilton
Munitz “teori alam sekali tembak (one-shot
theoryof the universe);(2) penggantian “teori kebenaran menurut persetujuan”
‘(correspondencetheory of truth)
dengan “teori kebenaran yang konsisten” coherence
theoryof truth); dan (3) penerimaan keabsahan peragaan yang didasarkan pada
kebutuhan logis disamping konformasi empirik. Penekanan sekarang ini adalah
pada makhluk individual yang dipandang sebagai hakim yang menentukan letak
kepentingannya sendiri dan bukan pada sekelompok elit yang menentukan
masyarakat karena kemampuan ilmiah dan pengetahuan normatifnya.
TEORI POLITIK:
PERUBAHAN DAN KONTINUITAS
Interpretasi lain yang diberikan
sehubungan dengan kemerosotan teori politik adalah bahwa teori politik tidak
merosot melainkan berubah bentuk. Teori politik masa lalu mencakup dua
aktivitas: (1) pada tingkatan praktis,berusaha menjelaskan bagaimana
pemerintahan berfungsi, atau apa asalmulanya, atau mengapa pemerintahan
tersebut dipatuhi, dan (2) pada tingkatan filosofis, mencoba meletakkan tujuan
dan sasaran negara dan mengusulkan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada
tujuan tersebut. John Plamenatz menunjukkan bahwa kedua aktivitas tersebut
berbeda dan takdapat dipertukarkan satu dan lainnya. Mengenai hal yang kedua
yaitu aspek filosofis teori politik berbeda dari waktu ke waktu, dan orang ke
orang, dan dari negara ke negara, karena sifatnya yang spekulatif. Karena teori-teori
spekulatif ini juga mempengaruhi tindakan, maka perlu dipelajari secara historik
waktu dan keadaan pada saat munculnya teori tersebut. Dengan demikian Durkheim
tidak salah ketika mengatakan bahwa filsuf politik sering berusaha membentuk kembali
sejarah dengan caranya sendiri dan memaksakan nilai-nilai pribadi atau kelompok
dalam usahanya tersebut. Hal ini mempersulit penjelasan ilmiah atas fakta
karena teori semacam ituhanya berfungsi untuk membenarkan apa yang dìinginkan
oleh filsuf yang bersangkutan, meskipun kita tak dapat mengatakannya sebagai
khayalanatau sekedar selera semata. Mungkin saja teori-teori itu hanya
teori-teorian atau teori yang ngaco. Weldon termenung dengan teori-teori
semacam itu ketika melihat bahwa konsep politik semata hanya diperlukan untuk penganalisaan
ilmiah guna menutupi ketidakpentingannya, kesederhanaan dan letak bergunaannya
saja. Teori politik dari Plato sampai Hegel, umumnya adalah kreasi dari
orang-orang yang sebenarnya lebih merupakan filsuf. Karena itu wajar kalau filsafat
politik mereka adalah bagian dari falsafah umumnya. Baru belum lama ini saja
disadari bahwa “kebenaran” ataurasionalitas dari suatu bentuk organisasi
politik atau kebijakan politik tidaklah dapat disimpulkan dari prnsip-prnsip
logika atau metafisika.
Tetapi bahkan pada masa lalu pun teori
politik tak selalu merupakan turunan atau cabang dari suatu filsafat. Ada
pemikir seperti Tocqueville, Graham, Wallace, Bagehot, dan Baines, dan banyak
lagi, yang telah mengambil pandangan sosiologis terhadap politik. Bahkan
Hobbes, dalam Leviathan, lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan prakis
daripada filosofis. Rousseau terutama bukanlah filsuf, meskipun Green, Bosanquet
dan idealis lainnya mengembangkan suatu filsafat yang berasal dari analisa
sosiologis mereka. Yang dapat dikatakan adalah bahwa pendekatan-pendekaan ini filosofis,
sosiologis, dan ideologis telah menurun tahun-tahun terakhir ini berhadapan
dengan penelaahan sosial dan politik yang empiris dan terinci. Tapi hal ini
tidak berarti Teori politik atau berteori tentang politik sudah menurun. Yang
terjadi, seperti yang dikatakan Partridge, adalah bahwa ilmu politik memisahkan
diri dari aliran filsafat, dan seperti ekonomi dan ilmu sosial lain, sampai
pada titik di mana ilmuwan politik harus menghadapi masalah yang umum, termasuk
analisa konseptual yang dahulu hanya dilakukan oleh filsafat. Ilmuwan politik
masa kini melakukan analisa konseptual pada tingkat kecanggihan dan kerumitan
yang hampir tak dapat dicapat oleh para filsuf. Batas antara filsafat dan ilmu
politik sedang dirumuskan kembali dan dibuatlah pembedaan tajam antara pertanyaan
filosofis dan pertanyaan empiris. Dengan perkataan lain, teori politik tidak
lagi dikerjakan oleh filsuf dan ahli sosiologi, melainkan olehi lmuwan politik
yang telah mengembangkan kemampuan yang cukup tinggi untuk menghadapi
masalah-masalah dalam bidangnya. Bahwa teori politik, bahkan dalam pengertian
sebagai filsafat politik, tidaklah mati ataupun merosot adalah pandangan yang
disuarakan oleh Isaiah Berlin. Ia menentang pandangan bahwa dapat terjadi satu
jenis masyarakat, apakah teknokratis atau utilitarian. Thomis atau komunis, ataupun
Platonis atau anarkis dan jika pun orang
dapat menerima pandangan tentang tujuan masyarakat yang monistik, terlalu
dipermudah,dan dibuat-buat sedemikian itu, akan selalu terdapat perbedaan dalam
mengartikan tujuan-tujuan tersebut di antara orang-orang yang berheda dan dalam
situasi yang berlainan. Berlin menulis: “Menganggap bahwa pernah ada atau mungkin
ada suatu zaman tanpa filsafat politik sama dengan beranggapan bahwa karena ada
zaman kepercayaan (ages of Faith),
maka ada juga atau mungkin ada zaman tanpa kepercayaan sama sekali. Ini adalah
suatu pandangan yang tak dapat diterima, tidak ada aktivitas manusia yang tidak
mencakup pandangan umum: skeptisisme, sinisisme, penolakan untuk menyibukkan
diri dengan hal-hal abstrak atau mempertanyakan nilai-nilai, oportunisme yang
keras, ketidaksukaan terhadap tindakan berteori, semua variasi nihilisme itu,
yang semuanya merupakan posisi metafisis dan etis, tentu juga merupakan sikap
memihak.
Percobaan-percobaan ahli filsafat abad
ke- 18 untuk mengubah politik menjadi filsafat terutama filsafat moral dan
politik, gagal, karena rupanya mereka berfikir bahwa politik yang menempatkan
manusia sebagai subjek utama, dapat mempelajarinya dengan cara memisahkannya
dan apa yang menentukan kemanusiaannya, yakni nilai-nilainya, dan bahwa
nilai-nilai dapat diperlukan sebagai bahan induksi dan hipotesa, walaupun
nilai-nilai itu selalu akan diperdebatkan. “Selama keingintahuan yang rasional
ada keinginan akan pembenaran dan penjelasan dalam anti motif dan
alasan-alasan, dan bukan hanya dalam pengertian sebab atau korelasi fungsional atau
kemungkinan-kemungkinan statistik’ tulis Berlin, “maka teori politik tak akan
hilang dari muka bumi, meskipun banyak saingannya seperti sosiologi, analisa
filsafat, psikologi sosial, ilmu politik, ekonomi, yurisprudensi, semantik,
mungkin akan mengklaim telah menghilangkan apa yang dibayangkan sebagai
wilayahnya. Dalam kenyataannya teori politik sedang maju, baik pada tingkat
behavioural maupun tradisional. Ílmuwan politik behavioural seperti Easton, Lasswell atau Deutschsedang
membuka dimensi-dimensi baru untuk studi persoalan-persoalan politik. Tetapi
berdampingan dengan itu jenis pemikiran sosial yangtumbuh karena
dorongan-dorongan moral juga sedang berkembang. Kita menemukan ahli-ahli
fitsafat politik terkemuka yang terlibat dalam penelitian tentang
masalah-masalah yang mempengaruhi masyarakat dan mengembangkan teori-teori
politik tentang anomi, penghapusan pribadi (de-personalization)
perpecahan (atomization), dan
sebagainya yang biasa terdapat di dalam masyarakat industri berskala besar, dan
juga teori-teoripolitik mengenai masalah-masalah apa yang dianggap peleburan“kelompok”
(community) dan pendewaan negara.
Berlin menyimpulkan,“Neo-Marxisme, neo-Thomisme, nasionalisme, historisisme,
eksistensialisme, liberalisme anti-esensi dan sosialisme, penggantian
ajaran-ajaran tentang hak-hak serta hukum-hukum alami dengan ajaran-ajaran
dengan pengertian empiris, penemuan-penemuan yang dihasilkan dengan
keterampilan menggunakan contoh-contoh yang diambil dan teknik ekonomi dan
ilmuilmu yang ada kaitannya untuk bidang tingkah-laku politik, dan
penggabungan, kombinasi, dan akibat-akibat yang timbul karena pelaksanaan
ide-ide ini, tidak menunjuk pada kematian sebuah radisi besar, tapi, kalau ada,
pada perkembangan-perkembangan baru yang tak dapat diramalkan.
TEORI POLITIK,
FILSAFAT POLITIK, DAN IDEOLOGI
Menurut Easton teori politik terdiri
dari tiga unsur: (1) Keterangan tentang fakta-fakta atau deskriptif (2) Teori
murni, atau teori sebab-akibat yang berusaha mencari hubungan yang dianggap ada
antara fakta-fakta, dan (3) teori nilai yang menentukan keterangan-keterangan
preferensi yang merupakan tujuan, maka ilmuwan politik harus memikirkan juga
jalan apa tujuan itu dapat dicapai. Hal ini hanya dimungkinkan dengan bantuan
sebuah teori sebab-akibat yang berlaku umum, yang mempelajari hubungan antara
fakta-fakta. Fakta penting artinya, tapi seleksi dan pengumpulan fakta sendiri
mengisyaratkan adanya sebuah teori, paling tidak dibawah alam sadar.
Fakta-fakta dan hubungan timbal-balik antara bermacam-macam fakta selalu
ditentukan oleh selera pengamat, dan seleksi dilakukan menurut rangka
kepentingan yang menetapkan kedudukan serta relevansi fakta-fakta itu. Ketika
muncul ke alam sadar maka rangka kepentingan itu membentuk sebuah teori. Tanpa
sedikit asumsi teori mustahil dapat memilih fakta-fakta yang berarti. Karena
itu fakta dapat didefinisikan sebagai “kenyataan yang khusus disusun untuk
kepentingan sebuah teorit. Karena itu fakta dan teori saling bergantungan satu
sama lain. Fakta tanpa teori merupakan tumpukan bagian-bagian yang tak berguna
dan tak ada artinya. Teori yang tidak berakar pada fakta adalah spekulasi
murni. Pengumpulan data dengan cara-cara yang dapat diterima, tulis Easton,
“tidak dengan sendirinya memberikan pengetahuan yang cukup pada kita.
Pengetahuan menjadi kritis dan dapat diandalkan kalau sifatnya semakin umum dan
semakin konsisten dalam pengaturan intern, pendeknya kalau pengetahuan itu
merupakan keterangan-keterangan yang sistematis dan berlaku umum dan dapat
diberlakukan terhadap sejumlah besar kasus-kasus khusus. Easton tidak percaya
kalau perilaku politik tak bisa dipelajari dengan, pendekatan teori, Perilaku
manusia, termasuk perilaku politik, mempunyai kesamaan tertentu yang selalu
dapat digunakan sebagai dasar ramalan, tapi hal ini hanya bisa dilakukan dengan
bantuan pendekatan teori. Easton percaya bahwa pendekatan seperti itu dapat
mengambil salah-satu dari tiga bentuk (a) generalisasi tunggal (singular generalization,) yang berarti
keterangan tentang kesamaan yang telah diamati antara dua vanabel yang terpisah
dan mudah dikenali; (b) teori sintesis atan teori standar sempit (narrow-gauge theory) atau sekumpulan
keterangan yang saling berkaitan yang digunakan untuk menggabungkan data yang
terdapat dalam suatu..
BAB 5
ELIT, KELOMPOK,
DAN KEKUASAAN
SEBAGAI
PRINSIP-PRINSIP
PENGORGANISASIAN:
KEGAGALAN UNTUK
MENGEMBANGKAN
SUATU TEORI
Teori elit misalnya menegaskan bahwa
ialah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2
kategori yang luas yang mencakup:
1)
Sekelompok
kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk
memerintah, dan
2)
Sejumlah
besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Meskipun pada mulanya teori ini
diperuntukkan untuk Eropa Barat dan Tengah sebagai kritik terhadap demokrasi
dan sosialisme, tapi oleh sejumlah ilmuwan Amerika ia diserap dengan baik untuk
menjelaskan proses-proses politik yang ada di negara mereka dan negara-negara
demokratis Iainnya.
Kendati penganut teori group
mengemukakan bahwa elit tidak perlu merupakan suatu kelompok yang padu tetapi
dapat berisikan sejumlah kelompok sosial, tapi seorang harus menerima kenyataan
bahwa setiap masyarakat mempunyai sejumlah besar kelompok yang senang
menggeluti kekuasaan dan menguasai kelompok yang lain. Merekalah yang terlibat
di dalam proses pengimbangan atau pengendalian terhadap yang lain, sehingga
berbagai kepentingan dan pelbagai pengikut kelompok bisa terpelihara. Karena
itu teori (politik) kelompok bisa menjelaskan secara baik fungsi-fungsi negara
dan masyarakat.
Apa yang mendorong elit politik atau
kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah
karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) ada dorongan kemanusiaan
yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan.
Politik, sebagaimana telah dijelaskan,
merupakan studi tentang siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana.
Apabila seseorang mulai mendalami
teori-teori ini, dia akan mengetahui bahwa di belakang teori-teori kelompok dan
elit, kekuasaan merupakan tujuan utamanya. Tujuan politiklah yang memaksa dan
mendorong individu untuk membentuk kelompok-kelompok serta mengaktualisasikan
dirinya di dalam kelompok-kelompok tersebut, dan Roy Macridis juga menegaskan
hal yang sama tentang analisa kelompok dengan menggambarkannya sebagai “suatu
bentuk determinisme yang kasar”. Konfigurasi kekuasaan pada dasarnya adalah
konfigurasi kepentingan-kepentingan yang berjuang dan berlomba, yang
terorganisasikan dalam kelompok. Jika kekuasaan terbukti sebagai prinsip yang
kurang memadai untuk memahami politik, maka teori elit, seperti halnya teori
kelompok, akan runtuh bersama teori kekuasaan.
TEORI ELIT
POLITIK
Pareto (1848-1923) percaya bahwa setiap
masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai
kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial
dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah
selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit
merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dan
dalam lapisan masyarakat. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada
pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas
yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai
kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena
itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dan 2 kelas: (1) lapisan atas, yaitu
elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang
lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri Iebih memusatkan perhatiannya pada
elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan
kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.
AWAL MUNCULNYA
TEORI (ELIT POLITIK)
Dalam setiap, masyarakat ada gerakan
yang tak dapat ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga
kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan suatu
peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan kelas-kelas yang
memegang kekuasaan, yang pada pihak lain justru malah meningkatkan unsur-unsur
kualitas superior; pada kelompok-kelompok (yang lain). Ini menyebabkan semakin
tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Pareto
mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian antara elit, yaitu pergantian:
(i) di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah ini sendiri dan (ii) di
antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa
pemasukan: (a) individu-individu dan lapisan yang berbeda ke dalam kelompok
elit yang sudah ada, dan atau (b)
individu-individu dan lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk
ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. Tetapi
apa sebenarnya yang menyebabkan runtuhnya elit yang memerintah, yang merusak
keseimbangan sosial, dan mendorong pergantian elit? Pareto menjawab pertanyaan
ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat
psikologis berbagai kelompok elit yang berbeda. Konsep tersebut didasarkan pada
perbedaan yang digambarkannya terjadi di antara tindakan yang “logis” dan
“non-logis” (lebih daripada “rasional” dan “non-rasional) dari
individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksudkan dengan tindakan
yang logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang
dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat
dijangkau. Yang dimaksudkan dengan tindakan non-logis adalah tindakan-tindakan
yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang
tidak dapat dilakukan, atau didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna
melaksanakan usaha tersebut. Yang di maksudkan dengan “residu” sebenarnya
adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan
sementara dia menyusun suatu daftar 6 “residu” dia mengikatkan kepentingan
utamanya pada residu “Kombinasi” dan residu “Keuletan bersama” dengan bantuan
elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya.
Perilaku mereka menunjukkan
karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam
membentuk klik-klik pemerintah sebagai “rubah” dan “singa”. Terdapat dua tipe
elit, yaitu mereka, yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan
cara paksa. Disamping Pareto yang mengembangkan teorinya atas dasar keahliannya
sebagai sosiolog dan psikolog. Dalam semua masyarakat, dan yang paling giat
mengembangkan diri serta telah mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat
yang paling maju dan kuat selalu muncul dua Kelas dalam masyarakat yaitu, kelas
yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama, yang biasanya
jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dan kekuasaan. Sementara kelas
yang kedua yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama,
dalam masalah yang saat ini kurang lebih legal, terwakili dan keras serta
mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya,
dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme
politik.’Semakin besar suatu masyarakat politik” tambahnya, “semakin kecil
proporsi yang memerintah untuk diatur oleh, dan makin sulit bagi kelompok
mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut”.
Karakteristik yang membedakan elit adalah “kecakapan untuk memimpin dan
menjalankan kontrol politik”, sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan
kecakapannya dan orang-orang diluar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang
lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan
dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya pada
sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu
memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang
diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi
perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka
perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Dia lebih menyukai suatu masyarakat
yang dinamis dan berubah melalui persuasi. Dia juga menyarankan agar elit yang
memerintah secara bertahap mengadakan perubahan dalam sistem poitik agar sistem
tersebut dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki
masyarakat.
Penguasaan minoritas atas mayoritas
menurut Mosca dilakukan dengan cara yang terorganisasi, yang menempatkan
mayoritas tetap berdiri saja di belakang apalagi kelompok minoritas biasanya
terdiri dan individu-individu yang superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik
yang berisikan kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam. Mosca menekankan
pentingnya apa yang disebutnya sebagai “formula politik. Dia percaya bahwa
dalam setiap masyarakat, elit yang memerintah mencoba menentukan basis moral
dan hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaan serta mewakilinya sebagai
“konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin-doktrin dan
kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal dan diterima.” Biasanya
hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang dapat diterima oleh
masyarakat. suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan
yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang harus diperintah
atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisik.
Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga-lembaga politik, rakyat
dan peradaban.
“Tendensi Oligarkis yang terjadi di
seluruh dunia terdapat dalam setiap jenis organisasi manusia yang berjuang
untuk mengusahakan tujuan yang jelas, oligarki merupakan bentuk yang telah
ditentukan sebelumnya dan kehidupan bersama; masyarakat yang besar. Sebagai
suatu gerakan atau partai yang tumbuh makin besar, makin banyak fungsi yang
harus diserahkan kepada pimpinan pusat, dan dengan berjalannya waktu,
anggota-anggota organisasi tersebut berkurang kewenangannya untuk mengatur dan
mengawasi mereka, sehingga akibatnya para penguasa mempunyai kebebasan yang
besar untuk bertindak dan menyuarakan kepentingan pribadinya dalam posisi
mereka. Mereka mati-matian bergayuh pada kekuasaan dan segala hak istimewa yang
terlekat padanya, dan menjadi hampir tak tergeserkan. Mereka biasa berada dalam
ketidaktetapan dan menjadi seperti budak dengan adanya paksaan. Mereka selalu
hancur pada tepian yang sama..”
Untuk lebih menekankan pentingnya teori elit
politik. Orang terpilih” adalah orang-orang yang terkenal dan merekalah yang
membimbing “massa”, yang tidak terpilih seperti mereka “Satu orang adalah
efektif dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan”. “Suatu bangsa merupakan
suatu massa manusia yang terorganisasi yang disusun oleh suatu minoritas
individu yang terpilih. Bentuk hukum yang akan dipergunakan suatu negara dapat
berupa hukum yang demokratis atau yang komunis, tetapi kehidupan dan konstitusi
ekstra legalnya akan senantiasa mengandung pengaruh dinamis dari suatu
minoritas yang bertindak di atas massa.
TEORI ELIT,
FASISME, DAN DEMOKRASI
Pareto percaya pada perintah suatu
minoritas kecil, mengabsahkan kekerasan, dan membenci sosialisme, pasifisme dan
humanitarianisme. Dia mengidentikkan demokrasi dengan korupsi, mesin politik
serta gangsterisme. Dia sinis terhadap ide perkembangan. Akan tetapi, di balik
pandangan-pandangan yang kuat yang dicerminkannya dalam masalah-masalah
tersebut, barangkali terdapat suatu keinginan untuk menunjukkan bahwa dia tidak
menderita kelemahan dalam idealism, humanitarianisme dan demokrasi, dan untuk
muncul secara rasional, positivistis dan ilmiah.
Mosca juga adalah seorang yang sangat
tidak senang dengan demokrasi walau bukan seorang fasis. Dia merupakan orang yang
berpendapat bahwa demokrasi, semenjak demokrasi hanya mewakilkan kepentingan
dari kelompok mayoritas yang lemah, tampaknya berbahaya bagi kemerdekaan. Burns
tidaklah keliru ketika mengatakan bahwa “Mosca termasuk dalam kubu pemikiran
konservatif dari Cavour, Bismarck dan Hegel daripada kelompok totalitarian, dan
bahwa demokrasi yang ditentangkan adalah demokrasi absolut Rousseau dan
bukannya demokrasi liberal yang telah ada di Swiss, lnggris dan AS. Usaha untuk
menemukan batas-batas yang mungkin dimanfaatkan kekuasaan yang dijalankan atas
individu-individu oleh banyak oligarki (negara, kelas dominan, partai dan
sebagainya).”
Michels percaya pada suatu aristokrasi
yang bijak dan baik sebagai pemerintahan ideal. Menurut dia, organisasi akan
membantu memunculkan serta membesakan para pemimpin yang mampu dan mau
mengekspresikan keinginan nyata massa yang menjadi pengikutnya.
DEMOKRASI DAN
PLURALITAS ELIT
Generasi teoritisi elitisme politik
berikutnya mencoba membangun sebuah teori baru tentang demokrasi yang dapat
diselaraskan kembali dengan teori elit politik. Karl Mannheim (1893- 1947),
yang dalam tulisan-tulisan awalnya telah menghubungkan teori-teori elit dengan
fasisme dan anti intelektualisme, memegang peran penting dalam usaha
penyelarasan ini. Perbedaan antara sistem totaliter dengan demokrasi adalah
bahwa kalau dalam sistem yang pertama diperintah oleh kelompok minoritas yang
lalim, sementara yang kedua dapat diganti oleh kelompok Mayoritas atau dipaksa
untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Demokrasi, tulis Schumpeter, muncul
dengan sistem ekonomi kapitalis dan secara kausal berhubungan dengan hal itu
dan oleh karenanya dimengerti dalam konteks tersebut. Bagi Schumpeter,
demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi
kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan bukan juga
seperangkat tujuan moral suatu mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara
satu atau lebih kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan
dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah
sampai pemilihan berikutnya. Peran para pemilih adalah bukan untuk memutuskan
masalah-masalah politik dan memilih wakil-wakil yang akan melaksanakan
keputusan-keputusan tersebut; peran mereka lebih pada untuk memilih orang-orang
yang akan membuat keputusan-keputusan (bagi mereka). “Dengan kata lain
Schumpeter setuju, suatu keyakinan atas “demokrasi” dalam hal yang menjadikan
kekhawatiran pada kenyataan bahwa seperti yang dilihat Michels, kepemimpinan
yang tak ada habisnya dalam suatu negara seperti halnya dalam organisasi lain.
“Keinginan rakyat adalah hasil dan bukannya dorongan kekuasaan dan proses
politik itu.”
“Apa yang kita tentang dalam analisa
mengenai proses politik”, tulis Schumpeter, “terutama bukanlah suatu kemauan
yang asli (genuine will) melainkan
suatu kemauan yang dibuat (manufactured
will), dibuat dengan cara-cara yang “tepat sama dengan cara-cara periklanan
komersial”. “Rakyat tidak mengangkat dan juga tidak memutuskan masalah-masalah
tetapi ...masalah-masalah tersebut yang membentuk nasib mereka, secara normal
diangkat dan diputuskan bagi mereka, harapan dari pemilihan umum “bukanlah data
yang paling tinggi, pemilihan pemilu tersebut tidak mengalir dari inisiatifnya
melainkan dibentuk, dan pembentukannya merupakan bagian yang esensial dalam
proses demokratis. Suatu ketika para ekonom telah menduga aplikasi sistem pasar
dalam politik, sejumlah ilmuan politik mulai menambah dan mendukungnya dengan
sejumlah besar penelitian empiris tentang pemilih yang bagaimana dalam
demokrasi Barat yang sebetulnya bertindak dan bagaimana sebenarnya keberadaan
sistem politik Barat menanggapi perilaku mereka.
Partai-partai dalam kehidupan politik
demokrasi, tulis Anthony Downs, adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu
ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan
politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti
para pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan
memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama. Karena
kelompok-kelompok orang yang berbeda mencari jalan yang berlainan untuk
mendapatkan dukungan dari massa, maka partai-partai politik yang berbeda pun
dibentuk dan masuk ke dalam kompetisi satu sama lain. Hal inilah yang membawa
pluralitas (kemajemukan) dalam tubuh elit dan sejenis sistem check and balances dalam masyarakat
demokratis, yang dalam hal ini, sering digambarkan sebagai masyarakat majemuk,
yang meletakkan masyarakat demokratis ada suatu posisi yang berbeda.
Sementara Schumpeter dan Downs pada
dasarnya adalah ekonom dan dapat diharapkan untuk memandang politik sebagai
suatu permainan yang dimainkan oleh si kuat untuk mengamankan kepentingan
pribadi mereka sendiri, demikian juga para ilmuwan politik Harold Lasswell. Dia
menolak pembahasan dan konsultasi formal dan semua yang berkaitan dengan
kebijakan sosial yang dipandang sebagai konsep klasik tentang demokrasi dan
menegaskan dalam gaya seorang ahli jiwa sosial
suatu serangan langsung atas “patologi-patologi sosial” dengan
menerapkan ‘obat pencegah” yang berupa kebijakan yang didasarkan pada pandangan
ilmiah. Poliarki, menurut para penulis ini, adalah sistm politik yang
bercirikan suatu kompetisi yang bebas dan wajar di antara kelompok minoritas
yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Robert Dahl,
sambil mengomentari “analisa pengecualian yang bagus” dan Schumpeter, tidak
mengarah pada hal yang sama dalam mempercayai “bahwa pemilihan-pemilihan dan
aktivitas antar pemilihan merupakan kepentingan utama dalam menentukan
kebijakan”. Dalam tulisan yang berikutnya dia mengambil pandangan yang sedikit
lebih baik mengenai daya tanggap dan sistem tersebut.
Sementara
memandang egalitarianisme dengan basa-basi, pernyataan utama Dahl adalah bahwa
dengan realistis dikatakan, struktur politik, dalam pelaksanaannya, dapat
dianalisa dengan cara terbaik dalam hal kelompok-kelompoknya yang sangat
berpengaruh (digambarkannya dengan menjelaskan poliarki yang pada kenyataannya,
mengawasi dan mengarahkan mekanisme kekuatan politik. Dahl membicarakan
egalitarianisme dalam konteks kompetisi di antara kelompok minoritas yang
berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Menurut Santori
“demokrasi adalah suatu sistem politik di mana pengaruh keIompok mayoritas
dijamin oleh kelompok minoritas yang dipilih dan berkompetisi dan yang
kepadanyalah sistem itu dipercayakan.
Apa yang dilakukan “sistem politik
pasar’ dalam kesamaannya dengan pasar ekonomi, adalah untuk mencatat dan
menanggapi “permintaan efektif’ yang dalam dunia ekonomi, berarti suatu
permintaan yang didukung oleh “daya beli”. Dalam masyarakat yang jurang pemisah
kekayaannya tajam dan kesempatan untuk mendapatkannya juga demikian, kedaulatan
konsumen pada prakteknya merupakan keseluruhan konsumen yang tidak merata yang
berarti kemustahilan bagi yang kurang mampu. Permintaan kelas sosial dan
ekonomi yang lebih tinggilah yang paling efektif.
DEMOKRASI ELITIS
VERSUS DEMOKRASI PARTISIPASI
John Dewey dapat dipandang sebagai
pemberi dasar filosofis atas apa yang kemudian dikenal sebagai teori demokrasi
partisipasi (participaroty democracy).
Konsepnya tentang utilitarianisme subjekiif self-interes
yang subjektif, yang menimbulkan akibat pada keberadaan suatu “masyarakat yang
terbuka”, suatu pengutamaan kehendak individu dan penolakan terhadap
nilai-nilai kekuasaan yang bersifat total. Suatu masyarakat demokrasi
tergantung pada konsensus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia,
yang menurut Dewey, didasarkan atas kebebasan, persamnan dan partisipasi
politik. la membedakan antara “kebebasan untuk bertindak”, yang kadangkala bisa
bersifat anti-sosial, dengan “kebebasan berfikir” (yang tumbuh dari tipe
pendidikan yang benar) yang akan merangsang keharmonisan sosial dan bahkan
kepentingan bersama, yang tak dapat dibiarkan lagi “tergantung pada atau
diekspresikan hanya dalam lembaga-lembaga politik saja”.
Teori mereka gagal untuk meliput
kebutuhan dan nilai-nilai manusiawi. Politik, bagi Bay, bukanlah sekedar studi
tentang bentuk, tetapi harus termasuk kesejahteraan manusia dan kebaikan
masyarakat. Dia memandang kebebasan manusia secara individual, yang difahaminya
dalam konteks sosial dan psikologi, sebagai tujuan politik yang utama. Semua
praktek sosial akan diukur secara bertentangan dengan norma kebebasan dan semua
kondisi yang membahayakan tujuan ini harus dihapuskan. “Prioritas”, menurut
Bay, diberikan kepada “individu-individu yang paling tertindas” dan “yang
paling sedikit mendapatkan perbaikan dari proses-proses demokrasi yang biasa”.
Pengembangan insentif politik pada individu, menurut Bay tergantung pada
“proses pembebasan secara bertahap dan keadaan khawatir dan takut yang
mengganduli orang yang bersangkutan” Karena ini negara harus mendorongnya untuk
mendapatkan “kepuasan yang sesungguhnya dan martabat yang tinggi sebagai warga
negara yang demokratis”. Bay percaya benar bahwa penegakan demokrasi yang benar
haruslah didahului dengan suatu rekonstruksi sosial yang radikal yang akan
memingkinkan pencapaian “kepuasan yang sesungguhnya dan martahat yang tinggi
sebagai warga negara yang demokratis”. “Demokrasi”, komentarnya, “akan tumbuh
secara alamiah dari hubungan antar individu yang terbiasa dengan toleransi dan
kehidupan bermasyarakat yang penuh semangat.
Peter Bachrach yang secara langsung
menyerang posisi yang diambil oleh para elitis dan menegaskan apa yang sekarang
disebut “demokrasi partisipasi” (participaroty
democracy). Dengan memahami kepentingan politik manusia yang tumbuh secara
alami dari pemerintahan semata”, dia menulis, para elitis demokratik secara
implisit menolak argumen para teoritisi klasik bahwa berbagai kepentingan
termasuk juga kesempatan untuk berkembang yang tumbuh dari partisipasi dalam
keputusan-keputusan politik yang berarti.”” Bachrach memandang “partisipasi
tidak hanya penting bagi pengembangan diri tapi juga sebagai dasar bagi
tumbuhnya masyarakat bebas. Dia secara langsung menolak asumsi, yang menjadi
dasar semua teori “demokrasi elitis” bahwa masyarakat dibentuk oleh “kekuatan-kekuatan
yang tidak bebas dan impersonal” dan memandang “perkembangan diri individu”
sebagai kriteria utama untuk mengevaluasi karakter negara dan masyarakat.
Apa yang secara implisit disebut dalam
berbagai tulisan yang membela “demokrasi partisipasi” dengan mengecam konsep
“demokrasi elitis” yang dinamakan, “penciptaan iklim psikologis yang kurang
lebih dapat secara spontan memotivasi perubahan dan kemajuan (Henry Kariel),
dan kebutuhan akan suatu rekonstruksi sosial radikal yang membawa kepuasan
nyata dan kewarganegaraan demokratis yang bermartabat” (Christian Day)
diperjelas oleh Kenneth Megill ketika mengekspresikan pandangannya bahwa
“pertanyaan utama mengenai teori demokratis kontemporer pada akhirnya, adalah
pertanyaan mengenai organisasi yang diperlukan bagi gerakan revolusioner”.
Megill menolak “demokrasi liberal” sebagai ideology politik perdagangan bebas
kapitalistik, dan menghendaki suatu “radikalisasi” dalam perspektif politik
yang menciptakan suatu sintesa neo-Marxis baru. Dia menyetujui pengawasan buruh
yang lebih besar terhadap proses produksi atas “situasi kerja” yang
dimaksudkannya dan dengan penaklukan birokrasi. Bagi Megill demokrasi hanya
dapat didasarkan atas pemusnahan berbagai kondisi penindasan dan, perekonomian
pasaran bebas dan penciptaan kebebasan baru “yang didasarkan atas
komunitas-komunitas yang terorganisasikan di sekitar kehidupan manusia yang
nyata”.
Memang belum bisa dibuktikan bahwa suatu
“partisipasi” yang diperluas akan selalu membangkitkan self-development dan hal ini pada gilirannya, menciptakan kemajuan
dan keharmonisan sosial. Suatu perubahan dari bentuk demokrasi yang ada saat
ini kepada “demokrasi partisipasi akan memerlukan: 1. Perubahan kesadaran
rakyat yang tadinya memandang diri mereka sebagai penerima pasif atas segala
sesuatu yang diberikan oleh kekuasaan menjadi agen-agen perubahan sosial yang
aktif melalui bentuk partisipasi yang positif dalam proses pengambilan
keputusan oleh negara, dan 2. Pengurangan secara besar-besaran segala
ketimpangan yang ada.
Pengalaman dan partisipasi yang sesungguhnya
dalam pengambilan keputusan di tempat kerja tampaknya akan menciptakan
keinginan untuk berpartisipasi dalam bidang politik yang lebih luas. Militansi
kelas pekerja telah muncul, aktivitas politik meningkat demikian juga partai
komunis dan sosialis dan peningkatan partisipasi dalam serikat dagang dan
industri.
BASIS KELOMPOK
DALAM POLITIK
Seperti kaum pluralis yang bereaksi
terhadap prinsip liberalisme atomis yang sedang berjalan (seperti yang
disebutkan oleh Locke dan Bentham) di satu fihak, dan sosialisme idealis oleh
Green dan Bosanquet) di fihak lain, para teoritisi kelompok pada tahun-tahun
terakhir ini mencoba untuk menjadikan kelompok bukannya individu atau
masyarakat sebagai unit dasar dalam studi politik. Sementara kaum pluralis
telah menghasilkan beberapa pengertian yang brilian mengenai basis kelompok
dalam masyarakat, dan mengenali suatu patokan ganda dalam afiliasi dan
loyalitas kelompok, para teoritisi kelompok melihat bahwa dalam patokan ini terdapat
basis fungsional pemerintah.
Bentley, yang secara umum menentukan
akar behavioralisme, menentang formalisme dan kualitas pendekatan kelembagaan
yang statis dalam analisa politik, dan menekankan tulisan-tulisannya pada
dinamika dan proses-proses sehagai karakteristik aktivitas negara. Tak ada
perasaan yang akan di resapi individu kecuali dalam suatu bentuk sosial.” Studi
ini menyangkut suatu “hubungan” antara orang orang atau “tindakan” orang-orang
dengan atau atas yang lain. Kelompok-kelompok tersebut senantiasa berinteraksi
dengan yang lain, dan politik terisikan dalam “tarik-menarik oleh beberapa
orang dan genggaman orang-orang yang lain sepanjang garis-garis yang berubah,
pengambilan kekuatan untuk mengatasi ketahanan dalam perubahan tersebut, atau
penyingkiran suatu kelompok kekuatan oleh kelompok yang lain.”
Karena Bentley tertarik untuk
menghilangkan penekanan pada lembaga-lembaga dan menggantikannya dengan
proses-proses, dia memahami kelompok sebagai suatu aktivitas massa dan bukannya
suatu kumpulan manusia. Kelompok didefinisikannya sebagai “suatu porsi manusia
tertentu dalam suatu masyarakat, yang diambil, bukan sebagai suatu massa fisik
yang terpisah dari massa-massa manusia lain, tetapi sebagai suatu massa
tindakan yang tidak menutup kemungkinan orang-orang yang berpartisipasi di
dalamnya untuk berpartisipasi juga dalam aktivitas-aktivitas kelompok lain.
Oleh karena itu suatu kelompok yang asli, berbeda dengan kumpulan
ko-insindental atau kelompok kategoris. Kenyataan bahwa individu yang sama dapat
menjadi anggota dari berbagai kelompok juga memperjelas bahwa aktivitas yang
khusus pada kelompok tersebut lebih penting daripada komposisi strukturalnya.
Kelompok menjadi suatu aktivitas dan massa, pertanyaannya sekarang adalah apa
yang mengarahkan aktivitas ini. Di sinilah konsep kepentingan Bentley masuk
yang diperlakukannya sebagai fokus utama dalam memahami politik. Kepentingan
adalah perilaku yang dihadapi menyangkut suatu tuntutan atau tuntutan-tuntutan
yang dibuat oleh satu kelompok atas kelompok- kelompok tertentu dalam suatu
sistem sosial. Jadi, kelompok merupakan suatu aktivitas massa yang diarahkan
oleh kepentingan dan sistem sosial, berisikan sejumlah besar kelompok yang
menandai arena bagi interaksi aktivitas kelompok. Maka dari itu, ide tentang
kepentingan oleh Bentley secara integral dihubungkannya dengan teori kelompok,
seperti yang dikembang kannya. Kepentinganlah yang mengorganisasikan
kelompok-kelompok. Seseorang dapat membayangkan sejumlah kepentingan yang tidak
terekspresikan dalam suatu kelompok dan karenanya tetap tidak terwakili sampai
kepentingan tersebut menemukan ekspresinya. Oleh karena itu, seseorang dapat
berpikir tentang kelompok-kelompok potensial, kelompok-kelompok laten, seperti
halnya kelompok-kelompok yang masih dalam tahap “menjadi’ bersama-sama dengan
kelompok-kelompok yang ada.
Teori kelompok secara logis akan membawa
pada konsep khusus mengenai sistem sosial dan perilaku politik. Seperti yang
ditulis Bentley “masyarakat sendiri tidak lain merupakan kompleks kelompok-kelompok
yang tersusun”,” sistem sosial adalah “suatu kumpulan mosaik dan berbagai
kelompok”, untuk mengulang apa yang ditulis oleh Truman, seorang teoritikus
kelompok yang menonjol. Earl Latham, “merupakan satu keseluruhan kelompok yang
bergabung, bercerai, berhimpun, dan membentuk koalisi-koalisi dan konstelasi
kekuatan dalam suatu perubahan yang tak pernah berhenti”, dan terus dijalankan
oleh “dorongan dan pertahanan antar kelompok-kelompok”. Para teoritisi
kelompok, seperti penganut behavioralisme yang lain, tertarik pada kenyataan
bahwa masyarakat terus berjalan, dan dalam rangka menjelaskan bagaimana hal itu
dapat terus berjalan, meski konflik selalu terjadi di antara kelompok-kelompok
tersebut di mana setiap kelompok dengan kebingungan berusaha meraih kepentingan
pribadinya sendiri yang terdekat, teori tentang sejenis keseimbangan kekuatan
yang otomatis dimasukkan, yang dinamakan Bentley Perimbangan tekanan
antar-kelompok” (the balance of the group
pressures).
Para
teoritisi kelompok yang kemudian mengikuti jejak Bentley Odegard, Flerring dan
Shattschneider, menunjukkan kepentingan yang sangat besar dalam setiap proses
dan organisasi internal dan berbagai kelompok, serta membahas pertanyaan yang
menyangkut batas, ukuran wilayah dan bentuk integrasi. “Buku Truman juga
memberikan”, dalam tulisan David Greenstone, “Tinjauan yang paling sistematis
dan komprehensif dalam tradisi teori kelompok yang secara mendasar berusaha
memahami realitas politik Amerika. Karena di sana Bentley berulang kali
menekankan pentingnya arus proses aktivitas yang menentukan, di mana Truman
secara eksplisit melihat kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang stabil
tersebut tidak perlu memiliki tujuan-tujuan kebijakan yang berkesinambungan
tetapi dapat secara seketika masuk ke dalam poIitik.” Menurut David Truman,
“suatu kelompok merupakan suatu kumpulan individu yang “mempunyai satu atau
lebih basis perilaku, membuat tuntutan tertentu atas kelompok-kelompok lainnya
dalam masyarakat untuk menegakkan, merawat atau memperkuat bentuk-bentuk
perilaku yang terlihat dalam perilaku yang dihadapi tadi .... Perilaku yang
dihadapi menunjukkan kepentingan-kepentingan”. Truman membedakan antara
kelompok dan asosiasi biasa, asosiasi digambarkannya sebagai “kelompok-kelompok
yang terbentuk di sekitar hubungan-hubungan Iangsung”. Akan tetapi
kelompok-kelompok menganggap arti sebenarnya hubungan mereka dengan kelompok
lain, dengan mengusahakan berbagai jenis kepentingan yang sama ataupun yang
bertentangan.
Meskipun mengambil penekanan Bentley
atas karakter kehidupan politik yang dapat berubah pada hal yang jauh lebih
besar daripada Truman, dia berjalan di luar Truman dalam studinya yang bagus
tentang New Haven, yang meneliti cara-cara di mana aktivitas kelompok-kelompok
dibatasi oleh aktivitas, tujuan-tujuan dari aliansi-aliansi dan mereka yang
berperan aktif dalam politik di kota tersebut dan juga oleh norma-norma sistem
politik Amerika. Dia juga mengemukakan rincian yang lebih banyak daripada
Truman tentang kondisi-kondisi yang dapat membawa suatu kelompok sosial
non-politik untuk seketika menjadi favorit dalam suatu isu masyarakat yang
besar.
Kemudian apa fungsi pemerintah, dan
peran apa yang dimainkannya dalam pertentangan-pertentangan kelompok? Para
teoritisi kelompok telah meninggalkan konsep mereka tentang pemerintah dan
tentang politik dalam ketidakjelasan. Kadang-kadang mereka menganggap
pemerintah sebagai pemegang peran mediator dalam suatu perebutan kekuasaan di
antara berbagai kelompok dan sebagai sumber peraturan dan pengaruh. Kadang-kadang
pemerintah juga digambarkan sebagai suatu bentuk dalam mana perebutan kekuasaan
di antara kelompok dapat berproses, dalam lingkungan dan batas-batas tertentu
yang mengatasi (over arching). Antara
suatu pemerintah dengan pemerintah lain dapat dibedakan dalam hal mekanisme dan
proses-proses yang diberikannya untuk menangani perebutan kekuatan yang
berlangsung di antara berbagai kelompok politik?’ Menurut para teoritisi
kelompok, pemerintah juga tersusun dari kelompok-kelompok, yang hadir di dalam
kerangka berbagai proses sosialnya yang luas. seperti halnya
kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan, sehingga menjadikan
kelompok-kelompok yang ada di luar mampu mendapatkan sejumlah peluang, yang
terbuka bagi masuknya pengaruh. Kemudian, bagaimana kita membedakan
kelompok-kelompok yang terdapat di dalam dan di luar pemenintahan? Latham
menggunakan istilah “ke pegawaian” (officiality)
dalam hubungan ini, sebagai karakteristik kebesanan otoritas pemerintah yang
dipandang dan sudut kelompok-kelompok yang berada di luar pemerintahan, yang
lainnya tergantung pada pendapat pendapat umum di bidang aktivitas pemerintah.
SEBUAH KRITIK
ATAS TEORI KELOMPOK
Para teoritisi kelompok pertama-tama,
telah gagal memberikan suatu definisi yang memuaskan atas istilah-istilah yang
mereka gunakan. Bentley juga tidak memberikan suatu definisi yang jelas dari
istilah “kepentingan”. “Suatu kepentingan adalah sama dengan suatu kelompok”.
Tetapi apakah kepentingan yang mendorong kelompok terbentuk, ataukah kelompok
yang menjabarkan dirinya dalam konteks kepentingan tertentu, juga tidak
dijelaskan. Bentley tidak dapat memahami
bahwa individu-individu mempunyai suatu kepentingan yang secara politis
signifikan dan relevan di luar kelompok
Bentley bukanlah satu-satunya teoritis
kelompok yang tidak mampu mendefinisikan peristilahannya dengan jelas. Pada
satu tahap dia mendefinisikan suatu kelompok sebagai “suatu kumpulan individu
yang mempunyai beberapa karakteristik umum”, tetapi dengan segera dia menyadari
bahwa hal ini tidak memadai. Latham telah mendefinisikan “keseimbangan” sebagai
“perimbangan kekuatan di antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan pada
saat pemungutan suara”, dan kebijakan pemerintah sebagai “keseimbangan yang
tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat yang sudah ada”. Tetapi
tidaklah jelas siapa kawan dalam perjuangan ini, kepentingan-kepentingan apa
yang mendorong mereka melakukan pemungutan suara dalam masalah tertentu, atau
tidak menggunakan kekuatan mereka pada saat suatu keputusan diambil atas suatu jenis
dan bukannya yang lain, atau apa yang mereka tuju dengan tindakan-tindakan
mereka.
Para teoritisi kelompok juga
menyepelekan konsep “ide-ide”, “perasaan”, “karakter rakyat”, “kehendak umum”,
“kesejahteraan umum”, bahkan “hukum” dan “keadilan”, yang dianggap sebagai
hal-hal yang tidak berarti, yang dalam bahasa Bentley disebut sebagai
“hantu-hantu” (spooks), dan sedikit
perhatian pada orang “yang sedang bersantai dalam mempelajari gejala-gejala
pemerintahan dan bahan mentahnya”. “Para teoritisi kelompok juga mencoba
mengabaikan pertimbangan, pengetahuan dan kepandaian dan proses pemerintahan,
yang menurut mereka hanya diperintah dengan kekuatan, ketegangan dan tekanan.
Sementara seseorang mungkin setuju pada para teoritisi kelompok dalam
mempertahankan pendapatnya bahwa semua yang berkaitan dengan politik hanya
terbentuk dari tekanan, paksaan, intimidasi dan kepentingan pribadi, akan sulit
dipercaya karena penalaran dan logika yang sama sekali aneh bagi proses pembuatan keputusan.
Pengalaman dan persepsi tentang orang
yang berbeda-beda tidak hanya mendukung individualitas tetapi juga, pasti
menimbulkan akibat pada perbedaan sikap dari afiliasi kelompok yang
bertentangan. Bahkan dalam peperangan, tulisnya, kita akan selalu menemukan
orang-orang yang pasif, yang setuju, mata-mata dan para pelaku subversi yang
mencerminkan kepentingan yang bertentangan dengan konsep yang mengatakan
“bangsa sebagai segalanya”. Oleh karena itu, lanjutnya, dalam mengembangkan
suatu interpretasi kelompok tentang politik. “Kita tidak perlu memperhitungkan
kepentingan keseluruhan yang termasuk di dalamnnya, karena seorang tidak
dianggap eksis. “Truman sadar pada kenyataan bahwa eksistensi suatu sistem
politik, yang didukung atau setidaknya diterima, oleh sebagian besar masyarakat,
tak dapat dipersalahkan, atau bahwa hal ini tidak bisa difahami sebagai sekedar
suatu kumpulan semua kelompok yang ada, tetapi dia menganggapnya hanya sebagai
“kepentingan-kepentingan” yang menghadirkan apa yang dapat digambarkannya
sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang potensial dalam tahap aktivitas yang
sedang menjadi”. Akan tetapi argumentasi Truman tidak seluruhnya mengabaikan
tuduhan bahwa teori kelompok adalah anti individualis dan mengabaikan
keseluruhan yang lebih besar seperti masyarakat atau pemerintahan, di luar
pertimbangan teorinya, dan sulit untuk memahami bahwa kelompok-kelompok, meski
jumlahnya banyak, dapat mewakili semua kepentingan individu, bahkan dalam hal
kepentingan yang tampak maupun yang laten sekalipun. Individu adalah fenomena
yang sangat kompleks. Dia mempunyai berbagai dorongan untuk hidup di tengah
kelompok, yang menjadikannya membentuk kelompok-kelompok, tetapi dia juga
memiliki suatu sifat kekebalan untuk meletakkan identitasnya secara Iengkap
dalam kelompok. Jadi, teori kelompok mengabaikan banyak hal yang menyangkut
perilaku individual. Sumber-sumber opini dan perilaku serta artinya bagi peran
dan status, yang sangat penting dari sudut pandangan aktivitas kelompok dan
yang hanya dapat dimengerti dalam konteks perilaku individu. lndividulah yang
mengendalikan kelompok ke arah yang diinginkan dan melengkapinya dengan
strategi yang diperlukan. Bentley mengabaikannya sebagai ‘psikologisme
sederhana” dan menekankan perilaku yang bisa dihitung dan bisa diteliti dan
seluruh bagian. Dalam pandangan berbagai metode baru dan maju yang menyangkut
faktor-faktor yang tak bisa dihitung, argumen Bentley akan sulit diterima.
Argumentasi Truman juga tidak mampu menghadapi kritik, sehingga teori kelompok
atau menjelaskan eksistensi masyarakat yang mengatasi (berbagai kelompok dalam
studinya tentang kelompok. Peran pemerintah sebagai suatu lembaga yang
menghasilkan aneka kepentingan, tuntutan dan tujuan dalam suatu masyarakat
secara keseluruhan diberi perhatian dengan berlebihan.
Tugas untuk menjaga keseimbangan sosial
tidak dapat diserahkan pada “keanggotaan yang tumpang-tindih’, dengan harapan
hal tersebut akan menengahi konflik atau pada kelompk-kelompok potensial dengan
penuh harapan mereka akan menjaga “aturan permainan” yang ada. Akan tetapi
masih terdapat kegagalan yang lebih besar dalam teori kelompok bahwa walaupun
tujuan di anggap penting bagi setiap kelompok, dan upaya mencapai tujuan
tersebut menjadi dasar bagi pendekatan kelompok, tidak terdapat penjelasan
bagaimana tujuan-tujuan tersebut dirumuskan, diartikulasikan dan dilaksanakan
oleh berbagai kelompok. Kepentingan kelompoklah yang mengarahkan berbagai
aktivitas mereka, tetapi bagaimana aneka kepentingan tersebut diteruskan, dan
dengan tujuan apa, tidak dijabarkan sama sekali. Suatu teori yang tidak
memberikan definisi tujuan-tujuan yang sebenarnya tentunya sangat tidak mampu
menjelaskan perubahan sosial. Perubahan-perubahan yang digambarkan oleh teori
tersebut terutama dalam batas-batas sistem yang berorientasi pada kestabilan (stability oriented system), dan pada
kemampuan maksimalnya, tergantung pada mekanisme perimbangan di mana
kelompok-kelompok individu dalam sistem tersebut.
KEKUASAAN NEGARA
Teori kekuasaan Negara”, dengan
penekanan utamanya pada pengembangan kekuatan militer yang efektif oleh negara,
pertama kali didengungkan di Jerman pada abad ke-19 oleh para sejarawan seperti
Heinrich von Treitschke dan para filosof seperti Friedrich Nietzsche dan juga
didukung oleh beberapa penulis di sana pada abad ke-20. Menurut Kauffmann,
“dalam peperangan, negara menunjukkan sendiri kebenaran esensinya: perang
merupakan penampilan negara yang tertinggi, di mana sifat istimewanya mencapai
perkembangan maksimal. Dalam sebuah buku yang ditulisnya di pulau Sylt, Charles
Merriam, dengan menggunakan konsep Bentley tentang “kepentingan” yang sebanding
dengan konsep massa dan energi dalam ilmu Fisika, mengembangkan konsep tentang
kekuasaan.
0 komentar:
Posting Komentar