ANALISIS
POLITIK HUKUM
PEREKONOMIAN
BERDASARKAN PASAL 33
UUD 1945
&
IDEOLOGI WELFARE STATE KONSTITUSI:
HAK MENGUASAI NEGARA
ATAS BARANG TAMBANG
Diajukan Sebagai Salah
Satu Tugas Mandiri
pada Mata Kuliah Teori Politik
Dosen
: Prof. Dr. Samugyo
Ibnuredjo, MA
Dr.
Drs. Aswan Yuswanda, M.Si
Disusun
Oleh :
Nama
: Ade Surahman
NPM
: L23.016.0021
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
ANALISIS
POLITIK HUKUM
PEREKONOMIAN
BERDASARKAN PASAL 33
UUD 1945
&
IDEOLOGI WELFARE STATE KONSTITUSI:
HAK
MENGUASAI NEGARA ATAS BARANG TAMBANG
Kajian terhadap perekonomian
di Indonesia tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan Politik Hukum.
Politik hukum inilah yang pada akhirnya menggiring kea rah mana ekonomi di
negara ini akan berjalan. Tanpa Politik hukum yang jelas maka perekonomian
Indonesia sudah dipastikan tidak memiliki arah yang pasti.
Sejatinya berbicara ekonomi
dan pembangunan itu kental dengan apa yang disebut dengan investasi, sedang
investasi sendiri terkait dengan apa yang disebut dengan kepastian hukum.
Selama ini yang menjadi persoalan didalam menggulirkan perekonomian di
Indonesia karena tidak jelasnya kepastian hukum bagi para pelaku bisnis. Banyak
dari para pelaku bisnis yang ragu apabila berinvestasi di Indonesa. lagi-lagi
persoalan kepastian hukum. Untuk itu solusi konkrit terhadap persoalan regulasi
pembangunan ekonomi perlu menjadi perioritas negara Indonesia.
Bagi negara Indonesia
semangat ekonomi didapat dari amanat UUD 1945 yang termaktub dalam Pasal 33 UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Inilah konstitusi yang menjadi dasar
perekonomian bangsa Indonesa.
Penjelasan Pasal 33 UUD 1945
menyebutkan dasar demokrasi ekonomi adalah produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang.
Dalam
rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan
dan nilai-nilai fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political
constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution),
bahkan konstitusi sosial (social constitution). UUD 1945 sebagai sebuah
konstitusi negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan
lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari
itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan
sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945.[1]
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi
Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. Konstitusi ekonomi
tersebut terlihat pada materi, yang berbunyi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4) perekonomian Indonesia
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5) ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Jiwa
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan
semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik
(seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan
bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan
di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang
sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya, sehingga
dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.[2]
Tetapi
dalam perjalanan waktu, penerapan pasal 33 UUD 1945 ini dilapangan menimbulkan
polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Beberapa Permasalahan dalam
Implementasi Pasal 33 UUD 1945, misalnya:
a) Misalnya Masyarakat yang menanggung
resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, tanpa mendapat perlindungan
selayaknya, Misalnya kasus masuknya infestor asing yang mengeruk habis
sumberdaya alam Indonesia dengan menerapkan kontrak Karya, seperti kita tau
kerjasama pemerintah dengan infestor asing melalui kontrak karya sama sekali
tidak mencerminkan jiwa pasal 33 UUD 1945.
b) Perkembangan ekonomi global juga
banyak permasalahan yang sering kali muncul menyangkut penjabaran Pasal 33 UUD
1945. Misalnya, permasalahan yang perlu mendapat perhatian, ialah tentang
aturan pelaksanaannya yang lahir dalam bentuk undang-undang, yaitu
tentang bagaimana peranan negara dalam penguasaan sumber daya alam (ekonomi)
yang ada.
c) Berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan sektor-sektor ekonomi di Indonesia yang
seharusnya mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Namun pada prakteknya, berbagai
peraturan perundang-undangan lebih mengakomodasi tekanan-tekanan kepentingan
politik dan ekonomi para pendukung ekonomi pasar. Karena memang hukum adalah
produk politik”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk
hukum tertentu.
Khusus
terhadap permasalahan yang ke 3 (tiga) diatas terkait persoalan-persoalan
karakter produk hukum tersebut kemudian muncul pada wilayah hukum di Indonesia
di bidang sumber daya alam, seiring dengan keluarnya Undang-Undang, misalnya:
a. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air,
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak Bumi dan Gas Alam,
c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan.
Kesesuaian
antara ketiga undang-undang tersebut dengan Pasal 33 UUD 1945, merupakan dasar
berbagai kalangan masyarakat untuk mengugat validitas keberlakuan ketiga
undang-undang tersebut kepada mahkamah Konstitusi ketika secara nyata-nyata
merugikan hak konstitusional warga negara.
Bedasarkan
ketentuan pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada
dibawahnya. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi mempunyai
kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangann sebagaimana telah ditentukan oleh
pasal 24 ayat 2, pasal 24C, dan diatur lebih lanjut dalam UU No 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.[3]
Berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a sampai dengan d UU 24/2003 kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai
politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu,
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945
yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Keberadaan
Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
Negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai (1)
pengawal konstitusi (the guardian of constitution); (2) penafsir akhir
konstitusi (the final interpreter of constitution); (3) pengawal
demokrasi (the guardian of democracy); (4) pelindung hak-hak
konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional
rights); dan (5) pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human
rights).
Dalam
konteks ini, Mahkamah Konstitusi dipaksa untuk memberikan tafsir trhadap pasal
33 UUD 1945 yang memuaskan bagi semua pihak khususnya para pemohon judicial
review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Pasal 33 UUD 1945
Analisis
Ideologi Welfare State Konstitusi Hak Menguasai Negara Atas
Barang Tambang
Dasar teori yang digunakan
dalam menyusun analisis adalah teori tentang negara hukum kesejahteraan
(welfare state), yang merupakan perpaduan atau campuran dari konsep negara
hukum (rechtstaat) dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Menurut
Burkens et al„ negara hukum (rechtstaat) adalah negara yang menempatkan hukum
sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam
segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Adapun konsep negara
kesejahteraan adalah menempatkan peran negara tidak hanya terbatas sebagai
penjaga ketertiban semata.
Seperti halnya dalam konsep nachtwakerstaat,
akan tetapi negara juga dimungkinkan untuk ikut serta dalani kogiatan ekonomi
sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat. Tujuan negara dalam konsep negara
hukum kesejahteraan (welfare state) tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
setiap warga negaranya. Berdasar tujuan negara tersebut, maka negara diharuskan
untuk ikut serta dalani segala aspek kehidupan sosial khususnya dalam kegiatan
ekonomi masyarakat. Hal tersebut sesuai pula dengan ide dasar tentang tujuan
bernegara sebagaimana telah digariskan di dalani Pembukaan UUD NRI 1945 maupun
prinsip negara hukum dalam bagian penjelasaii UUD 1945 sebelum dilaku-kan
proses amendemen, di mana diterima pula konsep negara kesejahteraan dan
prinsip negara hukum yang keduanya dilandaskan kepada Pancasila sebagai dasar
bernegara.
Pancasila yang merupakan cita hukum
(rcchtsidee) dan sekaligus merupakan grundnorm dalam tertib hukum Indonesia
yang berisikan nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara serta menjadi tolok
ukur bagi setiap perilaku warga masyarakat, telah memberikan pula dasar bagi
negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal itu dcngan jelas
tercermin melalui salah satu silanya, yakni untuk mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengertian keadilan sosial tidaklah dapat
dipahami sebagai sebuah pengertian keadilan yang an sich, akan tetapi keadilan
berkenaan pula dcngan penienuhan kebutuhan masyarakat secara merata oleh
negara. Seperti dikemukakan oleh Arnold Hertjee (1989), bahwa peningkatan
kehidupan ekonomi seorang individu dan anggota masyarakat tidak hanya
tergantung pada peranan pasar dan keberadaan organisasi-organisasi ekonomi
swasta saja, akan tetapi ber-gantung pula pada peranan negara. Hal yang sama
dikemukakan pula oleh Keynes (1953) yang mengakui adanya peranan negara secara
langsung dalam kegiatan ekonomi yakni, dalam bentuk pengeluaran pemerintah
(government expenditures) dan pengaturan kegiatan ekonomi yang supor-tif dalam
mengatasi depresi pada tahun 1930-an.
Peran negara menjadi lebih
penting lagi ketika banyak ahli ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang begitu percaya, bahwa sistem atau mekanisme
pasar tidak akan dapat menyelesaikan sepenuhnya semua persoalan ekonomi.
kehadiran negara dipcrlukan justru untuk mengurangi dam-pak kegagalan pasar
(market failure), kekakuan harga (price rigidities), dan dampak ekslernalitas pada
lingkungan maupun sosial.
Berdasar argumentasi
tersebut di atas, maka penerapan konsep negara hukum kesejahteraan
(welfare-rechtstaat) memegang peranan penting dalam pemenuhan kesejahteraan
warga masyarakat, Oleh karena itu, kehadiran negara dalam kegiatan ekonomi
sangatlah penting dan relevan dalam pencapaian tujuan negara, yakni tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kehadiran negara melalui BUMN
tidaklah sepenuhnya diarahkan kepada pencarian keuntungan (fungsi profitisasi),
akan tetapi yang lebih utama adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat
melalui fungsi pelayanan kepada masyarakat (fungsi sosial). Peranan negara
melalui BUMN menjadi teramat penting ketika dirumuskan dalam suatu kctentuan
sebagaimana terumus dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945.
Selain
itu, salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945
adalah tercantum didalam ayat (3) mengenai pengertian “hak penguasaan negara”
atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan
yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama
persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS
1950, sehingga ada anggapan bahwa hal itu merupakan cerminan nasionalisme
ekonomi Indonesia.
Bahwa
berdasarkan uraian putusan mahkamah konstitusi terhadap Judicial Review Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2001 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut diatas adalah untuk
pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan
rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan
publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada
negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan
regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaacf) dilakukan
melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui
keterlibatan Iangsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum
Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q.
Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi
pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara, c.q.
Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar
dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
[1]
Dimensi
pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam Pasal 33 dan
34 UUD 1945. Pasal ini merupakan konsekuensi dari tujuan dari berdirinya negara
Indonesia, hal ini ditunjukkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4,
yang rumusannya sebagai berikut: “Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social”
Kuntana
Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufk, Tafsir MK Atas Pasal 33
UUd 1945: (Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU
No. 22/2001, dan UU No. 20/2002), Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1,
Februari 2010, Hlm, 112.
[2]
Yance Arizona, Penafsiran MK Terhadap Pasal 33
UUD 1945, (Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan
Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005
Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air),
Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 2007), Hlm. 11.
[3]
Pada awal pembentukannya sampai saat ini MK berdasarkan Pasal 24 UUD 1945
jo. Pasal 10 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memiliki 4
wewenang dan 1 kewajiban. Wewenang tersebut adalah : (1)menguji undang-undang
terhadap UUD 1945, (2)memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, (3)memutus pembubaran
partai politik, (4)memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan
(5)Sedangkan kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dengan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
0 komentar:
Posting Komentar