Senin, 15 Mei 2017

Makalah Prof. DR. Samugyo & DR. Awan






Diajukan Sebagai Salah SatuTugas Mandiri
Pada Mata Kuliah Teori Politik

Prof. DR. Samugyo Ibnuredjo, MA
Dan
DR. Drs, Awan Yuswanda, M.Si
Oleh :

Nama : Ade Surahman
NPM : L23.016.0021













PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG





PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN
MICHAELLE BROWERS

Ketika untuk pertama kalinya dalam sejarah umat Muslim menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan ekonomi oleh penjajah Barat Kristen, mereka mulai mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Sebab-sebab apakah yang menimbulkan degradasi umum pada umat Muslim modern?
Jika Islam adalah iman yang mempersatukan, mengapa banyak ragamnya di kalangan umat Muslim?
Apakah kesatuan di kalangan umat Muslim adalah harapan masuk akal yang dapat terwujud?
Mungkinkah bagi kami untuk menjadi nasionalis yang loyal dan pada saat yang bersamaan menjadi Muslim sejati?
Mengapa negara modern hanya terjadi pada negara-negara Kristen?
Apakah islam menoleransi lembaga-lembaga bebas liberal (dan) sanggupkah Islam mengadaptasi diri dengan tuntutan lembagal-lembaga tersebut?
Mengapa kami sampai pernah menjadi penyangkal ilmu pengetahuan dan memusuhi kearifan?
Siapa yang pernah membayangkan bahwa Islam yang berdasarkan pada nalar dan pemikiran akan terampas kebebasannya untuk berijtihad (interpretasi keagamaan rasional) dan terkungkung di bawah taklid (teladan para cendekiawan)?
Apa yang harus dilakukan?
Saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan inilah kita jumpai awal mula pemikiran Islam modern. Kaum Modernis Islam pertama kali mengangkat isu ini pada awal abad kesembilan belas ketika ‘beberapa negara Islam mengambil penyelenggaraan teknik dan militer Eropa, dan berbagai musafir Muslim di Eropa kembali dengan membawa kisah-kisah berpengaruh tentang progres dan pencerahan’ (Kurzman. 2002:4). Sehubungan dengan reformasi politik. Kaum Modernis Islam berusaha mengambil aspek sistem politik Eropa di satu sisi, dan menegaskan kembali islam sebagai sistem sosio-politik dalam keselarasan yang sempurna dengan modernitas di sisi yang lain. Ada pula suatu pemahaman yang disampaikan oleh pengamat-pengamat non-Islam, bahkan dan pihak pemikir-pemikir Islam sendiri, bahwa pemikiran politik Islam di masa kini tampaknya telah mencapai kebuntuan, sedikitnya dalam tiga isu: bagaimana menangani tradisi Islam, fungsi agama di dalam masyarakat, dan dasar organisasi politik. Memang benar bahwa isu-isu ini terus-menerus muncul kembali di dalam tiga kecenderungan teorisasi politik Islam yang dibahas di sini: modernisme Islam, Islamisme, dan liberalism Islam.

MODERNISME ISLAM
Kemunculan modernisme di dalam pemikiran Islam mirip yang disebut Nahda (renaisans atau terjaga kembali) dalam bahasa Arab. Umat muslim yang bekerja dalam tradisi ini berusaha membangkitkan kembali pemikiran Islam dengan mengukuhkan kesinambungan dengan masa lalu dan menyesuaikan hal yang mereka anggap sebagai pencapaian Eropa modern terutama, teknologi materi modern, teknik modern dalam memobilisasi dan menyelenggarakan masyarakat, serta lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen.
Afghani, menganggap peniruan membabi buta terhadap Barat tak lebih daripada’ peniruan membabi buta terhadap masa lampau, karena ‘pengalaman dan bukti dari masa lampau telah mengajarkan kita bahwa para peniru di setiap bangsa dan mereka yang meniru adat istiadat asing merupakan celah dan kekosongan yang dapat dirembesi dominasi asing untuk memasuki sebuah negara’ (dalam Awwad, 1986: 84).
Perhatian utama dalam wacana politik Islam modernis ialah menyampaikan pemahaman yang rasional mengenai hubungan antara agama dan negara. Salah satu unsur awal pemikiran Islam modernis memberi Islam pemahaman nasionalistis yang berfokus pada pembangunan negara kuat yang mampu bersaing dengan Barat.
Menurut ortodoksi Sunni, pemimpin harus dipilih oleh kelas elite yang disebut ahl al-hall wa al-’aqd (secara harfiah, mereka yang melonggarkan dan mengikat), orang-orang dengan otoritas dan kedudukan di dalam komunitas seperti kepala suku, gubernur provinsi, pemuka negara.
Dalam memajukan klaim-klaim mereka, beberapa Modernis Islam memilih satu bagian di dalam Qur’an yang menasihati Muhammad untuk ‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (Surat 3, Ayat 159), lalu menginterpretasikan artinya seperti yang dilakukan Musa Kazin (Turki, 1858-1920), bahwa para pemimpin diwajibkan untuk ‘bermusyawarah bersama umat dalam setiap urusan’ (dalam Kurzman, 2002: 176). Dalam sebuah esai yang memuat ayat tersebut sebagai judulnya. Namik kemal (turki, 1840-88) menyatakan bahwa untuk ‘menjaga negara tetap dalam batas-batas keadilan’, umat Muslim wajib menjalankan dua perbaikan: (1) menjadikan tindakan pemerintah bersifat umum dan terbuka terhadap pemeriksaan, yaitu, ‘membebaskan prinsip-prinsip fundamental administrasi dan wilayah interpretasi implisit dan menjadikannya umum’, serta (2) melaksanakan ‘metode musyawarah (al-syura), yang mengambil kekuasaan legislatif dari tangan anggota pemerintahan’ dan meletakkannya kepada anggota komunitas Islam yang lebih besar (umat) (dalam Kurzman, 2002: 145). Yang lemah di antara kamu adalah kuat (bagiku) sampai aku memberikan hak mereka. Yang kuat di antara kamu adalah lemah (bagiku) sampai aku mengambil dan mereka apa yang menjadi hak yang lain. Kukatakan hal ini dan kumohon ampunan Allah untuk diriku dan untuk kamu sekalian. (dalam Kurzman. 2002: 93-4).
Pemikir Maroko, Muhammad ‘Abd al-Jabiri (lahir 1936), menerangkan bahwa generasi yang meliputi Afghani dan Abduh kerap berupaya menjembatani tradisi Arab-Islam dan Pencerahan Eropa dengan cara mengorelasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep Eropa.
Meski gerakan-gerakan konstitusional menerima banyak gagasan Kaum Modernitas dan golongan-golongan agama mendukung eksperimen konstitusional yang berlangsung di Tunisia (1860), Turki (1876), Mesir (1881), dan Persia (1905), seperti yang ditunjukkan Majid Khadduri, konstitusi-konstitusi yang pada akhirnya dilaksanakan tidak sedikit pun menghiraukan prinsip-prinsip Islam, kecuali menyebut Islam sebagai agama resmi negara.

KEBANGKITAN KEMBALI PERHATIAN KEPADA ISLAM
Pada separuh kedua 1970-an, semua pihak menyaksikan kekorupan dan ketidakcakapan sejumlah negara sosialis dan nasionalis Arab yang ada di kawasan itu, dan kaum Islamis, yang menolak model negara Barat juga tampaknya telah mengapropriasi beberapa model sosialis Barat dengan maksud untuk merebut kekuasaan negara.
Harus dibedakan antara Revivalis Islam sering disebut sebagai ‘Fundamentalis Islam’ yang berupaya kembali pada sumber-sumber autoritatif dalam tradisi Islam dengan tujuan melegitimasikan perubahan-perubahan di masa kini, dengan tradisionalis Islam, yang menolak perubahan dan berupaya melestarikan ortodoksi Islam. Revivalis dan Modernis sama-sama menganut keyakinan yang sudah ada sebelum mereka bahwa Islam dapat dan seharusnya beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern. Muslim tradisionalis cenderung menghindari ijtihad dan lebih memilih taklid (meniru buta) pemahaman dan tradisi Islam yang sudah teruji oleh waktu. Kaum tradisionalis atau mereka yang menyatakan bahwa turath (warisan) Islam Qur’an dan Sunah (tradisi Nabi) tidak terpengaruh oleh perubahan keadaan dan menunjukkan keberadaan sebuah tradisi yuridis terlembagakan (‘ilm al.fiqh) sebagai pelindung agama, sudah selalu ada di dalam tradisi Islam. Kaum Islamis cenderung lebih mendekati aktivisme politik daripada teologi dan juga lebih selektif (dalam mengedepankan segmen-segmen Qur’an yang mendukung tujuan mereka. Untuk tujuan kita di sini, Revivalis dan respons mereka baik terhadap Islam modernis maupun terhadap masalah masalah yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer lebih relevan dikarenakan mereka merupakan kecenderungan khas modern di dalam pemikiran politik Islam.
Gerakan baru ini muncul dengan semboyan ‘Islam adalah solusi’ (al-Islam huwa al-hall atau al-hall al-islami) dan menyerukan untuk ‘kembali kepada para pendahulu’ (al-sala)). Dan situlah lahir nama gerakan Salafiyyah, yang menganjurkan untuk kembali kepada ortodoksi cenderung ke syariat (shari’a-minded orthodoxy) yang akan memurnikan Islam dan tambahan-tambahan asing. Sumber sejarah terpenting untuk kecenderungan di dalam Islam ini ialah yuris Suriah, Taqiyal-Din Ibri Taymiyya (1236-1328), seorang pendukung setia Islam Sunni berdasarkan ketaatan yang kaku pada Qur’an dan Sunah autentik. Ibn Taymiyya menulis di tengah-tengah percekcokan yang timbul karena agresi asing dan tentara Perang Salib Kristen dan orang Mongolia, juga perjuangan perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ia yakin bahwa kedua sumber ini memuat segala pedoman keagamaan dan rohani yang diperlukan bagi umat Muslim dan kebangkitan kembali dunia Islam.
Mawdudi menyerukan agar kembali kepada Qur’an dan Sunah yang telah dimurnikan sebagai cara untuk menghidupkan kembali Islam. Mawdudi menyebut Islam sebagai ideologi dan menyebut negara Islam sebagai negara ideologis: ‘Jelas dan kajian cermat Qur’an dan Sunah bahwa negara di dalam Islam berdasarkan pada ideologi dan tujuannya ialah menegakkan ideologi itu’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 256-7). Ia berpendapat bahwa satu-satunya cara agar bal ini bisa benar-benar dijalankan ialah melului negara islam yang dalam ‘segala hal, dibangun di atas hukum yang ditetapkan oleh Allah melalul Rasul-nya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 271) dan inilah tujuan politik yang dikejarnya di Pakistan.
Menurut penilaian Qutb, zaman kontemporer adalah zaman kebodohan, ketiadaan Tuhan, dan kebingungan terang dalam gagasan jahiliah tersebut dan umat Muslim harus mundur dan masyarakat jahili mendirikan tatanan sosial Islam sejati (al-nizam al-islami) dan akhirnya, menaklukkan (kembali) tatanan bodoh yang ada (al-nizam al-jahili). Menurut perspektif ini, Islam tidak cocok dengan realitas ‘sekular’ modern dan umat Islam baru dapat tumbuh dan berkembang dengan balk bila mengabaikan realitas ini, Satu-satunya penawar bagi keadaan jahiliah saat itu terutama materialisme Barat yang dianggapnya sebagai pencemar utama jalah hakimiyya Allah: pandangan hidup Islami yang total dan sistem Islam yang diperintahkan secara ilahi. Jihad’, klaim Mawdudi, adalah bagian dan pembelaan menyeluruh terhadap Islam ini. Jihad berarti perjuangan dengan kemampuan semaksimal mungkin yang dimiliki. Seorang manusia yang mencurahkan diri secara jasmani atau rohani atau membelanjakan kekayaannya di jalan Allah sudah tentu melakukan Jihad. Namun, menurut bahasa Syariat, istilah ini digunakan terutama untuk perang yang dilakukan semata-mata dengan nama Allah dan terhadap mereka yang melakukan penindasan sebagai musuh-musuh Islam. (1960: 150).
Qutb membedakan dunia menjadi dua ranah: dar al-Islam dan dar al.-harb. Ranah kedua terdiri dari setiap teritori yang aturan-aturan Islam tidak diberlakukan di dalamnya, tak peduli apakah penguasanya mengklaim sebagai Muslim (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 241-2). Meski Mawdudi menyebut jihad sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, Qutb sangat jelas dalam menyatakan dalam konteks ranah-ranah yang bertentangan ini bahwa jihad adalah kewajiban yang berlaku pada seluruh Muslim sejati. Agar memberi hasil yang diinginkan negara Islam’Jihad Islami’ harus memberikan umat Muslim ‘atmosfer bebas untuk melaksanakan keyakinan yang telah dipilihnya. Jihad Islami dapat sepenuhnya menghancurkan sistem-sistem politik yang berkuasa, atau menaklukkannya, memaksa sistem-sistem tersebut untuk tunduk dan menerima Jizyah (pajak yang dibayar oleh non-Muslim di sebuah negara Islam).
Pemikiran Qutb mengandung dua inovasi yang terbukti sangat signifikan bagi Kaum Islamis yang tergugah olehnya. Pertama, dengan mengumumkan bahwa bukan cuma pemerintah non-Islam, tetapi juga pemerintah-pemerintah yang dipimpin umat Muslim bisa dianggap berada dalam keadaan jahiliah, ia memberikan persetujuan Islami kepada umat Muslim untuk menentang dan menggulingkan pemerintah yang memerintah mereka. Perintah mutlak ini juga ada di dalam Qur’an, bahwa tak seorang pun boleh berhubungan dengan orang yang memalingkan wajahnya dan mengingat Allah dan hanya mencari dunia sebagai tujuan dan pandangannya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 205). Namun, target utama Kaum Islamis ialah negara-bangsa secular di negara-negara Islam, dan tujuan akhir mereka ialah mendirikan sebuah negara Islam. Negara impian mereka akan memiliki Qur’an sebagai konstitusinya, pemimpin yang melaksanakan syariat, yang juga mengikat atasnya, dan menghidupkan syura (musyawarah). Seperti ditulis Qutb, ‘teori politik di dalam Islam bersandar pada dasar keadilan di pihak para pemimpin, kepatuhan di pihak yang dipimpin, dan kolaborasi di antara pemimpin dan yang dipimpin’ (1980: 93). Menurut Qutb, umat Muslim yang mendukung kedaulatan manusia di dalam politik merancukan penggunaan kekuasaan dengan sumbernya. Karena hukum islam sudah menyediakan sistem hukum dan moral yang lengkap, tidak mungkin ada pembuatan undang-undang lebih lanjut atau tidak perlu ada. Mawdudi pun mengklaim bahwa ‘sudah sangat jelas bahwa Islam yang berbicara dari sudut pandang filsafat politik adalah antiteis dan demokrasi Barat sekular itu sendiri’ (dalam Donohuc dan Esposito, 1982: 254).
Vilayat-I faqih didirikan berdasarkan keberadaan ‘klerus’ Syi’ah yang hierarkis dan terlembagakan (sesuatu yang tidak ada pada tradisi Sunni). Namun, beberapa partai dan gerakan Islamis seperti Muslim Brethren di Jordan, secara resmi telah menerima sarana dan praktik lembaga sekular dan telah diintegrasikan ke dalam proses politik. Sebagian besar perhatian dan energi Kaum Isiamis tetap terfokus pada permaslahan internal negara dan masyarakat yang didominasi oleh penduduk Muslim atau hanya berpenduduk Muslim. Meski demikian, bahkan dimensi terbaru pada pemikir politik Islami ini menguatkan penilaian Robert Hefner bahwa ‘benturan peradaban’ atau ‘pandangan dunia (world Views)’ yang sesungguhnya di periode kontemporer bukan terjadi ‘di antara Barat dan suatu “pihak lain” yang homogen, tetapi di antara para pembawa tradisi yang saling bersaing di dalam bangsa dan peradaban yang sama(1998:92).

ISLAM LIBERAL
Kemenonjolan dan kekuatan Islamisme mengalami pasang surut di sepanjang pertengahan dan bagian akhir abad kedua puluh. Pada akhir abad kedua puluh, wacana modernis dihidupkan kembali dan diperkuat bersama hal yang disebut sebagai ‘liberalisme Islam’. Menurut Kurzman, Kaum Liberal islam ‘berusaha menghidupkan kembali reputasi dan pencapaian Kaum Modernis terdahulu’ (2002:4). Liberalisme Islam kontemporer berbeda dan baik Kaum Modernis Islam maupun Kaum Islamis dalam tiga hal.
Pertama, terhadap semboyan Islamis bahwa ‘Islam adalah solusi’, serta klaim sekularis bahwa Islam adalah masalah. Kaum Liberal Islam menyebut sebagian besar penyakit sosial dan politik disebabkan oleh kurangnya demokrasi dan hak-hak asasi, terutama kebebasan dalam berpikir.
Menanggapi Kaum Islamis, Sadek J. Sulaiman (Oman, lahir 1933) menyatakan bahwa ‘sebagai konsep dan sebagai prinsip, syura di dalam Islam tak berbeda dengan demokrasi’, dan ‘hubungan antara demokrasi dan syura menyentuh hakikat keberadaan nasional kita (qawmiyyah). Syura menentukan kualitas pengalaman kewarganegaraan kita dan dunia yang ingin kita wariskan kepada generasi yang akan datang.
adalah istilah politik yang relatif baru diciptakan dan menunjukkan faktor (atau banyak faktor) tetap dan tertentu pada suatu masyarakat tempat kekuatan koersif berada dengan sepatutnya guna dipatuhi kehendaknya. Jelas sekali bahwa dalam pengertian ini Allah tidak berdaulat dan hanya manusia yang dapat dan memang berdaulat. (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 264).
Mengakui kedaulatan Allah, menurut pandangan Rahman, mencakup menerima ‘prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalam Qur’an (yang) merupakan keadilan dan fair play’. Pemikir-pemikir Islam Liberal berpendapat bahwa sistem demokrasi yang paling baik dalam mengodifikasi dan memelihara hak dan kewajiban akan dapat mengurangi kesewenang-wenangan dan autoritarianisme di pihak negara. Di antara nilai-nilai terpenting yang dianggap berasal dari demokrasi menurut pemikiran Islam terdapat toleransi, dan di antara hak-hak terpentìngnya terdapat kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara. Nurcholish Madjid (Indonesia, lahir 1939) menyebut kebebasan berpikir dan berbicara sebagai hak dasar terpenting yang dimiliki individu dan menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang terdengar aneh atau tidak benar pun harus dilindungi:
Tidak jarang gagasan dan pemikiran yang mulanya dianggap keliru, (di kemudian hari) diketahui benar. Selanjutnya, dalam menghadapi gagasan dan pemikiran, bahkan kekhilafan pun bisa jadi sangat berguna, karena kekhilafan akan mendorong kebenaran untuk mengungkapkan diri dan berkembang sebagai kekuatan yang hebat.
 ‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan Aturan dan Jalan yang terang. Aspek khusus kedua dan para pemikir Islam liberal ialah bahwa mereka menghindari upaya-upaya untuk merebut kekuasaan negara, atau bahkan untuk meng-Islamisasikan negara, serta lebih berfokus kepada menghidupkan kembali etos Islam di tingkat masyarakat. Menurut ‘Abd al-Raziq, pemerintahan ‘adalah tujuan duniawi, dan Allah, semoga Dia selalu ditinggikan, menjadikannya sebagai persoalan yang harus diselesaikan oleh pikiran kita, dan membiarkan manusia bebas mengolahnya sesuai tuntunan yang diberikan oleh pikiran, pengetahuan, minat, hasrat, dan tendensi mereka’ (dalam Kurzman, 1998: 35).
Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam liberal menunjukkan pergeseran signifikan terkait penggantian argumen teokratis dengan argumen yang dimaksudkan untuk menanamkan atau melindungi etos Islam. Sebagian, seperfi Khalaf-Allah, menyatakan bahwa ‘jika ada pemerintah yang dapat disebut Islami, hal itu tentu dalam pengertian “Islam sebagai budaya” (al-Islam al-hadara) dan bukan “Islam sebagai agama” (al-Islam al-din)’ (Ayoubi, 1991: 302).
Agar berhasil, agama harus mengakui bahwa ia adalah iman akan kekuatan besar yang ditanamkan di dalam nurani manusia untuk menghubungkan Individu dengan imannya, masyarakat, kemanusiaan, dan kosmos pada umumnya. (1998: 71). Unsur ketiga yang membedakan sedikitnya sebagian Liberal Islam/dengan Modernis, Islamis, dan Tradisionalis berhubungan dengan pendekatan mereka terhadap isu menginterpretasikan tradisi agama atau ijtihad. Kaum Modernis Islam telah menerima ortodoksi Sunni yang mengklaim bahwa ‘pintu ijtihad’ telah ditutup pada abad-abad pertama Islam, bahwa umat Muslim di kemudian hari perlu mengikuti praktik taklid, meneladani tradisi-tradisi yang sudah mapan. Misalnya, pada pergantian abad yang Iampau, Mahmud Shukni al-Alusi (Irak, 1857-1924) menganggap ‘tesis tentang tertutupnya pintu ijtihad’ yang diajukan oleh rekan sezamannya, Yusuf al-Nabbani yang ‘bodoh’ dan ‘merana’ (Palestina-Lebanon, 1850-1932) itu, ‘palsu dan heretis’ (dalam Kurzman, 2002: 171). Kekhilafan, segala kekhilafan itu, terletak pada peniruan membabi buta dan pengekangan pikiran’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 182). Afghani berpendapat bahwa umat Muslim ‘tidak boleh puas hanya dengan taklid dan leluhur mereka’ (dalam Keddie, 1968: 171). Dalam memerangi praktik taklid, Modernis Islam berusaha merehabilitasi dan memperluas hak untuk melakukan ijtihad guna menginterpretasi ulang tradisi Islam agar memenuhi kebutuhan : zaman modern, Wael Hallaq membedakan dua unsur dalam pemikiran hukum Islam kontemporer yang menawarkan visi-visi ijtihad yang saling bertentangan. Meski Turabi mungkin pantas dimasukkan di kalangan Liberal islam, berdasarkan penekanannya pada demokrasi dan pluralisme, pembedaan Hallaq mencakup sisi Kaum Liberal Islam kontemporer yang dominan dan khas. Baik unsur liberal maupun unsur utilitarian, menurut Hallaq, memiliki tujuan yang sama: ‘merumuskan kembali teori hukum dengan cara yang menyukseskan sintesis : antara nilai-nilai keagamaan dasar Islam, di satu sisi, dengan hukum substantif yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sebuah masyrakat modern dan terus berubah, di sisi yang lain’. Namun, hal yang paling membedakan dua kecenderungan ini ialah metode yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada 1982, Rahman mengatakan bahwa adalah ironi bila menghadapkan yang disebut Fundamentalis Muslim : sebagai lawan dan Modernis Muslim, sebab, selama prosedur mereka yang mengagumkan itu terus berlangsung, ucapan Kaum Modernis Muslim akan selalu tepat sama dengan ucapan kaum yang disebut sebagai Fundamentalis Muslim tersebut. Bahwa umat Muslim wajib kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli dan definitif serta menjalankan ijtihad dengan berdasarkan sumber-sumber tersebut. (1982: 142).
Baik Kaum Modernis maupun Kaum Isiamis ‘memberikan jawaban yang sama sekali berbeda untuk beberapa isu dasar sesuai dengan lingkungan mereka masing-masing’, tetapi seperti yang dilihat oleh Rahman, yang menjadi masalah bukanlah kesimpulan mereka yang berbeda, tetapi tidak adanya ‘metode’ dalam menginterpretasikan tradisi islam agar dapat memberikan interpretasi yang meyakinkan dan tepercaya serta menghapuskan interpretasi yang ‘asal-asalan’.
Dalam mendekati Qur’an, an-Na’im mengikuti metode eksegesis tradisional dengan membedakan ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Mekah dan ayat-ayat yang diwahyukan di Madinah.
Berdasarkan hal inilah Shahrour membedakan antara yang ‘disahkan secara ketuhanan (halal) dengan yang dilarang secara ketuhanan (haram) dan yang dilarang secara manusiawi (mamnu)’, dengan menyatakan bahwa ‘ajaran dasar Islam ialah bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang secara khusus itu diperbolehkan’ (1990: 141). Metode Shahrour mengilustrasikan pendekatan metodologi yang sudah umum bagi Kaum Liberal Islam. Sementara Muslim modernis mencari berbagai gagasan liberal di dalam warisan Islam, Kaum Liberal Islam meyakini bahwa warisan tersebut tidak banyak berbicara mengenai isu-isu tertentu. Al-’Ashmawy, misalnya, mengatakan bahwa ‘dari 6.000 ayat Qur’an, hanya 200 yang mengandung aspek hukum, yaitu, kira-kira sepertigapuluh dari isi Qur’an, termasuk ayat-ayat yang telah dihapuskan dengan ayat-ayat sesudahnya’ (dalam Kurzman, 1998:51).
DIALOG YANG TERPUTUS-PUTUS
Pada periode kontemporer, yang diperhatikan bukan cuma berbagai interpretasi ‘yang sama sekali berbeda’ terhadap tradisi Islam, tetapi juga beberapa metode interpretasi yang sama sekali berbeda. Namun, teridentifikasi sedikitnya dua transformasi penting di dalam pemikiran politik Islam.
Seperti halnya Kaum Modernis Islam, pemikir-pemikir Islam liberal juga menawarkan cara yang menjanjikan dalam menegosiasikan konflik antara modernisasi dan warisan Islam serta memenuhi tuntutan baik modernisasi maupun warisan Islam, tetapi mereka pun menghadapi tantangan serius, Mereka tengah diserang dan dua sisi sekahigus: dikecam karena terlalu liberal, juga karena terlalu Islami. Kaum Sekularis melihat Islam liberal (juga Islam modernis) sebagai oksimoron dan menyatakan bahwa Islam terlalu kaku untuk ditransformasi atau bahwa Islam harus diturunkan ke ranah pribadi. Baik Kaum Islamis revivalis maupun Kaum Islamis tradisional berpendapat bahwa Kaum Liberal Islam tak lebih dan Kaum Sekularis yang berkedok Islam, menyangkal bahwa nilai-nilai modern memiliki tempat di dalam leksikon Islam atau mengutip nilai-nilai modern untuk menganggap liberalisme mereka kebablasan sehingga mengorbankan warisan Islam.
Bahkan, yang paling tidak toleran dan Kaum Islamis pun beberapa pengecam dan penghujat Hanafi yang paling buruk dalam pengertian tertentu juga menempati ruang diskursif yang sama dan setidaknya, secara sebagian, meleburkan wacana liberal dan pemikiran modernis.




















TEORI POLIK HIJAU: SEBUAH
LAPORAN
JOHN BARRY DAN ANDREW DOBSON

Teknologi kriogenis akan sangat tepat diterapkan guna mendapatkan ‘tidur lelap’ yang dikondisikan, namun masalah teknis dan etis melarangnya dengan tegas. Setelah itu satu-satunya kontak yang mereka lakukan dengan dunia luar hanyalah dengan kapal pelayanan dan petugas yang bertanggung jawab mengurusi sistem penopang kehidupan pulau karang tersebut secara berkala.
Mereka hanya diminta mencatat peruhahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka dan mencoba menyesuaikan, secara umum, dengan kecepatan perubahan. Secara umum, kesimpulan yang dicapai pada akhir eksperimen penghentian waktu itu menenangkan dan membangkitkan harapan. Subjek eksperimen terbukti mampu mencema peruhahan-perubahan yang telah terjadi di bidang aktivitas dan pekerjaan mereka selama isolasi berlangsung, bahkan di bidang yang mengalami perubahan amat sangat pesat, seperti teknologi informasi dan sereal untuk sarapan. Namun, melalui jalan yang panjang dan berputar-putar, penjelasan lengkap dan salah satu subjek eksperimen telah sampai ke tangan kami.
Subjek yang dibicarakan ini adalah seorang teoretikus politik normatif, la terkenal di kalangan kolega dan rekan-rekan sezamannya pada awal 1980-an sebagai peneliti yang mendalami ragam luas topik dalam subdisiplin yang digelutinya kualitas-kualitas itulah yang mendorong TLS untuk memilihnya sebagai wakil bidang aktivitasnya dalam  eksperimen penghentian waktu ini. Bagian dan laporan yang menjadi perhatian kami di sini ialah bagian yang membicarakan hal yang oleh subjek (sebut saja namanya ‘Z’) secara bergantian disebut sebagai teori politik ‘hijau’, ‘lingkungan’, atau ‘ekologis’.
Apa saja yang sudah terjadi selama ini? Teori politik hijau sebenamya meminta kita menjungkirbalikkan anggapan yang telanjur beredar ini.

BATAS-BATAS PERTUMBUHAN

Samar-samar saya teringat argumen tentang batas-batas terhadap pertumbuhan itu berkarakter ‘malapetaka dan kegelapan’ serta bencana lingkungan’, yang melengkapi maraknya film-film tentang pasca kehancuran dunia yang banyak beredar pada 1970-an, berbarengan dengan kekurangan minyak pada 1972. Namun, ekologisme lebih sering disajikan secara politis dan analitis sebagai ideologi progresif, ahli waris tradisi Pencerahan, persamaan (equality), yang berhubungan erat dengan ‘gerakan-gerakan sosial baru’ (satu lagi kategori yang harus saya pelajari sejak pulang dan Pasifik) (lihat Bab 20) dan sejalan dengan (kadang-kadang seperti persaingan antar saudara dengan) partai buruh dan sosial demokratis Iainnya. Tampaknya, batas-batas terhadap pertumbuhan sebagian merupakan ulasan deskriptif tentang hubungan metabolistis antara manusia dan lingkungannya, dilihat dalam hubungannya dengan kapasitas lingkungan untuk menyediakan jasa-jasa bagi produksi dan reproduksi kehidupan manusia. Persediaan dan aliran jasa-jasa inilah yang menjadi konteks bagi segala proyek manusia. Ideologi-ideologi lain di dalam buku-buku teks di rak saya sepanjang 1983-2003 tak satu pun yang membicarakannya. ‘Persediaan’ merujuk kepada sumber-sumber daya seperti batu bara, yang sesungguhnya terbatas jumlahnya, dan ‘aliran’ mengacu kepada sumber-sumber daya yang secara teori dapat dibarui, seperti ikan dan tenaga matahari, serta kapasitas sistem-sistem bumi untuk menyerap limbah dan polusi. Sumber daya persediaan berkurang karena diambil dan diubah menjadi bahan-bahan yang berguna bagi reproduksi kehidupan manusia.
Sumber daya persediaan dihabiskan seolah-olah tidak ada batasnya, dan tak ada upaya yang dilakukan untuk mencarikan pengganti yang memungkinkan jasa-jasa yang diberikan sumber-sumber daya itu berkelanjutan. Ekologisme tampil sebagai sesuatu yang lain daripada yang lain di antara ideologi-ideologi politik modem dengan menunjuk konteks metabolistis ini sebagai proyek politik, dan dengan sadar diri mengkritik ideologi-ideologi lain karena tidak berbuat serupa.
Ada pencela yang menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan tesis itu didasari model yang amat rapuh. Bagaimana mungkin orang bisa dengan akurat membuat model ragam input dan output kompleks yang begitu luas, sambil secara bersamaan memperhitungkan secara lengkap dan tepat variabel-variabel yang merupakan jaring penyusun hubungan metabolistis individu dan masyarakat dengan lingkungan mereka? Yang lain terfokus pada variabel-variabel itu sendiri. Tentu tidak semua orang patut disalahkan secara sama atas terlampauinya batas-batas yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan yang terbatas, maka, saya jadi bertanya-tanya, sampai sejauh mana hal yang tampaknya kurang memiliki analisis kekuasaan ini dapat disebut sebagai politik?
Kategori moral dan politis masyarakat miskin yang menebangi hutan untuk bertahan hidup lain dengan kerusakan lingkungan yang disebahkan gaya-gaya hidup konsumen mewah yang membutuhkan banyak sekali energi dan sumber daya. Manusia mengubah rupa alam sebagaimana alam pun mengubah rupa manusia, dan ini artinya batas-batas adalah suatu fungsi dalam hubungan metabolistis yang dimiliki manusia-manusia dengan alam, bukan kumpulan yang sudah lebih dahulu ditetapkan dengan cara tertentu. Namun, inikah yang mematikan argumen hijau? Telah saya temukan bukti yang mengesankan bahwa partai-partai politik baik kanan maupun kiri atau ideologi-ideologi yang menjadi sumber ilham partai-partai tersebut menganggapnya sebagai pesan yang layak untuk disimak.

STATUS ETIS DUNIA NONMANUSIA
Saya mulai memandang alasan ‘batas-batas terhadap pertumbuhan untuk kepedulian terhadap lingkungan itu sebagai respons ‘pragmatis’ terhadap kemunduran yang teramati pada lingkungan. Namun, alasan yang harus diberikan ekologisme belum tercakup di dalamnya. Saya terusik oleh bagaimana ekologisme menjadi bagian dan suatu remoralisasi politik yang lebih luas, yang menetapkan bahwa orang bertindak benar karena itulah tindakan benar untuk dilakukan dalam arti moral, bukan dikarenakan insentif uang atau kumpulan alasan cermat lainnya. Dalam konteks ini, teguran menarik dalam bentuknya yang paling umum dilancarkan beberapa ekologiman politis bahwa dunia alam nonmanusia memiliki status moral. Perlu waktu bagi saya untuk mencerna makna dan implikasi dan kesan tersebut.
Jika monyet rhesus benar-benar ‘serupa’ dengan manusia, maka, bukankah kita seharusnya menolak bereksperimentasi dengannya karena alasan yang sama kita menolak bereksperimntisi dengan manusia? Mereka mengklaim, lebih banyak yang dapat mereka pelajari dari binatang yang secara fisiologis serupa dengan manusia daripada dari binatang yang secara fisiokologis tidak mirip secara ilmiah hal ini memang masuk akal, tetapi, pertanyaan pertama dalam surat itu. Juga mengandung efek moral. Ciri-ciri khas yang menjadikan monyet rhesus begitu ideal sebagai subjek farmakologi yaitu, kemiripannya dengan Spesies manusia adalah ciri khas yang sama yang mengingatkan larangan moral terhadap eksperimentasi.
Penulis surat itu menerangkan, jika hal ini berlaku untuk manusia, tentu harus berlaku pula untuk makhluk-makhluk lain yang serupa dalam hal-hal yang relevan dengan manusia. Ada frasa yang selalu bergema di sepanjang teori politik hijau: ‘serupa dalam hal-hal yang relevan’. Berliter-liter tinta hijau telah dituangkan dalam debat tentang apa yang dimaksud dengan ‘hal-hal relevan’ itu, pada khususnya. Apa tepatnya ‘faktor X’ yang menyebabkan ketertimbangan moral itu?
Jika faktor X itu adalah nalar dan/atau komunikasi verbal, maka lingkaran moral yang istimewa itu hanya terbatas pada manusia, atau setidaknya terbatas; pada mereka yang bisa berpikir dan/atau berbicara. Dan tiap-tiap sudut pandang moral atau kecermatan ekologisme memolitikkan lingkungan dengan mengungkapkan persoalan tentang penggunaan dan penyalahgunaan lingkungan sebagai suatu persoalan politis. Saya akan membahasnya lagi nanti, tetapi ada satu lagi aspek menarik dan pertanyaan tentang motivasi (Mengapa melindungi lingkungan?’) yang harus saya laporkan. Ada ketidakpuasan yang nyata kepada argumen yang berbelit-belit dan tidak meyakinkan dalam arti politis, yang timbul karena debat ‘serupa dalam hal-hal yang relevan’ tadi. Saya tergoda untuk membicarakan sebuah argumen yang dapat menyelesaikan masalah rumit itu dengan memolitikkan Iingkungan secara tidak langsung.

GENERASI MASA DEPAN DAN LINGKUNGAN
Caranya dengan memperluas komunitas politik ke arab yang berbeda tetapi, lagi-lagi sangat lain dengan segala hal yang saya temukan dalam buku teks ideologi-ideologi politik. Sebelum masa pengasingan di Pasifik, saya terbiasa berpikir tentang politik progresif sebagai pengakuan akan klaim-klaim politis dan banyak sekali kelompok sosial yang sebelumnya terpinggirkan. Yang paling jelas, contoh, perempuan kini diakui dengan cara yang tak terbayangkan pada 100 tahun yang lampau. Bukan hanya jenis sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup secara fisiologis, tetapi juga jenis sumber daya yang dibutuhkan untuk memahami segala jenis rencana kehidupan. Artinya, inilah lingkungan yang dipahami sebagai ‘perkataan dan perbuatan yang membentuk dan melaksanakan berbagai rencana kehidupan.
Kini pikirkanlan semua ini dalam hubungannya dengan keadilan. Bagaimanakah cara terjujur untuk mendistribusikan hal (lingkungan) yang merupakan ragam opsi untuk rencana kehidupan ini? Dan yang sangat penting bagi ekologisme, siapakah yang seharusnya diakui sebagai penerima sah manfaat-manfaat distribusi ini? Bagi ekologisme, dalam keadilan tidak ada alasan generasi manusia sekarang berhak mencabut hak generasi masa depan untuk ‘berkata dan berbuat’ guna dan sebagai pangkal untuk memahami dan melaksanakan rencana-rencana kehidupan.
Tidak sulit untuk memahami bahwa semua ini sesungguhnya sama dengan melindungi lingkungan dengan cara tidak langsung. Kajian-kajian politis ekologis yang saya lakukan telah mendorong saya untuk percaya bahwa salah satu kerugian politis terbesar yang diderita ekologisme ialah tertundanya ketidakpercayaan yang dibutuhkan saat Anda mendarat pada sebagian partainya yang paling liar. Keadilan juga terkait dengan wacana hak, yang merupakan tata bahasa normatif etis dan politis dominan di dalam teori dan praktik liberal modern. Saya akan kembali ke isu generasi masa depan ini nanti.
Berdasarkan telaah ini, saya menyadari bahwa ekologisme adalah ideologi yang keluar dan buku-buku teks ideologi-ideologi dan masuk wilayah teori politik yang lebih luas. Saya sampai pada pikiran bahwa cara terbaik untuk menggambarkan ekologisme dengan tepat ialah dengan menganggapnya sedang mengungkapkan suatu tujuan politis yang kita sebut keterpeliharaan (sustainability)’. Dan apakah sebenarya X itu?
Bentuk pertanyaan ini adalah bentuk yang sudah diakrabi oleh para teoretikus politis. Sejarah teori politik sendiri bisa dilihat dalam hubungannya dengan argumen prioritas dan argumen kesesuaian antara kemerdekaan dan kesamaan, demokrasi dan perintah, keadilan dan kemerdekaan, dan seterusnya. Pembacaan saya tentang hal yang terjadi dalam lebih dari 20 tahun terakhir masa pengasingan saya dari perkembangan teori politik ialah bahwa ekologisme telah menambah satu lagi tujuan politis pada daftar pesaing.
Seakan-akan yang dinamakan ‘teoritikus hijau’ itu bekerja melalul daftar desideratum politis dan memahami hubungan antara desideratum itu dan keterpeliharaan dalam suatu pengertian normatif. Peralihan dan ideologi ke teori ini tampaknya juga berakibat keluarnya teori politik hijau dan sesuatu yang pada masa awalnya dianggap sebagai ghetto. Pembacaan saya mengenai kepustakaan etis Iingkungan, misalnya, mengungkapkan mengecilnya lingkaran setan debat yang relevansi politis dan ukurannya semakin berkurang (antara ekosentrisme dan antroposentrisme, ekologi dalam dan dangkal, hijau muda dan hijau tua) yang pasti menjadi kecemburuan para teologiman abad pertengahan yang selalu berupaya memikirkan bagaimana caranya agar banyak malaikat bisa pas pada satu lencana yang bulat kecil. Di lain pihak pergerakan ke luar yang terjadi karena debat seputar konflik dan kesesuaian antara keterpeliharaan dan tujuan-tujuan politis Iainnya, telah menarik para teoretikus arus utama ke dalam debat teori politik hijau. Dan sudut pandang saya yang 20 tahun absen dan teori politik, saya nilai hal ini baik untuk kedua belah pihak.
Salah satu cara untuk mencari jawabannya ialah dengan memikirkan politik hijau dalam hubungannya dengan wacana utopianisme. Hai ini berbeda dengan rumus-rumus konservatif yang cenderung melukis suatu gambaran idealis tentang suatu momen berharga di masa lampau yang Kaum Konservatif ingin melìhatnya pulih di masa sekarang biasanya disertai dengan pandangan negatif/realistis tentang kodrat manusia yang menetapkan batas-batas jelas terhadap perubahan politik. Menurut saya, ekologisme berada di antara kedua pandangan itu. Ekologisme memiliki pandangan progresif yang sama bahwa hal yang biasa, disebut sebagai ‘kodrat manusia’ itu mudah dipengaruhi, jadi kita tidak dituduh ‘egois’ atau perilaku tertentu lainnya, tetapi ekologisme juga tunduk kepada pikiran-pikiran konservatif dengan mengatakan bahwa kondisi manusialah yang menetapkan batas-batas pada proyek kita. Perbedaan antara kodrat manusia dan kondisi manusia ini memungkinkan ekologisme mengklaim elastisitas bagi kodrat manusia dan suatu kadar kekakuan bagi kondisi manusia. Hasilnya ialah semacam politik progresif yang unsur utopisnya dengan tegas mengakui batas-batas, yang merupakan aspek lain dan ideologi ekologisme tersebut.

SAINS, TEKNOLOGI, DAN KERENTANAN
Gagasan tentang batas-batas itu sangat penting dalam ekologisme, dan peran sains dalam mengidentifikasi batas-batas tersebut memberinya tempat tersendiri di dalam ekologisme. Tak seperti semua ideologi dan teori politik lain yang saya kenal (dengan pengecualian upaya lemah untuk mengembangkan ‘Marxisme ilmiah’), ekologisme benar-benar berdasarkan sains.
Jadi, sains memilikì peran vital dalam ekologisime dengan melengkapinya dengan ‘fakta-fakta dan ‘masalah-masalah’ yang berhubungan dengan ketergantungan metabolis kita terhadap dunia non manusia dan sistem-sistem alaminya. Meski demikian, pembacaan saya akan kepustakaan hijau mengesankan bahwa hubungan positif dengan sains dan sikap positif terhadapnya bukan merupakan sesuatu yang dimiliki dalam arti universal. Bagi sebagian ekologiman politis, sains (dan perkembangan dan inovasi teknologis) adalah bagian utama dan penyebab kerusakan lingkungan, artinya, sains adalah bagian dan masalah, bukan bagian dan solusi.
Pandangan-pandangan seperti itu menunjuk perkembangan ilmiah dan perkembangan teknologis seperti tenaga nuklir, mesin pembakaran intemal, bioteknologi, dan pada umumnya pemanfaatan ‘sains dan teknologi guna menghasilkan cara-cara yang semakin hakiki untuk menghabiskan sumber-sumber daya planet ini sebagai bukti argumen untuk menentang sains.
Begitu pula, argumen yang kuat di dalam teori politik hijau berhubungan dengan mentalitas ‘tekno-perbaikan’ dalam industrialisme. Perspektif tekno-perbaikan memasukkan gagasan bahwa untuk menemukan solusi untuk masalah ekologis, tidak diperlukan perubahan besar pada sistem ekonomis dan politis sekarang atau pola-pola konsumsi dan produksi.
Luddite penentang teknologi’ (Holmes, 1993: 122-41) atau ideologi konservatif, berpandangan ke belakang,. dan antimodernis (Giddens,1999c: 94-104), yang mencoba kembali ke semacam ‘Masa Keemasan ekologis’, yana penting ekologisme politis tidak menolak sains dan teknologi. Ekologisme menerima sains dan teknologi, tetapi dengan menginsafi bahwa sains dan teknologi adalah instrumen politis dalam arti intrinsik, bukan instrumen ‘netral’, bahwa sains dan teknologi memiliki implikasi-implikasi etis, tetapi akan (bila sesuai) menjadi bagian dan solusi untuk banyak masalah ekologis. Dalam hal ini, ekologisme benar-benar di dalam alih-alih di luar Pencerahan dan modernitas, meski memiliki kesamaan dengan perspektif-perspektif politis lainnya seperti sosialisme dan feminisme dalam hal status ‘orang dalam kritis’.
Di dunia yang sedang mengglobal dan semakin dikendalikan secara teknologis. Menanggapi batas-batas terhadap pengetahuan manusia, batas-batas terhadap pertumbuhan, ketertimbangan etis dunia nonmanusia, dan saling ketergantungan antara dunia manusia dan dunia nonmanusia, Kaum hijau berbicara tentang kehati-hatian, kecermatan, dan kepedulian. Signifikansi prinsip pencegahan yang semakin besar (dalam arti etis, politis, ekonomis, dan epistemologis) di dalam teori politik hijau menjadi buktinya (O’Riordan dan Jordan, 1995: 0’ Riordan, Cameron, dan Jordan, 2001). Dalam konteks ketidaktahuan yang tak berkurang (Faber, Manstetten, dan Proops, 1992) dan kompleksitas metabolisme antara manusia dan dunia nonmanusia, menurut Kaum hijau, kita ini nekat buru-buru berlari dengan perubahan-perubahan berskala besar dan tak dapat dibatalkan terhadap dunia alam, yang pengaruhnya dalam jangka panjang tidak kita pahami Perspektif hijau tersebut tercakup dengan baik sekali dalam pandangan Aquinas bahwa ‘Kuda yang buta lebih baik berjalan pelan-pelan’.

KETERPELIHARAAN, DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIAL
Hal ini karena, pertama, demokrasi perlu waktu, dan waktu sama langkanya dengan sumber daya minyak bagi para pendukung batas-batas terhadap pertumbuhan. Bagaimana jika mereka tak ingin melakukan perubahan yang diperlukan untuk menjalani hidup yang terpelihara? Mungkin inilah penyebab hubungan antara demokrasi dan keterpeliharaan dipelajari dengan begitu lengkap (Doherty dan dc Geus; 1996; Lafferty dan Meadowcroft, 1996; Matthews, 1996). Sebagai suatu tujuan, keterpeliharaan memiliki sujumlah ciri umum yang menjadikannya ‘bidang uji’ untuk sesuai tidaknya tujuan-tujuan politis seperti ini dengan demokrasi. Bentuk tak tentu yang dimiliki keterpeliharaan, misalnya. Argumen ‘batas-batas’ untuk mendukung solusi-solusi paksa bagi ketidakterpeliharaan agaknya tergantung pada adanya jawaban yang tentu untuk pertanyaan “Apa yang harus dilakukan?” Suatu ambang batas menunjuk titik yang setelah dilewati, gangguan lebih lanjut terhadap suatu proses alami atau eksploitasi lebih jauh terhadap suatu sumber daya alam akan berakhir dengan  Pendapat ini mungkin jelas secara ilmiah, tetapi kita hanya perlu mengajukan pertanyaan ‘Tidak terpelihara untuk siapa dan untuk apa?’ kepada diri kita sendiri untuk memahami bahwa kendati sains mampu menyediakan informasj bagi kita untuk mendasari suatu keputusan, tidak mungkin kita mengharapkan komputer mengolahkan sebuah jawaban yang lengkap bagi kita.
Dua contoh Pertama, benarkah kita menganggap generasi manusia masa depan sebagai jawaban sah untuk pertanyaan ‘Untuk siapa? Manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri dan sudah terbukti mahir mengisi ceruk-ceruk ekologis (ecological niches) yang sangat tidak cocok baginya. Kita adalah spesien yang tidak dapat dikhususkan oleh alam dalam banyak hal, seakan-akan, seluruh planet ini menjadi ‘ceruk ekologis’ kita.
Kita mengetahui apa keterpeliharaan itu dalam pengertian sementara atau terbatas, dengan memperdebatkannya dan membolehkan banyak perspektif dan pendapat untuk didengar. Dan kali ini, tampaknya epistemologi dan pragmatisme politik terjadi bersamaan dengan leluasa. Dari sudut pandang epistemologis, jika ‘kebenaran’ tentang keterpeliharaan memang ada, maka kemungkinan besar hal itu akan muncul dari percakapan demokratis yang luwes, bukan dan deliberasi-deliberasi suatu komunitas “pakar” yang tertutup dan epistemis. Dan dari sudut pandang pragmatis, ukuran untuk keterpeliharaan lebih mungkin didukung dan disetujui oleh masyarakat jika masyarakat sudah memperoleh kesempatan untuk memutuskan dan merancang ukuran tersebut daripada jika tidak memilikinya. Sudut pandang yang kedua ini penting terutama dalam berhubungan dengan memastikan legitimasi rakyat untuk kebijakan-kebijakan keterpeliharaan yang memerlukan perubahan dalam gaya hidup banyak orang terutama di negara-negara ‘maju’.
Terutama jika definisi dan legitimasi itu sementara sifatnya. Namun, demokrasi tak dapat menjamin hasil yang terpelihara. Keterlibatan hijau dengan demokrasi semakin memperjelas fakta bahwa bentuk prosedural demokrasi berarti bahwa demokrasi tidak dapat diharapkan untuk memberikan hasil yang khusus. Inilah pelajaran yang pantas diketahui, diakui, dan diterapkan dalam konteks-konteks lain, dan pelajaran ini memunculkan beberapa pertanyaan yang menarik dan lebih luas mengenai keputusan-keputusan yang ‘dihasilkan’ oleh demokrasi.
Gagasan bahwa suatu demokrasi mungkin memerlukan serangkaian keputusan yang membuahkan kebijakan-kebijakan yang tak terpelihara secara sistematis sehingga melemahkan kondisi-kondisi untuk keberadaannya sendiri, secara struktural serupa dengan pemilihan demokratis yang menghasilkan suatu pemerintah yang memutuskan untuk mengakhiri proses demokratis.
Kewarganegaraan ‘hijau’ atau ‘ekologis’ menuntut agar kita memikirkan kewarganegaraan dengan cara-cara yang agak baru. Pertama, kita harus memikirkan hak dan kewajiban kewarganegaraan yang ada di luar konteks kewarganegaraan negara-bangsa yang biasa. Ada orang-orang yang akan mengatakan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan, bahwa sesuai definisinya kewarganegaraan berhubungan dengan hak dan tanggung jawab individu dalam berhubungan dengan negara-negara tempat mereka menjadi warganya. Saya melihat di sini sedang berkembang suatu debat menarik antara pendukung yang disebut kewargancgaraan kosmopolitan (misalnya, Linklater, 1998) dan lawan ekologis mereka lebih lanjut lihat Bab 15, 19, dan 22). Kedua, hak dan kewajiban warganegara dalam konsepsi tradisional biasanya dianggap timbal balik, tetapi apa artinya hal ini dalam konteks global saat kerusakan ekologis ditimpakan secara asimetris? Kewarganegaraan ekologis mengesankan bahwa kendati tugas saya untuk mengurangi kerusakan, sebagai penyebab kerusakan, timbul dan hak timbal balik orang-orang yang menjadi penerima lingkungan yang enak ditinggali, mereka tidak punya kewajiban timbal balik dan sepadan terhadap saya. Ketiga, agaknya kewarganegaraan ekologis menghidupkan kembaii gagasan kebajikan cukup lama absen dari pembicaraan kewarganegaraan sejak masa jaya republikanisme warganegara (lebih lanjut lihat Bab 13).
Isu demokrasi utama lainnya yang muncul dari debat keterpeliharaan ialah isu representasi. Setidaknya ada tiga tipe konstituensi dalam konteks hijau yang tidak lazim bagi teori dan praktik demokratis hubungan dengan perbatasan ruang, waktu, dan hambatan spesies. Pertama, kita tahu bahwa masalah lingkungan seperti pencemaran tidak dapat dibatasi pada satu negara, jadi keputusan terkait suatu dimensi lingkungan buatan negara tertentu mungkin bahkan mungkin sekali memengaruhi orang-orang di negara lain. Apakah orang orang ini berhak diwakill secara demokratis berdasarkan sesuatu seperti prinsip kepentingan yang terpengaruh’? Kedua, bahasan di atas menunjukkan bahwa generasi manusia masa depan merupakan bagìan utama dalam persamaan keterpeliharaan. Mereka jelas-jelas belum ada (dan tidak mungkin pernah ada) secara aktual saat keputusan kelingkunganan dibuat, tetapi haruskah mereka ‘hadir’ dengan cara diwakili untuk alasan demokratis? Representasi dalam teori demokratis selalu berkenaan dengan menjadikan yang absen itu hadir, jadi jika ada keberatan terhadap gagasan mewakili generasi masa depan secara demokratis, hal ini mungkin karena alasan praktis, bukan alasan normatif. Terakhir, kita lihat tadi bahwa perkembangan salah satu aspek agenda normatif hijau berpusat pada memperluas komunitas moral dan barangkali komunitas politis untuk mencakup (suatu) spesies di luar spesies manusia. Kepentingan spesies-spesies lain jelas dipengaruhi oleh tindakan manusia, jadi haruskah kepentingan-kepentingan tersebut diwakili dengan suatu cara dalam proses demokratis?
Maka, debat ekologisme demokratis menjadi menarik karena alasan-alasan yang internal bagi politik hijau, tetapi pada umumnya teoretikus hijau punya alasan untuk juga memikirkan implikasi problematika lingkungan terhadap teori dan praktik demokratis, Hal yang sama berlaku untuk keadilan sosial (lebih lanjut lihat Bab 17). Seperti kita tahu, keadilan sosial berhubungan dengan distribusi jujur beban dan manfaat di masyarakat. Pertama, ada pertanyaan tentang dapat dan haruskah ‘lingkungan’ diperhatikan sehubungan dengan ‘beban dan manfaat. Tidak ada teori keadilan yang menjadikannya persoalan utama, tetapi bentuk bersyarat pada ‘lingkungan’ untuk menjalani hidup-hidup yang bermakna akan menyatakan bahwa hal itu sudah seharusnya. Fakta bahwa lingkungan telah diabaikan sebagai aspek potensial bagi teori-teori keadilan sangat signifikan bagi banyak teori politik yang tak teraba dan tak terlekat. Meski signifikan, terasa aneh mengakui bahwa hal yang sama sekali memungkinkan keadilan sosial, sebagai teori dan sebagai praktik, tidak punya tempat dalam kajian-kajian teoretikus keadilan sosial. Bahkan, inilah sebagian dan signifikansi teori politik hijau, bahwa kecaman ini dapat dterapkan bagi teori politik pada umumnya (Baxter, 1996).
Calon yang biasa ialah kesamaan, kegunaan, dan hak sejarah. Harus diingat bahwa Walzer menolak pandangan standar bahwa suatu metrik distribusi universal dapat diterapkan untuk semua kebaikan dan keburukan yang dapat didistribusikan. la mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan (atau ‘ranah-ranah’) memiliki prinsip distribusi yang ‘melekat’ pada kebaikan dan keburukan itu. Hal ini mirip tantangan kepada mereka yang percaya harus diberlakukan suatu metrik yang lebih universal seperti kegunaan, misalnya. Walzer memberikan pandangan alternatif untuk itu, dan ‘lingkungan’ merupakan kejadian pembuktian (test case) untuk pandangan alternatif tersebut.
Hal ini berlaku juga untuk dimensi lain dalam teori keadilan sosial dimensi yang menyangkut ‘komunitas keadilan’ atau isu tentang siapa yang pantas dianggap sebagai bakal penerima keadilan. Inilah salah satu ukuran sifat teori politik hijau yang mendesak perbatasan: bahwa teori politik hijau juga menimbulkan pertanyaan yang tak biasa, yaitu, apakah makhluk selain manusia bisa dianggap sebagai penerima keadilan (Dobson, 1998; Low dan Gleeson, 1998).
Bentuk umum pertanyaan ini lazim bagi kita dalam konteks kebijakan pajak redistributif, misalnya, berapa besar yang sah untuk diminta dan oranig-orang yang harus berkorban demi berlaku adil bagi orang-orang yang tidak harus berkorban? Dalam ‘konteks antar generasi, pertanyaan ini menjadi berapa besar generasi sekarang diminta berkorban demi mewariskan kesempatan (dalam hal Iingkungan) bagi generasi masa depan untuk menjalani hidup yang lengkap dan bermakna. Sungguh misteri penyebab pertanyaan-pentanyaan seperti ini belum pernah dibicarakan dalam Teori keadilan sosial, dan kepajanan (exposure) saya kepada debat keadilan/lingkungan yang terjadi sementara saya dalam pengasingan telah membimbing saya kepada kesimpulan bahwa pekerjaan teoretikus- teoretikus keadilan sosial tidak akan selesai dengan baik jika mereka tidak memperhitungkan benar-benar kecaman bahwa keanggotaan pada kumunitas keadilan adalah hal terpenting yang harus didistribusikan dan bahwa komunitas ini mungkin sekali mencakup generasi-generasi manusia yang belum dilahirkan (juga nonmanusia dan nonkebangsaan).

KESIMPULAN
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk dijalani. Saya tidak tahu apa yang akan saya harapkan bila pulang dan bertemu keluarga, tetapi tentunya saya punya banyak waktu untuk memikirkannya. Pikiran yang selalu berulang ialah bahwa pulang akan seperti terlahir kembali, dalam arti bahwa sudah terjadi perubahan-perubahan yang saya tak pernah memiliki kontrol atasnya dan tak pemah memiliki masukan untuknya. Saya cemas karena banyak keputusan akan dibuat tanpa memperhitungkan kebutuhan dan keinginan potensial manusia 20 tahun dan sekarang maksudnya, saya ketika kembali dari Pasifik. Bayangkanlah kekagetan saya ketika mendapati ‘kecemasan’ ini telah menjadi perhatian utama dalam cabang baru teori politik yang telah berkembang selama kepergian saya teori politik hijau. Selama enak-enak duduk diam dalam isolasi di pulau Pasifik, jelas saya menjadi anggota komunitas politik global, tetapi ketidakhadiran aktual saya berarti bahwa saya tidak punya peran di dalamnya, padahal keputusan-keputusan yang diambil di dalam komunitas politik global tersebut selalu memengaruhi kepentingan saya.
Maka, teori politik hijau menantang kita untuk meluaskan komunitas politik tersebut dan menghadapi implikasi dan membayangkan kepentingan generasi masa depan sebagai kepentingan kita sendini, setidaknya sebagai langkah pertama. Hubungan saya dengan sekitar saya juga mengalami perubahan yang lebih halus. Hidup bersama flora dan fauna itu serta mengamati ritme dan irama mereka yang langka menjadi sumber sukacita luar biasa bagi saya dan beberapa rekan dalam eksperimen tersebut. Pulau itu ada untuk diperlakukan sesuai kehendak saya; segala sesuatu di atasnya berada dalam belas kasihan dan kedermawanan saya. Hal terakhir yang saya lihat sebelum naik kapal yang akan membawa saya pulang ialah sebuah sarang berisi sebutir telur milik pasangan burung yang kami yakini adalah pasangan burung terakhir dan jenis yang hanya dikenal dipulau itu. Sesaat terpikir oleh saya untuk mengambil telur itu sebagai kenang-kenangan masa 20 tahun isolasi saya dari dunia ini kemudian, saya menyadari kejernihan yang nyata bahwa perbuatan itu keliru, bukan karena alasan yang berhubungan dengan manusia (tak satupun yang tertinggal saat itu), tetapi sederhana saja, karena mungkin itulah telur terakhir yang tersisa.
Tak pernah saya sangka bahwa pengalaman itu telah menjelma menjadi aspek utama pada suatu ‘politik baru’ selama masa kepergian saya, bahkan memolitikkan dan memoralisasikan hubungan kita dengan dunia alam nonmanusia sudah menjadi tema utama yang selalu berutang dalam teori pohitik hijau. Saya sendiri bukan teoretikus politik hijau, tetapi saya benar-benar meyakini bahwa masa depan teori politik seharusnya mengandung dan akan diperkaya dengan keterlibatan sistematis dengan tema dan tantangan teori politik hijau. Seperti subjek umum teori politik hijau hubungan bersegi banyak, baik fisik/metabolis dan etis politis, antara manusia dan dunia nonmanusia ada beberapa isu yang belum tersentuh oleh teori tersebut. Mengingat kisaran problem dan isu yang kita hadapi di abad kedua puluh satu (konsekuensi keadilan sosial dan konsekuensi demokratis dari globalisasi yang dipimpin korporasi, bioteknologi, dan penerapan komersial pengetahuan genetis; kekurangan energi dan sumber daya; serta konflik-konflik berdasarkan kelangkaan sumber daya, kemiskinan dunia, dan ketidaksetaraan global), jelas sudah bahwa teori politik hijau akan terus berkembang sebagai aspek utama teori politik yang menolong kita untuk memahami dengan tajam semua perkembangan ini dan menawarkan alternatif untuknya.
CATATAN
Dalam teori politik hijau (dan gerakan lingkungan yang lebih luas), isu tentang status etis dunia nonmanusia ini (atau bagian-bagiannya) serta bobot yang dilekatkan pada status/nilai ini telah memicu debat antara mazhab pemikiran ‘ekosentris’ dan mazhab pemikiran ‘antroposentris’ (Dobson, 2001; J. Barry, 2001).
Dewasa ini teori politik hijau juga bertujuan memeriksa ketentuan dan sarana hukum dan konstitusional untuk mewakili konstituensi-konstituensi ini dan memelihara perlindungan lingkungan. Maksudnya, dalam argument ini tidak ada alasan yang baik untuk mendukung perusakan kejam terhadap dunia nonmanusia. Untuk penjelasan tajam mengenai hal ini.








PENGANTAR
ANDRINOF A. Chaniago

Dalam khazanah kepustakaan ilmu politik, pemakaian kata teori politik di dalam berbagai buku tidak selalu memiliki makna yang persis sama. Paling tidak, ada dua makna yang berbeda di antara buku-buku yang menggunakan judul teori politik, atau kata Teori Politik, dalam judul yang digunakan. Pertama, teori politik di dalam sebuah buku bermakna sebagai ide-ide dan pemikiran fiIsafat politik. Di dalam buku yang memaknai teori politik seperti ini, kita akan menemukan pemikiran para filsuf tentang kekuasaan, negara, hubungan negara dan masyarakat, kelembagaan, dan norma-norma untuk menjalankan kekuasaan. Kedua, teori politik dimaknai, atau dimaksudkan, sebagai hukum pergerakan antar variabel yang bisa digunakan untuk menangkap dan menjelaskan isi suatu fenomena politik.
Buku SP Varma adalah buku yang menggunakan jenis makna yang kedua, Dengan memaknai teori politik sebagai hukum. Buku teori politik Modern ini jelas Iebih dimaksudkan untuk memberikan alat analisis untuk melihat berbagai fenomena politik di era modern. Sebuah teori, kita bisa menangkap fenomena dan melihat hubungan-hubungan logis yang terdapat di dalam suatu fenomena politik. Sebagai hukum. la tidak berbeda dengan hukum-hukum fisika yang ditemukan dan pengamatan sisternatis atas suatu fenomena alam.
Dari fungsì praktisnya, teori politik, seperti teori-teori sosial pada umumnya, kedudukannya tidak berbeda dari teori-teori dalam ilmu alam. Tetapi, dalam kedudukan teori politik sebagai objek ilmu pengetahuan, sifat dan posisinya memiliki perbedaan dengan teoni-teori di dalam ilmu alam. Jika elemen-elemen dalam sebuah teori di dalam ilmu alam jarang yang berubah, kecuali bertambah dalam rentang waktu yang lama, elemen-elemen teori dalam sebuah teori sosial dan teori politik sering berubah dan bertambah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sifat yang lebih mudah berubah dan bertambah, termasuk juga lebih mudah runtuh, dari teori-teoni sosial dan politik ini mencerminkan juga sifat dan fenomena sosial yang berbeda dengan fenomena alam.
Sifat yang berbeda dan teori-teori sosial dan politik ini membuat tugas akademik seorang analis sosial dan analis politik sedikit berbeda dengan seorang analis dari bidang eksakta. Analis sosial dan analis politik seyogyanya mengalokasikan waktu lebih banyak untuk mencermati perkembangan teori-teori sosial dan perkembangan elemen-elemen di dalam suatu teori sosial, dibanding dengan analis bidang eksakta.
Cara SP Varma menyajikan teori-reori politik di dalam buku ini jelas sangat mempertimbangkan karakter teori dan fenomena politik yang dinamis itu. Untuk keperluan praktis, teori-teori politik yang diperlukan seorang mahasiswa ataupun analis politik memang telah dikhususkan diletakkan pada Bagian Dua yang berisi empat bab pembahasan. Varma juga telah membantu pembaca, khususnya pengguna teori-teori untuk analis politik, untuk tidak perlu membaca buku-buku yang berisi berbagai ide filsafat politik atau buku-buku yang menyorot berbagai aliran dan paradigma dalam ilmu politik, yang biasanya harus menyeret seseorang masuk ke dalam suatu bidang dalam ilmu politik, atau cabang dan pengetahuan sosial Bagian Satu yang terdiri atas empat bab pembahasan dimaksudkan untuk membantu pengguna teori-teori untuk analis politik agar memahami konstruksi ide sekaligus konteks lahirnya setiap teoni politik yang dimuat di dalam bukunya.
Untuk kebutuhan praktis, para pengguna teori memang bisa Iangsung memilih teori yang relevan pada bagian dua buku ini. Untuk tiap teori, Varma telah mengurai elemen-elemen tiap teori dan masing-masing pencetus teori, tetapi kemudian merangkainya satu sama lain menurut masing-masing pencetus teori tersebut. Cara penyajian yang dibuat SP Varma ini tentu membuat buku ini terutama sangat cocok digunakan oleh para mahasiswa ilmu politik dan analis yang sering mengamati kehidupan politik praktis sehari-hari. Kehadiran buku ini dalam versi Bahasa Indonesia jelas sangat berguna, mengingat buku tentang teori politik, dalam makna sebagai hukum di balik fenomena politik, yang terbit dalam edisi Bahasa Indonesia Iebih sedikit dibanding dengan buku-buku teori politik dalam makna ide-ide politik. Pengalaman saya sebagai pengajar dalam mengikuti aktivitas pembelajaran para mahasiswa ilmu politik, mulai dari berdiskusi, menulis paper, mengerjakan ujian esai hingga menulis karya akhir, memperlihatkan bahwa buku seperti yang ditulis SP Varma ini belum dimanfaatkan secara optimal. Bagian Dua dari  buku teori politik Modern ini sangatlah membantu untuk memahami sebagian besar teori politik yang masih relevan digunakan saat ini sehelum kita membaca sumber pertama dan tiap teori dan karya pencetus teori-teori tersebut.
Bagaimanapun, di dalam kehidupan sosial dan politik juga ada hukum-hukum yang bekerja, meskipun hukum atau elemen-elemen di dalam hukum itu lebih mudah berubah dibanding dengan hukum-hukum di dalam ilmu eksakta. Karena zaman terus bergerak, teori-teori sosial dan teori-teori politik tentu juga selalu menunjukkan kedekatannya dengan sebuah zaman, Zaman modern tentu berlanjut dengan zaman posimodern, atau zaman berikutnya. Zaman baru tidak jarang melahirkan sekumpulan ide baru dan teori-teori baru yang sekaligus mengkritisi teori-teori zaman sebelumnya. Varma telah mengantisipasi kebutuhan untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu ketika buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1982. Saat itu, teori-teori kritis di bidang sosial dan budaya belum lama lahir dan belum dikenal luas diseluruh dunia. Dalam kenyataannya, kebangkitan teori-teori baru di bidang sosial dan budaya itu amat lambat ditarik untuk membangun teori-teori politik. Kita harus berterima kasih kepada SP Varma yang telah mengingatkan hingga sekarang para ilmuwan politik di Indonesia masih gamang untuk menarik teori-teori Mahzab Frankfrut dan mahzab kritis lainnya menjadi sumber teori-teori baru di bidang Ilmu politik.














PENDEKATAN-PENDEKATAN
POSMODERN TERHADAP TEORI POLITIK
JANE BENNETT

Istilah posmodernisme sudah umum di dalam teori politik, juga di dalam studi sastra, filsafat, antropologi, seni, dan wacana populer, namun dalam setiap hal memiliki fungsi yang agak berbeda. Penggunaan istilah tersebut dapat dirangkum dalam tiga kategori: (1) sebagai nama sosiologis untuk perubahan penting pada cara pengorganisasian kehidupan kolektif (dan kontrol terpusat dan hierarkis ke struktur jaringan); (2) sebagai genre aestetis (kesusastraan yang bereksperimen dengan narasi nonlinear, susunan jenaka aneka gaya, apresiasi terhadap kebudayaan populer yang membuat rumit pembedaan antara yang tinggi dan yang rendah; (3) sebagai kumpulan kritik filsafat tentang konsepsi teleologis dan/atau konsepsi rasionalis alam, sejarah, kekuasaan, kemerdekaan, dan subjektivitas.
Judith Butler menyatakan bahwa menggunakari kategori ‘teori posmodern’ itu sama dengan membuat asumsi yang dianggap problematis oleh teoretikus- teoretikus posmodern, yaitu, bahwa teori-teori menawarkan diri dalam berkas-berkas atau totalitas-totalitas yang terorganisasi, dan bahwa ... sekumpulan teori yang strukturnya mirip tampil sebagai artikulasi kondisi refleksi manusia yang berkonteks sejarah (1995: 38).
Kompleks klaim epistemologis dan ontologis yang menjadi gaya khas pemikiran yang disebut posmodern ini tidak bisa dengan adil direduksi menjadi negativisme. Posmodernisme di dalam teori politik muncul dan terus berkembang dalam hubungan erat dengan pendekatan-pendekatan teoretis lainnya, termasuk feminisme, liberalisme, teori psikoanalitis, teori kritis, dan utopisme.
Salah satu wawasan politik teori posmodern ialah bahwa ‘taruhan yang dihadapi politik demokratis ,..adalah tentang krisis perwakilan modern juga tentang distribusi barang-barang lain’ (Dumm, 1999:60). Teori posmodern menyadari adanya kepura-puraan pada yang alami dan materialitas pada yang budaya.

EKSES ELUSIF DAN EKSES PRODUKTIF
Jean-Francois Lyotard menyebutnya ‘yang melebihi setiap yang diberikan pada bentuk atau objek, tetapi tidak ada di tempat lain, kecuali di dalam benda atau objek itu sendiri’ (1997: 29).
Namun dalam segala hal, pertanyaan ini berfungsi sebagai pembatas yang meresahkan bagi proyek-proyek penguasaan politik, aturan moral final, atau konsensus normatif, yang mengingatkan kita akan kapasitas untuk melawan, bahkan saat-saat untuk bebas dan hidup dan dunia. Teori politik posmodern mencoba mengenali perlawanan ini dan melawan desakan untuk mengeluarkan kekuatan disruptif ini dan politik (Honig. 1993).
Artinya, perbedaan ada di dalam yang positif dan membantu menghasilkan positivitas-positivitas baru; inilah ‘prinsip generativitas itu sendiri: bahwa kekuatan atau gerakan yang ... memungkinkan terjadinya makna dan lembaga-lembaga masih terus membayangi’ (Coole, 2000: 74). Di satu sisi, differance, yang virtual, non identitas, dll., nama, pokoknya hal yang terkecualikan dari semua penjelasan teoretis, dan di sisi lain, energi kreatif di dalam bentuk-bentuk apa pun yang ada, yang melahirkan benda-benda baru (identitas, hak.. gerakan sosial) (lebih lanjut lihat Bab 20). Proses kreatif itu diketahui berlangsung terus-menerus: segala yang ada (being) tertentu bila diletakkan pada periode masa berlangsung yang sesuai dianggap berada dalam proses menjadi (becoming), yaitu, menjadi sesuatu yang lain dan kondisinya sekarang.
Berbeda dari ‘politik’, atau makna tetap institusional untuk mengorganisasi kehidupan kolektif, ‘politis’ di sini rnengacu pada peristiwa-peristiwa terobosan yang menyebut ‘politik’ sebagai penyembunyian kualitas ‘kenyataan’ yang selalu berbeda-beda dan gelisah atau yang selalu melampaui aktualitas dan minghindari ekspresi simbolis.
Gagasan Lacanian tentang fungsi-fungsi politik mirip dengan hal yang oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1987), dengan menggunakan kosakata yang lebih fisikalis, disebut sebagai kosmis. Kosmis adalah dimensi pada entitas, perbuatan, atau klaim yang energetik dan tidak terorganisasi menjadii objek pengetahuan atau benda yang dapat diidentifikasi. Kosmis terletak pada ‘kekuatan, densitas, intensitas’ yang sukar dikendalikan dan tak terduga-duga yang ‘tidak terpikirkan di dalam kekuatan, densitas, intensitas itu sendiri (1987: 342-3). Kosmis adalah dunia virtual yang ada di aktual dan kehadirannya ditandai dengan ledakan tiba-tiba peristiwa yang tak terbayangkan oleh siapa pun. Kosmis adalah dimensi ‘politis’ dari keberadaan ini.
Mengapa teoretikus politik posmodern menyebut-nyebut wilayah bergejolak dan elusif ini? Pertama, untuk menegaskan bahwa sia-sia saja berusaha mencapai tatanan politik yang berbentuk final dan tetap proyek yang tampaknya mirip kemustahilan ontologis. Kedua, untuk mendukung budaya demokratis, dengan ketegangan antara tatanan dan kekacauan yang sudah menjadi sifatnya, sebagai bentuk tata kelola pemerintahan yang secara paradoksal umumnya selaras dengan bentuk yang ada.

SEBUAH METANARASI TENTANG IMANENSI
Metanarasi adalah teori utama tentang bekerjanya dunia, sebuah kisah tentang karakter dasar alami-sosial jagat raya. Karena itu, metanarasi berfungsi sebagai kerangka acuan (frame of reference) untuk menilai teori-teori lain yang lingkup dan aspirasinya lebih terbatas. Metanarasi dapat dialami sebagai kebenaran religius atau sebagai kebenaran imajiner metafisis dengan nilai heuristis kontingen, atau sebagai kebenaran yang mengisi salah satu dan sekian banyak tempat di antara kedua posisi yang berlawanan ini. Contoh: Hobbes menggunakan metanarasi tentang dunia berisì badan-badan alami yang terus-menerus bergerak dan Tuhan Ayub yang jauh untuk mendasari gagasan-gagasannya tentang kedaulatan, kontrak, pidato politik dan perdamaian warga. Contoh-contoh mengenai yang terakhir itu meliputi pembedaan Plato antara dunia bentuk yang sebenarnya dengan dunia penampakan indrawi yang palsu, Kota Tuhan dan Kota Manusianya Agustinus, wilayah noumenal dan wilayah fenomenal Kant, dan Ide implisit Hegel saat terbentang menjadi sejarah.
Seperti Hobbes, teoretikus-teoretikus ini menghubungkan klaim politis mereka dengan klaim spekulatif tentang alam maten, atau yang ada.
Jadi, tidak semua teoretikus posmodern mengklaim sebagai posmetafisis; begitu pula, yang mengklaim sebagai posmetafisis, seperti Rawis dan Habermas serta orang-orang yang terilhami mereka pun, bukan teoretikus posmodeen (lihat Bab 7 dan Bab 12).
Nietzsche kerap menjadi ilham di balik ontokisah-ontokisah yang ditegaskan di dalam teori posmodern, baik dalam hal muatan maupun gaya.
tahukah Anda apa pandangan saya tentang ‘dunia’? ... energi yang sangat besar ... yang tidak habis sendiri, tetapi hanya bertransformasi : ... (Sebuah) permainan yang terdiri dari kekuatan dan gelombang kekuatan, satu dan banyak pada waktu yang bersamaan ... sebuah; lautan, kekuatan-kekuatan yang mengalir dan mendesak bersama-sama, selamanya berubah-ubah ... dengan bentuk-bentuknya yang pasang dan surut; dan bentuk-bentuk paling sederhana yang berjuang ke arah yang paling kompleks, dari bentuk-bentuk yang paling tenang, paling kaku, paling dingin ke arah yang paling panas, paling bergejolak ... dan lalu dari keadaan yang berlimpahan ini kembali lagi ke yang sederhana, dari permainan kontradiksi kembali ke riangnya kerukunan (Nietzsche. 1987: 1067).
Kisan Deleuze tentang dunia yang terdiri dari kekuatan-kekuatan protean memiliki kesamaan dengan Nietzsche dalam hal menekankan dinamisme dan aliran yang mudah berubah, juga dengan ‘label pos modern’-nya Lyotard, sebuah cerita fiksi ilmiah tentang manusia yang bersiap meninggalkan bumi ketika matahari akan meledak. Sama seperti Nietzsche pula, Lyotard mendeskripsikan sebuah dunia tanpa menjanjikan sebuah pencapaian final atau eskatologis. Kata Lyotard, jika menjadi modern itu sama dengan mendambakan untuk membangun kembali ‘relasi penuh dan utuh dengan hukum tentang yang Liyan ... seperti ini ... adalah awalnya’, maka menjadi postmodern sama dengan mencoba melenyapkan pemikiran dan tindakan yang mendamba eskatologis ini (1997: 96-7). Lyotard :melihat keinginan ini bukan hanya di dalam teori potitik Kristen, tetapi juga di dalam beberapa narasi Pencerahan, di dalam dialektika Romantisis atau dialektika spekulatif dan di dalam Marxisme. Teori politik Lacanian, yang lebih rumit hubungannya dengan posmodernisme dalam hal-hal lain, juga menolak keinginan akan kesempurnaan yang terlihat di dalam banyak teori politik (Laclau dan Moufle, 1985).
Dalam bahasa yang lebih umum, teori posmodern yang tidak berusaha menjadi posmetafisis akan mengejar metafisika imanensi, sebuah ontokisah ketika yang ada hanyalah dunia material yang sangat kompleks, luar biasa bermacam-macam, dan tidak pernah jelas sepenuhnya. Di dalam metafisika dua dunia Plato, Agustinus, dan Kant, imanensi dipahami sebagai imanen pada suatu transenden yang merupakan keunggulan konseptual atau moral tertentu (Berg-Sorensen, 2001). Sebaliknya, tujuan para ahli metafisika modern ialah memikirkan imanensi tanpa membawa kembali transendensi, menceritakan hal yang oleh Giorgio Agamben disebut ‘vertigo yang di dalamnya tak bisa sepenuhnya dibedakan antara luar dan dalam, imanensi dan transendensi’ (1999: 238-9). ‘
Ada energetika materialis di dalam beberapa versi posmodernisme hukan materialisme mekanis dan metafisika klasik, tetapi materialisme imanen yang di dalamnya dunia sendiri mengandung kekuatan untuk bermetamorfosis pada perhubungan yang tak terduga dan bentuk lama menjadi bentuk baru dan mengejutkan. Deleuze dan Guattari, misalnya, berbicara tentang alam sebagai sebuah mesin abadi karena senantiasa menghasilkan komposisi-komposisi baru dan dinamis: alam sebagai ‘bidang imanensi murni ... yang di atasnya ditetapkan segala sesuatu, tempat unsur dan material yang belum terbentuk bergerak-gerak lincah’ (1987: 255).
Teori posmodern memang menguatkan wawasan Hegel tentang karakter protean yang dimiliki kehidupan, tetapi bercita-cita meraih keseimbangan yang berbeda antara yang ada (being) dan menjadi (becoming) dalam kehidupan sosial.
MANUSIA, BINATANG, DAN CYBORG
Teorisasi posmodern mengubah posisi manusia dalam berhubungan dengan entitas dan kekuatan nonmanusia yang bersama-sama menghuni dunia ini. Sebagai gantinya, kita dipandang sebagai formasi yang kompleks dan reflektif, berbeda dan bentuk-bentuk lain pada taraf yang signifikan, tetapi tidak pada jenis. ‘Jenis manusia dianggap sebagai sistem material kompleks; kesadaran, sebagai efek bahasa; dan bahasa, sebagai sistem material yang sangat kompleks’ (Lyotard 1997: 98).
Manusia digambarkan sebagai perpaduan kategori-kategori benda yang biasa mendevinisikannya. Kita adalah hasil kawin silang antara binatang dan mesin, budaya dan biologi, bahasa dan afek. Diskusi Deleuze dan Guattari (1987) tentang permainan kanak-kanak ‘menjadi binatang’, meneliti potensi positif dan kawin-silang yang mudah berubah-ubah ini.
terlepas dari evolusi yang membawa mereka menuju kedewasaan, seakan-akan ada ruang di dalam diri anak untuk proses menjadi yang lain (other becomings), ‘kemungkinan-kemungkinan kontemporer yang lain’ yang bukan regresi, melainkan involusi kreatif yang menyaksikan ‘suatu ketidakmanusiaan yang langsung dirasakan di dalam tubuh seperti itu’. (1987: 273).
Penekanan posmodern pada kesamaan material di dalam semua benda di dalam manusia, binatang, artefak, dan benda-benda alam juga memajukan pemahaman mengenai keterkaitan (interconnectedness) ekologis. Melalui environmentalisme-nya, posmodernisme bersaing dengan pendekatan-pendekatan teoretis lain sebagai jalan menuju politik yang lebih progresif (lebih lanjut lihat Bab 14).

FISIKA TENTANG MENJADI
Teoretikus-teoretikus posmodern menggambarkan manusia seperti semua hal lain, yaitu, terus-menerus menjalani transisi antara yang ada (being) dan menjadi (becoming). Bagi Derrida, menjadi (becoming) ialah hal yang memungkinkan terjadinya setiap progres atau perbaikan ke arah suatu ideal dalam kehidupan politik:
Jika manusia adalah makhluk yang dapat disempurnakan, maksudnya, jika identitas manusia adalah sesuatu ‘yang masih sedang dibuat’, maka batas-batas kemanusiaan tidak dapat ditentukan ... Jadi, dari sudut pandang itu,. bersikap curiga tentang batas-batas manusia bukanlah antihumanis, tetapi, merupakan salah satu cara untuk menghargai hal yang ‘masih sedang dibuat’, di balik nama dan wajah yang kita sebut ‘manusia’ itu. (2001:44).
Kemanusiaan adalah sumber daya yang baik, kendati tidak memadai, untuk mencampuri kehidupan dan mengubah arah menjadi (the direction of becoming). Diyakini bahwa bahan untuk menjadi (becoming) itu adalah energi, daya, afek, intensitas, atau kehidupan. Semua entitas tradisional ini tidak disangkal, tetapi semuanya dianggap sebagai formasi tingkat dua yang muncul dari sesuatu yang bukan merupakan formasi tersebut.
Dalam fabel itu, bukan spesies manusia yang menjadi pahlawan. tetapi energi. Fabel tersebut menceritakan beberapa seri episode yang menandai keberhasilan hal yang merupakan kematian yang paling mungkin, kemudian keberhasilan sesuatu yang paling
tidak mungkin dan paling genting, dan juga hal yang paling efisien, paling kompleks. (1997: 92).
Pada akhir fabel, yang ada tertentu sedang berusaha melarikan diri dari bumi, tetapi entah yang ada itu adalah manusia lelaki/perempuan dan otaknya, ataukah otak dan manusianya, ‘hal itu tidak diceritakan dalam kisah ini’ (1997: 83).
Teori posmodern bereksperimen dengan gagasan bahwa masyarakat dan alam berpartisipasi dengan logika yang mirip, penggolongan nonlinear pada sebuah jejaring interdependensi. Kini para teoretikus budaya telah berupaya menyesuaikan teori kompleksitas, yang semula dikembangkan oleh ilmuwan untuk mendeskripsikan sistem-sistem fisika yang paling membingungkan, untuk mendeskripsikan relasi politik dan relasi sosial.
Ia dan kolaboratornya, filsuf ilmu pengetahuan Isabelle Stengers, menghindari model alam yang tersirat dalam dinamika klasik, yang menyajikan ‘sebuah dunia bisu ... alam yang mati, pasif, alam yang berlaku seperti otomatisasi, yang begitu diprogram akan terus-menerus mengikuti aturan-aturan yang tertanam di dalam programnya’ (Prigogine dan Stengers, 1984: 6).
Teori posmodern, dengan aneka manifestasinya, cenderung memahami hubungan di antara tatanan sosial dan perubahan dengan cara yang mirip, sebagai sebuah sistem yang belum terstruktur dengan sempurna, sebuah sistem terbuka yang mudah sekali menghadapi hal-hal yang tak terduga dan kemunculan formasi-formasi baru secara berkala.
NALAR DAN AFEK

Menggunakan penalaran tanpa mempertimbangkan Nalar, seperti yang dilakukan teori posmodern, sama dengan mengembangkan kepekaan yang sudah ditinggikan terhadap bahaya etika dan bahaya politiknya mengandalkan penalaran di luar hubungannya dengan bentuk-bentuk pengetahuan (knowing) dan pengalaman (experiencing) yang kurang kognitif.
Ada ketakutan dan kecemasan tersendiri yang mendorong pemikiran posmodern, termasuk regulasi berlebihan dan normalisasi orang, tempat, dan pengalaman. Salah satu efek negatif dari rasionalisasi ke masyarakatan dan kategorisasi ilmiah ialah peminggiran dan pencemaran nama orang-orang yang diketahui tak cukup baik untuk memenuhi kriteria-kriteria rasionalitas, normalitas, dan tanggungjawab, yang berlaku (White, 1998). Unsur kekejaman di dalam rasionalitas ini konon berdampingan dengan pencapaian-pencapaiannya yang lebih mulia.
Meski dalam cara bercakap biasa afek digunakar sebagai sinonim untuk emosi, dalam teori postmodern afek diasosiasikan dengan jenis kekuatan yang lebih protean, sebuah intensitas yang belum terorganisasi menjadi bentuk emosi tersendiri (Massumi, 2002). Tentang model etika ini, etika memerlukan baik kode moral (yang memadatkan ideal-ideal moral dan asumsi-asumsi metafis menjadi prinsip rasional dan aturan-aturan masuk akal) maupum sensibilitas yang terjelmakan (yang mengorganisasi afek menjadi satu gaya dan menghasilkan impetus guna melaksanakan kode tersebut).
Kini teori posmodern mengadopsi dan mengubah sebuah wawasan dan Romantisme  pada pentingnya ritual, kegiatan fisik latihan berulang-ulang, dan litany adalah satu contoh perhatian teori postmodern pada dimensi afektif dan dimensi aestetis kehidupan dan pemikiran politik dan beretika.


MAKROPOLITIK DAN MIKROPOLTIK

Sebagian sebagai respons terhadap kritik-kritik Marxis, gagasan mikropolitik itu adalah versi yang lebih intersubjektif dan kolektivis dan gagasan teknologi atau praktik diri-nya Foucault yang olehnya didefinisikan sebagai cara yang digunakan manusia untuk menjalankan ‘sejumlah operasi tertentu atas raga dan jiwa pikiran kelakuan, dan penampilannya, demi untuk mentransformasi dirinya sendiri’ (1988: 18). Program perbaikan, visi tentang masa depan), tetapi juga sensibilitas terjelmakan yang mengorganisasi afek menjadi satu gaya dan menghasilkan dorongan untuk melaksanakan prinsip, program, dan visi (Curtis, 1999).
Aktivis agama bersembahyang dan menghadiri pertemuan gereja sebagai cara untuk mendisplinkan tubuh dan mengembangkan karakter yang baik Deleuze dan Guattari menggunakan teknik-teknik mikropolitik untuk bereksperimen dengan menjadi yang lain dan mencegah tereduksinya nenjadi (becoming) menjadi yang-ada (being). Teori politik posmodern mengakui bahwa mikropolitik dapat dijalankan untuk tujuan-tujuan yang berlainan dan ragam luas ideologi politik.

KEKUATAN PENDISIPLIN DAN PELUANG KEBEBASAN

Salah satu wawasan posmodern yang berpengaruh adalah bahwa kekuasaan yang dijalankan atas warganegara dan rakyat tidak Cuma keluar dari tempat-tempat yang nyata seperti negara dan hukumnya. Kekuasaan juga bekerja dengan lebih tersebar dan lebih tersembunyi melalui kebiasaan normal sehari-hari tanpa ada pemrakarsanya, tetapi tampil sebagaimana adanya segala sesuatunya berjalan. Foucault rnendeskripsikan yang pertama sebagai model yuridis kekuasaan dan yang kedua sebagai normalisasi pendisiplin atau bio-power.
Namun, fokus pada kekuasaan yang luas ini bukan berarti bahwa dan perspektif posmodern tidak ada yang namanya kebebasan. Keterampilan ini juga membungkus sikap, suara, dan citra menjadi proses itu, sehingga lebih giat bersinggungan dengan ragam afektif yang ada. Jika inti di dalam genealogi-genealogi awal Foucault adalah mengekspos individu normal sebagai tipu muslihat kekuasaan dan mengacaukan asosiasi disiplin dini kita dengan kebebasan, maka inti dalam karya Foucault berikutnya adalah menyatakan tesis yang lebih kompleks bahwa tidak ada diri tanpa kekuasaan dan disiplin, dan tidak ada kekuasaan atau disiplin juga yang tidak melindungi kesempatan untuk memperoleh kebebasan dalam hal seni diri.
Kebebasan dimaknai kembali dengan meletakkannya di dalam suatu hubungan dengan rasionalitas dan penjelmaan manusia yang terkonteks menurut sejarah. Tujuannya, untuk menemukan cara memajukan kendali diri (self-direction) yang lebth tinggi di dalam dan terhadap sistem kekuasaan pendisiplin. Kebebasan bukan didefinisikan sebagai sesuatu yang lahir di atas hasrat, sensibilitas, dan perasaan, melainkan sebagai semacam heretonomi reflektif dan sering kali agonistis. Yang dimaksud sebagai kendali diri itu bergantung pada partikularitas-partikularitas tentang kondisi yang telah dicapai seseorang (what one has become) dan jenis hambatan dan kesempatan yang tersedia secara budaya.
Konfigurasi-konligurasi baru ini masih merupakan salah satu fungsi pada matriks institusional: masih tersiratkan di dalam praktik-praktik kekuasaan yang kontingen menurut sejarah, dan terus-menerus menghadapi sebuah badan yang tidak pernah sepenuhnya selaras dengan subjektivitas yang tersedia baginya.
Teorisasi politik posmodern terutama bergerak maju berdasarkan asumsi bahwa saat-saat kebebasan kritis itu terjadi di dalam sistem kekuasaan. Kekuasaan
merembesi sistern konseptual sendiri yang berupaya mengatasi ketentuan-ketentuannya, termasuk posisi subjek terhadap pengkritik; dan ... implikasi ketentuan-ketentuan pengkritik ini terhadap medan kekuasaan bukan berupa datangnya relativisme nihilistis yang tidak mampu menyediakan norma, tetapi lebih merupakan prasyarat untuk sebuah kritik yang digarap secara politis. (Butler, 1995: 38-9; lihat juga Spivak, 1999),

STRUKTUR RIZOMATIS DAN GARIS-GARIS PERSEBARAN

Ketakutannya, bahwa kisah posmodern tersebut menambah parah kondisi postmodern yang dicirikan sebagai keadaan perpecahan yang diganggu krisis makna. Namun, menyangsikan kredibilitas sejarah kisah tentang koherensi komunitas dan kosmologis ini berarti melihat situasi dengan cara pandang yang berbeda.
Ia menyebut retasi di antara dan di dalam minoritas-minoritas ini sebagai rizomatis, bukan perpecahan. Teoretikus posmodern sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai isu ini. Yang lain menekankan potensi pembebasan dan keajaiban-keajaiban di dunia yang terus berkembang ini.
Hardt dan Negri mentransformasi gagasan lama tentang proletariat, yang didefinisikan dalam hubungannya dengan kerja berupah di bidang industri, menjadi kekuatan yang Lebih protean dan multikelas bernama the multitude. Juga, logika kapitalisme menjadi sesuatu yang lebih luwes dan impersonal sehingga lebih kejam dan kurang cakap; kapitalisme digantikan oleh empire kekaisaran.
Teori posmodern melihat potensi terbatas namun nyata untuk keadilan dan kebebasan di dalam ekonomi pasar dan ekonomi berpusat komoditas. Posmodernisme ini tidak niscaya menganjurkan ekonomi pos-pasar, dan posmodernisme ini juga menolak citra modal global sebagai monster yang melahap apa saja yang menghalangi jalannya karena tidak akurat secara empiris dan melumpuhkan secara politis:
Wajib ditegaskan lagi bahwa tatanan global itu mustahil terjadi. Jika kita bisa menerima bahwa mustahil setiap makhluk individu, tempat, dan praktik dipaksa tunduk kepada hukum universal ...maka, akibathya, yang lokal tidak bisa sepenuhnya berada di dalam yang global, potensi inventifnya juga tidak bisa dicakup dengan bayangan tunggal (tentang ekonomi). (Gibson-Graham, 2003).
Teori tersebut bermaksud menyangkal kapitalisme, kemanjuran dan kemampuan totalisasi yang oleh para pengkritik (dan pendukungnya) kerap dihubungIan dengan kapitalîsrne, serta mengeksploitasi potensi etika positif yang tersembunyi di dalamnya (Bennett, 2001). Analisis tersebut juga bekerja dengan citra kekuasaan tertentu, yang di dalamnya ‘selalu ada sesuatu yang mengal atau lenyap, yang  menghindari ... mesin penyandi berlebihan itu’ (Deleuze dan Guattari,1987: 216).
Gagasan garis-garis persebaran yang selalu ada di dalam jaringan-jaringan kekuasaan yang paling padat atau jaringan subsistensi dunia virtual di dalam yang aktual, atau jaringan kemungkinan yang membangun koneksi rizomatis di antara orang yang tidak memiliki kerangka pikir moral yang sama mengungkapkan hubungan di antara teori posmodern dan revolusi kebudayaan yang penuh harapan politis pada 1960-an. Teori posmodern menguatkan pentingnya idealisasi, meski idealisasi itu berupa ideal regulatif yang tidak dapat sepenuhnya tercapai.
Foucault menunjukkan bahwa kebebasn politik dimungkinkan oleh hasrat mustahil akan kendali diri dan mimpi tentang subjektivitas yang dirancang dengan indah. Derrida meyakini suatu keadilan yang merupakan ‘semacam cadangan yang tidak akan habis oleh konsep keadilan apa pun’;
Di satu sisi, Anda punya hukum yang dapat didekonstruksi; maksudnya, perangkat legislasi ... yang .. dapat didekonstruksi karena kita mengubahnya, kita memperbaikinya, kita ingin memperbaikinya, kita mampu memperbaikinya ... Di sisi lain, keadilan, yang dengannya orang mendekonstruksi hukum, ternyata tidak dapat didekonstruksi. (2001: 6, 9).
Jika ada visi politik yang sama untuk semua teori posmodern, maka itu adalah visi tentang sebuah wilayah politik yang membicarakan ulang debat lama antara yang ada (being) dan menjadi (becoming) agar ada lebih banyak ruang bagi menjadi (becoming) dan membuat wilayah politik lebih bersikap terbuka terhadap perubahan dan lebih demokratis dalam pelaksanaannya.





























TEORI POLITIK DEMOKRATIS
JOHN S. DRYZEK

DEMOKRASI YANG KELEBIHAN

Penjelasan tentang keadaan teori demokratis dapat ditulis dengan menguraikan dan menjajarkan makna dan ke-54 kata sifat ini. Daftar ini panjang; ada banyak demokrasi di dalamnya, setidaknya secara teori, dan murnkin dalam praktik.
Kategori-kategori yang diwakili dengan adjektiva tadi bukannya tidak mungkin diterapkan pada waktu yang bersamaan. Walau ada pertentangan biner yang nyata (agregatif melawan deliberatif, partisipatif melawan representatif, banyak kombinasi yang masuk akal dan memiliki pendukung serta pengkritik.
Kategoni-kategori yang diwakili oleh adjektiva tadi tidak Iengkap dalam arti kolektif. Perbincangan tentang perkembangan demokratis tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, (Ini bagus; mungkin kelangsungan perbincangan ini memang intrinsik dengan demokrasi itu sendiri, meski hanya untuk demokrasi yang dikonseptualisasik, oleh sebagian dari kategori-kategori tersebut.)
Para penyumbang untuk upaya itu semuanya membicarkan persoalan yang menyangkut konstruksi, distribusi, aplikasi, dan pembatasan kolektif atas otoritas politik. Persoalan-persoalan inilah yang menentukan perkumpulan demokratis, jumlah komunikasi tentang demokrasi. Dalam batas-batas ini ditemukam wilayah penting tempat para praktisi mengkaji apa arti kekuasaan oleh rakyat dan persamaan politis yang disiratkan di masyarakat-masyarakat komplek kontemporer yang juga menghargai kemerdekaan dan efisiensi. Mesiki senang rasanya bisa menetapkan dengan lebih tepat sejumlah masalah yang sama yang hendak diupayakan penyelesaiannya oleh teoretikus-teoretikus demokratis, juga sejumlah standar untuk membuat solusi yang pantas, saya yakin hal itu mustahil, sebab standar-standar tersebut muncul dalam proses dialog di kalangan teoretikus (dan lain-lain; dan muatannya bisa berubah seiring dengan waktu.
Kegagalan yang paling mencolok ialah lawan otoriter demokrasi yang sudah berjalan lama. Pada 1989 Robert Dahi mengorganisasi pernyataan penting tentang demokrasi dan pembelaan untuknya dengan menggunakan pengawalan pembandinga gagasan bahwa sebagian elite mengetahui apa yang terbaik untuk masyarakat sekaligus memiliki keahlian yang sesuai untuk melaksanakan program itu. Pada 2004 upaya itu tidak layak lagi.
Kegagalan lain meliputi demokrasi rakyat, demokrasi di tempat kerja, demokrasi komunitas (dalam arti mobilisasi seluruh komunitas), pertanian kolektif, demokrasi yuridis Theodore Lowi (1969), dan mungkin sosialisme demokratis. Meski demikian, hanya segelintir demokrasi yang benar-benar gagal dan jumlahnya pun selalu lebih sedikit daripada kegagalan demokrasi baru, jadi, seiring waktu, teori demokrasi tidak lan adalah demokrasi itu sendiri yang menjadi semakin berbeda dan semakin kompleks.
Menghadapi keanekaragaman yang terus bertambah itu, orang mungkin akan putus asa. Kadang-kadang demokrasi memang tampak sedikit mirip pohon Natal, lambang positif yang dapat dipasangi semua benda bagus yang disukai. dan pegangan dunia nyata daripada ‘demokrasi’. Pendekatan seperti itu tidak akan cukup karena dua alasan. Pertama, sebagian dari hal yang membuat demokrasi menarik baik dalam teori maupun praktik ialah penyangsian seputar esensinya. Kedua, segala pencarian akan makna esensial demokrasi dirusak oleh historikus-historikus konseptual yang menunjuk kebetulan historis tak terelakkan yang menimpa konsep-konsep politis utama seperti demokrasi (Hanson, 1989), serta bahwa makna demokrasi itu sendini merupakan bagian dari politik pada waktu khusus dan tempat khusus.
Sejarah konseptual akan memadai untuk teori politik tentang sejarah mode gagasan. Bahkan, sejarah yang baik sekali milik Russell Hanson (1989) bermanfaat karena mengingatkan kita bahwa baru pada abad kesembilan belas demokrasi sebagai sebuah konsep tidak lagi dicerca secara universal dan mulai menarik konotasi-konotasi positif. Di Amerika Serikat, hal ini umumnya timbul sebagai akibat kepedulian populis dan Jacksonian kepada ‘Demokrasi’, maksudnya, kepada rakyat jelata melawan plutokrasi. Namun, walau perlu, sejarah konseptual tidak memadai bagi orang-orang berpandangan kritis dan evaluative yang ingin menyumbang bagi kelanjutan percakapan tentang perkembangan demokratis. Selain itu, sejarah konseptual memang tidak membekali kita untuk mengatasi variasi radikal pada suatu era (seperti masa sekarang ini), berbeda dengan perubahan lintas era. Hanson sendiri menghadapi variasi sekarang hanya dengan menyesali fakta bahwa tampaknya demokrasi telah dikosongkan dan makna, disusul dengan dalih agar mengembalikan konotasi-konotasi berkelas dan istilah tersebut (1989: 85-6).
Cara untuk mengatasi variasi ialah dengan mengisolasikan dan membandingkan model-model utama demokrasi, Contoh, inilah pendekatan yang diambil David Held (1996) dalam survei buki teks terbaik di bidang itu. Kumpulan ini amat berguna dalam menyediakan kosakata dasar dan mengenali sebagian pusat perhatian utama dalam teori demokratis sepanjang zaman. Jadi, survei Held adalah bacaan penting, tetapi hanya dalam mencakup ragam pemikiran kontemporer yang menarik tentang demokrasi.
Karena ada banyak adjektiva untuk membatasi dan menerangkan demokrasi, maka ada banyak persekutuari tidak sepaham tentang apa yang bisa, harus, dan tidak seharusnya menjadi demokrasi. Selain itu, lain penjelasan tentang demokrasi lain pula pentìngnya persekutuan yang diperselisihkan.
Meski demokrasi muncul dalam banyak variasi, kini arus yang dominan dalam teori demokratis ialah arus deliberatif.
Titik awal yang kedua ialah pandangan yang sangat lain terhadap demokrasi itu sendiri yang sama-sama dianut oleh sebagian besar orang yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bahkan, penggambaran variasi demokrasi dalam teori dan praktik yang saya mulai pasti mengagetkan ilmuwan politik yang mendalami politik komparatif tentang demokrasi, juga para pengamat yang lebih jurnalistik terhadap masa hidup dan zaman demokrasi sekarang ini. Bagi kelompok yang kedua ini, yang mencolok pada demokrasi kontemporer bukanlah variasinya, melainkan keseragamannya. Berlalunya Soviet sebagai alternatif dan sirnanya sosialisme demokratis di Barat dalam waktu yang bersamaan mengisyaratkan kepada kelompok ini akan adanya kemenangan global model demokrasi liberal, elektoralis, elitis, kapitalis, dan minimalis yang jelas makna dan intensinya.
Model kapitalis liberal ini mencakup banyak sekali hal yang penting tentang demokrasi di dunia nyata. Yang harus diutamakan ialah rnemisahkan hubungan antara demokrasi deliberatif dan model liberal minimalis yang digunakan Kaum Komparativis.


PERALIHAN KE ARAH DELIBERATIF

Peralihan ke arah deliberatif terjadi di dalam teori demokratis pada awal 1990-an. Namun, sebelum itu sudah ada pendahulunnya, dan Aristoteles dan polis Athena. Kaum Konservatif seperti Edmund Burke (menurutnya deliberasi berkonotasi dengan pemikiran masak yang berlawanan dengan tindakan tergesa-gesa), juga kaum liberal seperti John Stuart Mill dan John Dewey (untuk sejarah yang bagus, lihat pengantar untuk Bohman dan Rehg, 1997). Ada pula penekanan terus menerus bersama Kaum Demokrat partisipatif seperti Carole Pateman (1970) yang tidak puas dengan kurangnya kesempatan untuk merasakan pengalaman berdemokrasi mendalam pada demokrasi-demokrasi liberal kontemporer. Bila dilihat ke masa lampau, ‘demokrasi kuat’ Benjamin Barber (1984) terlihat sebagai jembatan antara demokrasi paritisipatif dan demokrasi deliberatif, mengingat penekanannya pada ‘pembicaraan demokratis yang kuat’. Namun, sebelum 1990, para teoretiKus pada umumnya menginterpretasikan demokrasi dalam hubungannya dengan agregasi kepentingan atau preferensi anggota demi melalui mekanisme seperti pemungutan suara dan perwakilan yang menghasilkan keputusan-keputusan kolektif.
Dengan peralihan ke arah deliberatif, inti legitimasi demokratis menjadi hak atau kemampuan mereka yang tunduk pada keputusan umum untuk ikut serta dalam deliberasi sejati (lihat Manin, 1987; Cohen, 1989, istilah ‘demokrasi deliberatif’ pertama kali digunakan oleh Bessette, 1980). Keputusan itu sendiri harus dijustifikasi oleh orang-orang tersebut dalam hal-hal yang, berdasarkan pemikiran masa), bisa mereka terima. Dalam arti yang lebih formal, deliberasi mengandung aspek argumentatif, informasional, dalam (reflective), dan sosial yang terakhir ini mengacu pada kesetiakawanan yang lahir di kalangan para peserta deliberasi. Aspek dalam (reflective) berarti bahwa preferensi, keputusan, dan pandangan yang dianggap sudah tetap pada model-model agregatif dianggap mudah berubah dalam deliberasi.
Pentingnya peralihan ke arah deliberatif itu dikuatkan pada 1990-an dengan pengumuman-pengumuman dan teoretikus liberal yang paling penting, John Rawls, serta teoretikus kritis Jurgen Habermas, bahwa mereka adalah Demokrat deliberatif (Rawls, 1993; 1997: 771-2; Habermas, 1996).
Mengingat begitu banyak teoretikus demokratis yang kini mengibarkan bendera deliberatif, juga mazhab pemikiran mereka yang menurut sejarah berbeda-beda (konservatisme, liberalisme, dan teori kritis) seharusnya ada banyak sekali variasi di kalangan Demokrat deliberative. Namun, yang kini menonjol ialah lebih sedikit variasi daripada keseragaman. Baik atau buruk, demokrasi deliberatif terutama dibaurkan dengan konstitusionalisme liberal, yang dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan menyelesaikan perbedaan di antara kepentingan-kepentingan yang lebih dulu ditetapkan sebelum interaksi politis dibawah kumpulan aturan dan hak netral.
Pembauran terjadi dalam tiga cara. Pertama, komitmen kepada prinsip-prinsip deliberatif dapat digunakan untuk menjustifikasi sebagian (tetapi tidak semua) hak yang sudah lama dijunjung tinggi oleh Kaum liberal. Argumen ini berlaku dengan paling lugas untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul, juga, dengan sedikit lebih meluas, untuk kebebasan beragama dan persamaan politik (Cohen, 1996). Kedua, konstitusi-konstitusi liberal dapat diinterpretasikan sebagai alat yang memajukan deliberasi. Ketiga, pembuatan konstitusi dapat dilihat sebagai proses deliberatif dalam arti kuintesens, dituntun oleh nalar publik yang tidak memihak, meskipun politik normal di bawah konstitusi adalah agregatif, strategis, dan dikendalikan kepentingan-kepentingan yang memihak. Teoretikus deliberatif yang mengutamakan pembuatan konstitutsi meliputi Bruce Ackerman (1991), David Estlund (1993), dan Rawls (1993) (yang juga menghendaki deliberasi bertuntun nalar publik untuk membicarakan perkara-perkara ‘keadilan dasar’). Dalam bal ini, mungkin mengejutkan bahwa Habermas, yang pemah menyoroti kekuatan-kekuatan tersebut, kini mengabaikan kekuatan-kekuatan tersebut dan semakin mendekatkan teori kritis deliberasinya kepada liberalisme. Ranah publik sendiri dilihat dalam istilah yang kurang memberontak daripada argumen untuk Habermas yang dulu (contoh, 1989), dan tidak ada pengakuan akan kebutuhan apa pun untuk mendemokrasi perekonomian, negara administratif, atau sistem hukum, yang semuanya menerima legitimasi dengan mudah.
Sebagian liberal deliberatif bukan demokratis dalam arti khusus. Terutama Rawis, pada akhirnya ingin memercayakan deliberasi kepada para pakar dalam nalar publik seperti hakim-hakim Mahkamah Agung, yang hanya harus mendeliberasi dalam arti personal kata itu, yang berbeda dari arti interaktifnya (lihat Goodin, 2000, untuk pembelaan eksplisit deliberasi personal yang berbeda dan deliberasi interaktif). Hal ini dibenarkan karena Rawis memercayai nalar publik itu bersifat kesatuan, dapat dimengerti dalam istilah-istilah yang sama oleh semua individu yang berpikir, sehingga paling dimengerti oleh individu (individu) yang paling memenuhi syarat. Konstitusionalisme liberal menegaskan hal yang tak pelak merupakan lokasi pentingnegara, tetapi yang mungkin semakin dibatasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi yang menentukan isi kebijakan publik.

PARA PENGKRITIK DELIBERASI

Demokrasi deliberatif punya tiga kelompok pengkritik, yang di luar itu tak memiiki kesamaan sedikit pun: teoretikus pilihan sosial, Demokrat perbedaan, dan Egalitarian skeptis.
Teori pilihan sosial tentu jauh lebih tua darpada peralihan ke arah deliberatif, tetapi untuk alasan-alasan yang akan saya jelaskan secara singkat, signifikansi kontemporernya kini sebagian besar terletak pada hubungannya dengan demokrasi deliberatif. Penjelasan pilihan sosial tentang demokrasi memperoleh pengaruhnya dan demonstrasi Kenneth Arrow (1951) tentang kemustahilan segala bentuk mekanisme pilihan kolektif, misalnya, sistem pemungutan suara, yang secara bersamaan juga mewujudkan kumpulan kondisi yang tidak berbahaya (suara bulat, tanpa pemerintahan diktator, ketransitifan, domain preferensi tanpa batas, dan kebebasan dan alternatif-alternatif yang tak relevan). William Riker (1982) meradikalkan kritik pilihan sosial terhadap demokrasi dengan mengatakan bahwa masalah Arrow pada sistem dan aturan pemungutan suara yang berbeda-beda hanya dapat dihindari dengan memasukkan unsur kesewenang-wenangan ke pilihan kolektif. Mengingat bahwa lain mekanisme lain pula hasil yang akan diberikan dan distribusi prelerensi yang identik, maka tidak ada yang namanya kehendak rakyat yang bebas dari mekanisme yang memastikannya. Akibatnya demokrasi dikosongkan dari maknanya.
Ketika demokrasi mengalami kemajuan di dunia nyata, keduanya, dengan beberapa pengecuaIian justru bergerak ke arah yang berlawanan. Lapangan pilihan publik yang terbentuk oleh keduanya menjadi rumah bagi banyak pertunjukan kesewenang-wenangan, kepincangan, kedegilan, dan pemubaziran dalam politik demokratis. Selain Riker yang mengungkapkan kekosongan di pusat demokrasi, teoretikus-teoretikus pilihan publik mengemukakan bahwa:
·         Dalam sistem politik sebesar apa pun, pemungutan suara adalah irasional.
·         Aturan mayoritas mengakibatkan pemerasan Pareto-suboptimal terhadap golongan-golongan minoritas.
·         Wakil-wakil terpilih yang mementingkan kepentingan sendiri paling-paling membuat program-program yang menguntungkan konstituennya sendiri dengan mengorbankan kepentingan umum, yang terburuk dengan sengaja merancang program-program yang tak kepalang tanggung buruknya sampai-sampai campur tangan mereka sendiri dibutuhkan agar keuntungan dihasilkan.
·         Besarnya belanja negara pada umumnya merupakan konsekuensi birokrat-birokrat egois yang memaksimumkan anggaran. Para birokrat bersekongkol dengan kelompok kepentingan khusus dan politikus-poiltikus pendukungnya untuk mengalihkan sumber daya negara bagi keuntungan mereka sendiri.
·         Secara umum, ‘koalisi distribusional’ seperti serikat pekerja dan pemberi pekerjaan menjamin hukum dan kebijakan agar melindungi hak-hak istimewa mereka sendiri dengan mengorbankan efisiensi ekonomis.
·         Politik demokratis tidak bertanggung jawab dalam arti intrinsic sebab semua aktornya mencari keuntungari untuk diri sendiri sambil menimpakan kerugian pada orang lain; akibatnya ialah permainan jumlah-negatif dengan harga total melebihi manfaat total.
Kini, tak semua analis pilihan publik mengemukakan semua hal di atas; aspek-aspek yang secara terus-menerus sangat antinegara hanya dijumpai di pilihan publik gaya Virginia (lihat Mitchell dan Simmons,1994, untuk pernyataannya).
Lalu, apa yang tersisa dari pilihan publik sebagai teori demokratîs? Jawabannya, pilihan publik menyediakan sejumlah peringatan tentang akan jadi seperti apa politik demokratis nantinya bila aktor-aktor politik berlaku dengan gaya Homo economicus, dan jika tidak ada mekanisme untuk mengekang kecenderungan-kecenderungan perilaku ini dan segenap konsekuensinya. Demokrasi deliberatif menyediakan baik paradigma komunikatif keperseorangan (personhood) maupun mekanisme-mekanisme untuk mengendalikan Nomo economicus berikut segenap interaksinya ini (alternatif nondeliberatif dapat dijumpai di dalam gagasan Shepsie pada 1979 tentang ekuilibrium yang dipicustruktur).
Demokrat deliberatif dapat menjawab bahwa ada mekanisme yang intrinsik dengan deliberasi yang bertindak menyusun preferensi dengan cara-cara yang menyelesaikan permasalahan pilihan sosia! (Dryzek dan List, 2003). Meski pengkritik pilihan sosial terhadap demokrasi mengkhawatirkan keanekaragaman tak terkendali yang dapat digiatkan deliberasi. Kaum Demokrat perbedaan mencela deliberasi justru karena alasan yang berlawanan: bahwa deliberasi menekan keanekaragaman. Pada taraf yang lebih besar atau lebih kecil. Demokrat perbedaan mendapat pengaruh dan teori posmodern tentang identitas dan perbedaan.. yang meyakini esensi demokrasi dilihat dalam hubungannya dengan perjumpaan kreatif dengan orang-orang yang beridentitas lain (contoh. Namun, Demokrat perbedaan mempermasalahkan komunikasi dan mencela bentuk-bentuk komunikasi yang dianggap netral yang ditegaskan. ‘Demokrasi komunikatif’ Young akan menonjolkan salam, retorika, dan bercerita (atau kesaksian, atau narasi) juga argumen bentuk-bentuk komunikasi yang diyakininya lebih terjangkau oleh golongan minoritas yang tak diuntungkan. Hal ini mengingatkan pada advokasi Young sebelumnya (1990) tentang perwakilan terjamin dan kekuasaan veto atas kebijakan-kebijakan yang memengaruhi kebijakan bagi golongan yang tidak diuntungkan.
Malahan trio itu harus ditampilkan untuk menghadapi uji tanpa paksaan, kapasitas untuk merangsang pemikiran masak, dan kemampuan untuk menghubungkan yang partikular dan yang general (Dryzek. 2000: 6-71).
Kelompok pengkritik deliberasi ketiga yang saya namakan Kaum Egalitarian skeptis mendukung penjelasan demokrasì yang lebih tradisional terhadap perubahan ke arah deliberatif. Dalam hal ini, mereka yang berkepentingan untuk memperbaiki mutu demokrasi harus mengupayakan penyamaan kekuasaan; di sinii, isu-isu demokrasi dihubungkan dengan keadilan distributif. Kaum Skeptik seperti itu dapat menunjuk pada fakta yang agak memalukan bahwa deliberasi tidak mungkin menjadi teori lengkap tentang demokrasi karena para penganjurnya tidak menentukan bagaimana cara mencapai keputusan kolektif (Saward, 2000). Jika benar, maka Kaum Demokrat deliberatif mungkin terpaksa mundur ke mekanisme agregatif yang lebih lazim, dan dikotomi deliberatif/agregatif terbukti salah, karena kemudian demokrasi niscaya agregatif, dan terpaksa dilakukan pemungutan suara (Przeworski, 1998: 140-2). Goodin (2000) rnenerangkan bahwa deliberasi adalah aktivitas yang tak pemah dalam arti realistis melibatkan lebih dan segelintir orang. Saward (2000) percaya bahwa pertimbangan-pertimbangan seperti itu berarti bahwa karenanya Kaum Egalitarian harus menolak kecendeungan aristokratis deliberasi yang pasti mengecualikan mereka yang berpreferensi non deliberatif; dalam hal ini, memperluas demokrasi dengan gaya yang lebih langsung (contoh, dengan memperbanyak penggunaan referendum) akan jauh lebih baik.
Dalam jajak pendapat deliberatif Fishkin (1995), para peserta sebuah forum deliberatif dipìlih secara acak dan populasi, dan pada akhir proses mengisi kuesioner. Jun-jun warga juga direkrut dengan pemilihan acak, tetapi pada akhir proses menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dibuat dan disepakati oleh para anggota jun. bukan kuesioner (Smith dan Wales, 2000).
Sebelum meninggalkan peralihan ke arah deliberatif dan para pengkritiknya, satu lagi argumen menentang deliberasi yang mungkin perlu dipertimbangkan. Jika demokrasi melibatkan agregasi (meski dianggap kurang penting oleh Demokrat deliberatif), hal itu mungkin saja berlangsung untas keput-usart dan bukan hanya !intas preferensi seperti yang ditegaskan dalam teorii pilihan sosial. Keputusan-keputusan seperti itu mungkin mencakup ketidaksepalcatan penihal (misalnya) apa yang menjadi kebaikan bersama. Cara berpikir epistemik tentang demokrasi ini diasosiasikan dengan Rousseau, yang menurutnya keheridak umum dapat diketahui melalui pemungutan suara. Jadi, tidak boleh ada faksi (yang mengurangi jumlah efektif pemilih), dan mungkin tidak boleh ada komunikasi. Kemudian, Good in menyangsikan suatu demokrasi epistemik yang berpangkal dan Rousseau dan teorema jun derigan menunjukkan bahwa dalam konteks dinamis, implikasinya ialah bahwa golongan minoritas hams dengan segera dan secara rasional menghentika perlawanan mereka jika ditentang suara mayoritas. Baik atau buruk, pendekatan deliberatif menetapkan agenda untuk teori demokrasi kontemporer. Namun, jelas masih ada banyak sekali yang perlu diperdebatkan, baik di kalangan rnereka yang sama-sama menganut onientasi deliberatif maupun mereka yang menolaknya. Meski demikian, ada sarjana-sarjana demokrasi yang masih belum tersentuh oleh pendekatan deliberatif, dan kepada merekalah saya akan beralih kini.


MINIMALISME LIBERAL DAN ALTERNATIF-ALTERNATIFNYA

Model demokrasi paling populer di kalangan sarjana politik komparatif, terutama mereka di lapangan transisi dan konsolidasi demokratis yang sedang berkembang, Harapan mereka dan demokrasi jauh lebih sedikit daripada harapan Demokrat deliberatif. Model ini pada dasarnya pernah diusulkan lama berselang oleh Schumpeter (1942): demokrasi hanyalah persaingan di kalangan elite yang memperebutkan persetujuan rakyat yang memberikan hak untuk memerintah. Pada 1950-an gagasan ini menjadi fondasi untuk teori-teori ‘empiris tentang demokrasi yang puas dengan peran apatis massa yang bodoh dan mungkin otoriter (Berelson, 1952; Sartori 1962). Model-model cutis kompetitif seperti itu sudah lama disangsikan di kalangan teoretikus demokratis terutama teoretikus seperti DahI (1989) yang dahulu pernah memercayai model-model itu baik  sebagai deskripsi akurat tentang politik Amerika Serikat maupun sebagai situasi yang dikehendaki. Namun, model-model itu masìh hidup di kalangan transitolog dan kondisiolog, yang melihat tanda suatu demokrasi terkonsolidasi sebagai kumpulan pihak berkelakuan baik yang mewakili kepentingan-kepentingan material yang terlibat dalam persaingan pemilihan yang diatur dengan aturan konstitusional (lihat, contohnya, Di Palma, 1990; Huntington, 1991; Mueller, 1996; Schedler, 1998). Warganegara yang aktif tidak punya peran dalam model-model tersebut. Apa yang menyebabkan kepopuleran model elektoralis minimalis ini? Sebagian karena model ini memberikan pengaruh analitis kuat bagi mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bagi sarjana-sarjana demikian, karakter demokrasi yang dapat disangsikan di dalam teori politik itu adalah suatu nuansa ketika tiba waktunya menemukan indikator-indikator empiris guna membandingkan negeri-negeri yang berbeda dan menelusuri transisi dan konsolidasi demokratis di negeri-negeri khusus. Model minimalis bisa diterapkan, contoh, di dalam uji dua pemilihan terkenal milik Huntington (1991: 267) untuk demokrasi terkonsolidasi, yang mewajibkan pemerintah terpiih menyerahkan kekuasaan bila kalah dalam pemilihan berikutnya. Barangkali penyebab yang lebih utama untuk kepopuleran mininialisme liberal itu ialah keselarasannya dengan perkembangan yang menyaksikan marketisasi kapitalis dan demokratisasi bergerak bersama-sama. Tentu sudah lama menjadi perhatian bahwa ada korelasi antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Bupset (1959), penyebabnya adalah persoalan kapitalisme yang menghasilkan suatu kelas menengah yang memiliki segenap kebajikan demokratis kanan, yaitu, tenggang rasa dan sikap moderat. Bagi Adam Przeworski et al. (2000), bukan kapitalisme yang menyebabkan demokrasi, sebab negara-negara bisa menjadi demokratis pada segala tingkat pembangunan. Namun, kapitalisme menghasilkan kekayaan yang nantinya menyediakan perlindungan terhadap tergulingnya demokrasi.
Seperti dikatakan Lindblom (1982) di antara yang lain, konteks pasar kapitalis secara otomatis menghukum pemerintah yang mengejar kebijakan yang meruntuhkan kepercayaan investor atau calon investor karena menyebabkan divestasi dan pelarian modal.. Akibatnya, terlalu banyak demokrasi negara berarti ketidaktentuan yang membahayakan dalam kebijakan publik (Dryzek, 1996). Mungkin arti demokrasi bukan lagi ‘negara tempe rakyat papa, yang memegang kekuasaan, dapat membunuh sebagian dan membuang yang lain, kemudian membagi-bagi jabatan di antara warga yang tersisa, biasanya dengan menarik indian’, seperti define B Plato untuk negara di dalam Republik. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa terlalu banyak demokrasi mungkin akan mengurangi ketidaksamaan yang mendasari terciptanya kekayaan efektif, karena itu, tampaknya model minimalis cocok dengan cara yang khas dengan ekononi politik kapitalis liberal kontemporer.
Kombinasi kapitalisme dan demokrasi minimalis liberal ini barang kali memperoleh ulasan yang paling positif (dan sedikit Hegel) dalam, triumfalisme ‘akhir sejarah’ Francis Fukuyama (1989; 1992). Namun, gagasan dasar bahwa demokrasi itu dominan dalam arti global, bahwa model demokrasi kapitalis liberal tak banyak mendapat tantangan masuk akal, jika ada, yang layak disebut ‘demokrasi’, masih menjadi pandangan dominan di kalangan transitolog. Hidup dengan model ini, tanpa jenis pertanyaan-pertanyaan kritis yang cenderung diangkat teoretikus demokratis, tentunya lebih sederhana bagi transitolog. Sartori ingin menyudahi urusan dengan para pengkritik: ‘pemenangnya ialah demokrasi yang liberal secara keseluruhan, bukan hanya pemerintah yang dipilih oleh rakyat terbanyak, tetapi juga, dan secara tak terpisahkan, pemerintah konstitusional; maksudnya, “demokrasi formal” yang mengendalikan penggunaan kekuasaan, yang sampai saat itu sering diremehkan’ (1991: 437).
Sikap lebih kritis yang cenderung diambil teoretikus demokrasi menyoroti batasan-batasan atas demokrasi yang disebabkan oleh dominansi global demokrasi liberal minimalis ditambah kapitalisme ini. Sebagian dan respons tersebut mungkin mencakup penguatan dan demokratisasi lembaga-lembaga internasional sebagai respons terhadap migrasi kekuatan politik dan negara ke ekonomi politik lintas bangsa. Inilah, contoh, pendekatan yang diambil oleh Held dan sesama penganjur suatu demokrasi kosmopolitan yang mencakup Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum PBB yang lebih kuat, referendum lintas-negara, dan otoritas peradilan, otoritas militer, dan otoritas ekonomi internasional yang bertanggung jawab terhadap badan parlementer regional dan global (Held, 1995; Archibugi. Held dan Köhler, 1998). Atau, jika demokrasi negara hanya bisa minimalis, teoretikus dapat menjelajahi lokasi-lokasi nonnegara untuk mencari demokrasi. Pembelaan normatif yang jarang sekali terjadi untuk mode minimalis diberikan oleh Przeworski (1999) yang mengatakan bahw model tersebut setidaknya mengakhiri kekerasan politik berskala besar begitu pihak yang terkalahkan bersedia mengakui bahwa mereka punya kesempatan yang realistis untuk kembali dan menang suatu hari kelak (para pengusung demokrasi konsensual seperti Lijphart, 1999, akan merespons bahwa pembagian kekuasaan, bukan aturan mayoritas, adalah dukungan terbaik melawan kekerasan pada masyarakat yang terpecah-belah). Mengingat struktur kepentingan pada suatu masyarakat kompleks berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang saling bersaing tidak akan pernah dapat disamakan perbedaannya, resolusi sementara mereka dalam persaingan elektoral ialah tentang hal terbaik yang dapat kita lakukan. Namun, pembelaan Riker gagal karena analisisnya sendiri menunjukkan bahwa tidak ada kehendak dan para pemilih yang bebas dari mekanisme yang dianggap mengukurnya dan hal ini harus mencakup kehendak untuk memakzulkan para tiran atau yang tidak cakap (Coleman dan Ferejohn, 1986: 22).

TEORI DAN PRAKTIK DEMOKRASI

Teoretikus demokratis berada pada posisi yang sangat baik untuk menyoroti kegagalan-kegagalan tersebut dan memindahkan percakapan di luar kegagalan-kegagalan itu.
Pertama, minimalisme membolehkan bentuk-bentuk demokrasi yang sangat lemah, sampai-sampai nyaris tak pantas menyandang sebutan ‘demokratis’. Menurut demokrasi delegatif, yang terutama dijumpai di Amerika Latin, tetapi juga di negara-negara pascakomunis, para pemimpin tunduk kepada pemilihan regular, tetapi selain itu juga memerintah tanpa akuntabilitas, tanpa pengertian apa pun bahwa janji-janji semasa pemilihan perlu diingat, dan tanpa batasan konstitusional (kecuali tentu saja batasan yang menetapkan pemilihan bebas regular). Demokrasi delegatif sama sekali tidak rnenghiraukan hal yang oleh Philip Pettit (1999) dinamakan aspek penyangsian demokrasi, yang berlawanan dengan aspek elektoralnya.
Kedua, minimalisme tidak peka terhadap variasi bentuk-bentuk yang dapat diambil demokrasi dalam praktik juga dalam teori, menyebabkan salah interpretasi atas peristiwa dan perkembangan, serta mengurangi pengaruh analitis yang merupakan salah satu justifikasi utama minimalisme. Contoh, dalam pengaruh suatu model liberal untuk demokrasi, Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) mencemaskan demokrasi di Polandia dan Republik Ceska pascakomunis dikarenakan warisan jenis politik yang mencirikan masyarakat madani mereka yang tak menguntungkan di era Soviet: ‘Masyarakat madani etis menggambarkan “kebenaran”, tetapi masyarakat politis pada suatu demokrasi terkonsolidasí normalnya menggambarkan “kepentingan-kepentingan”’ (1996: 272). Namun, jenìs politik yang mereka cela tak hanya selaras dengan searah republik yang lebih dalam pada kedua negeri ini (kembali ke abad ke-18 di Polandia), tetapi juga selaras dengan teori politik republik warga kontemporer (Sandel, 1996). Dalam hal ini, praktik dan wacana yang disesalkan Linz dan Stepan sebenarnya menyediakan sumber daya bagi mereka yang berminat mengonsolidasi dan memperdalam demokrasi (Dryzek dan Holmes, 2002: Bab 14 dan Bab 15).
Praktik dan sikap tersebut mungkin juga meliputi atribut-atribut warga yang disuburkan dalam kehidupan berkumpul yang, menurut Robert Putnam (1993; 2000), adalah kunci untuk ‘membuat demokrasi berhasil’. Bagi Putnam, orientasi warga yang dianut secara luas yang tidak dapat direduksi menjadi kepentingan material pribadi diperlukan untuk mendukung demokrasi negara melawan klientelisme asusila (seperti di Italia selatan) atau individualisme yang menjadi-jadi (seperti di Arnerika Serikat dalam beberapa dasawarsa belakangan ini).
Variasi sistem demokratis yang teramati di negara-bangsa kontemporer yang lolos uji minimalis: masyarakat madani libertarian dan demokrasi sosial, masyarakat madani elitis dan pluralis, masyarakat madani presidensial dan parlementer, masyarakat madani nasionalis dan kosmpolitan, masyarakat madani padat dan lemah.
Alasan ketiga penyebab tidak layaknya minimalisme ialah bahwa minimalisme tidak tepat untuk demokratisasi seperti yang dipahami oleh banyak aktor politik di sistem-sistem transisional. Aktor yang lebih idealistis seperti Vaclav Havel, Presiden Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceska itu, melihat eksperimentasi lanjutan dengan bentuk-bentuk demokrasi dan dialog tentangnya di pusat proyek demokratis (Lienesch, 1992: 1012; tentang gagasan demokrasi sebagai sebuah proyek yang belum selesai, lihat juga Downs, 1987: 146). Meski idealisme Havel mungkin menempatkannya ke dalam golongan minoritas, minimalisme tidak berlaku adil untuk variasi konsepsi-konsepsi yang digunakan elite politik dan rakyat jelata di masyarakat-masyarakat ini ketika menjadi ekspektasi dan harapan mereka untuk demokrasi (untuk bukti tentang ke-13 negara pascakomunis, lihat Dryzek dan Holmes, 2002).
Jenis pertimbangan tersebut menyiratkan bahwa mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata (dan terutama transisi-transisi demokratis) seharusnya lebih sering mendengarkan teoretikus demokratis. Namun, kebalikannyalah yang terjadi: teoretikus demokratis yang harus lebih memerhatikan batasan dan kemungkinan di dunia nyata yang sesungguhnya dapat dibantu jelaskan oleh ilmu sosial empiris. Sama dengan banyak bidang teori politik, teori demokratis kadang-kadang tergelincir menjadi dialog yang mengacu pada dirinya sendiri sehingga koneksi dengan peristiwa, batasan, dan kemungkinan di dunìa nyata menjadi lenyap (Gunnel, 1986). Entah situasi ini memuaskan atau tidak, pada akhirnya tergantung pada konsepsi seseorang mengenai nilai dan peran teori politik. Contoh, Young (1992), yang menaruh perhatian pada model demokrasi asosiatif yang diusulkan Joshua Cohen dan Joel Rogers (1992), menghendaki tugas pertama negara ialah mengorganisasi golongan minoritas tertindas menjadi kekuatan yang sanggup menjalankan kekuasaan riil. Ini bukan jenis negara yang keberadaannya masuk akal untuk didalilkan, terutama mengingat banyaknya batasan dan imperatif yang harus dipatuhi negara riil. Garis pertahanan terakhir sang teoretikus di sini mungkin bahwa abstraksi serupa itu diperlukan untuk mempertahankan jarak yang kritis, untuk menyajikan cita-cita berlawanan-dengan fakta yang mengungkap cacat-cacat pada situasi dunia nyata dalam bentuk yang sebenarnya. Tidak mungkinkah kritik yang peka dalam arti kontekstual bisa lebih produktif? Dan bukankah wacana tentang teori demokratis yang melulu mengacu pada dirinya sendiri dan tertutup justru menjadi tidak demokratis dalam arti refleksif karena memisahkan diri dan mereka yang berjuang untuk memajukan, membela, mengembangkan, dan memperdalam demokrasi? (Pendekatan yang sangat refleksif terhadap teori demokratis akan dimulai dengan konsepsi-konsepsi populer lentang demokrasi; lihat Dryzek dan Berejikian1 1993).
Tadi sudah saya sebutkan bahwa dua kutub utama dalam pemikiran kontemporer tentang demokrasi adalah pendekatan deliberatif dan minimialisme liberal. Republikanisme warga memiliki banyak sinergi dengan deliberasi, dan juga dapat digunakan untuk mencela penerapan minimalisme liberal pada sistem-sistem politik di dunia nyata. Namun, masih belum banyak keterlihatan langsung antara Demokrat deliberatif dan minimalisme liberal sarjana-sarjana komparatif transisi dan konsolidasi demokratis. Situasi ini mungkin menunjukkan adanya gap antara teori demokratis dan praktik demokratis, meski seperti saya katakan semula. Dan fakta bahwa ada banyak pihak perantara menunjukkan bahwa gap itu dapat dijembatani.

KESIMPULAN

Ukuran kesuksesan teori demokratis ialah sejauh mana teori itu mampu melonggarkan cengkeraman minimalisme liberal terhadap mereka yang mendalami polilik komparatif antara demokrasi dan demokratisasi. Ukuran kedua yang lebih menuntut dapat dijumpai pada sejauh mana teori demokratis mampu menyumbang bagi percakapan global tentang perkembangan demokratis, di demokrasi-demokrasi liberal yang mapan dan ajang lintas bangsa, juga masyarakat transisional dan demokrasi demokrasi baru. Namun, teoretikus politik demokratis, tepatnya karena ini merupakan teori politik demokratis, dalam hal ini tidak segampang itu meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan sebagian besar bidang lain dalam teori politik.








































KEADAAN POLITIK DEWASA INI:
MENURUN ATAUKAH TIMBUL KEMBALI

Walaupun dalam perjalanan sejarahnya filsafat politik menempati kedudukan yang penting, tapi tradisi yang memungkinkan lahirnya karya-karya para filsuf yang terkenal boleh dikatakan hampir berakhir. Dayid Easton, Alfred Cobban dan sejumlah penulis kontemporer lainnya berpendapat bahwa teori politik, yang bagi mereka termasuk pula filsafat politik, kini tengah mengalami kemerosotan yang tajam. Kalau mereka hanya bicara tentang “kemerosotan”, yang lain lebih bicara tentang posisinya yang terpojok,atau sudah “mati” kata Peter Laslett dan Robert A, DahI. Bahkan di Oxford, tempat asal teori politik klasik, pernyataan bahwa teori politik telah mati atau sedang melaju mundur bukanlah barang baru. Untuk mendukung penilaian tersebut mereka menyatakan bahwa sejak Marx dan Mill (dan barangkali juga Laski) kini sudah tidak ada lagi filsuf politik yang menonjol. Dalam menjelaskan gejala tersebut. Easton mengemukakan bahwa umumnya gagasan-gagasan politik itu lahir dan berkembang pada saat terjadi perubahan atau pergolakan sosial. Hal ini terbukti dan kemunculan karya-karya mereka saat itu. Ketika terjadi pergolakan sosial di Yunani Kuno, ketika terjadi kekacauan sebagai akibat sengketa agama dan politik padaabad ke-16 dan ke-17 di Inggris, dan ketika gagasan-gagasan politik melahirkan revolusi besar di Perancis pada abad ke-18, saat itulah karya-karya dari para filsuf besar itu lahir, Lebih lanjut Easton menegaskan bahwahal itu kembali berulang ketika pada pertengahan abad ke-20 terjadi perubahan budaya yang mendasar dan konflik sosial yang meluas di beberapa bagian dunia, meski pada bagian dunia lainnya pemikiran politik itu tidak berkembang secara berarti. Tahun 1951 sekali lagi ini menegaskan bahwa pemikiran politik yang ada saat ini lebih banyak berpijak pada gagasan-gagasan lama, dan sialnya upaya untuk mengembangkan sintesa-sintesa politik baru amatlah kecil. Parahnya lagi, landasan untuk bisa memunculkan fikiran kreatif tidak dipersiapkan, Melihat kenyataan inilahsejumlah penulis telah mencoha mencari tahu penyebabnya.

KEMEROSOTAN TEORI POLITIK: SEBAB-SEBAB UTAMA

Easton menyebut “kemiskinan”, “kemiskinan” dan “kemerosotan teoripolitik” itu sebagai akibat langsung dan pernyataan para ilmuan politik kontemporer yang: (a) hidup secara parasit dari gagasan-gagasan yang telah usang dan (b) gagal mengembangkan suatu sintesa politik baru, Menurutnya mereka terlalu sibuk dengan analisa pemikiran politik abad-abad sebelumnya disamping dalam menelusuri falsafah politik individu dan Iingkungan hidup yang melingkupi pemikir tersebut,ini mungkin merupakan kerja istimewa dalam menemukan fakta historis, tetapi menurut Easton analis: historis semacam ini merupakan penyebab utama hancurnya aktivitas mental yang hidup dalam peradaban tinggi dan yang muncul dari kebutuhan manusia yang universal. Dengan kata lain, pada waktu-waktu belakangan ini para ilmuwan politik lebih suka memusatkan perhatiannya pada hubungan nilai dan lingkungan yang melahirkannya ketimbang pada upaya untuk mencoba menciptakan konsep nilai yang baru yang dapat mendukung kebutuhan mereka. Tidak heran kalau tenaga dan fikirannya tidak lagi banyak tercurah pada tugas tradisionalnya untuk merumuskan kembati pokok nilai (content of values) di setiap masa, atau dalam pengembangan teori yang sistematis tentang perilaku politik dan bekerjanya lembaga-lembaga politik, suatu tugas yang oleh para ahli ekonomi dan sosiologi telah dikerjakan dengan baik. Mereka teIah berusaha memberikan koherensi dari kesatuan pada riset-riset empiris dengan membangun teori-teori umum, yang justru diabaikan oleh ilmuwan politik. Dalam hal ini Easton sendiri tidak melulu menyorot kesalahan yang ada pada teori politik modern, melainkan juga pada keseluruhan teori politik yang telah berkembang hingga kini. Menurutnya, suatu teori tidak hanya menanganinilai tetapi juga fakta, karena itulah suatu teori perlu mensistematisikan dasar-dasar empirisnya. Kegagalan teori politik untuk melakukan tugas itulah yang dikeluhkan Easton.Teoripolitik ternyata lebib bersifat spekulatif dan kurang berlandaskan pada observasi yang seksama terhadap peristiwa politik,kontemporer dan pengetahuan tentang sejarah manusia. Manusia tak hanya tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa lalu, tapi juga ingin menyaksikan apa yang akan terjadi pada masa mendatang,inimenyangkut pernyataan-pernyataan yang berorientasi pada nilai (value oriented), atauyang disebut Easton sebagai suatu ‘teorinilai” (value theory), Berbedadengan penganut mazhab “perilaku” yang lain, Easton bukanlah orang yang tidak setuju dengan teorinilai, sekalipun seperti juga yang lain lebihmementingkan teori kausal. Ia memandang teorinilai, yang dalam tulisan-tulisan politik kinicenderung ditinggalkan, bukanlah tidak penting,’

“HISTORISISME

Easton tampaknya begitu berang terhadap Dunning, Sabine Melllwaindan Lindsay, yang begitu banyak nenghabiskan waktunya untuk menelaahgagasan-gagasan politik masa lalu. Para penulis ini kurang tertarik untukmenghubungkan informasi tentang arti, konsistensi dan perkembangankesejarahan nilai-nilai politik baik yang kontemporer atau yang telahlampau. Easton membagi ahli politik masa kini ke dalam empat kategori:
1.      Penganut faham kelembagaan, seperti Carlyle dan Melliwain yang tampaknya lebih tertarik untuk menelusuri asal-usul gagasan dansudutpandang bahwa gagasan itu telah memberi rasionalisasi padakepentingan-kepentingan politik dan pengembangan kelembagaandaripada menentukan bagaimana gagasan tersebut mempengaruhiperistiwa-peristiwa masa kini.
2.      Interaksionis, seperti Allen dan kadang-kadang Carlyle, yang mencobamenguraikan interaksi antara gagasan dan lembaga yang memberikanpengaruh besar terhadap proses perubahan sosial pada setiap negara.
3.      Materialis, termasuk Dunning, Sabine dan banyak lagi sarjana yang lain,yang menelaah teori politik untuk menemukan dan mengungkapkanlatar-belakang budaya dan sejarah yang mempengaruhi pemikiranpolitik pada masa tertentu, Para penulis yang mewakili mayoritas inimencoba memahami ideologi dalam pengertian matriks budayakeseluruhan.
4.      Kelompok keempat diwakili oleh Lindsay, yang lebih tertarik pada nilai-nilai kontemporer tertentu seperti demokrasi, dan senang menelusuri perkembangan sejarah ya, dengan tujuan menentukan banyaknya dukungan sejarah pada nilai tersebut. Mereka nampaknya percaya bahwa nilai-nilai yang telah diuji oleh waktu berhak untuk mendapat pengakuan.
Easton memandang semua penulis kontemporer tersebut sebagaihistoricit, muksudnya adalah bahwa “mereka tidak menggunakan sejarahnilaisebagai alat untuk merangsang fikiran mereka guna mencari kemungkinan mendalilkan kembali tujuan-tujuan politik”, melainkan untuk memahami kondisi yang telah menimbulkan ideologi sistem atau nilai tertentu. Ini merupakan tugas utamanya para sejarawan, bukan ilmuwan politik. Selama lebih dari dua ribu tahun, sejak kaum Sophist dan Socrates hinggaHegel dan Marx, para pemikir politik telah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan telah mencoba menjawabnya denganmaksud untuk menetapkan nilai-nilai tertentu bagi masyarakat. Baru padaabad kedua puluh, Easton menyayangkan bahwa pemikir politik telah mengambil alih peranan ahil sejarah dan menolak mengatasi masalah-masalah sosial atau berusaha mencari pemecahannya. Penulis seperli Dewey, Barker, Croce, dan Laski merupakan kekecualian, tapi mayoritas penulis ilmu politik abad kedua puluh berpatokan pada pendekatan historis”, dan hal inilah yang menurut Easton lebh “berhasil menghancurkan teorinilai”.

“RELATIVISME MORAL”

Easton cenderung berpendapat bahwa kemerosotan teori politikdisebabkan juga oleh tumbuhnya sikap nisbi terhadap nilaiyangdisebutnya sebagai “relativisme moral’seperti yang muncul dalam tulisan-tulisan Hume dan terkristalisasi dalam ilmu sosial abad/ke-20 oleh Max Weber, Bermula dengan Hume dan berakhir dengan Comte sertaMarx, usaha untuk memisahkan nilai dan fakta itu dilakukan. Menurut mereka nilai merupakan cormin kecenderungan individu atau kelompok,dan kecenderungan tersebut menjadi cermin pengalaman hidupnyamasing-masing. Kalau nilai semata merupakan cermin kecenderungan individu atau kelompok, maka yang perlu dilakukan oleh seorang peneliti adalah menghubungkannya dengan kondisi politik, sosial dan ekonomidalam masyarakat.Nilai, berdasarkan pandangan di atas, tak dapatdipindahkan dan periode sejarah yang satu ke yang lain, Karena itu pulaía tidak dapat diharapkan penerapannya pada situasi masa kini.
Merosotnya perhatian pada nilai-nilai kreatif dan berkembangnyarelativisme moral boleh dikatakan merupakam akibat dari situasi historisEropa pada tahun 1848 dan 1918, yaitu ketika ada kesatuan pendapat yangbelum pernahterjadi sebelumnya tentang nilai-nilai di duniaBarat. Kapitalisme, nasionalisme dan demokrasi telah menjadi nilai-nilai yang diterimaoleh seluruh Eropa, dan sedikit demi sedikit mulaimenyebar ke benua-benualain. Baru pada tahun 1917 ketika suatu sistem politik dan sistem nilai yangberbeda berkembang di Rusia, konsep-konsep tersebut tertantangi (meskikemudian menyesuaikan diri dengan konsep nasionalisme). Kemudian jugapada akhir tahun dua puluhan dan awal tahun tiga puluhan, dengan munculnya kaum Fasis, Nazi dan sistem-sistem militer di Italia, Jerman dan Jepang,konsep demokrasi benar-benar dikepalai. Dan sejak itulah konflik di antaraberbagai sistemnilai yang ada mulai menajam dan mengeras. Situasi sepertiini seharusnya membangkitkan reaksi para pemikir politik. Easton herankenapa dalam situasi baru yang demikian tak ada usaha untuk menempatkannilai-nilai lama di bawah “analisa yang kritis dan rekonstruksi imajinatif’. Menurut Easton penyebab utamanya adalah karena ilmu politik dan ilmuilmu lain banyak dipengaruhi oleh Max, Weber, yang memisahkan nilai-nilai politik dan penelitian empiris.
Karl Mannheim dan para ahli sosiologi lain saat ini memilikì pandangan bahwa nilai adalah bagian yang integral dan kepribadian, yang tak dapatdilepas seperti halnya seseorang membuka bajunya.Nilai-nilaiini mempengaruhi kita pada setiap tahap pekerjaan risetpada saat kira memilihmasalah yang diteliti, dalamcara kita menerjemahkan hasil, dan dalammenentukan saran-saran yang mungkin kita ajukan agar hasil tersebut dapatberguna bagi masyaraka. Dengan kata lain, ilmuwan politik bukan hanyapenganalisa nilai tapi juga pembangunan nilai. Seharusnya tidak mungkinbagi seorang ilmuwan sosial untuk memisahkan diri darimasalah-masalahsosial yang penting pada zamannya, Jika seorang ilmuwan sosial melakukan risetnya di dalam sebuah lingkungan yang tertutup rapat dari pengaruh nilai, maka selalu ada bahaya bahwa ia menghabiskan waktunya menangani masalah-masalah yang hampir tak ada relevansinya bagi masyarakat. Mengejar ilmu pengetahuan adalah sebuah kegiatan yang penting, tapi kitatak boleh lupa bahwa pengetahuan diperoleh untuk tujuan tertentu. “Pengetahuan untuk apa”, pertanyaan yang sekaligus merupakan judul bukuRobert S, Lynd ini adalah sebuah pertanyaan yang penting. Disayangkan bahwa dalam usaha mencariilmu politik yang bebasnilai, beberapa orangteoritisi politik modern menghindari pertanyaan di atas.
Gagasan bahwa “riset dan perkembngan konstruksif dan nilai-nilai adalah bagian integral dari studi politik”, sebagaimana diuraikan Easton dalam pidatonya sebagai ketua pada pertemuan American Political ScienceAssociation tahun 1969, dapat ditelusuri kembali sampai pada tulisan-tulisannya yang terdahulu tentang hal ini, ketika la menganjurkan ‘latihan bagi ilmuwan sosial dalam bidang analisa dan rekonstruksi sistemnilai.’Menurut Easton, seorang ilmuwan politik harus bereaksi dengan tanggap terhadap persoalan masyarakat yang mendesak dan kebutuhan sosial yang sedang muncul selain mencoba mengetengahkan sistem nilai yang canggih. Ia menulis bahwa “Teori politik kreatif masa lalu telah terlibat dengan usahmengatur konsepsi kebutuhan zamannya yakni mengaitkan pengetahuan tentang fakta-fakta politik dengan tujuan-tujuan politik.” Jikateori yang kritis dihidupkan kembali, maka akan “terdapat kembali sebuah jembatan antara kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan pengetahuan ilmu-ilmu sosial”. Tiada alasan, tulis Faston, mengapa ilmuwan politik harus membatasi diri pada tugas memahami hubungan-hubungan politik sebagaimana adanya, tanpa mempertanyakan hubungan politik yang lama atau menciptakan sintesa politik baru.Teorinilai yang difahami berdasarkan pengertian kreatif, seharusnya memainkan peranan yang penting dalam studi-studi politik. Dalam pandangan Easton, bukan hanya ditinggalkannya teorinilaisebagai aktivitas kreatif, dan digantikannya oleh historisisme, melainkan juga tidak adanya perhatian terhadap teori perilaku politik yang empiris,kausal dan sistematis, yang telah menyebabkan kemerosotan teori politik.

KEKACAUAN ANTARA ILMU PENGETAHUAN DAN TEORI

Sebab lain, yang dipandang oleh Easton sebagai penyebab merosotnya teori politik adalah kenyataan bahwa kita dalam waku tiga perempat abad terakhir telah menggunakan ilmu pengetahuan dan teor isecara salah, danmengacaukan ilmu pengetahuan dengan teori, dan lupa bahwa teorilebihluasdari ilmu pengetahuan. Menggunakan metode ilmiah dalam tugas risetmeskipun pentingadalah berbeda dengan mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada riset yang telah dilakukan, betapapun ilmiahsipatnya. Mereka yang menganggap dirinya ilmuwan politik pada umumnyaberusaha mengumpulkan fakta dan berdasarkan fakta-fakta itu merekamencoba mengembangkan mekanisme alternatif untuk memperbaikistruktur dan proses politik. Percobaan ini mungkin bersifat ilmiah, tetapibelum pasti berkembang dengan sendirinya menjadi sebuah teori, kecualikalau kita mampu mengidentitikasikan variabel-variabel kehidupan politikyang terutama dan menetapkan hubungannya satu sama lain. Kalau kitamengecualikan beberapa orang ilmuwan politik, Merriam, Freidrich,Simon,Lasswell, dan beberapa orang lainnyamaka kita akan menemukanbahwa sebagian besar ilmuwan politik modern, setelah sengaja mengalihkan perhatian mereka dari insitusi kepada proses dan kadang-kadang motifdi bawah dampak sosiologi dan psikologibelum juga mulaimengembangkan sebuah kerangka konseptual yang cukup bagi studi ilmupolitik. Mempelajari proses dan motivasi adalah pentingpasti lebihpenting dari pada studi tentang lembaga tetapi tak dapat dengan sendirinya membangun teori, Kaum tradisionalis dan behaviouralis telah melibatkan diri terlalu lama dalam perdebatan apakah yang seharusnya terjadi lebih penting daripada apa yang sudah ada, dan sebaliknya, dan apakah wawasan saja yang diperlukan guna pernahaman politik yang mencukupi,ataukah observasi terhadap gejala politik yang nyata juga penting. Kaum“behavioralis’ dengan suara bulat telah menyatakan pentingnya apa yangsudah ada, tetapi mereka hampir tak pernah berusaha mencari tahu mengapad an bagaimana yang sudah ada itu menjadi ada, Di sinilah letak peran teori.

HYPERFAKTUALISME

Ilmu politik, menurut Easton, sudah terlalu Lama didominasi oleh Hyperfaktualisme. Pada umumnya Bryce yang dipersalahkan tetah memberikan tekanan yang berlebihan pada hyperfaktualisme. Tapi harus dikatakandemi kebaikan Bryce bahwa dalam pekerjaannya yang terdahulu, misalnya dalam American Commonwealth, ia tidak mengabaikan teori, ia hanya tidaksuka pada pembentukan sistem, terutama pada filsafat sejarah dan analisa hukum Jerman yang disebutnya ideologomachies. Tanyanya, “apayang mungkin lebih kosong, lebih kering dan beku dan gersang daripada tulisan-tulisan sok tahu tentang kedaulatan seperti yang kita temukan dalam John Austin dan beberapa orang penulis yang lebih baru?”, Dalam tulisan-tulisannya yang terdahulu Bryce menekankan perlunya mengumpulkan fakta melalui hipotesa dan teori, dan menolak anggapan bahwa ia meremehkan generalisasi sejarah atauteori politik. Ia menyatakan bahwas tudi tentang fakta-fakta dimaksudkan untuk “tujuan karena itu sulit untuk tidak setuju dengan Easton ketika ia menulis bahwaa, teori tanpa fakta bagaikan kapal dengan nakhoda yang baik tetapi dengan limas yang rusak”. Tapi kalau kesibukan pengumpulan fakta menghabiskan energy sehingga tidak dapat melihat fakta-fakta itu dalam bobot teoritis maka nilai akhir riset fakta ini sendiri bisa hilang.

KONDISI DUNIA KONTEMPORER

Seperti Easton,Cobban juga berpendapat bahwa teori politik sedang merosot, dan ia tidak terlalu optimis teori politik akan hidup kembali. Ia menulis bahwa telah ada tradisi intelektual di Barat selama lebih 2.500 tahun, mencakup keyakinan terhadap interaksi konstan antara gagasan dan institusi, yang satu mengubah yang lain. Tapi tiada sintesa seperti ini yang muncul dalam zaman kita ataupun sejak beberapa waktu lampau menurut Cobban sejak abad ke-18. Kita selalu dapat berkata bahwa pemikir politik yang besar tidak bisa timbul begitu saja, dan jarak satu abad atau lebih dalam sejarah teori politik mungkin tidak perlu dicemaskan benar. Padamasa lampau sejarah perkembangan teori politik juga terputus-putus, seperti dalam abad-abad setelah memuncaknya gagasan politik Yunani dalam tulisan-rulisan Plato dan Aristoteles. Bahkan jika Natural Law School dan konsep yurisprudensi Romawi dilihat sebagai suatu kontinuitas, pemikiran politik telah mati selama puncak kejayaan Kekaisaran Romawi. Cobban khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini serupa dengan keadaan masa Kekaisaran Romawi; dan jika hal ini berlangsung untuk periode yang lebih lama, maka ada bahaya bahwa sungai pemikiran politik dapat menjadi kering. Di antara kondisi inheren dalam pemikiran politik dunia modern. Ia menyebutkan adanya perluasan kegiatan kenegaraan, kontrol yang luas dan birokrasi terhadap semua kegiatan kemasyarakatan dan terciptanya “mesin” militer yang besar. Cobban mengakui bahwa baik di dunia komunis maupun di dunia Barat, angkatan bersenjata tidaklah di atas sipil, akan tetapi pada zaman Romawi pun kelompok legion lama berada pada kedudukan yang tidak menonjol. Dalam dunia komunis, bentuk organisasi partainya menandakan adanya pemerintahan oligarki kecil, munculnya suatu super bureaucrat atau ketua partai mengambil kesimpulan dan penguasaan prinsip, dan kalau tidak begitu maka hal itu tak punya nilai ilmiah. Tapi setelah ia melanjutkan pekerjaannya, dan mencoba merumuskan kembali teori untuk memberikan orientasi empiris, maka teori menjadi tergantung pada pengumpulan fakta,dan ada saatnya teori hampir tak tampak. Sebenarnya Bryce hanyalah produk positivisme sejarah pada akhir abad kesembilan belas, yang menekankan pengumpulan data positif sebagai cara untuk menciptakan kembali masayang lalu, dan ia mendapat kesulitan untuk mengatasi keadaan itu. Kepentingan tulisan-tulisannya tentang politik terletak pada caranyamenggambarkan situasi yang dapat dilihat dan dimengertinya berdasarkanobservasi dan studi tentang fakta-fakta, ltulah metode sejarah yang sudahditerima, tetapi tidak seperti Hegel dan lain-lainnya yang telah mencoba mengembangkan sebuah filsafat dan sejarah, Bryce tetap puas dalam sikap membatasi diri pada empirisisme yang tidak diolah.
Kebiasaan ini masih terus mempengaruhi ilmu politik hingga tahun dua puluhan, ketika kecenderungan umum di fihak ilmuwan politik adalah mencari “masalah-masalah penting yang dapat dhjadikan bahan riset tanpa ada usaha untuk mengetahui bahwa suatu gejala politik sebaiknya dapat dimengerti, bukan dengan cara menggambarkan seteliti mungkin berbagai variabel yang ada berdasarkan penemuan empiris, tetapi dengan jalan menganalisa variabel-varabel yang ditemukan sebagai tipe-tipe tertentu dalam segala situasi politik, Misalnya “The National Conferences on the Science of Polities (1922-24)” memusatkan perhatian terbesar pada pengembangan teknik-teknik baru untuk pengumpulan data. Tak dapat diragukan bahwa para ilmuwan politik selama tahun-tahun terakhir telah maju dengan pesat dalam hal mengembangkan teknik yang canggih untuk memahami perilaku dalam pemberian suara, pendapat umum, kepemimpinan legislatif tapi hampir tak mampu memberikan orietasi teori pada studi mereka, suatu keadaan yang oleh Easton disebut sebagai “kurang gizi dalam bidang teori dan kejenuhan dalam bidang fakta”. Dalam hal usaha mencari detail ilmuwan politik seperti telah kehilangan pandangan politik yang menyeluruh, dan gagal menumbuhkan alat-alat canggih yang dapat digunakan dengan baik untuk studi semacam itu. Perhatian mereka sebagian besar menetap pada masalah-masalah tertentu yang membutuhkan penyelesaian, dan mereka semakin tidak tergerak untuk melihat hubungan yang ada kaitannya dan dengan sistem sebagai keseluruhan. Oleh pemegang kekuasaan, dan pembentukan mekanisme penindasan (represi) untuk digunakan terhadap mereka yang tak sejalan, sedang mesin partai tersebut tidak kurang kuasanya dibandingkan dengan mesin militer. Kita mungkin hendak menyangkaladanya keadaan tersebut dalam dunia demokrasi. Tetapi Cobban tidakyakin, ia melihat kesamaan yang ada di antara dua bagian dunia tersebut. Meskipun gagasan politik yang dominan dalam dunia Barat adalah demokrasi, namun hampir tidak ada ahli teori politik dewasa ini. Konsep demokrasi berasal dan abad ke-18, tetapi pada abad ke-19 tiada usaha untuk membentuknya kembali sesuai dengan perubahan kebutuhan. Abad ke- 19 adalah awal mula nasionalisme, komunisme, dan fasisme, dan bukan tumbuhnya demokrasi, Demokrasi telah menjadi formula tanpa makna. “Uang logam”, tulis Cobban, “tetap merupakan alat tukar yang sah meskipun sudah aus terpakai. Akan tetapi gagasan politik perlu pembentukan kembali secara periodik jika hendak tetap mempunyai nilai. Dalam beberapa decade terakhir ini ada sejumlah penulis yang mempunyai pendapat yang cukup berbobot tentang situasi politik masa kini. Cobban menyebut Ferrero, Bertrandde Jouvenel, Bertrand Russel, E.H, Carr, Reinhold Niebuhr, Harold Lasswell, dan Hans Morgenthau. Tetapi mereka memandang negara dari segi power dan tidak memasukkan etika ke dalam lapangan politik. Setiap atom yangmembentuk masyarakat dikumpulkan bersama dilempar dan dihancurkanoleh power yang tak diciptakannya dan tak dapat dikontrolnya. Jadi tidaklah mengherankan bahwa teori polilik sedang merosot. Toynbee dapat mengatakan bahwa hancurnya suatu peradaban mungkin berarti Iahirnyasuatu agama, akan tetapi hal itu tidak akan memuaskan seorang ilmuwan politik.  Kemudian hari, Cobban mencoba mengubah sedikit pendapatnya dan menyatakan bahwa keadaannya masih belum terlambat paling tidak di satu bagian dunia. Birokrasi belum menjadi realita pemerintahan di negara Barat mana pun, pretorian guard ataupun partai politik belum menjadi majikan.

KONDISI INTERNAL ILMU POLITIK

Jika kondisi eksternal masyarakat tak dapat dipandang sebagai faktor penentu dalam kemerosotan teoripolitik, alternatif satu-satunya adalah kondisi internal, yaitu adanya kesalahan dalam hakikat pemikiran politik itu sendiri,Cobban yakin bahwa itulah yang terjadi bahwa ada salah arah dalam pemikiran politik dewasa ini. Cobban percaya bahwa tiadanya arah di antarapara ilmuwan politik dewasa ini merupakan penyebab utama kemerosotan teoripolitik masa kini. Semua pemikir politik besar masa lalu-Miii, Bentham, Burke, Rousseau, Montesque, Locke, Hobbes, Spinoza, dan bahkan Plato dan Anstotetes, menulis dengan tujuan praktis dan dengan maksud untuk mempengaruhi tingkah laku politik yang sebenarnya. Mereka menulis untuk mengutuk atau mendukung lembaga dan sistem politik yang ada atau meyakinkan orang untuk mengubahnya karena pada dasamya mereka terlibat dengan sasaran dan tujuan masyarakat politik. Pemikiran politik tak pernah lepas dari kenyataan kehidupan kontemporer seperti anggapan ilmuwan politik modern. Para pemikir politik awal merupakan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu: mereka ingin mengubah dan menciptakan kembali masyarakatnya. Mereka terikat pada apa yang dianggap sebagai tatanan sosial yang baik, dan mereka membawa kekuatan gagasan danbahasa,”mereka untuk menyebarluaskan apa yang mereka anggap baik. Teori politik dari Plato hingga Mill atau Marx pada pokoknya adalah bagian dari moral atau etika. Cobban berpendapat bahwa perubahan yang terjadipada para pemikir politik, yang semula terlibat tujuan ideal berubah sikap menjadi value free, bersikap objektif, dan menganalisa gejala-gejalapolitik secara abstrak, diakibatkan oleh pengaruh pendekatan historis di satu fihak, dan karena pengembangan apa yang dianggap sebagai sikap ilmiahdi fihak lain.
Bagi seorang ahli sejarah, semua gagasan dan cara bertingkah lakudibentuk secara historis dan bersifat sementara. Ahli sejarah tidak memiliki patokan nilai selain “keberhasilan”, dan tidak ada ukuran selain pencapaian kekuasaan, atau kelangsungan hidup yang sedikit lebih lama dan pada lembaga dan individu lawan. Ketergantungan teori politik pada sejarah dalam tahun-tahun terakhir ini, ketika ahli-ahli sejarah cenderung menganggap penilaian etika sebagai suatu tindakan yang tidak sah, sama dengan Machiavellisme. Tetapi akan menjadikan lebih berbahaya jika ketika dihubungkan dengan proses sejarah, seperti yang telah dilakukan oleh Hegel dan Marx, Keduanya melihat pada satu bagian alam yang kecil,yang sama pada negara teritorial dan yang lain pada kelas proletariat, mereka mencampuradukkan apa yang diinginkan dengan apa yang menjadi keharusan sejarah.
Keadaan ini diperburuk lagi oleh para ilmuwan. Para ilmuwan politik  sebelum ini, sejak Plato dan Anstoteles, menerima dengan fikiran terbukabantuan yang diberkan oleh disiplin ilmu lain, seperti matematika danpsikologi, bagi pernahaman politik. Akan tetapi mereka tidak pernah berfikir bahwa metode ilmu pasi dapat diterapkan secara mutlak pada studi politik. Tak dapat dibantah bahwa ilmu politik memiliki elemen ilmu pengetahuan di dalam dirinya, dan tidak ada alasan untuk membantah bahwa gejala politik dapat ditangani secara ilmiah, tetapi ilmuwan politik dewasa ini nampaknya percaya bahwa adalah mungkin untuk mempelajari politik dengan metode-metode yang telah terbukti berhasil dalam ilmu pasti. Mereka lupa bahwa penelitian-penelitian politik harus mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak dapat dijawab oleh metodologi ilmu pasti, bagaimanapun pasti dan telitinya metodologi tersebut, Ilmu pengetahuan membantu kita memahami dan menganalisa sesuatu, tetapi tidak menyediakan kriteria penilaian yang diharapkan dari suatu teori politik. Ini tak berarti bahwa ilmuwan politik harus mengambil bagian dalam politik aktif. Cobban secara tegas menyatakan bahwa berbeda dengan pada ilmu pasti, dalam lapangan teori politik perlu dimasukkan unsur moral, Ilmu pengetahuan dapat memberikan petunjuk penting dalam rangka pencapaian sasaran yang hendak dituju, tetapi tak dapat membantu memutuskan apa sasaran yang hendak dituju tersebut. Ilmu dapat memberikan peralatan teknis untuk pergi kesuatu tempat tetapi tak dapat mengatakan ke mana harus pergi. Ilmu tak dapat memberikan arah jalan tujuan yang hanya dapat diberikan oleh teori. Falsafah teori telah mati dibunuh oleh logika kaum positivis dan para penerus mereka.

REDUKSIONISME IDEOLOGIS

Seperti Easton dan Cobban, Germino juga percaya bahwa teori politik menurun pada sebagian besar abad ke- 19 dan awal abad ke-20. Seperti jugaAlfred Cobban, ia menunjuk positivisme sebagai penyebab kemerosotan teori politik pada periode lanjut, telapi ia juga menyebut “ideologi” atau“doktrin politik” yang berpuncak pada Marxisme sebagai faktor tambahan pada periode awal. Tetapi, berbeda dengan Easton dan Cobban, la berpendapat bahwa teori politik sekarang ini sedang timbul kembal.Teoripolitik tradisional, yang selama 150 tahun terakhir telah tertutupi oleh kekuatan-kekuatan intelektual dan gerakan-gerakan politik disatu fihak, dan oleh ketergila-gilaan pada “keilmiahan” difihak lain, pada masa sekarang ini menurut Germino sedang naik kembali. Bahkan pada masa kejayaan positivisme ada aliran-aliran filosofis yang menentangnya sepertidalam tulisan-tulisan Benedetto Croce, Henri Bergson, Julien Benda,Max Scheler, dan lain-lain. Inidiikuti oleh adanya “sisa” teori politikdalam aliran elitis seperti yang diwakili oleh Guido Dorso, serta kemudian dihidupkannya kembali teori politik sepenuhnya oleh Michael Oakeshott, Hannah Arendt, Bertrand Jouvenel, Leo Strauss, dan EricVoegelin. Tanpa menyinggung telaahan terinci mengenai pemikiran politik kontemporer yang ditekankan Germino, di sini kita dapat memeriksa secara singkat hal-hal yang dianggapnya sebagai penyebab menurunnya teori politik pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.
Di antara sebab-sebab utama, Germino menunjuk pada reduksionisme ideologis dari Tracy, Comte, dan Marx sebagai penyebab terpenting. Tracy merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “ideologi” sebagai suatu “ilmu untuk menentukan asal mula gagasan. Tracy berkeyakinan bahwa semua pikiran adalah cerminan dari, dan ditentukan oleh, pengalaman panca indera, dan dunia yang dapat ditangkap oleh panca-indera adalah realita tunggal. Baginya, ideologi sama saja dengan bagian dari zoology, dan kecerdasan manusia dapat diperiksa dan digambarkan sama seperti memeriksadan menggambarkan sifat suatu zat kalau tanaman, atau suatu keadaan menakjubkan dalam kehidupan suatu binaang. Bagi Tracy, Metafisika hanyalah ilusi dan fantasi, merupakan hasil imajinasi demi kesenangan orang dan bukan untuk mengatur orang. Pengetahuan baginya hanya terdiri atas ide-ide yang berhubungan dengan pengalaman yang “nyata”, yaitu pengalaman panca indera. Seperti Condillsc, Helvetius dan para pemikir prarevulusi lainnya di Perancis. Tracy percaya bahwa tiada sumber gagasan lain selain perasaan bahwa semua pemikiran akhirnya dapat ditelusuri hingga pada perasaan sentio ergo sum (saya merasa, karena itu saya ada). Dan dengan menelusuri semua gagasan sampai pada pengalaman pancaindera, dapat diciptakan suatu ilmu baru tentang, manusia untuk menjadi petunjuk bagi keseluruhan kehidupan politik dan ekonomi ummat manusia. Seseorang yang dapat membedah suatu ide (dengan menelusuri sampai pada asal-usulnya yaitu pengalaman panca,  indera) dapat menggunakan ilmu ini untuk membentuk kembali tatanan sosial baru tempat manusia dapat dididik dan dibentuk kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang diinginkan, Kata “ideologi” tidak lagi dipakai dalam pengertian yang digunakan Tracy, sekarang kata itu berarti suatu perangkat gagasan apa pun yang digunakan untuk mendukung sistem politik atau ekonomi tertentu. Tetapi Tracy telah memulai suatu gerakan fikiran yang berpuncak pada “reduksionisme ideologis” Karl Marx.

AUGUST COMTE DAN POSITIVISME

August Comte umumnya dipandang sebagai bapak positivism. Comte, seorang ahli matematik, mencoba membentuk pekerja filosofis berdasarkan suatu definisi ilmu yang baru, ilmu yang sasarannya terbatas pada penggambaran. Penggambaran atau deskripsi ini merupakan kebalikan dari penjelasan dan juga, yang mengarah pada kemungkinan peramalan kejadian dan akhirnya pada pengendalian kejadian tersebut.
Positivisme” menurut Comte adalah penerapan metode empiris dan ilmiah tiada setiap lapangan penelitian. Positivisme ini menunjukkan suatu penolakan terhadap setiap bentuk pengetahuan yang berlandaskan pemikiran bahwa ada realita lain di luar eksistensi material. Menurut Comte, sosiologi adalah ilmu yang mencari hukum-hukum yang mengatur tìngkahlaku manusia dengan kepastian seperti pada ilmu pasti. Sekali manusia menemukan bahwa evolusi dunia nyata diatur oleh hukum-hukum tertentu, manusia dapat memanfaatkan dan mempercepat “operasi”nya. Comte percayaa) dunia tertata secara rasional, dan ada hukum-hukum perkembangan daninteraksi sosial yang dapat ditemukan; (b) penemuan hukum-hukum tersebutadalah mungkin sebab manusia memiliki penalaran yang cukup; (e) manusiajuga cukup berakal untuk menggunakan pengetahuan mereka untuk kepentingannya sendiri; (d) penalaran tidak hanya memungkinkan ditemukannya hukum-hukum tingkah-Iaku sosial tetapi juga memungkinkan manusia untuk menemukan tujuan-tujuan nyata yang diinginkan. Comte yakin terhadap adanya kemajuan (progress). la menafsirkan perkembangan sejarah dalam tiga tahap: (a) tahap “teologis”, dengan kepercayaan bahwa nasib manusia diatur oleh kekuatan-kekuatan ketuhanan, dan sejak awal sejarah hingga Reformasi Protestan; (b) tahap metafisika, yang merupakan zaman yang bersifat kritis dan zaman pemberontakan yang berpuncak pada Revolusi Perancis; dan (e) tahap “positif” atau “ilmiah”, yang merupakan zaman kontemporer, ketika pengetahuan tentang manusia dan alam menggantikan ketidaktahuan, tahayul, dan ilusi yang ada pada tahap-tahap sebelumnya, inilah masa sintesa antara tatanan dan kemajuan.

SEDIKIT TENTANG KARL MARX

Sementara SpenCer juga yakin tentang adanya hukum-hukum perkembangan dan interaksi, dan terkadang ia digambarkan sebagai sain dan tiga serangkai yang mendominasi abad ke-19 bersama Comte dan Marx, tetapi Marxlah yang membawa reduksionisme ideologis sampai ke puncaknya. Bagi Marx, realita tidak mempunyai struktur selain yang diterakan oleh aktivitas produktif-praktis manusia. Manusia sendiriri tidak memiliki hakikat tetapi berubah melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan Iingkungan alamnya. Semua pemikiran adalah pencerminan dari lingkungan tempat manusia itu sendiri. Akan tetapi, jika Tracy menunjukkan bahwa Iingkungan menentukan manusia, Marx percaya bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri jika memiliki pengetahuan ilmiah tentang masyarakat. Perubahan revolusioner dalam sifat positivisme dapat terjadi oleh adanya ilmu Komunisme (Marxis). Jika Tracy, Comte, dan Spencer percaya bahwa hukum-hukum perkembangan manusia dapatlah ditemukan, Marx percaya bahwa ia telah menemukannya.
Dengan menolak tiga sumber tradisi humanis teosentris Barat yaitu filsafat Yunani, Yudaisme, dan Kristen, Marx mengungkapkan bahwa pada masa yang akan datang, manusia sebagai kreator dapat merupakan senjata paling berkuasa dalam perubahan sosial. Marx percaya pada adanya kesatuan teori dan praktek, bukan kesadaran yang menentukan kehidupanmelainkan kehidupan yang menentukan kesadaran”. Perkembangan masyarakat materiallah yang menciptakan perbedaan semu antara teori dan praktek, jiwa dan benda, eksistensi dunia ini dan dunia yang lain. Menurut Marx, teori adalah pembantu kepentingan material praktis. “Teori’ komunis bagi Marx bukan saja penggambaran atau penjelasan tentang realita kehidupan masyarakat dan manusia, ataupun ramalan masa datang, melainkan juga semata yang diperlukan bagi penghancuran masyarakat kelas dan sebuah cetak biru bagi pembentukan dunia baru, berlandaskan pengetahuan bahwa manusia dapat menciptakan dirinya sendiri.

“POSITIVISASI ILMU-ILMU SOSIAL”

Di dalam lingkungan demikianlah gerakan “positivisasi ilmu-ilmu sosial” tumbuh, Positivisme seperti yang dinyatakan oleh Arnold Brecht, menjadi sinonim dan gerakan “pemurnian metodologis” dan bersamasama dengan gerakan Positivisme Logis dan Filsafat Linguistis yang mengikuti jejaknya, mendorong perkembangan yang dahsyat dari suatu gerakan intelektual yang mendukung diadakannya pemisahan sempuma antara“fakta” dan nilai”. Benih gagasan bahwa “nilai tak ada sangkut-pautnya dengan “fakta” dapat ditelusuri kembali sampai ada Kant dan Mill, namun keduanya telah mencoba membangun jembatan antara nilai” dan “fakta”, yang masing-masing dicirikan oleh Brecht sebagai “jembatan moral” dan“jembatan kebahagiaan”. Lahirnya Gulf Doctrine(lagi-lagi suatu istilah yang digunakan oleh Brecht untuk pemisahan logis antara “yang ada” (is) dengan“yang seharusnya” (ought) dapat ditelusuri kembali pada sejumlah pemikir Jerman seperti Arnold Kitz (lahir 1807), Julius von Kirchmann (1802-1894), Wilhelm Windelband (1848-1915), para penganut Kant Baru (Neo-Kantians) Heinrich Rickert (1863-1936), dan Georg Simmel (1 858-1918), dan dianggap telah mencapai puncaknya dalam tulisan-tulisan ahil sosiologi Max Weber(1864 -19201, yang dianggap berjasa telah memprakarsai Neo-Positivisme atau Positivisme post-Comte, yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan “behavioralisme” dalam ilmu politik. Bahkan judul makalah Arnold Kitz yang dibuat dalam tahun 1864, yakni Seyn und Sallen (“yangada” dan “yang seharusnya”) menunjukkan adanya kesadaran yang mendalam tentang perbedaan antara Sein (waktu itu dieja Seyn, “yang ada”)dengan Sallen (“yang seharusnya”). la menulis, “Dari kenyataan bahwa sesuatu ‘ada’, dapat diartikan bahwa sesuatu yang lain pernah ada atau akan ada, tapi tidak pernah berarti bahwa sesuatu ‘seharusnya ada’,” lima tahun kemudian dalam bukunya tentang konsep-konsep dasar hukum dan moral, Kirchmann menarik perbedaan yang jelas antara asal psikologis pengertian “yang seharusnya” dengan ciri logisnya, lalu menekankan bahwa yang sainakan mungkin didapatkan sebagai turunan (derivasi) dan yang lain, Dengan cara serupa, numun dengan ketenarannya sebagai seorang filsuf yang jauh lebih besar, Windelband menekankan kembali perbedaan antara Naturgesetzeatau hukum alam (“yang ada”) dengan norma-norma (“yang seharusnya”). Kaum Neo-Kantian, di antaranya Rickert dan Simmel, mengembangkan gagasan itu lebih lanjut, Rickert berbicara lentang perbedaan antara Being (kenyataan) dan Meaning (arti) yang tidak nyata dan tidak ada, dan menekankan hahwa dalam pembicaraan logis setiap tipe Meaning harus benar-benar dipisahkan dari tipe Being yang mana pun, Akhirnya yang berbicara tentang subjek ini dengan lebih jelas dan tegas daripada siapa pun juga sampai saat ituadalah Simmel, ketika ia menulis “Dalam setiap kasus menarik kesimpulan logis dan ‘yang ada’ kepada ‘yang seharusnya’ adalah salah.” “Dengan analisa logis (zergliederung) dalam kasus manapun kita tak dapat menemukan mengapa ‘yang seharusnya’ mengandung sifatnya yang khas, begitu pula dari adanya sifat khas itu mengapa kita harus berbuat demikian.

MAX WEBER: NEO-POSITIVISME

“Pada permulaan abad kedua puluh, terutama di bawah dampak gagasan-gagasan Weber,” tulis Easton, “ilmuwan sosial telah menerima sebagaisesuatu yang benar dan tak dapat dipertanyakan segala sesuatu yang telah dipelajarinya sebagai mahasiswa yang belum berpengalaman, yakni bahwa nilai-nilai politik harus dipisahkan secara tegas dari riset empiris. Makalah Weber Objectivity of Knowledge in Social Science and Social Policy,yang diterbitkan dalam tahun 1904, memberi pengaruh yang sangat besarpada perkembangan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat. Dalam makalah itu Max Weber berusaha menetapkan perbedaan yang ketat antara pengetahuan empiris dengan pertimbangan nilai (valuejudgemen), yang diakuinya sebagai pendekatan yang tidak baru, melainkan hanya merupakan penerapan hasil-hasil logika modern yang telah diketahui secara luas tentang persoalan kitasendiri. la menulis, “Mereka yang mengenal karya ahli-ahli logika modern akan segera tahu bahwa segala apa yang penting dalam tulisan ini ada kaitannya dengan pekerjaan mereka,” Yang dimaksudnya adalah Windeihand, Simmels, dan Rickert, la tak setuju dengan pandangan kaum Marxian tentang kehidupan ekonomi masyarakat yang diatur oleh: (a) hukum-hukum alamyang tak dapat diubah, dan (b) asas-asas evolusi yang jelas, dan keseluruhan usaha untuk mengidentifikasikannya dengan penilaian normatif. Tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Max Weber terdapat sejumlah kekacauan. Bagi Max Weber !“wertf reiheit” tidak mengandung pengertian seperti apa yang sekarang digambarkan sebagai “ilmu pengetahuan tanpa nilai”. Ia tidak menolak adanya “perkaitan nilai” (valeu-relatedness), antara semua cabang ilmu pengetahuan seperti yang biasa dikatakan. Ia menegaskan bahwa dengan kata itu ia tidak bermaksud menyatakan bahwa semua pertimbangan nilai harus dijauhkan dari diskusi ilmiah pada umumnya, tetapi bahwa ilmu pengetahuan hanya memainkan peran terbatas dalam persoalan pertimbangan nilai. Perlakuan ilmiah yang paling jauh terhadap Pertimbangan nilai hanyalah sampai pada tingkat menerangkan. Tindakan mengambil keputusan, tulis Weber dengan jelas, ‘bukan tugas yang dapat dilakukan oleh ilmu pengetahuan, itu adalah tugas orang yang mau melakukannya: ia menimbang-nimbang dan memilih dari antara nilai-nilai yang ada hubungannya menurut hati nuraninya sendiri dan menurut pandangan pribadinya tentang dunia,” “Soal apakah orang yang menyatakan pertimbangan nilai ini ‘seharusnya’ mengikuti standar-standar tertinggi adalah urusannya sendiri yang terlibat di sini adalah kemauan dan hati nurani, bukan pengetahuan empiris,” la mempertegas maksudnya ketika berkata bahwa “suatu ilmu empiris tak dapat menyuruh orang untuk melakukan apa ‘yang seharusnya’, hanyalah apa yang ‘dapat’ dilakukan, dandalam keadaan tertentu apa yang ‘ingin’ dilakukan,” Arbold Brecht menulis, “Dengan segala penegasannya tentang batasan-batasan ilmu pengetahuan Max Weber sendiri tak pernah berhenti mempercayai adanya nilai-nilai tertinggi (ultimate), la juga tak pernah memandang rendah terhadap pentingnya kepercayaan demikian bagi kepribadian dan martabat manusia.Tetapi ia mengulangi lagi bahwa “mempertimbangkan keabsahan nilai-nilai demikian adalah persoalan iman (faith), dan bukan ilmu pengetahuan.
Di bagian lebih lanjut dari makalah yang sama Max Weber mengembangkan teorinya tentang “tipe-tipe ideal” (ideality pen), yang melibatkan, seperti apa yang ditunjukkan oleh Brecht, pendekatan empiris dan bukan pendekatan normatif, yang tujuannya menerangkan kenyataan sosial dengan cara membantu kita agar mengerti mengapa suatu gejala tertentu berkembangdan menjadi apa yang ada, dan bukan yang lain, la menjelaskan bahwa tipe-tipe ideal hanyalah ciptaan fikiran (mind) dan tidak pernah dapat dijadikan standar normatif. Tapi lambat laun Weber terdorong tanpa ampun oleh logika pendekatannya dan mengembangkan sikap agak mencemooh terhadap nilai-nilai dan secara relatif lebih mementingkan ilmu pengetahuan. Dalam makalahnya Science as a Vocation yang diterbitkan satu tahun sebelum kematiannya, la mengutarakan pandangannya tentang apa yang kemudian dikenal sebagai “netralitas etis” (ethical neutrality) secara lebih tegas? Ia menginginkan agar pengajar “memperlakukan subjek-subjek politik dengan sikap ilmiah”, dan tanpa ada pengaruh nilai apa pun. Berbicara tentang demokrasi misalnya, la “ingin berdiskusi tentang bentuknya yang beranekaragam, ingin menganalisa caranya berfungsi, ingin mencari tahu akibat-akibat apa yang ditanggung oleh seseorang bagi kondisi hidupnya, ingin mempertentangkannya dengan bentuk-bentuk lain yang tidak demokratis dan berusaha sedemikian rupa sehingga mahasiswa mampu menemukan titik tempatnya berdiri karena cita-cita yang dipunyainya sendiri (stellung nehmen kann). “Tapi dampak ajaran Max Weber adalah kenyataan bahwa pemikiran normatif yang merupakan sesuatu yang tidakterpisahkan dari teori politik selama ini menjadi berkurang nilainya. Bagi dia, bukan tugas ilmu-ilmu sosial untuk “menawarkan norma-norma dan cita-cita yang mengikat” dan “menyediakan resep untuk praktek”. Pada saat banyak terjadi perbenturan nilai di dalam jiwa Eropa, Weber mengajarkan, dan mempraktekkan netralitas etis”, Tanpa banyak menyadari bahwa bersama-sama dengan dibuangnya air kotor ideologi dan bak mandi, ia juga membuang, bayi teori politik.
Germino rupanya yakin bahwa teori politik tak dapat tumbuh bersama Positivisme: “kebangkitan penuh teori politik kritis tidak mungkin dicapai ditengah alam diskusi yang positivistis”. Ia menyayangkan kecenderungan sementara tidak pada waktu ini untuk berusaha “mempersatukan kembali’komponen disiplin yang tradisional dan yang behavioralistis dan mencoba membangun jembatan antara posisi yang bersaingan, Ia mengakui bahwa tidak semua penganut Positivisme dapat dimasukkan ke dalam satu golongan. Ada variasi penekanan dan berdasarkan itu ia ingin membagi mereka dalam empat golongan utama:
1.      Secara relatif terbuka dan tidak dogmatis seperti Weber dan Brecht yang peka terhadap keterbatasan dan kesulitan yang dikarenakan tindak pemisahan fakta dengan nilai dan benar-benar berhasil menyisihkan sebagian kecil kenyataan yang mengandung asas-asas rasional yang krtis.
2.      Kaum “Hybristic”  di sini la menempatkan kaum behavioralis yang ekstrim dan tokoh-tokoh perekayasa sosial ‘(sociaI engineers), seperti Simon dan Lasswell, “yang telah ditulari golongan “hybris Comtean”dan yang mendukung adanya “suatu masyarakat tertutup yang dapat dimanipulir dengan kedok objektiviras”, dan yang menyelundupkan nilai-nilai “dengan kedok fakta atau rencana berdasarkan konsep.”
3.      Kaum Hyperfaktualistis, di sini ia menempatkan kelompok umum ilmuwan politik yang dengan bangga menamakan diri behavioralis, jumlahnya agak besar, tapi tidak begitu penting”, tak punya kecangihan intelektual” dan terlibat dalam “riset tentang fakta tanpa pengertian yang jelas bagaimana cara mengatur atau menghubungkan fakta itu”;
4.      Kaum Positivis Axiologis (Axiological Positivists) seperti Easton, Dwilight Waldo dan Cobban, yang mengaku bahwa pertimbangan nilai tidak dan tak akan menjadi ilmiah, tetapi disamping itu meyakinkan bahwa tidak hanya merupakan “kepantasan”, tapi juga “keharusan bagi fihak ilmuwan politik untuk melakukan spekulasi nilai.
Namun Germino yakin buhwa tak ada aliran Positivisme, betapapun lunak, yang akan membawa akibat lain kecuali “suatu kemunduran dalam sejarah pemikiran politik dan sosial”.
Meskipun demikian Positivisme terus mempengaruhi perkembangan  ilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh, terutama di bidang ilmu politik,psikologi akademis dan sosiologi, yang disebut “ilmu-ilmu behaviouralis”
Pada saat Perang Dunia Pertama”, seperti yang ditunjukkan oleh Donald Atwell Zoll, “ilmu-ilmu sosial telah menjadi usaha besar. Tujuan utamanya ialah memberikan pandangan ilmiah dan alat metodologi yang sama kepada studi tentang persoalan manusia seperti apa yang menjadi ciri-ciri ilmu aIam”. Ia menggambarkan dasar filsafatnya sebagai “secara substansi neo-positivistis”, dan menyimpulkan dasar-dasarnya yang utama ke dalam delapan bagian di bawah ini: (1) Keyakinan akan determinisme sebab-akibat (causal); (2) penolakan atas hal-hal yang metafisis dan analisa abstrak yang berhubungan dengan itu, (3) Kepercayaan akan perlunya menemukan “hukum-hukum” tingkah-laku manusia; (dedikasi terhadap“objektivitas” ilmiah; (5) metodologi yang empiris dan sebagian besarkuantitatif (6) perkawinan relativisme nilai dengan kultural; (7) kepercayaan pada atomisme sosial; dan (8) pilihan atas organisasi yang pluralistis dan demokratis. Dalam bidang psikologi orientasi neo-positivistis mengambil bentuk teori-teori fisikalis (Physicalist) tentang rangsangan dan reaksi, seperti Pavlov atau behaviouralisme John Watson, dan di bidang sosioiogi dalam bentuk dominasi analisa kuantitatit yang deskriptif, maka di bidang studi-studi politik juga timbul behaviouralisme dalam arti bahwa penelitian tentang tingkah-laku manusia dianggap lebih berarti daripada diskusi tentang prinsip-prinsip yang abstrak atau analisa Kelembagaan. Penerbitan Human Nature in Politics karya Graham Wallasdan Process of Government karya Arthur Bentley pada tahun 1908 dapat dianggap sebagai peristiwa besar dalam perkembangan ini. Namun gerakan itu maju secara lebih efektif di Amerika Serikat seperti yang dapat dilihatdari karya William James, Mary Follet, John Dewey, dan Herbert Mead. Comte mempengaruhi satu generasi pemikir di Eropa, antara lain LS , Mill di Inggris, P,J, Proudhon, Emile Durkhem dan Lucien Levy-Bruhl diPerancis, dan Ludwig Feuerbach dan Ernest Mach di Jerman.
Positivisme abad kesembilan belas terutama menekankan pandangan menyeluruh dan usaha filosofis yang menyontoh orientasi ilmu-ilmu, terutama ilmu alam, sambil menolak bahwa hipotesa yang metafisik dapat dipercaya, dan orientasi ilmiah yang sebagian besar empiris dan kuantitatif. Keandalannya yang utama terletak pada kemampuannya meramal gejala dengan cara menggunakan metode ilmiah yang tepat untuk nempelajari tingkah-laku manusia, perorangan dan sosial, Apa yang dapat diramalkan secara sosial dapat direncanakan. Positivisme memandang manusia sebagai suatu organisme psiko-biologis semata yang secara substansi tidak berbeda dengan jenis-jenis makluk yang lainnya. Positivisme juga menganjurkan netralitas nilai dan mempertahankan relativisme etis. Ciri-ciri Positivisme abad kesembilan belas ini sangat mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh. Dalam gerakan itu terdapat simpungun-simpangan, meskipun baik Emile Durkhem maupun Max Weber masing-masing telah mempengaruhi perkembangannya dengan caranya sendiri,  tidak dapat dianggap sebagai seorang positivis dalam artinya yang murni. Sambil menyuarakan sikap positivis yang anti metalisik. Durkhem juga merasakan kebutuhan untuk mengakui adanya komponen moral dalam penelitian sosial, dan karena itu ia mendapat julukan “positivis canggih”(sophisticated positivist). Bukan sekedar seorang fisikalis, ia berusaha mencari jalan tengah antara Positivisme primitif dengan idealisme barudan menganggap gejala nilai sebagai bagian yang vital dalam analisa sosial, Max Weber, seringkali disebut seorang positivis baru (neo-positivist) terutama tertarik untuk menciptakan metode yang berlaku untuk analisa sosial metode Verstehen, mengerti yang harus mengatasi tingkatan sekedar data dan pembicaraan yang diperlukan secara sempit. Namun Weber percaya akan keabsahan “hukum-hukum” tingkah-laku manusiayang ditentukan secara empiris dan menganggap bahwa hukum-hukum ini dapat diramalkan dan selanjutnya bahwa hukum-hukum ini dapat dijadikan dasar bagi penilaian normatif. Weber tidak menyangkal adanya predisposisi nilai pada pengamat adalah faktor yang tak dapat dihindarkan, tapi la masih percaya bahwa ia harus bertahan pada “netralitas nilai”dalam analisanya tentang gejala. Pandangan seperti itu telah memberikan pengaruh yang sangat besar, tidak saja pada analisanya sendiri tentang birokrasi atau karisima, yang keduanya tidak disetujuinya, namun diakuinya sebagai bagian dari realitas sosial yang tak dapat dihindari tapi juga pada sikap ilmu-ilmu sosial yang sedang tumbuh.
PERINGATAN POSITIVISME

Pada tahun 1960-an pengaruh Positivisme menurun, dan orang dapat menyaksikan pemunculan kembali filsafat spekulatif bahkan di Inggris yang merupakan benteng analisa linguistis. Orang Eropa yang tak pernah menaruh banyak perhatian pada Positivisme terus menyibukkan diri dengan bermacam ragam ilmu gejala (phenomenology) dan realisme baru (neorealism). Juga ilmu sosial Amerika yang dicap positivis perlahan-lahan menurun, sebagian disebabkan oleh serangan terhadapnya dari radikalisme sosial baru dengan semangat moralistisnya yang kuat dan sebagian lagi disebabkan oleh kritik yang sangat gencar terhadap pengakuannya atas objektivitas sosial dan netralitas nilai dan terhadap kekurangan dasar ilmiahnya. Objektivitas ilmu sosial neo-positivis sekarang mulai dianggap sebagai suatu ‘sikap pura-pura suatu kecenderungan ideologis” yang menuju‚ada introduksi pertimbangan nilai yang menyeluruh di bawah kedok keharusan ilmìah, dan pengakuannya akan cap ilmiah sebagaipengrtian “ilmu” berdasarkan pendapat yang sudah tak berlaku “ilmu”seperti yang diartikan orang dalam abad kesembilan belas, seperti dalam buku Canons of Induction karya Mill. Sebagai akibat kemajuan yang luar biasa di bidang biologi, genetika, dan neurofisiologi, ilmu pengetahuan sekarang mengembangkan dasar-dasar yang sama sekali baru, dan ilmu-ilmu sosial belum dapat menyesuaikan diri dengannya. Dasar-dasar ini secara luas dapat didefinisikan sebagai: (1) Kepercayaan pada ada nyakonsep-konsep yang tak terbatas kemungkinannya, yang evolusinya tergantung dan kebaikan dan kegunaan konsep itu, dan bukan dan “kebenaran”dalam arti tiruan dan suatu tujuan dan “pola akbar” (grand design) yangdapat diuraikan, dengan kata lain penolakan terhadap apa yang disebut olehMilton Munitz “teori alam sekali tembak (one-shot theoryof the universe);(2) penggantian “teori kebenaran menurut persetujuan” ‘(correspondencetheory of truth) dengan “teori kebenaran yang konsisten” coherence theoryof truth); dan (3) penerimaan keabsahan peragaan yang didasarkan pada kebutuhan logis disamping konformasi empirik. Penekanan sekarang ini adalah pada makhluk individual yang dipandang sebagai hakim yang menentukan letak kepentingannya sendiri dan bukan pada sekelompok elit yang menentukan masyarakat karena kemampuan ilmiah dan pengetahuan normatifnya.

TEORI POLITIK: PERUBAHAN DAN KONTINUITAS

Interpretasi lain yang diberikan sehubungan dengan kemerosotan teori politik adalah bahwa teori politik tidak merosot melainkan berubah bentuk. Teori politik masa lalu mencakup dua aktivitas: (1) pada tingkatan praktis,berusaha menjelaskan bagaimana pemerintahan berfungsi, atau apa asalmulanya, atau mengapa pemerintahan tersebut dipatuhi, dan (2) pada tingkatan filosofis, mencoba meletakkan tujuan dan sasaran negara dan mengusulkan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan tersebut. John Plamenatz menunjukkan bahwa kedua aktivitas tersebut berbeda dan takdapat dipertukarkan satu dan lainnya. Mengenai hal yang kedua yaitu aspek filosofis teori politik berbeda dari waktu ke waktu, dan orang ke orang, dan dari negara ke negara, karena sifatnya yang spekulatif. Karena teori-teori spekulatif ini juga mempengaruhi tindakan, maka perlu dipelajari secara historik waktu dan keadaan pada saat munculnya teori tersebut. Dengan demikian Durkheim tidak salah ketika mengatakan bahwa filsuf politik sering berusaha membentuk kembali sejarah dengan caranya sendiri dan memaksakan nilai-nilai pribadi atau kelompok dalam usahanya tersebut. Hal ini mempersulit penjelasan ilmiah atas fakta karena teori semacam ituhanya berfungsi untuk membenarkan apa yang dìinginkan oleh filsuf yang bersangkutan, meskipun kita tak dapat mengatakannya sebagai khayalanatau sekedar selera semata. Mungkin saja teori-teori itu hanya teori-teorian atau teori yang ngaco. Weldon termenung dengan teori-teori semacam itu ketika melihat bahwa konsep politik semata hanya diperlukan untuk penganalisaan ilmiah guna menutupi ketidakpentingannya, kesederhanaan dan letak bergunaannya saja. Teori politik dari Plato sampai Hegel, umumnya adalah kreasi dari orang-orang yang sebenarnya lebih merupakan filsuf. Karena itu wajar kalau filsafat politik mereka adalah bagian dari falsafah umumnya. Baru belum lama ini saja disadari bahwa “kebenaran” ataurasionalitas dari suatu bentuk organisasi politik atau kebijakan politik tidaklah dapat disimpulkan dari prnsip-prnsip logika atau metafisika.
Tetapi bahkan pada masa lalu pun teori politik tak selalu merupakan turunan atau cabang dari suatu filsafat. Ada pemikir seperti Tocqueville, Graham, Wallace, Bagehot, dan Baines, dan banyak lagi, yang telah mengambil pandangan sosiologis terhadap politik. Bahkan Hobbes, dalam Leviathan, lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan prakis daripada filosofis. Rousseau terutama bukanlah filsuf, meskipun Green, Bosanquet dan idealis lainnya mengembangkan suatu filsafat yang berasal dari analisa sosiologis mereka. Yang dapat dikatakan adalah bahwa pendekatan-pendekaan ini filosofis, sosiologis, dan ideologis telah menurun tahun-tahun terakhir ini berhadapan dengan penelaahan sosial dan politik yang empiris dan terinci. Tapi hal ini tidak berarti Teori politik atau berteori tentang politik sudah menurun. Yang terjadi, seperti yang dikatakan Partridge, adalah bahwa ilmu politik memisahkan diri dari aliran filsafat, dan seperti ekonomi dan ilmu sosial lain, sampai pada titik di mana ilmuwan politik harus menghadapi masalah yang umum, termasuk analisa konseptual yang dahulu hanya dilakukan oleh filsafat. Ilmuwan politik masa kini melakukan analisa konseptual pada tingkat kecanggihan dan kerumitan yang hampir tak dapat dicapat oleh para filsuf. Batas antara filsafat dan ilmu politik sedang dirumuskan kembali dan dibuatlah pembedaan tajam antara pertanyaan filosofis dan pertanyaan empiris. Dengan perkataan lain, teori politik tidak lagi dikerjakan oleh filsuf dan ahli sosiologi, melainkan olehi lmuwan politik yang telah mengembangkan kemampuan yang cukup tinggi untuk menghadapi masalah-masalah dalam bidangnya. Bahwa teori politik, bahkan dalam pengertian sebagai filsafat politik, tidaklah mati ataupun merosot adalah pandangan yang disuarakan oleh Isaiah Berlin. Ia menentang pandangan bahwa dapat terjadi satu jenis masyarakat, apakah teknokratis atau utilitarian. Thomis atau komunis, ataupun Platonis atau anarkis  dan jika pun orang dapat menerima pandangan tentang tujuan masyarakat yang monistik, terlalu dipermudah,dan dibuat-buat sedemikian itu, akan selalu terdapat perbedaan dalam mengartikan tujuan-tujuan tersebut di antara orang-orang yang berheda dan dalam situasi yang berlainan. Berlin menulis: “Menganggap bahwa pernah ada atau mungkin ada suatu zaman tanpa filsafat politik sama dengan beranggapan bahwa karena ada zaman kepercayaan (ages of Faith), maka ada juga atau mungkin ada zaman tanpa kepercayaan sama sekali. Ini adalah suatu pandangan yang tak dapat diterima, tidak ada aktivitas manusia yang tidak mencakup pandangan umum: skeptisisme, sinisisme, penolakan untuk menyibukkan diri dengan hal-hal abstrak atau mempertanyakan nilai-nilai, oportunisme yang keras, ketidaksukaan terhadap tindakan berteori, semua variasi nihilisme itu, yang semuanya merupakan posisi metafisis dan etis, tentu juga merupakan sikap memihak.
Percobaan-percobaan ahli filsafat abad ke- 18 untuk mengubah politik menjadi filsafat terutama filsafat moral dan politik, gagal, karena rupanya mereka berfikir bahwa politik yang menempatkan manusia sebagai subjek utama, dapat mempelajarinya dengan cara memisahkannya dan apa yang menentukan kemanusiaannya, yakni nilai-nilainya, dan bahwa nilai-nilai dapat diperlukan sebagai bahan induksi dan hipotesa, walaupun nilai-nilai itu selalu akan diperdebatkan. “Selama keingintahuan yang rasional ada keinginan akan pembenaran dan penjelasan dalam anti motif dan alasan-alasan, dan bukan hanya dalam pengertian sebab atau korelasi fungsional atau kemungkinan-kemungkinan statistik’ tulis Berlin, “maka teori politik tak akan hilang dari muka bumi, meskipun banyak saingannya seperti sosiologi, analisa filsafat, psikologi sosial, ilmu politik, ekonomi, yurisprudensi, semantik, mungkin akan mengklaim telah menghilangkan apa yang dibayangkan sebagai wilayahnya. Dalam kenyataannya teori politik sedang maju, baik pada tingkat behavioural maupun tradisional. Ílmuwan politik behavioural  seperti Easton, Lasswell atau Deutschsedang membuka dimensi-dimensi baru untuk studi persoalan-persoalan politik. Tetapi berdampingan dengan itu jenis pemikiran sosial yangtumbuh karena dorongan-dorongan moral juga sedang berkembang. Kita menemukan ahli-ahli fitsafat politik terkemuka yang terlibat dalam penelitian tentang masalah-masalah yang mempengaruhi masyarakat dan mengembangkan teori-teori politik tentang anomi, penghapusan pribadi (de-personalization) perpecahan (atomization), dan sebagainya yang biasa terdapat di dalam masyarakat industri berskala besar, dan juga teori-teoripolitik mengenai masalah-masalah apa yang dianggap peleburan“kelompok” (community) dan pendewaan negara. Berlin menyimpulkan,“Neo-Marxisme, neo-Thomisme, nasionalisme, historisisme, eksistensialisme, liberalisme anti-esensi dan sosialisme, penggantian ajaran-ajaran tentang hak-hak serta hukum-hukum alami dengan ajaran-ajaran dengan pengertian empiris, penemuan-penemuan yang dihasilkan dengan keterampilan menggunakan contoh-contoh yang diambil dan teknik ekonomi dan ilmuilmu yang ada kaitannya untuk bidang tingkah-laku politik, dan penggabungan, kombinasi, dan akibat-akibat yang timbul karena pelaksanaan ide-ide ini, tidak menunjuk pada kematian sebuah radisi besar, tapi, kalau ada, pada perkembangan-perkembangan baru yang tak dapat diramalkan.

TEORI POLITIK, FILSAFAT POLITIK, DAN IDEOLOGI

Menurut Easton teori politik terdiri dari tiga unsur: (1) Keterangan tentang fakta-fakta atau deskriptif (2) Teori murni, atau teori sebab-akibat yang berusaha mencari hubungan yang dianggap ada antara fakta-fakta, dan (3) teori nilai yang menentukan keterangan-keterangan preferensi yang merupakan tujuan, maka ilmuwan politik harus memikirkan juga jalan apa tujuan itu dapat dicapai. Hal ini hanya dimungkinkan dengan bantuan sebuah teori sebab-akibat yang berlaku umum, yang mempelajari hubungan antara fakta-fakta. Fakta penting artinya, tapi seleksi dan pengumpulan fakta sendiri mengisyaratkan adanya sebuah teori, paling tidak dibawah alam sadar. Fakta-fakta dan hubungan timbal-balik antara bermacam-macam fakta selalu ditentukan oleh selera pengamat, dan seleksi dilakukan menurut rangka kepentingan yang menetapkan kedudukan serta relevansi fakta-fakta itu. Ketika muncul ke alam sadar maka rangka kepentingan itu membentuk sebuah teori. Tanpa sedikit asumsi teori mustahil dapat memilih fakta-fakta yang berarti. Karena itu fakta dapat didefinisikan sebagai “kenyataan yang khusus disusun untuk kepentingan sebuah teorit. Karena itu fakta dan teori saling bergantungan satu sama lain. Fakta tanpa teori merupakan tumpukan bagian-bagian yang tak berguna dan tak ada artinya. Teori yang tidak berakar pada fakta adalah spekulasi murni. Pengumpulan data dengan cara-cara yang dapat diterima, tulis Easton, “tidak dengan sendirinya memberikan pengetahuan yang cukup pada kita. Pengetahuan menjadi kritis dan dapat diandalkan kalau sifatnya semakin umum dan semakin konsisten dalam pengaturan intern, pendeknya kalau pengetahuan itu merupakan keterangan-keterangan yang sistematis dan berlaku umum dan dapat diberlakukan terhadap sejumlah besar kasus-kasus khusus. Easton tidak percaya kalau perilaku politik tak bisa dipelajari dengan, pendekatan teori, Perilaku manusia, termasuk perilaku politik, mempunyai kesamaan tertentu yang selalu dapat digunakan sebagai dasar ramalan, tapi hal ini hanya bisa dilakukan dengan bantuan pendekatan teori. Easton percaya bahwa pendekatan seperti itu dapat mengambil salah-satu dari tiga bentuk (a) generalisasi tunggal (singular generalization,) yang berarti keterangan tentang kesamaan yang telah diamati antara dua vanabel yang terpisah dan mudah dikenali; (b) teori sintesis atan teori standar sempit (narrow-gauge theory) atau sekumpulan keterangan yang saling berkaitan yang digunakan untuk menggabungkan data yang terdapat dalam suatu..



















BAB 5

ELIT, KELOMPOK, DAN KEKUASAAN
SEBAGAI PRINSIP-PRINSIP
PENGORGANISASIAN: KEGAGALAN UNTUK
MENGEMBANGKAN SUATU TEORI

Teori elit misalnya menegaskan bahwa ialah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori yang luas yang mencakup:
1)      Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan
2)      Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Meskipun pada mulanya teori ini diperuntukkan untuk Eropa Barat dan Tengah sebagai kritik terhadap demokrasi dan sosialisme, tapi oleh sejumlah ilmuwan Amerika ia diserap dengan baik untuk menjelaskan proses-proses politik yang ada di negara mereka dan negara-negara demokratis Iainnya.
Kendati penganut teori group mengemukakan bahwa elit tidak perlu merupakan suatu kelompok yang padu tetapi dapat berisikan sejumlah kelompok sosial, tapi seorang harus menerima kenyataan bahwa setiap masyarakat mempunyai sejumlah besar kelompok yang senang menggeluti kekuasaan dan menguasai kelompok yang lain. Merekalah yang terlibat di dalam proses pengimbangan atau pengendalian terhadap yang lain, sehingga berbagai kepentingan dan pelbagai pengikut kelompok bisa terpelihara. Karena itu teori (politik) kelompok bisa menjelaskan secara baik fungsi-fungsi negara dan masyarakat.
Apa yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) ada dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan.
Politik, sebagaimana telah dijelaskan, merupakan studi tentang siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana.
Apabila seseorang mulai mendalami teori-teori ini, dia akan mengetahui bahwa di belakang teori-teori kelompok dan elit, kekuasaan merupakan tujuan utamanya. Tujuan politiklah yang memaksa dan mendorong individu untuk membentuk kelompok-kelompok serta mengaktualisasikan dirinya di dalam kelompok-kelompok tersebut, dan Roy Macridis juga menegaskan hal yang sama tentang analisa kelompok dengan menggambarkannya sebagai “suatu bentuk determinisme yang kasar”. Konfigurasi kekuasaan pada dasarnya adalah konfigurasi kepentingan-kepentingan yang berjuang dan berlomba, yang terorganisasikan dalam kelompok. Jika kekuasaan terbukti sebagai prinsip yang kurang memadai untuk memahami politik, maka teori elit, seperti halnya teori kelompok, akan runtuh bersama teori kekuasaan.

TEORI ELIT POLITIK

Pareto (1848-1923) percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dan 2 kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri Iebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.

AWAL MUNCULNYA TEORI (ELIT POLITIK)

Dalam setiap, masyarakat ada gerakan yang tak dapat ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan kelas-kelas yang memegang kekuasaan, yang pada pihak lain justru malah meningkatkan unsur-unsur kualitas superior; pada kelompok-kelompok (yang lain). Ini menyebabkan semakin tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Pareto mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian antara elit, yaitu pergantian: (i) di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah ini sendiri dan (ii) di antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan: (a) individu-individu dan lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada,  dan atau (b) individu-individu dan lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan runtuhnya elit yang memerintah, yang merusak keseimbangan sosial, dan mendorong pergantian elit? Pareto menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elit yang berbeda. Konsep tersebut didasarkan pada perbedaan yang digambarkannya terjadi di antara tindakan yang “logis” dan “non-logis” (lebih daripada “rasional” dan “non-rasional) dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksudkan dengan tindakan yang logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Yang dimaksudkan dengan tindakan non-logis adalah tindakan-tindakan yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang tidak dapat dilakukan, atau didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna melaksanakan usaha tersebut. Yang di maksudkan dengan “residu” sebenarnya adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar 6 “residu” dia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu “Kombinasi” dan residu “Keuletan bersama” dengan bantuan elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya.
Perilaku mereka menunjukkan karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam membentuk klik-klik pemerintah sebagai “rubah” dan “singa”. Terdapat dua tipe elit, yaitu mereka, yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan cara paksa. Disamping Pareto yang mengembangkan teorinya atas dasar keahliannya sebagai sosiolog dan psikolog. Dalam semua masyarakat, dan yang paling giat mengembangkan diri serta telah mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat selalu muncul dua Kelas dalam masyarakat yaitu, kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dan kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama, dalam masalah yang saat ini kurang lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik.’Semakin besar suatu masyarakat politik” tambahnya, “semakin kecil proporsi yang memerintah untuk diatur oleh, dan makin sulit bagi kelompok mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut”. Karakteristik yang membedakan elit adalah “kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik”, sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang-orang diluar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Dia lebih menyukai suatu masyarakat yang dinamis dan berubah melalui persuasi. Dia juga menyarankan agar elit yang memerintah secara bertahap mengadakan perubahan dalam sistem poitik agar sistem tersebut dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki masyarakat.
Penguasaan minoritas atas mayoritas menurut Mosca dilakukan dengan cara yang terorganisasi, yang menempatkan mayoritas tetap berdiri saja di belakang apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri dan individu-individu yang superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam. Mosca menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai “formula politik. Dia percaya bahwa dalam setiap masyarakat, elit yang memerintah mencoba menentukan basis moral dan hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaan serta mewakilinya sebagai “konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin-doktrin dan kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal dan diterima.” Biasanya hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang dapat diterima oleh masyarakat. suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang harus diperintah atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisik. Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga-lembaga politik, rakyat dan peradaban.
“Tendensi Oligarkis yang terjadi di seluruh dunia terdapat dalam setiap jenis organisasi manusia yang berjuang untuk mengusahakan tujuan yang jelas, oligarki merupakan bentuk yang telah ditentukan sebelumnya dan kehidupan bersama; masyarakat yang besar. Sebagai suatu gerakan atau partai yang tumbuh makin besar, makin banyak fungsi yang harus diserahkan kepada pimpinan pusat, dan dengan berjalannya waktu, anggota-anggota organisasi tersebut berkurang kewenangannya untuk mengatur dan mengawasi mereka, sehingga akibatnya para penguasa mempunyai kebebasan yang besar untuk bertindak dan menyuarakan kepentingan pribadinya dalam posisi mereka. Mereka mati-matian bergayuh pada kekuasaan dan segala hak istimewa yang terlekat padanya, dan menjadi hampir tak tergeserkan. Mereka biasa berada dalam ketidaktetapan dan menjadi seperti budak dengan adanya paksaan. Mereka selalu hancur pada tepian yang sama..”
Untuk lebih menekankan pentingnya teori elit politik. Orang terpilih” adalah orang-orang yang terkenal dan merekalah yang membimbing “massa”, yang tidak terpilih seperti mereka “Satu orang adalah efektif dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan”. “Suatu bangsa merupakan suatu massa manusia yang terorganisasi yang disusun oleh suatu minoritas individu yang terpilih. Bentuk hukum yang akan dipergunakan suatu negara dapat berupa hukum yang demokratis atau yang komunis, tetapi kehidupan dan konstitusi ekstra legalnya akan senantiasa mengandung pengaruh dinamis dari suatu minoritas yang bertindak di atas massa.

TEORI ELIT, FASISME, DAN DEMOKRASI

Pareto percaya pada perintah suatu minoritas kecil, mengabsahkan kekerasan, dan membenci sosialisme, pasifisme dan humanitarianisme. Dia mengidentikkan demokrasi dengan korupsi, mesin politik serta gangsterisme. Dia sinis terhadap ide perkembangan. Akan tetapi, di balik pandangan-pandangan yang kuat yang dicerminkannya dalam masalah-masalah tersebut, barangkali terdapat suatu keinginan untuk menunjukkan bahwa dia tidak menderita kelemahan dalam idealism, humanitarianisme dan demokrasi, dan untuk muncul secara rasional, positivistis dan ilmiah.
Mosca juga adalah seorang yang sangat tidak senang dengan demokrasi walau bukan seorang fasis. Dia merupakan orang yang berpendapat bahwa demokrasi, semenjak demokrasi hanya mewakilkan kepentingan dari kelompok mayoritas yang lemah, tampaknya berbahaya bagi kemerdekaan. Burns tidaklah keliru ketika mengatakan bahwa “Mosca termasuk dalam kubu pemikiran konservatif dari Cavour, Bismarck dan Hegel daripada kelompok totalitarian, dan bahwa demokrasi yang ditentangkan adalah demokrasi absolut Rousseau dan bukannya demokrasi liberal yang telah ada di Swiss, lnggris dan AS. Usaha untuk menemukan batas-batas yang mungkin dimanfaatkan kekuasaan yang dijalankan atas individu-individu oleh banyak oligarki (negara, kelas dominan, partai dan sebagainya).”
Michels percaya pada suatu aristokrasi yang bijak dan baik sebagai pemerintahan ideal. Menurut dia, organisasi akan membantu memunculkan serta membesakan para pemimpin yang mampu dan mau mengekspresikan keinginan nyata massa yang menjadi pengikutnya.

DEMOKRASI DAN PLURALITAS ELIT

Generasi teoritisi elitisme politik berikutnya mencoba membangun sebuah teori baru tentang demokrasi yang dapat diselaraskan kembali dengan teori elit politik. Karl Mannheim (1893- 1947), yang dalam tulisan-tulisan awalnya telah menghubungkan teori-teori elit dengan fasisme dan anti intelektualisme, memegang peran penting dalam usaha penyelarasan ini. Perbedaan antara sistem totaliter dengan demokrasi adalah bahwa kalau dalam sistem yang pertama diperintah oleh kelompok minoritas yang lalim, sementara yang kedua dapat diganti oleh kelompok Mayoritas atau dipaksa untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Demokrasi, tulis Schumpeter, muncul dengan sistem ekonomi kapitalis dan secara kausal berhubungan dengan hal itu dan oleh karenanya dimengerti dalam konteks tersebut. Bagi Schumpeter, demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan bukan juga seperangkat tujuan moral suatu mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya. Peran para pemilih adalah bukan untuk memutuskan masalah-masalah politik dan memilih wakil-wakil yang akan melaksanakan keputusan-keputusan tersebut; peran mereka lebih pada untuk memilih orang-orang yang akan membuat keputusan-keputusan (bagi mereka). “Dengan kata lain Schumpeter setuju, suatu keyakinan atas “demokrasi” dalam hal yang menjadikan kekhawatiran pada kenyataan bahwa seperti yang dilihat Michels, kepemimpinan yang tak ada habisnya dalam suatu negara seperti halnya dalam organisasi lain. “Keinginan rakyat adalah hasil dan bukannya dorongan kekuasaan dan proses politik itu.”
“Apa yang kita tentang dalam analisa mengenai proses politik”, tulis Schumpeter, “terutama bukanlah suatu kemauan yang asli (genuine will) melainkan suatu kemauan yang dibuat (manufactured will), dibuat dengan cara-cara yang “tepat sama dengan cara-cara periklanan komersial”. “Rakyat tidak mengangkat dan juga tidak memutuskan masalah-masalah tetapi ...masalah-masalah tersebut yang membentuk nasib mereka, secara normal diangkat dan diputuskan bagi mereka, harapan dari pemilihan umum “bukanlah data yang paling tinggi, pemilihan pemilu tersebut tidak mengalir dari inisiatifnya melainkan dibentuk, dan pembentukannya merupakan bagian yang esensial dalam proses demokratis. Suatu ketika para ekonom telah menduga aplikasi sistem pasar dalam politik, sejumlah ilmuan politik mulai menambah dan mendukungnya dengan sejumlah besar penelitian empiris tentang pemilih yang bagaimana dalam demokrasi Barat yang sebetulnya bertindak dan bagaimana sebenarnya keberadaan sistem politik Barat menanggapi perilaku mereka.
Partai-partai dalam kehidupan politik demokrasi, tulis Anthony Downs, adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti para pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama. Karena kelompok-kelompok orang yang berbeda mencari jalan yang berlainan untuk mendapatkan dukungan dari massa, maka partai-partai politik yang berbeda pun dibentuk dan masuk ke dalam kompetisi satu sama lain. Hal inilah yang membawa pluralitas (kemajemukan) dalam tubuh elit dan sejenis sistem check and balances dalam masyarakat demokratis, yang dalam hal ini, sering digambarkan sebagai masyarakat majemuk, yang meletakkan masyarakat demokratis ada suatu posisi yang berbeda.
Sementara Schumpeter dan Downs pada dasarnya adalah ekonom dan dapat diharapkan untuk memandang politik sebagai suatu permainan yang dimainkan oleh si kuat untuk mengamankan kepentingan pribadi mereka sendiri, demikian juga para ilmuwan politik Harold Lasswell. Dia menolak pembahasan dan konsultasi formal dan semua yang berkaitan dengan kebijakan sosial yang dipandang sebagai konsep klasik tentang demokrasi dan menegaskan dalam gaya seorang ahli jiwa sosial  suatu serangan langsung atas “patologi-patologi sosial” dengan menerapkan ‘obat pencegah” yang berupa kebijakan yang didasarkan pada pandangan ilmiah. Poliarki, menurut para penulis ini, adalah sistm politik yang bercirikan suatu kompetisi yang bebas dan wajar di antara kelompok minoritas yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Robert Dahl, sambil mengomentari “analisa pengecualian yang bagus” dan Schumpeter, tidak mengarah pada hal yang sama dalam mempercayai “bahwa pemilihan-pemilihan dan aktivitas antar pemilihan merupakan kepentingan utama dalam menentukan kebijakan”. Dalam tulisan yang berikutnya dia mengambil pandangan yang sedikit lebih baik mengenai daya tanggap dan sistem tersebut.
Sementara memandang egalitarianisme dengan basa-basi, pernyataan utama Dahl adalah bahwa dengan realistis dikatakan, struktur politik, dalam pelaksanaannya, dapat dianalisa dengan cara terbaik dalam hal kelompok-kelompoknya yang sangat berpengaruh (digambarkannya dengan menjelaskan poliarki yang pada kenyataannya, mengawasi dan mengarahkan mekanisme kekuatan politik. Dahl membicarakan egalitarianisme dalam konteks kompetisi di antara kelompok minoritas yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Menurut Santori “demokrasi adalah suatu sistem politik di mana pengaruh keIompok mayoritas dijamin oleh kelompok minoritas yang dipilih dan berkompetisi dan yang kepadanyalah sistem itu dipercayakan.
Apa yang dilakukan “sistem politik pasar’ dalam kesamaannya dengan pasar ekonomi, adalah untuk mencatat dan menanggapi “permintaan efektif’ yang dalam dunia ekonomi, berarti suatu permintaan yang didukung oleh “daya beli”. Dalam masyarakat yang jurang pemisah kekayaannya tajam dan kesempatan untuk mendapatkannya juga demikian, kedaulatan konsumen pada prakteknya merupakan keseluruhan konsumen yang tidak merata yang berarti kemustahilan bagi yang kurang mampu. Permintaan kelas sosial dan ekonomi yang lebih tinggilah yang paling efektif.

DEMOKRASI ELITIS VERSUS DEMOKRASI PARTISIPASI

John Dewey dapat dipandang sebagai pemberi dasar filosofis atas apa yang kemudian dikenal sebagai teori demokrasi partisipasi (participaroty democracy). Konsepnya tentang utilitarianisme subjekiif self-interes yang subjektif, yang menimbulkan akibat pada keberadaan suatu “masyarakat yang terbuka”, suatu pengutamaan kehendak individu dan penolakan terhadap nilai-nilai kekuasaan yang bersifat total. Suatu masyarakat demokrasi tergantung pada konsensus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia, yang menurut Dewey, didasarkan atas kebebasan, persamnan dan partisipasi politik. la membedakan antara “kebebasan untuk bertindak”, yang kadangkala bisa bersifat anti-sosial, dengan “kebebasan berfikir” (yang tumbuh dari tipe pendidikan yang benar) yang akan merangsang keharmonisan sosial dan bahkan kepentingan bersama, yang tak dapat dibiarkan lagi “tergantung pada atau diekspresikan hanya dalam lembaga-lembaga politik saja”.
Teori mereka gagal untuk meliput kebutuhan dan nilai-nilai manusiawi. Politik, bagi Bay, bukanlah sekedar studi tentang bentuk, tetapi harus termasuk kesejahteraan manusia dan kebaikan masyarakat. Dia memandang kebebasan manusia secara individual, yang difahaminya dalam konteks sosial dan psikologi, sebagai tujuan politik yang utama. Semua praktek sosial akan diukur secara bertentangan dengan norma kebebasan dan semua kondisi yang membahayakan tujuan ini harus dihapuskan. “Prioritas”, menurut Bay, diberikan kepada “individu-individu yang paling tertindas” dan “yang paling sedikit mendapatkan perbaikan dari proses-proses demokrasi yang biasa”. Pengembangan insentif politik pada individu, menurut Bay tergantung pada “proses pembebasan secara bertahap dan keadaan khawatir dan takut yang mengganduli orang yang bersangkutan” Karena ini negara harus mendorongnya untuk mendapatkan “kepuasan yang sesungguhnya dan martabat yang tinggi sebagai warga negara yang demokratis”. Bay percaya benar bahwa penegakan demokrasi yang benar haruslah didahului dengan suatu rekonstruksi sosial yang radikal yang akan memingkinkan pencapaian “kepuasan yang sesungguhnya dan martahat yang tinggi sebagai warga negara yang demokratis”. “Demokrasi”, komentarnya, “akan tumbuh secara alamiah dari hubungan antar individu yang terbiasa dengan toleransi dan kehidupan bermasyarakat yang penuh semangat. 
Peter Bachrach yang secara langsung menyerang posisi yang diambil oleh para elitis dan menegaskan apa yang sekarang disebut “demokrasi partisipasi” (participaroty democracy). Dengan memahami kepentingan politik manusia yang tumbuh secara alami dari pemerintahan semata”, dia menulis, para elitis demokratik secara implisit menolak argumen para teoritisi klasik bahwa berbagai kepentingan termasuk juga kesempatan untuk berkembang yang tumbuh dari partisipasi dalam keputusan-keputusan politik yang berarti.”” Bachrach memandang “partisipasi tidak hanya penting bagi pengembangan diri tapi juga sebagai dasar bagi tumbuhnya masyarakat bebas. Dia secara langsung menolak asumsi, yang menjadi dasar semua teori “demokrasi elitis” bahwa masyarakat dibentuk oleh “kekuatan-kekuatan yang tidak bebas dan impersonal” dan memandang “perkembangan diri individu” sebagai kriteria utama untuk mengevaluasi karakter negara dan masyarakat.
Apa yang secara implisit disebut dalam berbagai tulisan yang membela “demokrasi partisipasi” dengan mengecam konsep “demokrasi elitis” yang dinamakan, “penciptaan iklim psikologis yang kurang lebih dapat secara spontan memotivasi perubahan dan kemajuan (Henry Kariel), dan kebutuhan akan suatu rekonstruksi sosial radikal yang membawa kepuasan nyata dan kewarganegaraan demokratis yang bermartabat” (Christian Day) diperjelas oleh Kenneth Megill ketika mengekspresikan pandangannya bahwa “pertanyaan utama mengenai teori demokratis kontemporer pada akhirnya, adalah pertanyaan mengenai organisasi yang diperlukan bagi gerakan revolusioner”. Megill menolak “demokrasi liberal” sebagai ideology politik perdagangan bebas kapitalistik, dan menghendaki suatu “radikalisasi” dalam perspektif politik yang menciptakan suatu sintesa neo-Marxis baru. Dia menyetujui pengawasan buruh yang lebih besar terhadap proses produksi atas “situasi kerja” yang dimaksudkannya dan dengan penaklukan birokrasi. Bagi Megill demokrasi hanya dapat didasarkan atas pemusnahan berbagai kondisi penindasan dan, perekonomian pasaran bebas dan penciptaan kebebasan baru “yang didasarkan atas komunitas-komunitas yang terorganisasikan di sekitar kehidupan manusia yang nyata”.
Memang belum bisa dibuktikan bahwa suatu “partisipasi” yang diperluas akan selalu membangkitkan self-development dan hal ini pada gilirannya, menciptakan kemajuan dan keharmonisan sosial. Suatu perubahan dari bentuk demokrasi yang ada saat ini kepada “demokrasi partisipasi akan memerlukan: 1. Perubahan kesadaran rakyat yang tadinya memandang diri mereka sebagai penerima pasif atas segala sesuatu yang diberikan oleh kekuasaan menjadi agen-agen perubahan sosial yang aktif melalui bentuk partisipasi yang positif dalam proses pengambilan keputusan oleh negara, dan 2. Pengurangan secara besar-besaran segala ketimpangan yang ada.
 Pengalaman dan partisipasi yang sesungguhnya dalam pengambilan keputusan di tempat kerja tampaknya akan menciptakan keinginan untuk berpartisipasi dalam bidang politik yang lebih luas. Militansi kelas pekerja telah muncul, aktivitas politik meningkat demikian juga partai komunis dan sosialis dan peningkatan partisipasi dalam serikat dagang dan industri.

BASIS KELOMPOK DALAM POLITIK

Seperti kaum pluralis yang bereaksi terhadap prinsip liberalisme atomis yang sedang berjalan (seperti yang disebutkan oleh Locke dan Bentham) di satu fihak, dan sosialisme idealis oleh Green dan Bosanquet) di fihak lain, para teoritisi kelompok pada tahun-tahun terakhir ini mencoba untuk menjadikan kelompok bukannya individu atau masyarakat sebagai unit dasar dalam studi politik. Sementara kaum pluralis telah menghasilkan beberapa pengertian yang brilian mengenai basis kelompok dalam masyarakat, dan mengenali suatu patokan ganda dalam afiliasi dan loyalitas kelompok, para teoritisi kelompok melihat bahwa dalam patokan ini terdapat basis fungsional pemerintah.
Bentley, yang secara umum menentukan akar behavioralisme, menentang formalisme dan kualitas pendekatan kelembagaan yang statis dalam analisa politik, dan menekankan tulisan-tulisannya pada dinamika dan proses-proses sehagai karakteristik aktivitas negara. Tak ada perasaan yang akan di resapi individu kecuali dalam suatu bentuk sosial.” Studi ini menyangkut suatu “hubungan” antara orang orang atau “tindakan” orang-orang dengan atau atas yang lain. Kelompok-kelompok tersebut senantiasa berinteraksi dengan yang lain, dan politik terisikan dalam “tarik-menarik oleh beberapa orang dan genggaman orang-orang yang lain sepanjang garis-garis yang berubah, pengambilan kekuatan untuk mengatasi ketahanan dalam perubahan tersebut, atau penyingkiran suatu kelompok kekuatan oleh kelompok yang lain.”
Karena Bentley tertarik untuk menghilangkan penekanan pada lembaga-lembaga dan menggantikannya dengan proses-proses, dia memahami kelompok sebagai suatu aktivitas massa dan bukannya suatu kumpulan manusia. Kelompok didefinisikannya sebagai “suatu porsi manusia tertentu dalam suatu masyarakat, yang diambil, bukan sebagai suatu massa fisik yang terpisah dari massa-massa manusia lain, tetapi sebagai suatu massa tindakan yang tidak menutup kemungkinan orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya untuk berpartisipasi juga dalam aktivitas-aktivitas kelompok lain. Oleh karena itu suatu kelompok yang asli, berbeda dengan kumpulan ko-insindental atau kelompok kategoris. Kenyataan bahwa individu yang sama dapat menjadi anggota dari berbagai kelompok juga memperjelas bahwa aktivitas yang khusus pada kelompok tersebut lebih penting daripada komposisi strukturalnya. Kelompok menjadi suatu aktivitas dan massa, pertanyaannya sekarang adalah apa yang mengarahkan aktivitas ini. Di sinilah konsep kepentingan Bentley masuk yang diperlakukannya sebagai fokus utama dalam memahami politik. Kepentingan adalah perilaku yang dihadapi menyangkut suatu tuntutan atau tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh satu kelompok atas kelompok- kelompok tertentu dalam suatu sistem sosial. Jadi, kelompok merupakan suatu aktivitas massa yang diarahkan oleh kepentingan dan sistem sosial, berisikan sejumlah besar kelompok yang menandai arena bagi interaksi aktivitas kelompok. Maka dari itu, ide tentang kepentingan oleh Bentley secara integral dihubungkannya dengan teori kelompok, seperti yang dikembang kannya. Kepentinganlah yang mengorganisasikan kelompok-kelompok. Seseorang dapat membayangkan sejumlah kepentingan yang tidak terekspresikan dalam suatu kelompok dan karenanya tetap tidak terwakili sampai kepentingan tersebut menemukan ekspresinya. Oleh karena itu, seseorang dapat berpikir tentang kelompok-kelompok potensial, kelompok-kelompok laten, seperti halnya kelompok-kelompok yang masih dalam tahap “menjadi’ bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang ada.
Teori kelompok secara logis akan membawa pada konsep khusus mengenai sistem sosial dan perilaku politik. Seperti yang ditulis Bentley “masyarakat sendiri tidak lain merupakan kompleks kelompok-kelompok yang tersusun”,” sistem sosial adalah “suatu kumpulan mosaik dan berbagai kelompok”, untuk mengulang apa yang ditulis oleh Truman, seorang teoritikus kelompok yang menonjol. Earl Latham, “merupakan satu keseluruhan kelompok yang bergabung, bercerai, berhimpun, dan membentuk koalisi-koalisi dan konstelasi kekuatan dalam suatu perubahan yang tak pernah berhenti”, dan terus dijalankan oleh “dorongan dan pertahanan antar kelompok-kelompok”. Para teoritisi kelompok, seperti penganut behavioralisme yang lain, tertarik pada kenyataan bahwa masyarakat terus berjalan, dan dalam rangka menjelaskan bagaimana hal itu dapat terus berjalan, meski konflik selalu terjadi di antara kelompok-kelompok tersebut di mana setiap kelompok dengan kebingungan berusaha meraih kepentingan pribadinya sendiri yang terdekat, teori tentang sejenis keseimbangan kekuatan yang otomatis dimasukkan, yang dinamakan Bentley Perimbangan tekanan antar-kelompok” (the balance of the group pressures).
Para teoritisi kelompok yang kemudian mengikuti jejak Bentley Odegard, Flerring dan Shattschneider, menunjukkan kepentingan yang sangat besar dalam setiap proses dan organisasi internal dan berbagai kelompok, serta membahas pertanyaan yang menyangkut batas, ukuran wilayah dan bentuk integrasi. “Buku Truman juga memberikan”, dalam tulisan David Greenstone, “Tinjauan yang paling sistematis dan komprehensif dalam tradisi teori kelompok yang secara mendasar berusaha memahami realitas politik Amerika. Karena di sana Bentley berulang kali menekankan pentingnya arus proses aktivitas yang menentukan, di mana Truman secara eksplisit melihat kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang stabil tersebut tidak perlu memiliki tujuan-tujuan kebijakan yang berkesinambungan tetapi dapat secara seketika masuk ke dalam poIitik.” Menurut David Truman, “suatu kelompok merupakan suatu kumpulan individu yang “mempunyai satu atau lebih basis perilaku, membuat tuntutan tertentu atas kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat untuk menegakkan, merawat atau memperkuat bentuk-bentuk perilaku yang terlihat dalam perilaku yang dihadapi tadi .... Perilaku yang dihadapi menunjukkan kepentingan-kepentingan”. Truman membedakan antara kelompok dan asosiasi biasa, asosiasi digambarkannya sebagai “kelompok-kelompok yang terbentuk di sekitar hubungan-hubungan Iangsung”. Akan tetapi kelompok-kelompok menganggap arti sebenarnya hubungan mereka dengan kelompok lain, dengan mengusahakan berbagai jenis kepentingan yang sama ataupun yang bertentangan.
Meskipun mengambil penekanan Bentley atas karakter kehidupan politik yang dapat berubah pada hal yang jauh lebih besar daripada Truman, dia berjalan di luar Truman dalam studinya yang bagus tentang New Haven, yang meneliti cara-cara di mana aktivitas kelompok-kelompok dibatasi oleh aktivitas, tujuan-tujuan dari aliansi-aliansi dan mereka yang berperan aktif dalam politik di kota tersebut dan juga oleh norma-norma sistem politik Amerika. Dia juga mengemukakan rincian yang lebih banyak daripada Truman tentang kondisi-kondisi yang dapat membawa suatu kelompok sosial non-politik untuk seketika menjadi favorit dalam suatu isu masyarakat yang besar.
Kemudian apa fungsi pemerintah, dan peran apa yang dimainkannya dalam pertentangan-pertentangan kelompok? Para teoritisi kelompok telah meninggalkan konsep mereka tentang pemerintah dan tentang politik dalam ketidakjelasan. Kadang-kadang mereka menganggap pemerintah sebagai pemegang peran mediator dalam suatu perebutan kekuasaan di antara berbagai kelompok dan sebagai sumber peraturan dan pengaruh. Kadang-kadang pemerintah juga digambarkan sebagai suatu bentuk dalam mana perebutan kekuasaan di antara kelompok dapat berproses, dalam lingkungan dan batas-batas tertentu yang mengatasi (over arching). Antara suatu pemerintah dengan pemerintah lain dapat dibedakan dalam hal mekanisme dan proses-proses yang diberikannya untuk menangani perebutan kekuatan yang berlangsung di antara berbagai kelompok politik?’ Menurut para teoritisi kelompok, pemerintah juga tersusun dari kelompok-kelompok, yang hadir di dalam kerangka berbagai proses sosialnya yang luas. seperti halnya kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan, sehingga menjadikan kelompok-kelompok yang ada di luar mampu mendapatkan sejumlah peluang, yang terbuka bagi masuknya pengaruh. Kemudian, bagaimana kita membedakan kelompok-kelompok yang terdapat di dalam dan di luar pemenintahan? Latham menggunakan istilah “ke pegawaian” (officiality) dalam hubungan ini, sebagai karakteristik kebesanan otoritas pemerintah yang dipandang dan sudut kelompok-kelompok yang berada di luar pemerintahan, yang lainnya tergantung pada pendapat pendapat umum di bidang aktivitas pemerintah.

SEBUAH KRITIK ATAS TEORI KELOMPOK

Para teoritisi kelompok pertama-tama, telah gagal memberikan suatu definisi yang memuaskan atas istilah-istilah yang mereka gunakan. Bentley juga tidak memberikan suatu definisi yang jelas dari istilah “kepentingan”. “Suatu kepentingan adalah sama dengan suatu kelompok”. Tetapi apakah kepentingan yang mendorong kelompok terbentuk, ataukah kelompok yang menjabarkan dirinya dalam konteks kepentingan tertentu, juga tidak dijelaskan.  Bentley tidak dapat memahami bahwa individu-individu mempunyai suatu kepentingan yang secara politis signifikan dan relevan di luar kelompok
Bentley bukanlah satu-satunya teoritis kelompok yang tidak mampu mendefinisikan peristilahannya dengan jelas. Pada satu tahap dia mendefinisikan suatu kelompok sebagai “suatu kumpulan individu yang mempunyai beberapa karakteristik umum”, tetapi dengan segera dia menyadari bahwa hal ini tidak memadai. Latham telah mendefinisikan “keseimbangan” sebagai “perimbangan kekuatan di antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan pada saat pemungutan suara”, dan kebijakan pemerintah sebagai “keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat yang sudah ada”. Tetapi tidaklah jelas siapa kawan dalam perjuangan ini, kepentingan-kepentingan apa yang mendorong mereka melakukan pemungutan suara dalam masalah tertentu, atau tidak menggunakan kekuatan mereka pada saat suatu keputusan diambil atas suatu jenis dan bukannya yang lain, atau apa yang mereka tuju dengan tindakan-tindakan mereka.
Para teoritisi kelompok juga menyepelekan konsep “ide-ide”, “perasaan”, “karakter rakyat”, “kehendak umum”, “kesejahteraan umum”, bahkan “hukum” dan “keadilan”, yang dianggap sebagai hal-hal yang tidak berarti, yang dalam bahasa Bentley disebut sebagai “hantu-hantu” (spooks), dan sedikit perhatian pada orang “yang sedang bersantai dalam mempelajari gejala-gejala pemerintahan dan bahan mentahnya”. “Para teoritisi kelompok juga mencoba mengabaikan pertimbangan, pengetahuan dan kepandaian dan proses pemerintahan, yang menurut mereka hanya diperintah dengan kekuatan, ketegangan dan tekanan. Sementara seseorang mungkin setuju pada para teoritisi kelompok dalam mempertahankan pendapatnya bahwa semua yang berkaitan dengan politik hanya terbentuk dari tekanan, paksaan, intimidasi dan kepentingan pribadi, akan sulit dipercaya karena penalaran dan logika yang sama sekali  aneh bagi proses pembuatan keputusan.
Pengalaman dan persepsi tentang orang yang berbeda-beda tidak hanya mendukung individualitas tetapi juga, pasti menimbulkan akibat pada perbedaan sikap dari afiliasi kelompok yang bertentangan. Bahkan dalam peperangan, tulisnya, kita akan selalu menemukan orang-orang yang pasif, yang setuju, mata-mata dan para pelaku subversi yang mencerminkan kepentingan yang bertentangan dengan konsep yang mengatakan “bangsa sebagai segalanya”. Oleh karena itu, lanjutnya, dalam mengembangkan suatu interpretasi kelompok tentang politik. “Kita tidak perlu memperhitungkan kepentingan keseluruhan yang termasuk di dalamnnya, karena seorang tidak dianggap eksis. “Truman sadar pada kenyataan bahwa eksistensi suatu sistem politik, yang didukung atau setidaknya diterima, oleh sebagian besar masyarakat, tak dapat dipersalahkan, atau bahwa hal ini tidak bisa difahami sebagai sekedar suatu kumpulan semua kelompok yang ada, tetapi dia menganggapnya hanya sebagai “kepentingan-kepentingan” yang menghadirkan apa yang dapat digambarkannya sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang potensial dalam tahap aktivitas yang sedang menjadi”. Akan tetapi argumentasi Truman tidak seluruhnya mengabaikan tuduhan bahwa teori kelompok adalah anti individualis dan mengabaikan keseluruhan yang lebih besar seperti masyarakat atau pemerintahan, di luar pertimbangan teorinya, dan sulit untuk memahami bahwa kelompok-kelompok, meski jumlahnya banyak, dapat mewakili semua kepentingan individu, bahkan dalam hal kepentingan yang tampak maupun yang laten sekalipun. Individu adalah fenomena yang sangat kompleks. Dia mempunyai berbagai dorongan untuk hidup di tengah kelompok, yang menjadikannya membentuk kelompok-kelompok, tetapi dia juga memiliki suatu sifat kekebalan untuk meletakkan identitasnya secara Iengkap dalam kelompok. Jadi, teori kelompok mengabaikan banyak hal yang menyangkut perilaku individual. Sumber-sumber opini dan perilaku serta artinya bagi peran dan status, yang sangat penting dari sudut pandangan aktivitas kelompok dan yang hanya dapat dimengerti dalam konteks perilaku individu. lndividulah yang mengendalikan kelompok ke arah yang diinginkan dan melengkapinya dengan strategi yang diperlukan. Bentley mengabaikannya sebagai ‘psikologisme sederhana” dan menekankan perilaku yang bisa dihitung dan bisa diteliti dan seluruh bagian. Dalam pandangan berbagai metode baru dan maju yang menyangkut faktor-faktor yang tak bisa dihitung, argumen Bentley akan sulit diterima. Argumentasi Truman juga tidak mampu menghadapi kritik, sehingga teori kelompok atau menjelaskan eksistensi masyarakat yang mengatasi (berbagai kelompok dalam studinya tentang kelompok. Peran pemerintah sebagai suatu lembaga yang menghasilkan aneka kepentingan, tuntutan dan tujuan dalam suatu masyarakat secara keseluruhan diberi perhatian dengan berlebihan.
Tugas untuk menjaga keseimbangan sosial tidak dapat diserahkan pada “keanggotaan yang tumpang-tindih’, dengan harapan hal tersebut akan menengahi konflik atau pada kelompk-kelompok potensial dengan penuh harapan mereka akan menjaga “aturan permainan” yang ada. Akan tetapi masih terdapat kegagalan yang lebih besar dalam teori kelompok bahwa walaupun tujuan di anggap penting bagi setiap kelompok, dan upaya mencapai tujuan tersebut menjadi dasar bagi pendekatan kelompok, tidak terdapat penjelasan bagaimana tujuan-tujuan tersebut dirumuskan, diartikulasikan dan dilaksanakan oleh berbagai kelompok. Kepentingan kelompoklah yang mengarahkan berbagai aktivitas mereka, tetapi bagaimana aneka kepentingan tersebut diteruskan, dan dengan tujuan apa, tidak dijabarkan sama sekali. Suatu teori yang tidak memberikan definisi tujuan-tujuan yang sebenarnya tentunya sangat tidak mampu menjelaskan perubahan sosial. Perubahan-perubahan yang digambarkan oleh teori tersebut terutama dalam batas-batas sistem yang berorientasi pada kestabilan (stability oriented system), dan pada kemampuan maksimalnya, tergantung pada mekanisme perimbangan di mana kelompok-kelompok individu dalam sistem tersebut.
KEKUASAAN NEGARA

Teori kekuasaan Negara”, dengan penekanan utamanya pada pengembangan kekuatan militer yang efektif oleh negara, pertama kali didengungkan di Jerman pada abad ke-19 oleh para sejarawan seperti Heinrich von Treitschke dan para filosof seperti Friedrich Nietzsche dan juga didukung oleh beberapa penulis di sana pada abad ke-20. Menurut Kauffmann, “dalam peperangan, negara menunjukkan sendiri kebenaran esensinya: perang merupakan penampilan negara yang tertinggi, di mana sifat istimewanya mencapai perkembangan maksimal. Dalam sebuah buku yang ditulisnya di pulau Sylt, Charles Merriam, dengan menggunakan konsep Bentley tentang “kepentingan” yang sebanding dengan konsep massa dan energi dalam ilmu Fisika, mengembangkan konsep tentang kekuasaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More