Kamis, 18 Mei 2017

Pemikiran Politik Islam



PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN
MICHAELLE BROWERS

Ketika untuk pertama kalinya dalam sejarah umat Muslim menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan ekonomi oleh penjajah Barat Kristen, mereka mulai mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Sebab-sebab apakah yang menimbulkan degradasi umum pada umat Muslim modern?
Jika Islam adalah iman yang mempersatukan, mengapa banyak ragamnya di kalangan umat Muslim?
Apakah kesatuan di kalangan umat Muslim adalah harapan masuk akal yang dapat terwujud?
Mungkinkah bagi kami untuk menjadi nasionalis yang loyal dan pada saat yang bersamaan menjadi Muslim sejati?
Mengapa negara modern hanya terjadi pada negara-negara Kristen?
Apakah islam menoleransi lembaga-lembaga bebas liberal (dan) sanggupkah Islam mengadaptasi diri dengan tuntutan lembagal-lembaga tersebut?
Mengapa kami sampai pernah menjadi penyangkal ilmu pengetahuan dan memusuhi kearifan?
Siapa yang pernah membayangkan bahwa Islam yang berdasarkan pada nalar dan pemikiran akan terampas kebebasannya untuk berijtihad (interpretasi keagamaan rasional) dan terkungkung di bawah taklid (teladan para cendekiawan)?
Apa yang harus dilakukan?
Saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan inilah kita jumpai awal mula pemikiran Islam modern. Kaum Modernis Islam pertama kali mengangkat isu ini pada awal abad kesembilan belas ketika ‘beberapa negara Islam mengambil penyelenggaraan teknik dan militer Eropa, dan berbagai musafir Muslim di Eropa kembali dengan membawa kisah-kisah berpengaruh tentang progres dan pencerahan’ (Kurzman. 2002:4). Sehubungan dengan reformasi politik. Kaum Modernis Islam berusaha mengambil aspek sistem politik Eropa di satu sisi, dan menegaskan kembali islam sebagai sistem sosio-politik dalam keselarasan yang sempurna dengan modernitas di sisi yang lain. Ada pula suatu pemahaman yang disampaikan oleh pengamat-pengamat non-Islam, bahkan dan pihak pemikir-pemikir Islam sendiri, bahwa pemikiran politik Islam di masa kini tampaknya telah mencapai kebuntuan, sedikitnya dalam tiga isu: bagaimana menangani tradisi Islam, fungsi agama di dalam masyarakat, dan dasar organisasi politik. Memang benar bahwa isu-isu ini terus-menerus muncul kembali di dalam tiga kecenderungan teorisasi politik Islam yang dibahas di sini: modernisme Islam, Islamisme, dan liberalism Islam.

MODERNISME ISLAM
Kemunculan modernisme di dalam pemikiran Islam mirip yang disebut Nahda (renaisans atau terjaga kembali) dalam bahasa Arab. Umat muslim yang bekerja dalam tradisi ini berusaha membangkitkan kembali pemikiran Islam dengan mengukuhkan kesinambungan dengan masa lalu dan menyesuaikan hal yang mereka anggap sebagai pencapaian Eropa modern terutama, teknologi materi modern, teknik modern dalam memobilisasi dan menyelenggarakan masyarakat, serta lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen.
Afghani, menganggap peniruan membabi buta terhadap Barat tak lebih daripada’ peniruan membabi buta terhadap masa lampau, karena ‘pengalaman dan bukti dari masa lampau telah mengajarkan kita bahwa para peniru di setiap bangsa dan mereka yang meniru adat istiadat asing merupakan celah dan kekosongan yang dapat dirembesi dominasi asing untuk memasuki sebuah negara’ (dalam Awwad, 1986: 84).
Perhatian utama dalam wacana politik Islam modernis ialah menyampaikan pemahaman yang rasional mengenai hubungan antara agama dan negara. Salah satu unsur awal pemikiran Islam modernis memberi Islam pemahaman nasionalistis yang berfokus pada pembangunan negara kuat yang mampu bersaing dengan Barat.
Menurut ortodoksi Sunni, pemimpin harus dipilih oleh kelas elite yang disebut ahl al-hall wa al-’aqd (secara harfiah, mereka yang melonggarkan dan mengikat), orang-orang dengan otoritas dan kedudukan di dalam komunitas seperti kepala suku, gubernur provinsi, pemuka negara.
Dalam memajukan klaim-klaim mereka, beberapa Modernis Islam memilih satu bagian di dalam Qur’an yang menasihati Muhammad untuk ‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (Surat 3, Ayat 159), lalu menginterpretasikan artinya seperti yang dilakukan Musa Kazin (Turki, 1858-1920), bahwa para pemimpin diwajibkan untuk ‘bermusyawarah bersama umat dalam setiap urusan’ (dalam Kurzman, 2002: 176). Dalam sebuah esai yang memuat ayat tersebut sebagai judulnya. Namik kemal (turki, 1840-88) menyatakan bahwa untuk ‘menjaga negara tetap dalam batas-batas keadilan’, umat Muslim wajib menjalankan dua perbaikan: (1) menjadikan tindakan pemerintah bersifat umum dan terbuka terhadap pemeriksaan, yaitu, ‘membebaskan prinsip-prinsip fundamental administrasi dan wilayah interpretasi implisit dan menjadikannya umum’, serta (2) melaksanakan ‘metode musyawarah (al-syura), yang mengambil kekuasaan legislatif dari tangan anggota pemerintahan’ dan meletakkannya kepada anggota komunitas Islam yang lebih besar (umat) (dalam Kurzman, 2002: 145). Yang lemah di antara kamu adalah kuat (bagiku) sampai aku memberikan hak mereka. Yang kuat di antara kamu adalah lemah (bagiku) sampai aku mengambil dan mereka apa yang menjadi hak yang lain. Kukatakan hal ini dan kumohon ampunan Allah untuk diriku dan untuk kamu sekalian. (dalam Kurzman. 2002: 93-4).
Pemikir Maroko, Muhammad ‘Abd al-Jabiri (lahir 1936), menerangkan bahwa generasi yang meliputi Afghani dan Abduh kerap berupaya menjembatani tradisi Arab-Islam dan Pencerahan Eropa dengan cara mengorelasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep Eropa.
Meski gerakan-gerakan konstitusional menerima banyak gagasan Kaum Modernitas dan golongan-golongan agama mendukung eksperimen konstitusional yang berlangsung di Tunisia (1860), Turki (1876), Mesir (1881), dan Persia (1905), seperti yang ditunjukkan Majid Khadduri, konstitusi-konstitusi yang pada akhirnya dilaksanakan tidak sedikit pun menghiraukan prinsip-prinsip Islam, kecuali menyebut Islam sebagai agama resmi negara.

KEBANGKITAN KEMBALI PERHATIAN KEPADA ISLAM
Pada separuh kedua 1970-an, semua pihak menyaksikan kekorupan dan ketidakcakapan sejumlah negara sosialis dan nasionalis Arab yang ada di kawasan itu, dan kaum Islamis, yang menolak model negara Barat juga tampaknya telah mengapropriasi beberapa model sosialis Barat dengan maksud untuk merebut kekuasaan negara.
Harus dibedakan antara Revivalis Islam sering disebut sebagai ‘Fundamentalis Islam’ yang berupaya kembali pada sumber-sumber autoritatif dalam tradisi Islam dengan tujuan melegitimasikan perubahan-perubahan di masa kini, dengan tradisionalis Islam, yang menolak perubahan dan berupaya melestarikan ortodoksi Islam. Revivalis dan Modernis sama-sama menganut keyakinan yang sudah ada sebelum mereka bahwa Islam dapat dan seharusnya beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern. Muslim tradisionalis cenderung menghindari ijtihad dan lebih memilih taklid (meniru buta) pemahaman dan tradisi Islam yang sudah teruji oleh waktu. Kaum tradisionalis atau mereka yang menyatakan bahwa turath (warisan) Islam Qur’an dan Sunah (tradisi Nabi) tidak terpengaruh oleh perubahan keadaan dan menunjukkan keberadaan sebuah tradisi yuridis terlembagakan (‘ilm al.fiqh) sebagai pelindung agama, sudah selalu ada di dalam tradisi Islam. Kaum Islamis cenderung lebih mendekati aktivisme politik daripada teologi dan juga lebih selektif (dalam mengedepankan segmen-segmen Qur’an yang mendukung tujuan mereka. Untuk tujuan kita di sini, Revivalis dan respons mereka baik terhadap Islam modernis maupun terhadap masalah masalah yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer lebih relevan dikarenakan mereka merupakan kecenderungan khas modern di dalam pemikiran politik Islam.
Gerakan baru ini muncul dengan semboyan ‘Islam adalah solusi’ (al-Islam huwa al-hall atau al-hall al-islami) dan menyerukan untuk ‘kembali kepada para pendahulu’ (al-sala)). Dan situlah lahir nama gerakan Salafiyyah, yang menganjurkan untuk kembali kepada ortodoksi cenderung ke syariat (shari’a-minded orthodoxy) yang akan memurnikan Islam dan tambahan-tambahan asing. Sumber sejarah terpenting untuk kecenderungan di dalam Islam ini ialah yuris Suriah, Taqiyal-Din Ibri Taymiyya (1236-1328), seorang pendukung setia Islam Sunni berdasarkan ketaatan yang kaku pada Qur’an dan Sunah autentik. Ibn Taymiyya menulis di tengah-tengah percekcokan yang timbul karena agresi asing dan tentara Perang Salib Kristen dan orang Mongolia, juga perjuangan perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ia yakin bahwa kedua sumber ini memuat segala pedoman keagamaan dan rohani yang diperlukan bagi umat Muslim dan kebangkitan kembali dunia Islam.
Mawdudi menyerukan agar kembali kepada Qur’an dan Sunah yang telah dimurnikan sebagai cara untuk menghidupkan kembali Islam. Mawdudi menyebut Islam sebagai ideologi dan menyebut negara Islam sebagai negara ideologis: ‘Jelas dan kajian cermat Qur’an dan Sunah bahwa negara di dalam Islam berdasarkan pada ideologi dan tujuannya ialah menegakkan ideologi itu’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 256-7). Ia berpendapat bahwa satu-satunya cara agar bal ini bisa benar-benar dijalankan ialah melului negara islam yang dalam ‘segala hal, dibangun di atas hukum yang ditetapkan oleh Allah melalul Rasul-nya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 271) dan inilah tujuan politik yang dikejarnya di Pakistan.
Menurut penilaian Qutb, zaman kontemporer adalah zaman kebodohan, ketiadaan Tuhan, dan kebingungan terang dalam gagasan jahiliah tersebut dan umat Muslim harus mundur dan masyarakat jahili mendirikan tatanan sosial Islam sejati (al-nizam al-islami) dan akhirnya, menaklukkan (kembali) tatanan bodoh yang ada (al-nizam al-jahili). Menurut perspektif ini, Islam tidak cocok dengan realitas ‘sekular’ modern dan umat Islam baru dapat tumbuh dan berkembang dengan balk bila mengabaikan realitas ini, Satu-satunya penawar bagi keadaan jahiliah saat itu terutama materialisme Barat yang dianggapnya sebagai pencemar utama jalah hakimiyya Allah: pandangan hidup Islami yang total dan sistem Islam yang diperintahkan secara ilahi. Jihad’, klaim Mawdudi, adalah bagian dan pembelaan menyeluruh terhadap Islam ini. Jihad berarti perjuangan dengan kemampuan semaksimal mungkin yang dimiliki. Seorang manusia yang mencurahkan diri secara jasmani atau rohani atau membelanjakan kekayaannya di jalan Allah sudah tentu melakukan Jihad. Namun, menurut bahasa Syariat, istilah ini digunakan terutama untuk perang yang dilakukan semata-mata dengan nama Allah dan terhadap mereka yang melakukan penindasan sebagai musuh-musuh Islam. (1960: 150).
Qutb membedakan dunia menjadi dua ranah: dar al-Islam dan dar al.-harb. Ranah kedua terdiri dari setiap teritori yang aturan-aturan Islam tidak diberlakukan di dalamnya, tak peduli apakah penguasanya mengklaim sebagai Muslim (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 241-2). Meski Mawdudi menyebut jihad sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, Qutb sangat jelas dalam menyatakan dalam konteks ranah-ranah yang bertentangan ini bahwa jihad adalah kewajiban yang berlaku pada seluruh Muslim sejati. Agar memberi hasil yang diinginkan negara Islam’Jihad Islami’ harus memberikan umat Muslim ‘atmosfer bebas untuk melaksanakan keyakinan yang telah dipilihnya. Jihad Islami dapat sepenuhnya menghancurkan sistem-sistem politik yang berkuasa, atau menaklukkannya, memaksa sistem-sistem tersebut untuk tunduk dan menerima Jizyah (pajak yang dibayar oleh non-Muslim di sebuah negara Islam).
Pemikiran Qutb mengandung dua inovasi yang terbukti sangat signifikan bagi Kaum Islamis yang tergugah olehnya. Pertama, dengan mengumumkan bahwa bukan cuma pemerintah non-Islam, tetapi juga pemerintah-pemerintah yang dipimpin umat Muslim bisa dianggap berada dalam keadaan jahiliah, ia memberikan persetujuan Islami kepada umat Muslim untuk menentang dan menggulingkan pemerintah yang memerintah mereka. Perintah mutlak ini juga ada di dalam Qur’an, bahwa tak seorang pun boleh berhubungan dengan orang yang memalingkan wajahnya dan mengingat Allah dan hanya mencari dunia sebagai tujuan dan pandangannya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 205). Namun, target utama Kaum Islamis ialah negara-bangsa secular di negara-negara Islam, dan tujuan akhir mereka ialah mendirikan sebuah negara Islam. Negara impian mereka akan memiliki Qur’an sebagai konstitusinya, pemimpin yang melaksanakan syariat, yang juga mengikat atasnya, dan menghidupkan syura (musyawarah). Seperti ditulis Qutb, ‘teori politik di dalam Islam bersandar pada dasar keadilan di pihak para pemimpin, kepatuhan di pihak yang dipimpin, dan kolaborasi di antara pemimpin dan yang dipimpin’ (1980: 93). Menurut Qutb, umat Muslim yang mendukung kedaulatan manusia di dalam politik merancukan penggunaan kekuasaan dengan sumbernya. Karena hukum islam sudah menyediakan sistem hukum dan moral yang lengkap, tidak mungkin ada pembuatan undang-undang lebih lanjut atau tidak perlu ada. Mawdudi pun mengklaim bahwa ‘sudah sangat jelas bahwa Islam yang berbicara dari sudut pandang filsafat politik adalah antiteis dan demokrasi Barat sekular itu sendiri’ (dalam Donohuc dan Esposito, 1982: 254).
Vilayat-I faqih didirikan berdasarkan keberadaan ‘klerus’ Syi’ah yang hierarkis dan terlembagakan (sesuatu yang tidak ada pada tradisi Sunni). Namun, beberapa partai dan gerakan Islamis seperti Muslim Brethren di Jordan, secara resmi telah menerima sarana dan praktik lembaga sekular dan telah diintegrasikan ke dalam proses politik. Sebagian besar perhatian dan energi Kaum Isiamis tetap terfokus pada permaslahan internal negara dan masyarakat yang didominasi oleh penduduk Muslim atau hanya berpenduduk Muslim. Meski demikian, bahkan dimensi terbaru pada pemikir politik Islami ini menguatkan penilaian Robert Hefner bahwa ‘benturan peradaban’ atau ‘pandangan dunia (world Views)’ yang sesungguhnya di periode kontemporer bukan terjadi ‘di antara Barat dan suatu “pihak lain” yang homogen, tetapi di antara para pembawa tradisi yang saling bersaing di dalam bangsa dan peradaban yang sama(1998:92).

ISLAM LIBERAL
Kemenonjolan dan kekuatan Islamisme mengalami pasang surut di sepanjang pertengahan dan bagian akhir abad kedua puluh. Pada akhir abad kedua puluh, wacana modernis dihidupkan kembali dan diperkuat bersama hal yang disebut sebagai ‘liberalisme Islam’. Menurut Kurzman, Kaum Liberal islam ‘berusaha menghidupkan kembali reputasi dan pencapaian Kaum Modernis terdahulu’ (2002:4). Liberalisme Islam kontemporer berbeda dan baik Kaum Modernis Islam maupun Kaum Islamis dalam tiga hal.
Pertama, terhadap semboyan Islamis bahwa ‘Islam adalah solusi’, serta klaim sekularis bahwa Islam adalah masalah. Kaum Liberal Islam menyebut sebagian besar penyakit sosial dan politik disebabkan oleh kurangnya demokrasi dan hak-hak asasi, terutama kebebasan dalam berpikir.
Menanggapi Kaum Islamis, Sadek J. Sulaiman (Oman, lahir 1933) menyatakan bahwa ‘sebagai konsep dan sebagai prinsip, syura di dalam Islam tak berbeda dengan demokrasi’, dan ‘hubungan antara demokrasi dan syura menyentuh hakikat keberadaan nasional kita (qawmiyyah). Syura menentukan kualitas pengalaman kewarganegaraan kita dan dunia yang ingin kita wariskan kepada generasi yang akan datang.
adalah istilah politik yang relatif baru diciptakan dan menunjukkan faktor (atau banyak faktor) tetap dan tertentu pada suatu masyarakat tempat kekuatan koersif berada dengan sepatutnya guna dipatuhi kehendaknya. Jelas sekali bahwa dalam pengertian ini Allah tidak berdaulat dan hanya manusia yang dapat dan memang berdaulat. (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 264).
Mengakui kedaulatan Allah, menurut pandangan Rahman, mencakup menerima ‘prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalam Qur’an (yang) merupakan keadilan dan fair play’. Pemikir-pemikir Islam Liberal berpendapat bahwa sistem demokrasi yang paling baik dalam mengodifikasi dan memelihara hak dan kewajiban akan dapat mengurangi kesewenang-wenangan dan autoritarianisme di pihak negara. Di antara nilai-nilai terpenting yang dianggap berasal dari demokrasi menurut pemikiran Islam terdapat toleransi, dan di antara hak-hak terpentìngnya terdapat kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara. Nurcholish Madjid (Indonesia, lahir 1939) menyebut kebebasan berpikir dan berbicara sebagai hak dasar terpenting yang dimiliki individu dan menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang terdengar aneh atau tidak benar pun harus dilindungi:
Tidak jarang gagasan dan pemikiran yang mulanya dianggap keliru, (di kemudian hari) diketahui benar. Selanjutnya, dalam menghadapi gagasan dan pemikiran, bahkan kekhilafan pun bisa jadi sangat berguna, karena kekhilafan akan mendorong kebenaran untuk mengungkapkan diri dan berkembang sebagai kekuatan yang hebat.
 ‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan Aturan dan Jalan yang terang. Aspek khusus kedua dan para pemikir Islam liberal ialah bahwa mereka menghindari upaya-upaya untuk merebut kekuasaan negara, atau bahkan untuk meng-Islamisasikan negara, serta lebih berfokus kepada menghidupkan kembali etos Islam di tingkat masyarakat. Menurut ‘Abd al-Raziq, pemerintahan ‘adalah tujuan duniawi, dan Allah, semoga Dia selalu ditinggikan, menjadikannya sebagai persoalan yang harus diselesaikan oleh pikiran kita, dan membiarkan manusia bebas mengolahnya sesuai tuntunan yang diberikan oleh pikiran, pengetahuan, minat, hasrat, dan tendensi mereka’ (dalam Kurzman, 1998: 35).
Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam liberal menunjukkan pergeseran signifikan terkait penggantian argumen teokratis dengan argumen yang dimaksudkan untuk menanamkan atau melindungi etos Islam. Sebagian, seperfi Khalaf-Allah, menyatakan bahwa ‘jika ada pemerintah yang dapat disebut Islami, hal itu tentu dalam pengertian “Islam sebagai budaya” (al-Islam al-hadara) dan bukan “Islam sebagai agama” (al-Islam al-din)’ (Ayoubi, 1991: 302).
Agar berhasil, agama harus mengakui bahwa ia adalah iman akan kekuatan besar yang ditanamkan di dalam nurani manusia untuk menghubungkan Individu dengan imannya, masyarakat, kemanusiaan, dan kosmos pada umumnya. (1998: 71). Unsur ketiga yang membedakan sedikitnya sebagian Liberal Islam/dengan Modernis, Islamis, dan Tradisionalis berhubungan dengan pendekatan mereka terhadap isu menginterpretasikan tradisi agama atau ijtihad. Kaum Modernis Islam telah menerima ortodoksi Sunni yang mengklaim bahwa ‘pintu ijtihad’ telah ditutup pada abad-abad pertama Islam, bahwa umat Muslim di kemudian hari perlu mengikuti praktik taklid, meneladani tradisi-tradisi yang sudah mapan. Misalnya, pada pergantian abad yang Iampau, Mahmud Shukni al-Alusi (Irak, 1857-1924) menganggap ‘tesis tentang tertutupnya pintu ijtihad’ yang diajukan oleh rekan sezamannya, Yusuf al-Nabbani yang ‘bodoh’ dan ‘merana’ (Palestina-Lebanon, 1850-1932) itu, ‘palsu dan heretis’ (dalam Kurzman, 2002: 171). Kekhilafan, segala kekhilafan itu, terletak pada peniruan membabi buta dan pengekangan pikiran’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 182). Afghani berpendapat bahwa umat Muslim ‘tidak boleh puas hanya dengan taklid dan leluhur mereka’ (dalam Keddie, 1968: 171). Dalam memerangi praktik taklid, Modernis Islam berusaha merehabilitasi dan memperluas hak untuk melakukan ijtihad guna menginterpretasi ulang tradisi Islam agar memenuhi kebutuhan : zaman modern, Wael Hallaq membedakan dua unsur dalam pemikiran hukum Islam kontemporer yang menawarkan visi-visi ijtihad yang saling bertentangan. Meski Turabi mungkin pantas dimasukkan di kalangan Liberal islam, berdasarkan penekanannya pada demokrasi dan pluralisme, pembedaan Hallaq mencakup sisi Kaum Liberal Islam kontemporer yang dominan dan khas. Baik unsur liberal maupun unsur utilitarian, menurut Hallaq, memiliki tujuan yang sama: ‘merumuskan kembali teori hukum dengan cara yang menyukseskan sintesis : antara nilai-nilai keagamaan dasar Islam, di satu sisi, dengan hukum substantif yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sebuah masyrakat modern dan terus berubah, di sisi yang lain’. Namun, hal yang paling membedakan dua kecenderungan ini ialah metode yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada 1982, Rahman mengatakan bahwa adalah ironi bila menghadapkan yang disebut Fundamentalis Muslim : sebagai lawan dan Modernis Muslim, sebab, selama prosedur mereka yang mengagumkan itu terus berlangsung, ucapan Kaum Modernis Muslim akan selalu tepat sama dengan ucapan kaum yang disebut sebagai Fundamentalis Muslim tersebut. Bahwa umat Muslim wajib kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli dan definitif serta menjalankan ijtihad dengan berdasarkan sumber-sumber tersebut. (1982: 142).
Baik Kaum Modernis maupun Kaum Isiamis ‘memberikan jawaban yang sama sekali berbeda untuk beberapa isu dasar sesuai dengan lingkungan mereka masing-masing’, tetapi seperti yang dilihat oleh Rahman, yang menjadi masalah bukanlah kesimpulan mereka yang berbeda, tetapi tidak adanya ‘metode’ dalam menginterpretasikan tradisi islam agar dapat memberikan interpretasi yang meyakinkan dan tepercaya serta menghapuskan interpretasi yang ‘asal-asalan’.
Dalam mendekati Qur’an, an-Na’im mengikuti metode eksegesis tradisional dengan membedakan ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Mekah dan ayat-ayat yang diwahyukan di Madinah.
Berdasarkan hal inilah Shahrour membedakan antara yang ‘disahkan secara ketuhanan (halal) dengan yang dilarang secara ketuhanan (haram) dan yang dilarang secara manusiawi (mamnu)’, dengan menyatakan bahwa ‘ajaran dasar Islam ialah bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang secara khusus itu diperbolehkan’ (1990: 141). Metode Shahrour mengilustrasikan pendekatan metodologi yang sudah umum bagi Kaum Liberal Islam. Sementara Muslim modernis mencari berbagai gagasan liberal di dalam warisan Islam, Kaum Liberal Islam meyakini bahwa warisan tersebut tidak banyak berbicara mengenai isu-isu tertentu. Al-’Ashmawy, misalnya, mengatakan bahwa ‘dari 6.000 ayat Qur’an, hanya 200 yang mengandung aspek hukum, yaitu, kira-kira sepertigapuluh dari isi Qur’an, termasuk ayat-ayat yang telah dihapuskan dengan ayat-ayat sesudahnya’ (dalam Kurzman, 1998:51).
DIALOG YANG TERPUTUS-PUTUS
Pada periode kontemporer, yang diperhatikan bukan cuma berbagai interpretasi ‘yang sama sekali berbeda’ terhadap tradisi Islam, tetapi juga beberapa metode interpretasi yang sama sekali berbeda. Namun, teridentifikasi sedikitnya dua transformasi penting di dalam pemikiran politik Islam.
Seperti halnya Kaum Modernis Islam, pemikir-pemikir Islam liberal juga menawarkan cara yang menjanjikan dalam menegosiasikan konflik antara modernisasi dan warisan Islam serta memenuhi tuntutan baik modernisasi maupun warisan Islam, tetapi mereka pun menghadapi tantangan serius, Mereka tengah diserang dan dua sisi sekahigus: dikecam karena terlalu liberal, juga karena terlalu Islami. Kaum Sekularis melihat Islam liberal (juga Islam modernis) sebagai oksimoron dan menyatakan bahwa Islam terlalu kaku untuk ditransformasi atau bahwa Islam harus diturunkan ke ranah pribadi. Baik Kaum Islamis revivalis maupun Kaum Islamis tradisional berpendapat bahwa Kaum Liberal Islam tak lebih dan Kaum Sekularis yang berkedok Islam, menyangkal bahwa nilai-nilai modern memiliki tempat di dalam leksikon Islam atau mengutip nilai-nilai modern untuk menganggap liberalisme mereka kebablasan sehingga mengorbankan warisan Islam.
Bahkan, yang paling tidak toleran dan Kaum Islamis pun beberapa pengecam dan penghujat Hanafi yang paling buruk dalam pengertian tertentu juga menempati ruang diskursif yang sama dan setidaknya, secara sebagian, meleburkan wacana liberal dan pemikiran modernis.








0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More