Rabu, 10 Mei 2017

Makalah Analisis Pasal 33 UUD 1945



        ANALISIS
POLITIK HUKUM PEREKONOMIAN
BERDASARKAN PASAL 33 UUD 1945
&
IDEOLOGI WELFARE STATE KONSTITUSI:
HAK MENGUASAI NEGARA ATAS BARANG TAMBANG


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mandiri
pada Mata Kuliah Teori Politik

Dosen : Prof. Dr. Samugyo Ibnuredjo, MA
Dr. Drs. Aswan Yuswanda, M.Si

Disusun Oleh :
Nama : Ade Surahman
NPM : L23.016.0021









PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG





ANALISIS
POLITIK HUKUM PEREKONOMIAN
BERDASARKAN PASAL 33 UUD 1945
&
IDEOLOGI WELFARE STATE KONSTITUSI:
HAK MENGUASAI NEGARA ATAS BARANG TAMBANG
Kajian terhadap perekonomian di Indonesia tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan Politik Hukum. Politik hukum inilah yang pada akhirnya menggiring kea rah mana ekonomi di negara ini akan berjalan. Tanpa Politik hukum yang jelas maka perekonomian Indonesia sudah dipastikan tidak memiliki arah yang pasti.
Sejatinya berbicara ekonomi dan pembangunan itu kental dengan apa yang disebut dengan investasi, sedang investasi sendiri terkait dengan apa yang disebut dengan kepastian hukum. Selama ini yang menjadi persoalan didalam menggulirkan perekonomian di Indonesia karena tidak jelasnya kepastian hukum bagi para pelaku bisnis. Banyak dari para pelaku bisnis yang ragu apabila berinvestasi di Indonesa. lagi-lagi persoalan kepastian hukum. Untuk itu solusi konkrit terhadap persoalan regulasi pembangunan ekonomi perlu menjadi perioritas negara Indonesia.
Bagi negara Indonesia semangat ekonomi didapat dari amanat UUD 1945 yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Inilah konstitusi yang menjadi dasar perekonomian bangsa Indonesa.
Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan dasar demokrasi ekonomi adalah produksi dikerjakan oleh semua untuk semua. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang.
Dalam rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945.[1] Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. Konstitusi ekonomi tersebut terlihat pada materi, yang berbunyi:
1)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2)    Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3)     Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4)    perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5)     ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.[2]
Tetapi dalam perjalanan waktu, penerapan pasal 33 UUD 1945 ini dilapangan menimbulkan polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Beberapa Permasalahan dalam Implementasi Pasal 33 UUD 1945, misalnya:
a)    Misalnya Masyarakat yang menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, tanpa mendapat perlindungan selayaknya, Misalnya kasus masuknya infestor asing yang mengeruk habis sumberdaya alam Indonesia dengan menerapkan kontrak Karya, seperti kita tau kerjasama pemerintah dengan infestor asing melalui kontrak karya sama sekali tidak mencerminkan jiwa pasal 33 UUD 1945.
b)    Perkembangan ekonomi global juga banyak permasalahan yang sering kali muncul menyangkut penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Misalnya, permasalahan yang perlu mendapat perhatian, ialah tentang aturan pelaksanaannya yang lahir dalam bentuk undang-undang, yaitu  tentang bagaimana peranan negara dalam penguasaan sumber daya alam (ekonomi) yang ada.
c)    Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sektor-sektor ekonomi di Indonesia yang seharusnya mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Namun pada prakteknya, berbagai peraturan perundang-undangan lebih mengakomodasi tekanan-tekanan kepentingan politik dan ekonomi para pendukung ekonomi pasar. Karena memang hukum adalah produk politik”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu.
Khusus terhadap permasalahan yang ke 3 (tiga) diatas terkait persoalan-persoalan karakter produk hukum tersebut kemudian muncul pada wilayah hukum di Indonesia di bidang sumber daya alam, seiring dengan keluarnya Undang-Undang, misalnya:
a.    Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air,
b.    Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam,
c.    Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Kesesuaian antara ketiga undang-undang tersebut dengan Pasal 33 UUD 1945, merupakan dasar berbagai kalangan masyarakat untuk mengugat validitas keberlakuan ketiga undang-undang tersebut kepada mahkamah Konstitusi ketika secara nyata-nyata merugikan hak konstitusional warga negara.
Bedasarkan ketentuan pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi mempunyai kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangann sebagaimana telah ditentukan oleh pasal 24 ayat 2, pasal 24C, dan diatur lebih lanjut dalam UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.[3]
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003 kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan Negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai  (1) pengawal konstitusi (the guardian of constitution); (2) penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution); (3) pengawal demokrasi (the guardian of democracy); (4) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights); dan (5) pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi dipaksa untuk memberikan tafsir trhadap pasal 33 UUD 1945 yang memuaskan bagi semua pihak khususnya para pemohon judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Pasal 33 UUD 1945
Analisis Ideologi Welfare State Konstitusi Hak Menguasai Negara Atas Barang Tambang

Dasar teori yang digunakan dalam menyusun analisis adalah teori tentang negara hu­kum kesejahteraan (welfare state), yang merupakan perpaduan atau campuran dari konsep negara hukum (rechtstaat) dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Burkens et al„ negara hukum (rechtstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Adapun kon­sep negara kesejahteraan adalah menempatkan peran ne­gara tidak hanya terbatas sebagai penjaga ketertiban semata.
Seperti halnya dalam konsep nachtwakerstaat, akan tetapi negara juga dimungkinkan untuk ikut serta dalani kogiatan ekonomi sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat. Tujuan negara dalam konsep negara hukum kesejahtera­an (welfare state) tidak lain adalah untuk mewujudkan kes­ejahteraan setiap warga negaranya. Berdasar tujuan negara tersebut, maka negara diharuskan untuk ikut serta dalani segala aspek kehidupan sosial khususnya dalam kegiatan eko­nomi masyarakat. Hal tersebut sesuai pula dengan ide dasar tentang tujuan bernegara sebagaimana telah digariskan di dalani Pembukaan UUD NRI 1945 maupun prinsip negara hukum dalam bagian penjelasaii UUD 1945 sebelum dilaku-kan proses amendemen, di mana diterima pula konsep nega­ra kesejahteraan dan prinsip negara hukum yang keduanya dilandaskan kepada Pancasila sebagai dasar bernegara.
Pancasila yang merupakan cita hukum (rcchtsidee) dan sekaligus merupakan grundnorm dalam tertib hukum In­donesia yang berisikan nilai-nilai dasar berbangsa dan ber­negara serta menjadi tolok ukur bagi setiap perilaku warga masyarakat, telah memberikan pula dasar bagi negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal itu dcngan jelas tercermin melalui salah satu silanya, yakni untuk mewujud­kan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengertian keadilan sosial tidaklah dapat dipahami se­bagai sebuah pengertian keadilan yang an sich, akan tetapi keadilan berkenaan pula dcngan penienuhan kebutuhan masyarakat secara merata oleh negara. Seperti dikemukakan oleh Arnold Hertjee (1989), bahwa peningkatan kehidup­an ekonomi seorang individu dan anggota masyarakat ti­dak hanya tergantung pada peranan pasar dan keberadaan organisasi-organisasi ekonomi swasta saja, akan tetapi ber-gantung pula pada peranan negara. Hal yang sama dike­mukakan pula oleh Keynes (1953) yang mengakui adanya peranan negara secara langsung dalam kegiatan ekonomi yakni, dalam bentuk pengeluaran pemerintah (government expenditures) dan pengaturan kegiatan ekonomi yang supor-tif dalam mengatasi depresi pada tahun 1930-an.
Peran negara menjadi lebih penting lagi ketika banyak ahli ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang begitu percaya, bahwa sistem atau mekanisme pasar tidak akan dapat menyelesaikan sepenuhnya semua persoalan ekonomi. kehadiran negara dipcrlukan justru untuk mengurangi dam-pak kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities), dan dampak ekslernalitas pada lingkungan mau­pun sosial.
Berdasar argumentasi tersebut di atas, maka penerapan konsep negara hukum kesejahteraan (welfare-rechtstaat) memegang peranan penting dalam pemenuhan kesejahteraan warga masyarakat, Oleh karena itu, kehadiran negara dalam kegiatan ekonomi sangatlah penting dan relevan dalam pencapaian tujuan negara, yakni tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kehadiran negara melalui BUMN tidaklah sepenuhnya diarahkan kepada pencarian keuntungan (fungsi profitisasi), akan tetapi yang lebih utama adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui fungsi pelayanan kepada masyarakat (fungsi sosial). Peranan negara melalui BUMN menjadi teramat pen­ting ketika dirumuskan dalam suatu kctentuan sebagaimana terumus dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945.

Selain itu, salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah tercantum didalam ayat (3) mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS 1950, sehingga ada anggapan bahwa hal itu merupakan cerminan nasionalisme ekonomi Indonesia.
Bahwa berdasarkan uraian putusan mahkamah konstitusi terhadap Judicial Review Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut diatas adalah untuk pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaacf) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan Iangsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.


[1] Dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Pasal ini merupakan konsekuensi dari tujuan dari berdirinya negara Indonesia, hal ini ditunjukkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4, yang rumusannya sebagai berikut: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social
Kuntana Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufk, Tafsir MK Atas Pasal 33  UUd 1945: (Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No. 22/2001, dan UU No. 20/2002), Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010,  Hlm, 112.
[2] Yance Arizona, Penafsiran MK Terhadap Pasal 33 UUD 1945, (Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005  Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 2007),  Hlm. 11.
[3] Pada awal pembentukannya sampai saat ini MK berdasarkan Pasal 24 UUD 1945  jo. Pasal 10 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  memiliki 4 wewenang dan 1 kewajiban. Wewenang tersebut adalah : (1)menguji undang-undang terhadap UUD 1945, (2)memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, (3)memutus pembubaran partai politik, (4)memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan (5)Sedangkan kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dengan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
 


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More