PEMIKIRAN
POLITIK ISLAM MODERN
MICHAELLE
BROWERS
Ketika untuk pertama kalinya dalam
sejarah umat Muslim menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan
ekonomi oleh penjajah Barat Kristen, mereka mulai mengajukan pertanyaan sebagai
berikut:
Sebab-sebab
apakah yang menimbulkan degradasi umum pada umat Muslim modern?
Jika
Islam adalah iman yang mempersatukan, mengapa banyak ragamnya di kalangan umat
Muslim?
Apakah
kesatuan di kalangan umat Muslim adalah harapan masuk akal yang dapat terwujud?
Mungkinkah
bagi kami untuk menjadi nasionalis yang loyal dan pada saat yang bersamaan
menjadi Muslim sejati?
Mengapa
negara modern hanya terjadi pada negara-negara Kristen?
Apakah
islam menoleransi lembaga-lembaga bebas liberal (dan) sanggupkah Islam
mengadaptasi diri dengan tuntutan lembagal-lembaga tersebut?
Mengapa
kami sampai pernah menjadi penyangkal ilmu pengetahuan dan memusuhi kearifan?
Siapa
yang pernah membayangkan bahwa Islam yang berdasarkan pada nalar dan pemikiran
akan terampas kebebasannya untuk berijtihad (interpretasi keagamaan rasional)
dan terkungkung di bawah taklid (teladan para cendekiawan)?
Apa
yang harus dilakukan?
Saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan
inilah kita jumpai awal mula pemikiran Islam modern. Kaum Modernis Islam
pertama kali mengangkat isu ini pada awal abad kesembilan belas ketika
‘beberapa negara Islam mengambil penyelenggaraan teknik dan militer Eropa, dan
berbagai musafir Muslim di Eropa kembali dengan membawa kisah-kisah berpengaruh
tentang progres dan pencerahan’ (Kurzman. 2002:4). Sehubungan dengan reformasi
politik. Kaum Modernis Islam berusaha mengambil aspek sistem politik Eropa di
satu sisi, dan menegaskan kembali islam sebagai sistem sosio-politik dalam
keselarasan yang sempurna dengan modernitas di sisi yang lain. Ada pula suatu
pemahaman yang disampaikan oleh pengamat-pengamat non-Islam, bahkan dan pihak
pemikir-pemikir Islam sendiri, bahwa pemikiran politik Islam di masa kini
tampaknya telah mencapai kebuntuan, sedikitnya dalam tiga isu: bagaimana
menangani tradisi Islam, fungsi agama di dalam masyarakat, dan dasar organisasi
politik. Memang benar bahwa isu-isu ini terus-menerus muncul kembali di dalam
tiga kecenderungan teorisasi politik Islam yang dibahas di sini: modernisme
Islam, Islamisme, dan liberalism Islam.
MODERNISME ISLAM
Kemunculan modernisme di dalam pemikiran
Islam mirip yang disebut Nahda (renaisans atau terjaga kembali) dalam
bahasa Arab. Umat muslim yang bekerja dalam tradisi ini berusaha membangkitkan
kembali pemikiran Islam dengan mengukuhkan kesinambungan dengan masa lalu dan
menyesuaikan hal yang mereka anggap sebagai pencapaian Eropa modern terutama,
teknologi materi modern, teknik modern dalam memobilisasi dan menyelenggarakan
masyarakat, serta lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen.
Afghani, menganggap peniruan membabi
buta terhadap Barat tak lebih daripada’ peniruan membabi buta terhadap masa
lampau, karena ‘pengalaman dan bukti dari masa lampau telah mengajarkan kita
bahwa para peniru di setiap bangsa dan mereka yang meniru adat istiadat asing
merupakan celah dan kekosongan yang dapat dirembesi dominasi asing untuk
memasuki sebuah negara’ (dalam Awwad, 1986: 84).
Perhatian utama dalam wacana politik
Islam modernis ialah menyampaikan pemahaman yang rasional mengenai hubungan
antara agama dan negara. Salah satu unsur awal pemikiran Islam modernis memberi
Islam pemahaman nasionalistis yang berfokus pada pembangunan negara kuat yang
mampu bersaing dengan Barat.
Menurut ortodoksi Sunni, pemimpin harus
dipilih oleh kelas elite yang disebut ahl
al-hall wa al-’aqd (secara harfiah, mereka yang melonggarkan dan mengikat),
orang-orang dengan otoritas dan kedudukan di dalam komunitas seperti kepala
suku, gubernur provinsi, pemuka negara.
Dalam memajukan klaim-klaim mereka,
beberapa Modernis Islam memilih satu bagian di dalam Qur’an yang menasihati
Muhammad untuk ‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (Surat 3, Ayat
159), lalu menginterpretasikan artinya seperti yang dilakukan Musa Kazin
(Turki, 1858-1920), bahwa para pemimpin diwajibkan untuk ‘bermusyawarah bersama
umat dalam setiap urusan’ (dalam Kurzman, 2002: 176). Dalam sebuah esai yang
memuat ayat tersebut sebagai judulnya. Namik kemal (turki, 1840-88) menyatakan
bahwa untuk ‘menjaga negara tetap dalam batas-batas keadilan’, umat Muslim
wajib menjalankan dua perbaikan: (1) menjadikan tindakan pemerintah bersifat
umum dan terbuka terhadap pemeriksaan, yaitu, ‘membebaskan prinsip-prinsip
fundamental administrasi dan wilayah interpretasi implisit dan menjadikannya
umum’, serta (2) melaksanakan ‘metode musyawarah (al-syura), yang mengambil
kekuasaan legislatif dari tangan anggota pemerintahan’ dan meletakkannya kepada
anggota komunitas Islam yang lebih besar (umat) (dalam Kurzman, 2002: 145). Yang
lemah di antara kamu adalah kuat (bagiku) sampai aku memberikan hak mereka.
Yang kuat di antara kamu adalah lemah (bagiku) sampai aku mengambil dan mereka
apa yang menjadi hak yang lain. Kukatakan hal ini dan kumohon ampunan Allah
untuk diriku dan untuk kamu sekalian. (dalam Kurzman. 2002: 93-4).
Pemikir Maroko, Muhammad ‘Abd al-Jabiri
(lahir 1936), menerangkan bahwa generasi yang meliputi Afghani dan Abduh kerap
berupaya menjembatani tradisi Arab-Islam dan Pencerahan Eropa dengan cara
mengorelasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep Eropa.
Meski gerakan-gerakan konstitusional
menerima banyak gagasan Kaum Modernitas dan golongan-golongan agama mendukung
eksperimen konstitusional yang berlangsung di Tunisia (1860), Turki (1876),
Mesir (1881), dan Persia (1905), seperti yang ditunjukkan Majid Khadduri,
konstitusi-konstitusi yang pada akhirnya dilaksanakan tidak sedikit pun
menghiraukan prinsip-prinsip Islam, kecuali menyebut Islam sebagai agama resmi
negara.
KEBANGKITAN KEMBALI
PERHATIAN KEPADA ISLAM
Pada separuh kedua 1970-an, semua pihak
menyaksikan kekorupan dan ketidakcakapan sejumlah negara sosialis dan
nasionalis Arab yang ada di kawasan itu, dan kaum Islamis, yang menolak model
negara Barat juga tampaknya telah mengapropriasi beberapa model sosialis Barat
dengan maksud untuk merebut kekuasaan negara.
Harus dibedakan antara Revivalis Islam
sering disebut sebagai ‘Fundamentalis Islam’ yang berupaya kembali pada
sumber-sumber autoritatif dalam tradisi Islam dengan tujuan melegitimasikan
perubahan-perubahan di masa kini, dengan tradisionalis Islam, yang menolak
perubahan dan berupaya melestarikan ortodoksi Islam. Revivalis dan Modernis
sama-sama menganut keyakinan yang sudah ada sebelum mereka bahwa Islam dapat
dan seharusnya beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern. Muslim tradisionalis
cenderung menghindari ijtihad dan lebih memilih taklid (meniru buta) pemahaman
dan tradisi Islam yang sudah teruji oleh waktu. Kaum tradisionalis atau mereka
yang menyatakan bahwa turath
(warisan) Islam Qur’an dan Sunah (tradisi Nabi) tidak terpengaruh oleh perubahan
keadaan dan menunjukkan keberadaan sebuah tradisi yuridis terlembagakan (‘ilm al.fiqh) sebagai pelindung agama,
sudah selalu ada di dalam tradisi Islam. Kaum Islamis cenderung lebih mendekati
aktivisme politik daripada teologi dan juga lebih selektif (dalam mengedepankan
segmen-segmen Qur’an yang mendukung tujuan mereka. Untuk tujuan kita di sini,
Revivalis dan respons mereka baik terhadap Islam modernis maupun terhadap
masalah masalah yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer lebih relevan dikarenakan
mereka merupakan kecenderungan khas modern di dalam pemikiran politik Islam.
Gerakan baru ini muncul dengan semboyan
‘Islam adalah solusi’ (al-Islam huwa
al-hall atau al-hall al-islami) dan menyerukan untuk ‘kembali kepada para
pendahulu’ (al-sala)). Dan situlah
lahir nama gerakan Salafiyyah, yang menganjurkan untuk kembali kepada ortodoksi
cenderung ke syariat (shari’a-minded
orthodoxy) yang akan memurnikan Islam dan tambahan-tambahan asing. Sumber
sejarah terpenting untuk kecenderungan di dalam Islam ini ialah yuris Suriah,
Taqiyal-Din Ibri Taymiyya (1236-1328), seorang pendukung setia Islam Sunni
berdasarkan ketaatan yang kaku pada Qur’an dan Sunah autentik. Ibn Taymiyya
menulis di tengah-tengah percekcokan yang timbul karena agresi asing dan tentara
Perang Salib Kristen dan orang Mongolia, juga perjuangan perebutan kekuasaan di
dalam negeri. Ia yakin bahwa kedua sumber ini memuat segala pedoman keagamaan
dan rohani yang diperlukan bagi umat Muslim dan kebangkitan kembali dunia
Islam.
Mawdudi menyerukan agar kembali kepada
Qur’an dan Sunah yang telah dimurnikan sebagai cara untuk menghidupkan kembali
Islam. Mawdudi menyebut Islam sebagai ideologi dan menyebut negara Islam sebagai
negara ideologis: ‘Jelas dan kajian cermat Qur’an dan Sunah bahwa negara di
dalam Islam berdasarkan pada ideologi dan tujuannya ialah menegakkan ideologi
itu’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 256-7). Ia berpendapat bahwa
satu-satunya cara agar bal ini bisa benar-benar dijalankan ialah melului negara
islam yang dalam ‘segala hal, dibangun di atas hukum yang ditetapkan oleh Allah
melalul Rasul-nya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 271) dan inilah tujuan
politik yang dikejarnya di Pakistan.
Menurut penilaian Qutb, zaman
kontemporer adalah zaman kebodohan, ketiadaan Tuhan, dan kebingungan terang
dalam gagasan jahiliah tersebut dan umat Muslim harus mundur dan masyarakat
jahili mendirikan tatanan sosial Islam sejati (al-nizam al-islami) dan
akhirnya, menaklukkan (kembali) tatanan bodoh yang ada (al-nizam al-jahili).
Menurut perspektif ini, Islam tidak cocok dengan realitas ‘sekular’ modern dan
umat Islam baru dapat tumbuh dan berkembang dengan balk bila mengabaikan
realitas ini, Satu-satunya penawar bagi keadaan jahiliah saat itu terutama
materialisme Barat yang dianggapnya sebagai pencemar utama jalah hakimiyya
Allah: pandangan hidup Islami yang total dan sistem Islam yang diperintahkan
secara ilahi. Jihad’, klaim Mawdudi, adalah bagian dan pembelaan menyeluruh
terhadap Islam ini. Jihad berarti perjuangan dengan kemampuan semaksimal
mungkin yang dimiliki. Seorang manusia yang mencurahkan diri secara jasmani
atau rohani atau membelanjakan kekayaannya di jalan Allah sudah tentu melakukan
Jihad. Namun, menurut bahasa Syariat, istilah ini digunakan terutama untuk
perang yang dilakukan semata-mata dengan nama Allah dan terhadap mereka yang
melakukan penindasan sebagai musuh-musuh Islam. (1960: 150).
Qutb membedakan dunia menjadi dua ranah:
dar al-Islam dan dar al.-harb. Ranah kedua terdiri dari setiap teritori yang
aturan-aturan Islam tidak diberlakukan di dalamnya, tak peduli apakah
penguasanya mengklaim sebagai Muslim (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 241-2).
Meski Mawdudi menyebut jihad sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, Qutb sangat
jelas dalam menyatakan dalam konteks ranah-ranah yang bertentangan ini bahwa
jihad adalah kewajiban yang berlaku pada seluruh Muslim sejati. Agar memberi
hasil yang diinginkan negara Islam’Jihad Islami’ harus memberikan umat Muslim
‘atmosfer bebas untuk melaksanakan keyakinan yang telah dipilihnya. Jihad
Islami dapat sepenuhnya menghancurkan sistem-sistem politik yang berkuasa, atau
menaklukkannya, memaksa sistem-sistem tersebut untuk tunduk dan menerima Jizyah
(pajak yang dibayar oleh non-Muslim di sebuah negara Islam).
Pemikiran Qutb mengandung dua inovasi
yang terbukti sangat signifikan bagi Kaum Islamis yang tergugah olehnya.
Pertama, dengan mengumumkan bahwa bukan cuma pemerintah non-Islam, tetapi juga
pemerintah-pemerintah yang dipimpin umat Muslim bisa dianggap berada dalam
keadaan jahiliah, ia memberikan persetujuan Islami kepada umat Muslim untuk
menentang dan menggulingkan pemerintah yang memerintah mereka. Perintah mutlak
ini juga ada di dalam Qur’an, bahwa tak seorang pun boleh berhubungan dengan
orang yang memalingkan wajahnya dan mengingat Allah dan hanya mencari dunia
sebagai tujuan dan pandangannya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 205).
Namun, target utama Kaum Islamis ialah negara-bangsa secular di negara-negara
Islam, dan tujuan akhir mereka ialah mendirikan sebuah negara Islam. Negara impian
mereka akan memiliki Qur’an sebagai konstitusinya, pemimpin yang melaksanakan
syariat, yang juga mengikat atasnya, dan menghidupkan syura (musyawarah).
Seperti ditulis Qutb, ‘teori politik di dalam Islam bersandar pada dasar
keadilan di pihak para pemimpin, kepatuhan di pihak yang dipimpin, dan
kolaborasi di antara pemimpin dan yang dipimpin’ (1980: 93). Menurut Qutb, umat
Muslim yang mendukung kedaulatan manusia di dalam politik merancukan penggunaan
kekuasaan dengan sumbernya. Karena hukum islam sudah menyediakan sistem hukum
dan moral yang lengkap, tidak mungkin ada pembuatan undang-undang lebih lanjut
atau tidak perlu ada. Mawdudi pun mengklaim bahwa ‘sudah sangat jelas bahwa
Islam yang berbicara dari sudut pandang filsafat politik adalah antiteis dan
demokrasi Barat sekular itu sendiri’ (dalam Donohuc dan Esposito, 1982: 254).
Vilayat-I faqih didirikan berdasarkan
keberadaan ‘klerus’ Syi’ah yang
hierarkis dan terlembagakan (sesuatu yang tidak ada pada tradisi Sunni). Namun,
beberapa partai dan gerakan Islamis seperti Muslim Brethren di Jordan, secara
resmi telah menerima sarana dan praktik lembaga sekular dan telah
diintegrasikan ke dalam proses politik. Sebagian besar perhatian dan energi
Kaum Isiamis tetap terfokus pada permaslahan internal negara dan masyarakat
yang didominasi oleh penduduk Muslim atau hanya berpenduduk Muslim. Meski
demikian, bahkan dimensi terbaru pada pemikir politik Islami ini menguatkan
penilaian Robert Hefner bahwa ‘benturan peradaban’ atau ‘pandangan dunia (world Views)’ yang sesungguhnya di
periode kontemporer bukan terjadi ‘di antara Barat dan suatu “pihak lain” yang
homogen, tetapi di antara para pembawa tradisi yang saling bersaing di dalam
bangsa dan peradaban yang sama(1998:92).
ISLAM LIBERAL
Kemenonjolan dan kekuatan Islamisme
mengalami pasang surut di sepanjang pertengahan dan bagian akhir abad kedua
puluh. Pada akhir abad kedua puluh, wacana modernis dihidupkan kembali dan
diperkuat bersama hal yang disebut sebagai ‘liberalisme Islam’. Menurut
Kurzman, Kaum Liberal islam ‘berusaha menghidupkan kembali reputasi dan
pencapaian Kaum Modernis terdahulu’ (2002:4). Liberalisme Islam kontemporer
berbeda dan baik Kaum Modernis Islam maupun Kaum Islamis dalam tiga hal.
Pertama, terhadap semboyan Islamis bahwa
‘Islam adalah solusi’, serta klaim sekularis bahwa Islam adalah masalah. Kaum
Liberal Islam menyebut sebagian besar penyakit sosial dan politik disebabkan
oleh kurangnya demokrasi dan hak-hak asasi, terutama kebebasan dalam berpikir.
Menanggapi Kaum Islamis, Sadek J. Sulaiman
(Oman, lahir 1933) menyatakan bahwa ‘sebagai konsep dan sebagai prinsip, syura
di dalam Islam tak berbeda dengan demokrasi’, dan ‘hubungan antara demokrasi
dan syura menyentuh hakikat keberadaan nasional kita (qawmiyyah). Syura menentukan kualitas pengalaman kewarganegaraan
kita dan dunia yang ingin kita wariskan kepada generasi yang akan datang.
adalah
istilah politik yang relatif baru diciptakan dan menunjukkan faktor (atau
banyak faktor) tetap dan tertentu pada suatu masyarakat tempat kekuatan koersif
berada dengan sepatutnya guna dipatuhi kehendaknya. Jelas sekali bahwa dalam
pengertian ini Allah tidak berdaulat dan hanya manusia yang dapat dan memang
berdaulat. (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 264).
Mengakui kedaulatan Allah, menurut
pandangan Rahman, mencakup menerima ‘prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalam
Qur’an (yang) merupakan keadilan dan fair play’.
Pemikir-pemikir Islam Liberal berpendapat bahwa sistem demokrasi yang paling
baik dalam mengodifikasi dan memelihara hak dan kewajiban akan dapat mengurangi
kesewenang-wenangan dan autoritarianisme di pihak negara. Di antara nilai-nilai
terpenting yang dianggap berasal dari demokrasi menurut pemikiran Islam
terdapat toleransi, dan di antara hak-hak terpentìngnya terdapat kebebasan
berpikir dan kebebasan berbicara. Nurcholish Madjid (Indonesia, lahir 1939)
menyebut kebebasan berpikir dan berbicara sebagai hak dasar terpenting yang
dimiliki individu dan menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang terdengar aneh atau
tidak benar pun harus dilindungi:
Tidak
jarang gagasan dan pemikiran yang mulanya dianggap keliru, (di kemudian hari)
diketahui benar. Selanjutnya, dalam menghadapi gagasan dan pemikiran, bahkan
kekhilafan pun bisa jadi sangat berguna, karena kekhilafan akan mendorong
kebenaran untuk mengungkapkan diri dan berkembang sebagai kekuatan yang hebat.
‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami
berikan Aturan dan Jalan yang terang. Aspek khusus kedua dan para pemikir Islam
liberal ialah bahwa mereka menghindari upaya-upaya untuk merebut kekuasaan
negara, atau bahkan untuk meng-Islamisasikan negara, serta lebih berfokus
kepada menghidupkan kembali etos Islam di tingkat masyarakat. Menurut ‘Abd
al-Raziq, pemerintahan ‘adalah tujuan duniawi, dan Allah, semoga Dia selalu
ditinggikan, menjadikannya sebagai persoalan yang harus diselesaikan oleh
pikiran kita, dan membiarkan manusia bebas mengolahnya sesuai tuntunan yang
diberikan oleh pikiran, pengetahuan, minat, hasrat, dan tendensi mereka’ (dalam
Kurzman, 1998: 35).
Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam
liberal menunjukkan pergeseran signifikan terkait penggantian argumen teokratis
dengan argumen yang dimaksudkan untuk menanamkan atau melindungi etos Islam.
Sebagian, seperfi Khalaf-Allah, menyatakan bahwa ‘jika ada pemerintah yang
dapat disebut Islami, hal itu tentu dalam pengertian “Islam sebagai budaya”
(al-Islam al-hadara) dan bukan “Islam sebagai agama” (al-Islam al-din)’ (Ayoubi, 1991: 302).
Agar berhasil, agama harus mengakui
bahwa ia adalah iman akan kekuatan besar yang ditanamkan di dalam nurani
manusia untuk menghubungkan Individu dengan imannya, masyarakat, kemanusiaan,
dan kosmos pada umumnya. (1998: 71). Unsur ketiga yang membedakan sedikitnya
sebagian Liberal Islam/dengan Modernis, Islamis, dan Tradisionalis berhubungan
dengan pendekatan mereka terhadap isu menginterpretasikan tradisi agama atau
ijtihad. Kaum Modernis Islam telah menerima ortodoksi Sunni yang mengklaim
bahwa ‘pintu ijtihad’ telah ditutup pada abad-abad pertama Islam, bahwa umat
Muslim di kemudian hari perlu mengikuti praktik taklid, meneladani
tradisi-tradisi yang sudah mapan. Misalnya, pada pergantian abad yang Iampau,
Mahmud Shukni al-Alusi (Irak, 1857-1924) menganggap ‘tesis tentang tertutupnya
pintu ijtihad’ yang diajukan oleh rekan sezamannya, Yusuf al-Nabbani yang ‘bodoh’
dan ‘merana’ (Palestina-Lebanon, 1850-1932) itu, ‘palsu dan heretis’ (dalam
Kurzman, 2002: 171). Kekhilafan, segala kekhilafan itu, terletak pada peniruan
membabi buta dan pengekangan pikiran’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 182).
Afghani berpendapat bahwa umat Muslim ‘tidak boleh puas hanya dengan taklid dan
leluhur mereka’ (dalam Keddie, 1968: 171). Dalam memerangi praktik taklid,
Modernis Islam berusaha merehabilitasi dan memperluas hak untuk melakukan
ijtihad guna menginterpretasi ulang tradisi Islam agar memenuhi kebutuhan :
zaman modern, Wael Hallaq membedakan dua unsur dalam pemikiran hukum Islam
kontemporer yang menawarkan visi-visi ijtihad yang saling bertentangan. Meski
Turabi mungkin pantas dimasukkan di kalangan Liberal islam, berdasarkan penekanannya
pada demokrasi dan pluralisme, pembedaan Hallaq mencakup sisi Kaum Liberal
Islam kontemporer yang dominan dan khas. Baik unsur liberal maupun unsur
utilitarian, menurut Hallaq, memiliki tujuan yang sama: ‘merumuskan kembali
teori hukum dengan cara yang menyukseskan sintesis : antara nilai-nilai
keagamaan dasar Islam, di satu sisi, dengan hukum substantif yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sebuah masyrakat modern dan terus berubah, di sisi yang
lain’. Namun, hal yang paling membedakan dua kecenderungan ini ialah metode
yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada 1982, Rahman mengatakan bahwa
adalah ironi bila menghadapkan yang disebut Fundamentalis Muslim : sebagai
lawan dan Modernis Muslim, sebab, selama prosedur mereka yang mengagumkan itu
terus berlangsung, ucapan Kaum Modernis Muslim akan selalu tepat sama dengan
ucapan kaum yang disebut sebagai Fundamentalis Muslim tersebut. Bahwa umat
Muslim wajib kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli dan definitif serta
menjalankan ijtihad dengan berdasarkan sumber-sumber tersebut. (1982: 142).
Baik Kaum Modernis maupun Kaum Isiamis
‘memberikan jawaban yang sama sekali berbeda untuk beberapa isu dasar sesuai
dengan lingkungan mereka masing-masing’, tetapi seperti yang dilihat oleh
Rahman, yang menjadi masalah bukanlah kesimpulan mereka yang berbeda, tetapi
tidak adanya ‘metode’ dalam menginterpretasikan tradisi islam agar dapat
memberikan interpretasi yang meyakinkan dan tepercaya serta menghapuskan
interpretasi yang ‘asal-asalan’.
Dalam mendekati Qur’an, an-Na’im
mengikuti metode eksegesis tradisional dengan membedakan ayat-ayat yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Mekah dan ayat-ayat yang diwahyukan di
Madinah.
Berdasarkan hal inilah Shahrour
membedakan antara yang ‘disahkan secara ketuhanan (halal) dengan yang dilarang
secara ketuhanan (haram) dan yang dilarang secara manusiawi (mamnu)’, dengan menyatakan bahwa ‘ajaran
dasar Islam ialah bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang secara khusus itu
diperbolehkan’ (1990: 141). Metode Shahrour mengilustrasikan pendekatan
metodologi yang sudah umum bagi Kaum Liberal Islam. Sementara Muslim modernis
mencari berbagai gagasan liberal di dalam warisan Islam, Kaum Liberal Islam
meyakini bahwa warisan tersebut tidak banyak berbicara mengenai isu-isu
tertentu. Al-’Ashmawy, misalnya, mengatakan bahwa ‘dari 6.000 ayat Qur’an,
hanya 200 yang mengandung aspek hukum, yaitu, kira-kira sepertigapuluh dari isi
Qur’an, termasuk ayat-ayat yang telah dihapuskan dengan ayat-ayat sesudahnya’
(dalam Kurzman, 1998:51).
DIALOG YANG
TERPUTUS-PUTUS
Pada periode kontemporer, yang
diperhatikan bukan cuma berbagai interpretasi ‘yang sama sekali berbeda’
terhadap tradisi Islam, tetapi juga beberapa metode interpretasi yang sama
sekali berbeda. Namun, teridentifikasi sedikitnya dua transformasi penting di
dalam pemikiran politik Islam.
Seperti halnya Kaum Modernis Islam,
pemikir-pemikir Islam liberal juga menawarkan cara yang menjanjikan dalam
menegosiasikan konflik antara modernisasi dan warisan Islam serta memenuhi
tuntutan baik modernisasi maupun warisan Islam, tetapi mereka pun menghadapi
tantangan serius, Mereka tengah diserang dan dua sisi sekahigus: dikecam karena
terlalu liberal, juga karena terlalu Islami. Kaum Sekularis melihat Islam
liberal (juga Islam modernis) sebagai oksimoron dan menyatakan bahwa Islam
terlalu kaku untuk ditransformasi atau bahwa Islam harus diturunkan ke ranah
pribadi. Baik Kaum Islamis revivalis maupun Kaum Islamis tradisional
berpendapat bahwa Kaum Liberal Islam tak lebih dan Kaum Sekularis yang berkedok
Islam, menyangkal bahwa nilai-nilai modern memiliki tempat di dalam leksikon
Islam atau mengutip nilai-nilai modern untuk menganggap liberalisme mereka
kebablasan sehingga mengorbankan warisan Islam.
Bahkan, yang paling tidak toleran dan Kaum
Islamis pun beberapa pengecam dan penghujat Hanafi yang paling buruk dalam
pengertian tertentu juga menempati ruang diskursif yang sama dan setidaknya,
secara sebagian, meleburkan wacana liberal dan pemikiran modernis.
0 komentar:
Posting Komentar