PENTINGNYA
KONSTITUSI BAGI
SETIAP
WARGA NEGARA
Diajukan Sebagai Salah
SatuTugas Mandiri
pada Mata Kuliah Konstitusi
dan Kelembagaan Negara
Dosen
: Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H.,MH.
Dr. Drs. H. Tjatja
Kuswara, MH.,M.Si.,
Disusun Oleh :
Nama
: Ade
Surahman
NPM
: L23.016.0021
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya tugas analisis yang
berjudul “PENTINGNYA KONSTITUSI BAGI SETIAP WARGA NEGARA”.
Penyusunan
tugas analisis ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Konstitusi dan
Kelembagaan negara pada program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas
Langlangbuana Bandung.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Rusadi
Kantaprawira, S.H.,MH. dan Dr. Drs. H.
Tjatja Kuswara, MH.,M.Si., selaku dosen mata kuliah Konstitusi dan
Kelembagaan negara yang telah membimbing sehingga tugas analisis ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas
analisis ini belumlah sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tugas analisis ini
Akhir kata, semoga tugas
analisis ini bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi perkembangan Konstitusi
dan Kelembagaan negara di indonesia.
Bandung, April 2017
Ade Surahman
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan ......................................................................................... 5
BAB II ........ TINJAUAN
PUSTAKA.................................................................
6
A. Konstitusi…......................................................................................... 6
B.
Warga
Negara……………………………………......................... 16
BAB
III ....... PEMBAHASAN..............................................................................
20
BABIV ....... PENUTUP........................................................................................
29
DAFTARPUSTAKA .............................................................................................. 31
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Konstitusi merupakan
peraturan atau ketentuan dasar mengenai pembentukan suatu negara. Konstitusi
sering di sebut undang-undang dasar atau hukum dasar. Konstitusi memuat
ketentuan-ketentuan pokok bagi berdiri, bertahan dan berlangsungnya suatu
negara. Ketentuan-ketentuan itu biasanya berupa dasar, bentuk, dan tujuan
negara. Sejak awal dilahirkannya UUD 1945 setelah proklamasi kemerdekaan, sudah
dimaksudkan sebagai UUD sementara untuk mengantarkan Indonesia ke pintu kemerdekaan.
UUD 1945 dibuat karena adanya peluang untuk merdeka yang harus direbut dengan
cepat dan untuk itu harus pula segera ditetapkan UUD bagi negara yang digagas
sebagai negara konstitusional dan demokratis. Maka dibuatlah UUD 1945 yang
melalui proses perdebatan antara Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPK(I)) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK(I)).
Sejak saat itu bangsa Indonesia sudah menciptakan tiga buah konstitusi serta
memberlakukannya dalam masa yang berbeda-beda. Pemberlakuan ketiganya tidak
lepas dari perubahan kehidupan ketatanegaraan Indonesia akibat terjadinya
berbagai perkembangan politik tetapi, pergantian konstitusi itu juga sekaligus
menunjukan pergulatan bangsa Indonesia dalam mencapai dan menemukan konstitusi
yang paling tepat dan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
Konstitusi adalah instrumen
wajib yang harus dimiliki oleh suatu Negara, tanpa Konstitusi Negara tidak akan
berjalan dengan baik, karena arah dari perjalanan suatu Negara ditentukan oleh
Konstitusi itu sendiri. Meskipun para ilmuan memiliki banyak definisi tentang
Konstitusi namun, secara umum Konstitusi adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur suatu Negara baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis.
Konstitusi dapat diartikan sebagai sekelompok ketentuan yang mengatur
organisasi Negara dan susunan pemerintahan suatu Negara.[1] A.V Dicey membedakan
antara ketentuan konstitusi yang mempunyai sifat hukum dan tidak mempunyai
sifat hukum. Pembedaan ini didasarkan pada kriteria apakah pengadilan berwenang
memaksakan penataanya dan/atau mengambil tindakan hukum bagi yang tidak taat.[2]
Undang-Undang Dasar Negara
Repulik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia telah
mengalami sejarah yang sangat panjang dan telah mengalami pasang surut serta
perubahan-perubahan, dari awal pembentukan hingga proses amandemen. Hal ini
adalah agar terwujud suatu kesempurnaan yang dapat mewujudkan cita-cita bangsa.
Dan dengan masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia diharapkan dapat
menjadikan bangsa kita menjadi lebih dewasa dan lebih bijak dalam proses
berbangsa dan bernegara.
Secara etimologis
antar kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti
maknanya sama, namun penggunaan atau penempatannya berbeda. Catatan historis timbulnya
negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses sejarah yang panjang dan
selalu menarik untuk dikaji. Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 S.M)
Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles
sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.[3]
Pada zaman
abad pertengahan, corak konstitusionalismenya mengarah bergeser kearah feodalisme
dimana Raja memiliki kekuasaan yang tertinggi. Pada abad VII (zaman klasik)
lahirlah piagam/konstitusi Madinah tepatnya sekitar 622 M. Kemudian di Eropa
Kontinental kekuasaan raja semakin kearah absolutisme khususnya di Perancis,
Rusia, Prusia,dan Austria pada abad ke 15. Gejala in di tandai oleh ucapan L’EtatC’est
moi nya, LOUIS XIV (1638-1715). Dengan adanya absolutisme itulah
yang menjadi awal lahirnya keinginan untuk melakukan perubahan supaya raja atau
absolutisme tidak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Negara
Inggris mengalami perubahan dengan pecahnya The Glorius Revolution
(1688), dimana kaum bangsawan meraih kemenangan dan menandai berhentinya absolutisme
di Inggris, yang ditandai dengan 12 negara koloni Inggris yang mengeluarkan Declaration
of independet tahun 1776 sebagai dasar berdaulatnya negara Amerika.
Konstitusi
merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling
fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber ligitimasi
atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum dan peraturan perundangan-undangan
yang lainnya, sehingga penulis perlu memaparkan “Motivasi Perlunya Konstitusi
dalam Suatu Negara” pada makalah ini.
Penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berlandaskan konstitusi adalah
suatu keniscayaan dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi dan konstitusionalisme.
Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai
konstitusi modern dan demokratis harus dapat menampung seluruh aspirasi politik
rakyat sesuai zamannya sehingga dapat memberi jaminan terhadap hak-hak
konstitusional warga negaranya.[4]
Berdasarkan
penjelasan
di atas, maka makalah ini akan dideskripsikan dan ditelaah melalui
sumber-sumber pustaka dengan memusatkan kajian tentang “Pentingnya
Konstitusi bagi Setiap Warga negara” sehingga diharapkan para pembaca
dapat memahami pentingnya kehadiran konstitusi
dalam hidup berbangsa dan bernegara.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan diangkat oleh penulis berdasarkan latar belakang
diatas adalah : Apakah pentingnya konstitusi bagi warga negara?
C.
Tujuan
Penelitian
Berangkat dari masalah
penelitian di atas maka tujuan penelitian dalam makalah ini adalah untuk
mengetahui pentingnya konstitusi bagi warga negara.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Konstitusi
1.
Peristilahan Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa
Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian
istilah konstitusi yang dimaksudkan
ialah
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[5]
Jika di Perancis,
digunakan istilah constituer maka dalam negara-negara yang menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa nasionalnya digunakan istilah
constitution, yang padanan istilahnya dalam bahasa Indonesia adalah konstitusi.
Dalam
kepustakaan Ilmu Hukum Tata Negara (Staatsrechts-wetenschap) juga ditemukan
beberapa istilah, seperti
: Undang-Undang Dasar (UUD), constitution, grondwet, constitutie, grundgesetz, verfasung,
dan sebagainya. Penggunaan istilah konstitusi atau Undang-Undang Dasar
dalam
kegiatan studi
hukum dan konstitusi harus cermat, karena ternyata istilah yang
digunakan itu apabila diselidiki,
sebagian konsep
atau pengertiannya
berbeda. Misalnya:
istilah Grondwet
di dalam sistem ketatanegaraan
Belanda.
Grondwet memang oleh para ahli Hukum Tata Negara Belanda disebut juga
Constitutie atau
Undang-Undang Dasar.
Akan tetapi, pengertian Undang-
Undang Dasar dalam konsep Hukum Tata Negara
Indonesia tidak analog dengan pengertian Grondwet atau Constitutie dalam
konsep
Hukum Tata Negara Belanda. Mengapa?
Sebab, dilihat dari segi lembaga atau badan
pembentuknya, walaupun
Undang-Undang
Dasar/Konstitusi
atau
Grondwet/Constitutie sama-sama
dibuat oleh lembaga atau badan perwakilan rakyat, tetapi sebenarnya keduanya berbeda.
Di dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang
Dasar
atau Konstitusi
dibuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sedangkan Grondwet atau Constitutie dibuat oleh Staten Generaal. Perbedaan antara MPR
dengan Staten Generaal adalah, jika MPR hanya memiliki wewenang untuk
membuat Undang-Undang Dasar atau Konstitusi, maka Staten Generaal di Belanda tidak saja memiliki
wewenang untuk membuat Grondwet atau Constitutie, melainkan juga memiliki
wewenang untuk
membuat wet yang diterjemahkan
Undang-Undang.
Jadi, wewenang Staten- Generaal sebagai lembaga atau badan perwakilan rakyat ternyata lebih luas
dibandingkan dengan MPR. MPR dalam sistem hukum ketatanegaraan
Indonesia tidak memiliki wewenang untuk membuat Undang-Undang, karena wewenang untuk itu secara konstitusional
telah
didelegasikan oleh
UUD 1945 kepada DPR
bersama-sama dengan
Presiden.
2. Pengertian Konstitusi
Pada umumnya dikemukakan
pendapat bahwa konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada
Undang-Undang Dasar. Hal itu
disebabkan, karena
konstitusi mempunyai bagian
yang tertulis yang dinamakan Undang-Undang
Dasar
dan bagian yang
tidak tertulis yang disebut
konvensi.[6]
Beberapa ahli hukum tata negara juga memiliki pengertian konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Para
ahli hukum tata negara yang berpendapat, bahwa
pengertian konstitusi
adalah
sama dengan undang-undang dasar,
diantaranya adalah G.J. Wolhaff, Sri Soemantri M., Jimly Asshiddiqie, J.C.T. Simorangkir;
Sedangkan
para ahli
hukum tata negara
yang membedakan pengertian
konstitusi dengan undang-undang
dasar
diantaranya adalah Herman Heller, M. Solly
Lubis, Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim.
Pengertian konstitusi dalam tulisan ini tidak dibedakan
dengan undang-undang
dasar. Pertimbangan pokoknya
adalah
dalam
praktik
ketatanegaraan
Indonesia, istilah
undang-undang
dasar
itu ternyata dipakai
bersama-sama
oleh para
penyelenggara
negara saat itu, dan digunakan dengan makna atau pengertian yang sama
pula. Indonesia pernah memiliki
UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), pernah memiliki Konstitusi Republik Indonesia
Serikat atau
disingkat Konstitusi RIS 1949,
juga pernah memiliki Undang-Undang Dasar Sementara 1950
atau disingkat UUDS 1950, dan UUD
1945 hasil perubahan (amandemen). Atas dasar
pertimbangan praktik ketatanegaraan Indonesia itulah, maka
penulis tidak membedakan pengertian antara konstitusi dengan undang-undang
dasar dalam tulisan
ini.
Dalam pandangan
penganut paham modern,
pengertian konstitusi dengan
Undang Undang Dasar
sebenarnya tidak dibedakan. Diantara
penganut paham
tersebut adalah C.F.
Strong
dan James Bryce. Pendapat
James Bryce sebagaimana dikutip C.F.
Strong dalam bukunya Modern
Political
Constitutions menyatakan,
bahwa:
“Constitution is a frame of political society, organised through and
by law, one in which law has
established permanent institutions which recognised function and definite rights.”
[7]
Berdasarkan definisi di atas, pengertian
konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka
negara yang diorganisir dengan dan
melalui
hukum, dalam hal mana hukum
menetapkan:[8]
1. pengaturan
mengenai
pendirian lembaga-lembaga yang
permanen;
2. fungsi dari alat-alat
kelengkapan;
3. hak-hak
tertentu yang
telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian konstitusi James Bryce itu,
C.F. Strong kemudian
merumuskan pengertian
konstitusi sebagai
berikut: [9]
“Constitution is a collection of
principles according to
which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Menurut pendapat pakar ilmu
politik Kerajaan Inggris tersebut,
konstitusi sebagai
kumpulan asas-asas
menetapkan tiga hal,
yaitu :
(1) kekuasaan
memerintah
(dalam arti luas);
(2) hak-hak
asasi pihak
yang diperintah;
(3) hubungan antara pemerintah
dan yang diperintah.
Konstitusi negara Indonesia,
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum
formil, selama ia merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan, ia juga merupakan dasar bagi ketentuan lainnya. Melalui UUD 1945
ini mengalir peraturan-peraturan pelaksana yang menurut tingkatannya masing-masing
merupakan sumber hukum formil.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, mengenai pengertian
undang-undang dasar ini, ada
sarjana yang membedakannya
dengan pengertian
konstitusi, dan ada pula yang menyamakannya.
Dalam kepustakaan hukum yang ditulis dalam bahasa Belanda dibedakan antara “constitutie in materiele zin”, “constitutie in
formele zin”, dan “grondwet”. Perbedaan antara “constitutie in materiele zin” dan “constitutie in formele
zin”
didasarkan kepada pembentuknya (naar de maker),
dancara
terbentuknya serta isinya (naar de inhoud). Constitutie in formele zin adalah
gekwalificeerd naar de maker, yaitu konstitusi yang dilihat dari badan yang
membentuknya, bukan badan
sembarangan, tetapi
badan
khusus atau badan
istimewa (gesamtakt). Constitutie in materiele zin adalah gekwalificeerd naar
de inhoud, yaitu konstitusi yang dilihat dari segi isinya, karena isinya sangat penting
atau
mendasar (fundamental), memuat hal-hal yang sangat mendasar (grondslagen),
sangat prinsipil, oleh
karenanya berbeda dengan undang- undang biasa
yang isinya tidak bersifat mendasar. Adapun yang dimaksud
grondwet adalah naskah atau dokumennya. Grondwet bentuknya istimewa
dibandingkan dengan undang-undang biasa.
Jadi grondwet tidak sama dengan constitutie, khususnya
constitutie in formele zin. Konstitusi lebih luas daripada grondwet. Selain itu pembicaraan mengenai konstitusi akan menyangkut suatu pengertian
yang lebih bersifat teoritis,
tidak semata-mata berurusan
dengan hukum
positif.[10]
Secara teoritis, suatu
konstitusi pasti mengalami
perubahan-perubahan
dalam praktek
ketatanegaraan.
Perubahan suatu
konstitusi menurut Sri
Soemantri M.[11] mengutip
pandangan K.C.
Wheare, dapat
dilakukan dengan:
(a) beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary forces);
(b) perubahan
yang
diatur dalam
konstitusi (formal amendment);
(c) penafsiran
secara hukum (judicial interpretation);
(d) kebiasaan dan kebiasaan yang
terdapat dalam bidang ketatanegaraan
(usage and convention).
Atau dengan mengikuti pandangan C.F. Strong sebagaimana
dikutip Sri Soemantri M.,[12] yang
mengemukakan ada
4 (empat) macam
metode
perubahan konstitusi yang
modern, yaitu :
(1)
dengan peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh
badan
legislatif yang tunduk di bawah pembatasan-pembatasan atau
restriksi tertentu (by
the ordinary legislature, but
under certain restrictions);
(2)
dengan keputusan rakyat
melalui
suatu referendum (by the people through a referendum);
(3)
dengan keputusan
dari mayoritas seluruh unit negara federal (by a
majority
of all units of a federal state);
(4)
dengan suatu
konvensi yang khusus (by a special
convention).
Perubahan terhadap suatu konstitusi, bukanlah berarti, bahwa hal itu menempatkan konstitusi menjadi tidak supreme lagi, kecuali tindakan perubahan terhadap konstitusi itu dilakukan dengan maksud dan tujuan
melanggar atau menyimpang dari ketentuan-ketentuannya. Hal yang terakhir ini
sangat mungkin terjadi, apabila pemerintahan itu dijalankan atas dasar
kekuasaan belaka. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya
kedudukan konstitusi memang tidak supreme lagi. Dengan kata lain, maka konstitusi
tidak dapat lagi berfungsi untuk
mengatur alat-alat kekuasaan negara. Oleh karena itu, guna menghindari pelanggaran/penyimpangan terhadap konstitusi
ini,
idea konstitusionalisme yang menempatkan supremasi konstitusi dalam negara,
harus direalisasikan. Konsekuensinya apabila idea konstitusionalisme itu
direalisasikan adalah, bahwa pejabat-pejabat negara perlu dibatasi
kekuasaannya.[13]
Pembatasan terhadap kekuasaan pejabat-pejabat negara ini sesungguhnya menunjuk
pada fungsi pengaturan yang dilakukan oleh konstitusi terhadap alat-alat
kekuasaan negara.
3.
Tujuan Konstitusi
Dalam semua pengertian konstitusi di atas,
semuanya memiliki tujuan. Karena suatu konstitusi dibuat pastilah memiliki
tujuan, yaitu memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik
dan membebaskan kekuasaan dan kontrol mutlak para penguasa dengan menetapkan
batas-batas kekuasaannya.
Tujuan
adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan tiga tujuan (Dede
Rosyada (dkk), 2003), yaitu:[14]
a. Konstitusi bertujuan memberikan
pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik.
b. Konstitusi bertujuan untuk mengawasi
atau mengontrol proses-proses kekuasaan dari para penguasa.
c. Konstitusi bertujuan memberi
batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Konstitusi
pada dasarnya bertujuan untuk membatasi kewenangan pemerintah dalam menjamin
hak-hak yang diperintah.[15]
Tujuan
konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: 1). berbagai lembaga-lembaga
negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, 2) hubungan antar lembaga negara, 3)
hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan 4) adanya jaminan
hak-hak asasi manusia serta 5) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai
dengan tuntutan perkembangan
zaman.
Tolok
ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak
pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang
bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa diluar konstitusi tertulis
timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding
yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau
kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari
yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara
yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi
yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi.
Aturan-aturan diluar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam undang-undang
atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. [16]
4.
Fungsi Konstitusi
Selain itu secara umum, konstitusi memiliki
fungsi sebagai berikut:
a. membatasi
perilaku pemerintahan secara efektif,
b. membagi
kekuasaan dalam beberapa lembaga Negara,
c. menentukan
lembaga negara bekerjasama satu sama lain,
d. menentukan
hubungan diantara lembaga negara,
e. menentukan
pembagian kekuasaan dalam negara.[17]
Komisi Konstitusi tentang
perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menyimpulkan bahwa kedudukan
dan fungsi konstitusi adalah sebagai berikut :[18]
1)
Konstitusi
berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi
kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan,
ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara;
2)
Konstitusi
sebagai piagam kelahiran negara baru. Hal ini juga membutuhkan adanya pengakuan
masyarakat internasional, termasuk untuk menjadi anggota PBB, karena itu sikap
kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional ditandai dengan adanya
ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
3)
Konstitusi
sebagai sumber hukum tertinggi. Konstitusi mengatur maksud dan tujuan
terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya
kepastian hukum yang tekandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional,
social control, memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara
termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ
legislatif, eksekutif, yudisial.
4)
Konstitusi
sebagai identitas nasional dan lambang persatuan, konstitusi menjadi suatu
sarana untuk memperlihatkan berbagai nilai dan norma suatu bangsa dan negarra,
misalnya simbol demokrasi, keadilan, kemerdekaan, negara hukum yang menjadikan
sandaran untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan tujuan negara.
5)
Konstitusi
sebagai alat untuk membatasi suatu kekuasaan, konstitusi dapat berfungsi untuk
membatasi kekuasaan, mengendalkan perkembangan dan situasi politik yang selalu
berubah, serta berupaya untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
6)
Konstitusi
sebagai pelindung HAM dan kebebasan warga negara. Konstitusi memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan warga negara.
Hal ini merupakan pengejahwantahan suatu negara hukum.
B.
Warga Negara
1.
Pengertian Warga Negara
Wewenang sebuah organisasi
negara meliputi kelompok manusia yang berada di dalamnya. Kelompok tersebut
dapat dibedakan antara warga negara dengan bukan warga negara (orang asing).
Warga negara sebagai pendukung sebuah negara merupakan landasan bagi adanya
negara. Dengan kata lain bahwa warga negara adalah salah satu unsur penting
bagi sebuah negara, selain unsur lainnya.[19]
Warga negara itu sendiri
bisa diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang
menjadi unsur negara.[20] Istilah ini biasa juga
disebut hamba atau kawula negara.[21] Meskipun demikian istilah
warga negara dirasa lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang-orang
merdeka bila dibandingkan istilah hamba dan kawula negara, karena warga negara
mengandung arti peserta, anggota atau warga yang menjadi bagian dari suatu negara.
Asumsi ini tidaklah
berlebihan dan cukup beralasan. Sebagai anggota dari persekutuan yakni negara,
yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama,
serta untuk kepentingan atau tujuan bersama pula[22], warga negara dituntut
untuk aktif terhadap negara. Dengan alasan tersebut istilah warga negara dirasa
lebih sesuai, karena mengandung pengertian aktif. Sedangkan istilah hamba atau
kawula negara mengandung pengertian warga yang pasif dan hanyamenjadi obyek
negara. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan
hukum. Semua warga negara mempunyai kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di
atas, AS Hikam mendefinisikan bahwa warga negara (citizenship) adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk
negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik daripada istilah kawula
negara, karena kawula negara betul-betul berarti obyek yang berarti orang yang
dimiliki dan mengabdi kepada negara. Oleh karenanya, kewarganegaraan menurut AS
Hikam harus mencakup tiga dimensi utama: 1) Dimensi keterlibatan aktif dalam
komunitas, 2) dimensi pemenuhan hak-hak dasar yaitu hak politik, ekonomi, dan
hak sosial kultural, serta 3) dimensi dialog dan keberadaan ruang publik yang
bebas.[23] Istilah warga negara dan
rakyat menunjuk pada obyek yang sama,[24] yakni sebagai anggota
negara.[25] Meskipun demikian
terdapat perbedaan pengertian antara pengertian warga negara, rakyat dan
bangsa. Warga negara adalah pendukung negara atau dalam arti lain warga sebuah
negara yang bersifat aktif. Sedang rakyat adalah masyarakat yang mempunyai
persamaan kedudukan sebagai obyek pengaturan dan penataan oleh negara dan
mempunyai ikatan kesadaran sebagai kesatuan dalam hubungan keorganisasian
negara.
Istilah warga negara tidak
menunjuk pada obyek yang sama dengan istilah penduduk. Warga negara sebuah
negara belumlah tentu merupakan penduduk negara tersebut. Penduduk adalah
orang-orang yang bertempat
tinggal secara sah dalam suatu negara
berdasarkan peraturan perundangan kependudukan sah dari negara yang
bersangkutan.
Baik status sebagai warga
negara maupun sebagai penduduk mempunyai konsekuensi hukum, yaitu menyangkut
hak-hak dan kewajibannya. Konsekuensi hukum dari status warga negara lebih luas
dari pada status sebagai penduduk. Pembagian penduduk menjadi warga negara dan
orang asing sangatlah penting. Hal ini dikarenakan beberapa hak dan kewajiban
yang dimiliki warga negara dengan orang asing berbeda. Hak dan kewajiban
penduduk yang bukan warga negara adalah terbatas.[26]
2. Hak
dan Kewajiban Warga Negara
Pada dasarnya hak-hak
seorang warga negara adalah hak-hak yang telah diakui dan dijamin serta
tertuang dalam Hak Asasi Manusia (HAM).[27] Hak-hak tersebut antara
lain adalah hak atas kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan
kepercayaannya, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, hak atas persamaan di depan hukum dan mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak-hak asasi lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
Jaminan perlindungan hak
individu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya diatur dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi masing-masing negara. Konstitusi adalah
sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk untuk
mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan
kerjasama antara negara dan masyarakat (rakyat) dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara.[28]
Dengan demikian konstitusi
atau UUD dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi
oleh seluruh warga negara. Hal ini sesuai dengan dalil “government by laws, not by a men”. Penempatan UUD
sebagai peraturan tertinggi dalam kehidupan
bernegara merupakan pencerminan pelaksanaan negara hukum atau rechastaat atau disebut pula sebagai rule of law. Unsur klasik rechsstaat yang pada umumnya dimuat
dalam UUD meliputi hak-hak manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan peradilan
administrasi dalam perselisihan.[29] Sedang unsur rule of law yang hampir sama posisinya dengan
rechstaats meliputi supremasi
aturan-aturan hukum, kedudukan yang sama menghadapi hukum, dan terjaminnya
hak-hak manusia oleh undang-undang.[30]
Unsur-unsur tersebut
menegaskan bahwa konsep rechstaat dan
rule of law mengarahkan pada sasaran
yang utama, yakni pengakuan perlindungan terhadap hak asasi manusia.[31] Perlindungan dimaksudkan
dijamin dalam aturan hukum. Ketentuan hukum menjadi acuan dalam berbagai
kehidupan bernegara.
Konsep inilah yang disebut
dengan negara hukum, artinya dalam penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan
aturan hukum dengan isi menjunjung tinggi hukum. Aturan hukum tertinggi dalam
sebuah negara adalah konstitusi atau UUD. Konstitusi berkembang dari paham
konstitusionalisme yang artinya pembatasan kekuasaan. Karena itu, konstitusi
didalamnya mengatur mengenai pembatasan kekuasaan. Caranya bisa melalui
pembagian wewenang dan kekuasan dalam menjalankan pemerintahan. Karena itu
pula, konstitusi menjadi sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga
negara sehingga tidak terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dari pemerintah yang
kekuasaannya dibatasi.
Selain itu, didalam negara
hukum terdapat aturan-aturan hukum sebagai penjabaran UUD yang melindungi hak
warga negara. Salah satu hak individu yang harus dilindungi adalah hak setiap
individu untuk mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis.
Konstitusi adalah dokumen
kenegaraan yang mempunyai fungsi pokok:
1. Menentukan
dan membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang.
2. Menjamin
dan melindungi hak asasi manusia. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.
Secara operasional suatu
konstitusi mempuyai fungsi sebagai berikut:
1. Membatasi
prilaku pemerintah secara efektif
2. Menentukan
lembaga Negara bekerjasama satu sama lain
3. Menentukan
hubungan diantara lembaga Negara
4. Menentukan
pembagian kekuasaan dalam Negara
5. Menjamin
hak-hak warga Negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa
6. Menjadi
landasan struktural penyelenggaran pemerintah konstitusi di dunia membuat:
a.
Memuat gagasan politik, moral dan keagamaan
yang minjiwai konstitusi.
b.
Memuat ketentuan tentang struktur organisasi
Negara.
c.
Memuat hak asasi manusia.
d.
Memuat prosedur mengubah Undang-Undang Dasar.
e.
Adakalanya memuat larangan mengubah sifat
tertentu Undang-Undang Dasar.
Setiap konstitusi senantiasa
memiliki tujuan untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan
politik dan membebaskan kesatuan dari control mutlak para penguasa dengan
menetapkan batas-batas kekuasaannya.[32]
Tujuan konstitusi adalah membatasi
tindakan sewenang-wanang pemerintah dan menjamin hak-hak rakyat yang
diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasan yang berdaulat. Menurut Bagir
Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham tentang konstitusi
atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di pihak
lain.
Sedangkan, menurut Sri Soemantri,
dengan mengutip pendapat Steenbeck, menyatakan bahwa terdapat tiga materi
muatan pokok dalam konstitusi, yaitu:
1.
Jaminan
hak-hak manusia;
2.
Susunan
ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
3.
Pembagian
dan pembatasan kekuasaan.
Dalam paham konstitusi demokratis
dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi:
1.
Anatomi
kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2.
Jaminan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3.
Peradilan
yang bebas dan mandiri.
4.
Pertanggungjawaban
kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan
rakyat.
Keempat cakupan isi konstitusi di
atas merupakan dasar utama dari suatu pemerintah yang konstitusional. Namun
demikian, indikator suatu negara atau pemerintah disebut demokratis tidaklah
tergantung pada konstitusinya. Sekalipun konstitusinya telah menetapkan aturan
dan prinsip-prinsip diatas, jika tidak diimplementasikan dalam praktik
penyelenggaraan tata pemerintahan, ia belum bisa dikatakan sebagai negara yang
konstitusional atau menganut paham konstitusi demokrasi.
Tujuan-tujuan adanya konstitusi
tersebut, secara ringkas dapat diklasifikasikan menjadi tiga tujuan, yaitu :
1.
Konstitusi
bertujuan untuk memberikan pembatasan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap
kekuasaan politik;
2.
Konstitusi
bertujuan untuk melepaskan control kekuasaan dari penguasa sendiri;
3.
Konstitusi
berjuan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam
menjalankan kekuasaannya.
Konsekuensi logis dari kenyataan
bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi
menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu
negara. Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Sejalan dengan pemahaman di atas, Struycken dalam
bukunya Net Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa
konstitusi merupakan barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat
dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang
digariskan oleh the founding father,
serta memberi arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu
negara yang akan dipimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini tercover dalam
konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang utama
dalam studi ilmu hukum tata negara.
Pada sisi lain, eksistensi suatu ”negara”
yang diisyaratkan oleh A. G. Pringgodigdo, baru riel ada kalau telah memenuhi
empat unsur, yaitu:
a.
Memenuhi
unsur pemerintahan yang berdaulat,
b.
Wilayah
Tertentu
c.
Rakyat
yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation), dan
d.
Pengakuan
dari negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya
suatu negara ini belumlah cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu
bangsa kalau belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud
adalah sebuah konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Djokosutono melihat pentingnya
konstitusi dari dua segi. Pertama, dari segi sisi (naar de Inhoud) karena konstitusi memuat dasar dari struktur dan
memuat fungsi negara. Kedua, dari segi bentuk (Naar de Maker) oleh karena yang memuat konstitusi bukan sembarangan
orang atau lembaga. Mungkin bisa dilakukan oleh raja, raja dengan rakyatnya,
badan konstituante atau lembaga diktator.
Pada sudut pandang yang kedua ini,
K. C. Wheare menggkaitkan pentingnya konstitusi dengan peraturan hukum dalam
arti sempit, dimana konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai ”wewenang
hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada
konstitusi.
Menurut Sri Soemantri M., tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar.[33] Konstitusi atau
undang-undang dasar adalah hukum tertinggi
(supreme law) yang
harus ditaati
baik oleh rakyat maupun oleh
alat-alat
perlengkapan negara.[34]
Embrio konstitusi sebagai “droit constitutionnel” (hukum dasar) dari
negara-negara di belahan dunia ini dapat digali dari 2 (dua) sudut pandang,
yaitu:[35]
(a) dari sudut bentuk negara;
(b) dari sudut pembentuk
konstitusinya.
Menurut A.
Amid S. Attamimi,
pentingnya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar[36] adalah sebagai
pemberi pegangan dan pemberi
batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara itu harus dijalankan.[37]
Sebab tujuan dari konstitusi menurut
Projodikoro (1983:12-13),[38] ialah mengadakan tata-tertib tentang lembaga-kenegaraan, wewenang-wewenangnya dan cara bekerjanya, dan
menyatakan hak-hak
asasi
manusia yang
harus dijamin
perlindungannya.
Dengan demikian, maka undang-undang dasar merupakan “the basic
of the
national legal order”, oleh karenanya dalam setiap negara akan ditemukan suatu
undang-undang dasar,
baik berupa “single document” atau
“multi document.” Sebagai “the basic of the national legal order”, maka ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang dasar akan menjadi sumber acuan
bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang kedudukannya lebih
rendah dari undang-undang dasar.[39]
Dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 yang berbunyi sebagai berikut :
“.....untuk membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.....”
Dengan diembannya tugas
Negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut, maka pembentukan
berbagai peraturan di Negara Republik Indonesia menjadi sangat penting. Oleh
karena campur tangan Negara dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang
hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, serta pertahanan
keamanan yang diselenggarakan dengan pembentukan peraturan-peraturan Negara
yang tak mungkin lagi dihindarkan.[40]
BAB IV
PENUTUP
Tujuan konstitusi adalah membatasi
tindakan sewenang-wanang pemerintah dan menjamin hak-hak rakyat yang
diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasan yang berdaulat. Menurut Bagir
Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham tentang konstitusi
atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di pihak
lain. Selanjutnya menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck,
menyatakan bahwa salah satu materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu: Jaminan
hak-hak manusia.
Eksistensi konstitusi bagi warga
negara cukup penting karena berbicara mengenai pengaturan hak-hak mendasar yang
sejatinya terserap dalam konstitusi sebuah negara. Negara wajib menjamin
terhadap hak-hak dasar tersebut, ketidakterjaminan terhadap hak-hak dasar
mengindikasikan bahwa negara tersebut adalah rezim diktator.
Kepentingan
paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap
hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak asasi manusia merupakan materi
inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Hak Asasi Manusia (HAM),
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan,
dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat
pada diri setiap pribadi manusia.
.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hamid S. Attamimi,
1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Jakarta: Disertasi, UI.
A.M.
Fatwa, 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
A.V.
Dicey, 1971. an introduction to
study of the Law of the constitution, London: English language Book Society
and mac millan, 10th.
Bagir Manan. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan
Konstitusi Suatu Negar, Bandung: Mandar Maju.
Bambang Tri Purwanto & Sunardi H.S. 2012. Membangun Wawasan Kewarganegaraan. Solo:
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
C.F. Strong. 1966. Modern Political Constitutions, London, Sidgwick & Jackson Limited.
Dahlan Thaib, et. al., Teori Hukum dan Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1999.
Dahlan
Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. 2010, Teori dan Hukum Konstitusi.
Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Daniel S. Lev. Periksa, Daniel S. Lev, 1990. Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
Harsono,
1992. Perkembangan Pengaturan
Kewarganegaraan, Yogyakarta : Liberty.
Koerniatmanto
Soetoprawiro. 1994. Hukum Kewarganegaraan
dan Keimigrasian Indonesia. cet. ke-1, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Maria farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Miriam
Budiardjo. 1986. Dasar-dasar Ilmu politik.
Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.
……………….. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad
A.S. Hikam, 1999. Politik Kewarganegaraan
: Landasan Redemokratisasi di Indonesia, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Negara, Bagian Ilmu Tata. "NEGARA DAN KONSTITUSI MIRZA
NASUTION." (2004).
Ni’Matul Huda. 2005.Otonomi daerah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Noor
Ms Bakry. 2009. Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosjidi Ranggawidjaja,
1996. Wewenang Menafsirkan Undang-Undang Dasar. Bandung: Cita
Bhakti Akademika.
Rosyada,
Dede dkk. 2003. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, Jakarta:
Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media.
Rudy, 2013. Konstitualisme
Indonesia Buku I Dasar dan Teori, Bandar Lampung, Pusat Kajian Konstitusi
dan Peraturan Perundang-Undangan (PKKPUU) Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Simorangkir, J.C.T. 1984.
Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta:
Gunung Agung.
S.
Gautama, 1975. Warga Negara dan Orang
Asing. cet. ke-3. Bandung : Penerbit Alumni.
Sri Soemantri M. 1981. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara.
Jakarta: CV. Rajawali.
Sri Soemantri M. 1987.
Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni.
Tolchah Mansur.
1977. Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
Negara Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Tolchah Mansoer. 1979. Sumber Hukum dan Urutan Tertib Hukum Menurut Undang-Undang Dasar RI ’45, Yogyakarta: Binacipta.
Wiryono Projodikoro, 1983. Asas-asas Hukum Tata Negara di
Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat.
………………... 1989. Asas-Asas
Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta
: Dian Rakyat.
[1]
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negar, Bandung:
Mandar Maju, 1995. hlm 5
[2]
A.V. Dicey, sn introduction to study of the Law of the constitution, London:
English language Book Society and mac millan, 10th. 1971 hlm 23-24.
[3]
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi.
Jakarta:RajaGrafindo Persada. 2010 Hlm 1-2
[4]
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Kompas Media Nusantara,
Jakarta, 2009, hlm. VII-XII.
[5]
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas
Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta,
1989, hlm. 10.
[6]
Konvensi
atau convention ini menurut Mohammad Tolchah
Mansur diartikan sebagai
kelaziman-kelaziman yang timbul dalam praktek hidup.Mohammad Tolchah
Mansur,
Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
Negara Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hlm. 150.
[8]
Dahlan Thaib, et. al., Teori Hukum dan Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999,
hlm. 12.
[9]
Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV.
Rajawali, Jakarta, 1981,
hlm. 3.
[11] Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,1987, hlm. 218.
[12]
Sri Soemantri M., Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,
CV.
Rajawali, Jakarta, 1981, hlm. 67.
[13] Pandangan yang sama mengenai ide pemerintahan
yang konstitusional dengan pola pembatasan kekuasaan negara dan para
pengelolanya ini juga pernah dilontarkan Daniel
S. Lev. Periksa, Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1990, hlm.514.
[14] Rosyada, Dede dkk. (2003). Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif
Hidayatullah dan Prenada Media.
[15]
Noor Ms Bakry, Pendidikan
Kewarganegaraan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 133.
[16] Negara, Bagian Ilmu
Tata. "NEGARA DAN KONSTITUSI MIRZA NASUTION." (2004).
[17]
Bambang Tri Purwanto & Sunardi H.S., Membangun
Wawasan Kewarganegaraan, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2012, hal.
104.
[18]
Rudy,
Konstitualisme Indonesia Buku I Dasar dan
Teori, Bandar Lampung, Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan
Perundang-Undangan (PKKPUU) Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2013, hal 20
[19] Pada
umumnya dapatlah dikatakan bahwa suatu negara harus memenuhi syarat-syarat bagi
keberadaan negara yang merupakan unsur penting negara. Syarat-syarat yang
dimaksud ialah : pertama harus ada wilayahnya, kedua, harus terdapat rakyat
atau warga negara, ketiga, harus ada
pemerintahan yang berkuasa terhadap
seluruh daerah dan rakyatnya, serta keempat harus ada tujuan. Lihat C.S.T.
Kansil dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara (umum dan Indonesia),Jakarta:
Pradnya Paramita, cet.ke-1, 2001, hlm.148.
[20] Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE
UIN Syarif hidayatullah dengan The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003,
hlm. 73.
[21] Ibid.
[22] Pada
awalnya, negara atau bangsa merupakan sekumpulan manusia atau gabungan
entitas-entitas yang beragam, lalu disarikan hubungan kesadaran dan diikat oleh
asas kemaslahatan bersama yang dituangkan dalam bentuk system legislasi dan
hukum perundang-undangan. System
ini diberlakukan padatanah kehidupan
yang dinamakan tanah air (wathan). Pada gilirannya hubungan tersebut diatur
oleh kekuasaan yang dinamakan negara. Lihat Muhammad Syahrur, Dirasat
Islamiyyah Muashirah fi al Daulat wa al Mujtama', terjemah Saifudin Zuhri dan
Badrus Syamsul Fata "Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara", Yogyakarta
: LKIS, cet. ke-1, 2003, hlm.90
[23] Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia,
Jakarta : Penerbit Erlangga, 1999, hlm. 166.
[24] Harsono, Perkembangan
Pengaturan Kewarganegaraan, Yogyakarta : Liberty, cet. ke-1, 1992, hlm. 1.
[25] Lihat
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum
Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, cet. ke-1, 1994, hlm. 1. lihat pula S. Gautama, Warga Negara dan Orang
Asing, Bandung : Penerbit Alumni, cet. ke-3, 1975, hlm. 3.
[26] Harsono, op.
cit., hlm. 2
[27] Lihat Tim ICCE UIN, op.cit.,hlm. 83.
[28] Rosyada,
Dede dkk. Op.cit, hlm. 90.
[29]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu politik, Pt. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1986, hlm. 57.
[30] Ibid, hlm. 58
[31] Ni’Matul Huda, Otonomi daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2005, hlm. 73-74
[32] http://tugasdanmakalah.blogspot.co.id/2010/02/bab-i-pendahuluan-1.html
[33]
Mengenai pentingnya konstitusi atau Undang-Undang Dasar bagi suatu negara ini, Moh.
Tolchah Mansoer mengemukakan, bahwa secara fundamentil dan prinsipiil, sumber hukum
bagi suatu negara adalah Undang-Undang Dasarnya, dan untuk negara kita, Republik Indonesia, sejak pertama kali berdiri adalah, UUD 1945. Moh. Tolchah Mansoer, Sumber Hukum dan Urutan Tertib Hukum Menurut Undang-Undang Dasar RI ’45, Binacipta,
Yogyakarta, 1979, hlm. 6.
[34]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,
hlm. 105.
[35] Dahlan Thaib, dkk., op.cit., hlm. 33-34
[36] Djokosutono mengemukakan,
pentingnya konstitusi dapat dilihat dari 2 segi, yaitu segi isi
(naar de inhoud) dan dari segi bentuk (naar de maker). Djokosutono, Hukum Tata Negara, (dihimpun Harun Al Rasjid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
hlm. 48.
Pandangan Djokosutono ini berbeda dengan pandangan J.C.T. Simorangkir yang mengemukakan, bahwa konstitusi atau UUD itu dapat dilihat dari 3 segi, yaitu:
isinya,
pembuatan/penyusunan/penetapannya, dan bentuknya. J.C.T. Simorangkir, Penetapan Undang-Undang Dasar dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung
Agung,
Jakarta, 1984, hlm. 71-72.
[37]
A. Hamid S.
Attamimi, Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, UI-Jakarta, 1990, hlm. 215.
[38] Wiryono
projodikoro, asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat,
Jakarta 1983, hlm 12-13.
[39]
Rosjidi
Ranggawidjaja, Wewenang Menafsirkan Undang-Undang Dasar, Cita
Bhakti Akademika, Bandung, 1996, hlm. 8.
[40]Maria farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 1.
0 komentar:
Posting Komentar