PEMIKIRAN
POLITIK ISLAM MODERN
MICHAELLE
BROWERS
Ketika untuk pertama kalinya dalam sejarah
umat Muslim menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan ekonomi
oleh penjajah Barat Kristen, mereka mulai mengajukan pertanyaan sebagai
berikut:
Sebab-sebab
apakah yang menimbulkan degradasi umum pada umat Muslim modern?
Jika
Islam adalah iman yang mempersatukan, mengapa banyak ragamnya di kalangan umat
Muslim?
Apakah
kesatuan di kalangan umat Muslim adalah harapan masuk akal yang dapat terwujud?
Mungkinkah
bagi kami untuk menjadi nasionalis yang loyal dan pada saat yang bersamaan
menjadi Muslim sejati?
Mengapa
negara modern hanya terjadi pada negara-negara Kristen?
Apakah
islam menoleransi lembaga-lembaga bebas liberal (dan) sanggupkah Islam mengadaptasi
diri dengan tuntutan lembagal-lembaga tersebut?
Mengapa
kami sampai pernah menjadi penyangkal ilmu pengetahuan dan memusuhi kearifan?
Siapa
yang pernah membayangkan bahwa Islam yang berdasarkan pada nalar dan pemikiran
akan terampas kebebasannya untuk berijtihad (interpretasi keagamaan rasional)
dan terkungkung di bawah taklid (teladan para cendekiawan)?
Apa
yang harus dilakukan?
Kaum Modernis Islam pertama kali mengangkat
isu ini pada awal abad kesembilan belas ketika ‘beberapa negara Islam mengambil
penyelenggaraan teknik dan militer Eropa, dan berbagai musafir Muslim di Eropa
kembali dengan membawa kisah-kisah berpengaruh tentang progres dan pencerahan’
(Kurzman. 2002:4). Sehubungan dengan reformasi politik. Kaum Modernis Islam
berusaha mengambil aspek sistem politik Eropa di satu sisi, dan menegaskan
kembali islam sebagai sistem sosio-politik dalam keselarasan yang sempurna
dengan modernitas di sisi yang lain. Kegagalan Kaum Modernis Islam untuk
memenuhi tantangan itu turut memunculkan kekuatan revivalis islam dalam separuh
kedua abad ke-20. Meski pemikiran Islam modernis masih ada sampai sekarang,
pada periode kontemporer Kaum Modernis menempati ruang diskursif yang sama
dengan kecenderungan pesaing Iainnya Islamis, Tradisionalis, serta Liberal Islam
yang masing-masing menawarkan visi reformasinya sendiri. Dalam tulisan-tulisan
kontemporer, cara penanganan permasalahan yang dihadapi masyarakat Islam telah
meluaskan dan mentransformasi pemikiran politik Islam tersebut, yang selalu
beragam, semakin lama semakin multivokal dan pecah dari interaksi di antara
para cendekiawan yang bekerja di dalam tradisi pemikiran Islam semakin
dicirikan dengan ketegangan, permusuhan, bahkan kekerasan. Ada pula suatu
pemahaman yang disampaikan oleh pengamat-pengamat non-Islam, bahkan dan pihak
pemikir-pemikir Islam sendiri, bahwa pemikiran politik Islam di masa kini
tampaknya telah mencapai kebuntuan, sedikitnya dalam tiga isu: bagaimana
menangani tradisi Islam, fungsi agama di dalam masyarakat, dan dasar organisasi
politik. Memang benar bahwa isu-isu ini terus-menerus muncul kembali di dalam
tiga kecenderungan teorisasi politik Islam yang dibahas di sini: modernisme
Islam, Islamisme, dan liberalism Islam.
MODERNISME ISLAM
Kemunculan modernisme di dalam pemikiran
Islam mirip yang disebut Nahda (renaisans atau terjaga kembali) dalam
bahasa Arab. Umat muslim yang bekerja dalam tradisi ini berusaha membangkitkan
kembali pemikiran Islam dengan mengukuhkan kesinambungan dengan masa lalu dan
menyesuaikan hal yang mereka anggap sebagai pencapaian Eropa modern terutama,
teknologi materi modern, teknik modern dalam memobilisasi dan menyelenggarakan
masyarakat, serta lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen.
Sebelum abad kedelapan dan abad kesembilan,
pemikir-pemikir Muslim telah terlibat dalam perbedaan pendapat mengenai cara
terbaik untuk menyusun kehidupan sosio-politik Islam dengan adanya tantangan
dan gerakan Syi’ah, Sufi, Mu’tazila, dan Kharijit yang muncul bersama-sama
dengan terbentuknya ortodoksi Islam. Pada abad ketiga belas dan abad keempat
belas, para pembaru berusaha menghidupkan kembali Islam di tengah-tengah
kemunduran Kekhalifahan. Fazlur Rahman (Pakistan AS, 1919-88) menyebutkan
sejumIah gerakan reformasi ‘pramodernis’ yang ‘melanda sebagian besar Dunia
Muslim pada abad ketujuh belas, kedelapan belas, dan kesembilan belas’ dan
memiliki kesamaan ciri dengan ‘kesadaran akan degenerasi, serta kebutuhan yang
sama untuk mengobati kejahatan sosial dan meningkatkan standar moral’ (1970:
641).
Kaum Muslim sering berpendapat bahwa meski
agama Kristen pada dasarnya adalah sebuah keyakinan, Islam itu lengkap dan
hoIistis dalam arti menjadi jalan hidup sekaligus agama (dunya wa din). Hukum Islam (syariat) dipahami sebagai sistem
komprehensif yang memuat Prinsip-prinsip yang mengatur baik hubungan manusia
dengan Tuhan (‘ibadat) maupun hubungan di antara sesama manusia sendin
(mu‘amalat).
Kebanyakan Kaum Modernis Islam percaya bahwa
ketegangan antara Islam dan nilai-nilai modern merupakan ‘kecelakaan sejarah,
bukan sifat inheren Islam’ (Kurzman, 2002: 4). Namun, tingkat kesediaan Kaum
Modernis tertentu untuk mencontoh dari Barat berbeda-beda, dari mereka yang
menyatakan seperti Mirza Malkom Khan (Iran, 1833-1908) bahwa ‘di dalam semua
lembaga baru yang ditawarkan Eropa kepada kami, tidak ada apa pun yang
bertentangan dengan semangat agama kami’ (dalam Bakhash, 1978: 15); sampai
mereka yang seperti Rashid Rida (Suriah-Mesir,1865-1935) yang mengklaim umat
Muslim tak hanya memperoleh pencapaian ilmiah, keterampilan teknis, dan industri
maju’ milik Eropa (dalam Shahin, 1993:49), hingga mereka yang seperti Afghani,
menganggap peniruan membabi buta terhadap Barat tak lebih daripada’ peniruan
membabi buta terhadap masa lampau, karena ‘pengalaman dan bukti dari masa
lampau telah mengajarkan kita bahwa para peniru di setiap bangsa dan mereka
yang meniru adat istiadat asing merupakan celah dan kekosongan yang dapat
dirembesi dominasi asing untuk memasuki sebuah negara’ (dalam Awwad, 1986: 84).
Perhatian utama dalam wacana politik Islam
modernis ialah menyampaikan pemahaman yang rasional mengenai hubungan antara
agama dan negara. Salah satu unsur awal pemikiran Islam modernis memberi Islam
pemahaman nasionalistis yang berfokus pada pembangunan negara kuat yang mampu
bersaing dengan Barat.
Tradisi Islam telah merumuskan
prinsip-prinsip umum yang mengatur otoritas, tetapi tidak banyak memberikan
batasan atas otoritas mutlak. Banyak Muslim, modernis berusaha membatasi
kekuasaan otoriter tradisional para pemimpin yang semula diperoleh dari sumber-sumber
Islam, tetapi dianggap tidak sesuai lagi dengan kepentingan Muslim, dengan
rnengklairn prinsip kesepadanan di antara berbagai aspek syariat (hukum Islam)
dan ideal-ideal konstitusionalisme. Menurut ortodoksi Sunni, pemimpin harus
dipilih oleh kelas elite yang disebut ahl
al-hall wa al-’aqd (secara harfiah, mereka yang melonggarkan dan mengikat),
orang-orang dengan otoritas dan kedudukan di dalam komunitas seperti kepala
suku, gubernur provinsi, pemuka negara. Namun, pemikir Islam modernis mengklaim
bahwa hak istimewa ini sekarang harus jatuh ke majelis-majelis perwakilan yang
anggota-anggotanya telah menjadi ‘orang-orang pemegang otoritas’ yang sedang
menjabat. (1967: 72), sehingga menunjukkan bahwa urusan yang memengaruhi
masyarakat umum haruslah melibatkan suatu bentuk permusyawaratan dengan rakyat.
Dalam memajukan klaim-klaim mereka, beberapa
Modernis Islam memilih satu bagian di dalam Qur’an yang menasihati Muhammad
untuk ‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (Surat 3, Ayat 159),
lalu menginterpretasikan artinya seperti yang dilakukan Musa Kazin (Turki,
1858-1920), bahwa para pemimpin diwajibkan untuk ‘bermusyawarah bersama umat
dalam setiap urusan’ (dalam Kurzman, 2002: 176). Dalam sebuah esai yang memuat
ayat tersebut sebagai judulnya, Namik kemal (turki, 1840-88) menyatakan bahwa
untuk ‘menjaga negara tetap dalam batas-batas keadilan’, umat Muslim wajib
menjalankan dua perbaikan: (1) menjadikan tindakan pemerintah bersifat umum dan
terbuka terhadap pemeriksaan, yaitu, ‘membebaskan prinsip-prinsip fundamental
administrasi dan wilayah interpretasi implisit dan menjadikannya umum’, serta
(2) melaksanakan ‘metode musyawarah (al-syura), yang mengambil kekuasaan
legislatif dari tangan anggota pemerintahan’ dan meletakkannya kepada anggota komunitas
Islam yang lebih besar (umat) (dalam Kurzman, 2002: 145
Dukunglah
aku selama kamu menganggapku mengikuti jalan yang benar, dan koreksilah aku
jika kamu menganggapku menyimpang. Yang lemah di antara kamu adalah kuat
(bagiku) sampai aku memberikan hak mereka. Yang kuat di antara kamu adalah
lemah (bagiku) sampai aku mengambil dan mereka apa yang menjadi hak yang lain.
Kukatakan hal ini dan kumohon ampunan Allah untuk diriku dan untuk kamu
sekalian. (dalam Kurzman. 2002: 93-4).
Berdasarkan pidato ini, Ibnu Badis
mengidentifikasi 13 prinsip yang mengatur polity Islam, meliputi ‘pemerintahan
tidak mungkin ada tanpa persetujuan rakyat’; ‘mengemban urusan rakyat tidak
menjadikan pemimpin lebih baik daripada orang lain’; rakyat memiliki hak dan
tanggung jawab untuk ‘memantau’ ‘menasihati’, ‘mengoreksi’, dan
‘mempertanyakan’ pemimpin; pemimpin wajib ‘mengumumkan rencana yang hendak
dijalankan, agar rakyat mengetahui dan menyetujuinya’ hukum bersumber dari
‘kehendak rakyat’; dan ‘semua adalah sama di hadapan hukum’ (dalam Kurzman,
2002: 94-5).
Pemikir Maroko, Muhammad ‘Abd al-Jabiri
(lahir 1936), menerangkan bahwa generasi yang meliputi Afghani dan Abduh kerap
berupaya menjembatani tradisi Arab-Islam dan Pencerahan Eropa dengan cara
mengorelasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep Eropa. Al-Jabiri
berpendapat mereka menganggap sama antara demokrasi dan al-syura ‘bukan karena
keduanya selaras, atau karena keduanya tidak mengenal perbedaan-perbedaan yang
memisahkan keduanya’ melainkan karena ‘keduanya bertindak dengan kerangka pikir
yang memerlukan tindakan ideologis dengan tujuan menenangkan ideologi-ideologi
kaku di kalangan “sarjana-sarjana agama”, dan mungkin juga para pemimpin dengan
meyakinkan mereka bahwa imbauan demokrasi bukan berarti menyisipkan doktrin
heretis ke dalam benteng Islam’ (1994: 41).
Secara umum, Kaum Modernis Islam tidak
berhasil mentransformasi gagasan mereka menjadi gerakan massa atau transformasi
dasar masyarakat Islam. Meski gerakan-gerakan konstitusional menerima banyak
gagasan Kaum Modernitas dan golongan-golongan agama mendukung eksperimen
konstitusional yang berlangsung di Tunisia (1860), Turki (1876), Mesir (1881),
dan Persia (1905), seperti yang ditunjukkan Majid Khadduri,
konstitusi-konstitusi yang pada akhirnya dilaksanakan tidak sedikit pun
menghiraukan prinsip-prinsip Islam, kecuali menyebut Islam sebagai agama resmi
negara.
Perubahan dalam pemikiran politik Islam mulai
muncul pada 1930-an, ketika keyakinan kepada nasionalisme liberal di kawasan
itu mulai surut, diperparah oleh masalah ekonomi, perubahan politik yang tak terduga,
dua kali perang dunia, dan berdirinya negara Israel (pada 1948). Kemunculan
wacana nasionalisme sekular, sosialisme, dan fasisme yang saling bersaing
melemahkan energi dan memecah-belah jajaran pemikir Islam modernis.
‘Serangkaian coups d’état militer
membuat rezim-rezim yang kecewa kepada Barat liberal menjadi berkuasa dan
mereka tertarik pada progres sosialisme di Rusia dan Eropa Barat’ (Donohue dan
Esposito, 1982: 98).
KEBANGKITAN KEMBALI
PERHATIAN KEPADA ISLAM
Menurut Yusuf al-Qaradawi (Mesir, lahir 1926)
(1982; 1988), ‘kebangkitan kembali perhatian kepada Islam (al-sahwa al-Islamiyya) berhubungan langsung dengan nakba (musibah) terusirnya rakyat
Palestina dari tanah: air mereka pada 1948, dan naksa (kejatuhan) yang terjadi saat Perang Enam Hari pada 1967.
Pada separuh kedua 1970-an, semua pihak
menyaksikan kekorupan dan ketidakcakapan sejumlah negara sosialis dan
nasionalis Arab yang ada di kawasan itu, dan kaum Islamis, yang menolak model
negara Barat juga tampaknya telah mengapropriasi beberapa model sosialis Barat
dengan maksud untuk merebut kekuasaan negara.
Harus dibedakan antara Revivalis Islam sering
disebut sebagai ‘Fundamentalis Islam’ yang berupaya kembali pada sumber-sumber
autoritatif dalam tradisi Islam dengan tujuan melegitimasikan
perubahan-perubahan di masa kini, dengan tradisionalis Islam, yang menolak
perubahan dan berupaya melestarikan ortodoksi Islam. Revivalis dan Modernis
sama-sama menganut keyakinan yang sudah ada sebelum mereka bahwa Islam dapat
dan seharusnya beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern. Namun, berbeda dengan
Modernis, Revivalis sangat rnengutamakan kekhasan Islam dan enggan mengadopsi
cita-cita politik Barat. Muslim tradisionalis cenderung menghindari ijtihad dan
lebih memilih taklid (meniru buta) pemahaman dan tradisi Islam yang sudah
teruji oleh waktu. Kaum tradisionalis atau mereka yang menyatakan bahwa turath (warisan) Islam Qur’an dan Sunah
(tradisi Nabi) tidak terpengaruh oleh perubahan keadaan dan menunjukkan
keberadaan sebuah tradisi yuridis terlembagakan (‘ilm al.fiqh) sebagai pelindung agama, sudah selalu ada di dalam
tradisi Islam. Kaum Islamis cenderung lebih mendekati aktivisme politik
daripada teologi dan juga lebih selektif (dalam mengedepankan segmen-segmen
Qur’an yang mendukung tujuan mereka. Untuk tujuan kita di sini, Revivalis dan
respons mereka baik terhadap Islam modernis maupun terhadap masalah masalah
yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer lebih relevan dikarenakan mereka
merupakan kecenderungan khas modern di dalam pemikiran politik Islam.
Gerakan baru ini muncul dengan semboyan
‘Islam adalah solusi’ (al-Islam huwa
al-hall atau al-hall al-islami) dan menyerukan untuk ‘kembali kepada para
pendahulu’ (al-sala)). Dan situlah
lahir nama gerakan Salafiyyah, yang menganjurkan untuk kembali kepada ortodoksi
cenderung ke syariat (shari’a-minded orthodoxy) yang akan memurnikan Islam dan
tambahan-tambahan asing. Sumber sejarah terpenting untuk kecenderungan di dalam
Islam ini ialah yuris Suriah, Taqiyal-Din Ibri Taymiyya (1236-1328), seorang pendukung
setia Islam Sunni berdasarkan ketaatan yang kaku pada Qur’an dan Sunah
autentik. Ibn Taymiyya menulis di tengah-tengah percekcokan yang timbul karena
agresi asing dan tentara Perang Salib Kristen dan orang Mongolia, juga
perjuangan perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ia yakin bahwa kedua sumber ini
memuat segala pedoman keagamaan dan rohani yang diperlukan bagi umat Muslim dan
kebangkitan kembali dunia Islam. Dalam karyanya yang paling terkenal, al-Siyasa
al-shar’iyya (Governance According to Islamic
Law), Ibn Taymiyya menegaskan perlunya pemerintahan dan kepemimpinan di
semua masyarakat sebagai cara untuk menghindari perselisihan dan menjalankan
firman-firman agama, dan cara jihad (perang suci) melawan orang kafir.
Mawdudi menyerukan agar kembali kepada Qur’an
dan Sunah yang telah dimurnikan sebagai cara untuk menghidupkan kembali Islam.
Mawdudi menyebut Islam sebagai ideologi dan menyebut negara islam sebagai
negara ideologis: ‘Jelas dan kajian cermat Qur’an dan Sunah bahwa negara di
dalam Islam berdasarkan pada ideologi dan tujuannya ialah menegakkan ideologi
itu’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 256-7). Tema utama dalam pemikiran
Mawdudi ialah konsep kedaulatan Allah (hakimiyya), yang membutuhkan gagasan
bahwa manusia hanya dapat melaksanakan kekuasaan atas nama Allah dan
menjalankan perintah-Nya. Ia berpendapat bahwa satu-satunya cara agar bal ini
bisa benar-benar dijalankan ialah melului negara islam yang dalam ‘segala hal
... dibangun di atas hukum yang ditetapkan oleh Allah melalul Rasul-nya’ (dalam
Moaddel dan Talattof, 2002: 271) dan inilah tujuan politik yang dikejarnya di
Pakistan.
Menurut
penilaian Qutb, zarnan kontemporer adalah zaman kebodohan, ketiadaan Tuhan, dan
kebingungan terang dalam gagasan jahiliah tersebut dan umat Muslim harus mundur
dan masyarakat jahili mendirikan tatanan sosial Islam sejati (al-nizam
al-islami) dan akhirnya, menaklukkan (kembali) tatanan bodoh yang ada (al-nizam
al-jahili). Menurut perspektif ini, Islam tidak cocok dengan realitas ‘sekular’
modern dan umat Islam baru dapat tumbuh dan berkembang dengan balk bila
mengabaikan realitas ini, Satu-satunya penawar bagi keadaan jahiliah saat itu
terutama materialisme Barat yang dianggapnya sebagai pencemar utama jalah
hakimiyya Allah: pandangan hidup Islami yang total dan sistem Islam yang
diperintahkan secara ilahi. Baik Qutb maupun Mawdudi menyampaikan gagasan
perjuangan politik yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan politik, di
samping semua pertimbangan lain, guna mendirikan sebuah negara Islam. Mawdudi melihat
Islam sebagai ‘ideologi revolusioner yang berusaha mengganti tatanan sosial
seluruh dunia dan membangunnya kembali sesuai dengan ajaran-ajarannya sendiri’.
Jihad’, klaim Mawdudi, adalah bagian dan pembelaan menyeluruh terhadap Islam
ini. Jihad berarti perjuangan dengan kemampuan semaksimal mungkin yang
dimiliki. Namun, menurut bahasa Syariat, istilah ini digunakan terutama untuk
perang yang dilakukan semata-mata dengan nama Allah dan terhadap mereka yang
melakukan penindasan sebagai musuh-musuh Islam. (1960: 150).
Qutb membedakan dunia menjadi dua ranah: dar al-Islam dan dar al.-harb. Ranah kedua terdiri dari setiap teritori yang
aturan-aturan Islam tidak diberlakukan di dalamnya, tak peduli apakah
penguasanya mengklaim sebagai Muslim (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 241-2).
Meski Mawdudi menyebut jihad sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, Qutb sangat
jelas dalam menyatakan dalam konteks ranah-ranah yang bertentangan ini bahwa
jihad adalah kewajiban yang berlaku pada seluruh Muslim sejati. Agar memberi hasil
yang diinginkan negara Islam’Jihad Islami’ harus memberikan umat Muslim
‘atmosfer bebas untuk melaksanakan keyakinan yang telah dipilihnya. Jihad
Islami dapat sepenuhnya menghancurkan sistem-sistem politik yang berkuasa, atau
menaklukkannya, memaksa sistem-sistem tersebut untuk tunduk dan menerima Jizyah
(pajak yang dibayar oleh non-Muslim di sebuah negara Islam).
Pemikiran Qutb mengandung dua inovasi yang
terbukti sangat signifikan bagi Kaum Islamis yang tergugah olehnya. Pertama,
dengan mengumumkan bahwa bukan cuma pemerintah non-Islam, tetapi juga
pemerintah-pemerintah yang dipimpin umat Muslim bisa dianggap berada dalam
keadaan jahiliah, ia memberikan persetujuan Islami kepada umat Muslim untuk
menentang dan menggulingkan pemerintah yang memerintah mereka. Kedua, Qutb tak
cuma membuka peluang bagi pertarungan melawan pemerintah Islam yang korup atau
tak layak, tetapi juga memperkenalkan kesanggupan untuk mengucilkan individu
dan komunitas. ‘Perintah mutlak ini juga ada di dalam Qur’an, bahwa tak seorang
pun boleh berhubungan dengan orang yang memalingkan wajahnya dan mengingat
Allah dan hanya mencari dunia sebagai tujuan dan pandangannya’ (dalam Moaddel
dan Talattof, 2002: 205). Qutb secara pribadi berperan dalam mencela dan
menentang Kaum Modernis Mesir seperti Taha Hussayn (1889-1973). Namun, target
utama Kaum Islamis ialah negara-bangsa secular di negara-negara Islam, dan
tujuan akhir mereka ialah mendirikan sebuah negara Islam. Negara impian mereka
akan memiliki Qur’an sebagai konstitusinya, pemimpin yang melaksanakan syariat,
yang juga mengikat atasnya, dan menghidupkan syura (musyawarah). Seperti
ditulis Qutb, ‘teori politik di dalam Islam bersandar pada dasar keadilan di
pihak para pemimpin, kepatuhan di pihak yang dipimpin, dan kolaborasi di antara
pemimpin dan yang dipimpin’ (1980: 93). Demokrasi yang berdasarkan pada gagasan
kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan Allah, dianggap sebagai bentuk pemerintahan
jahiliah. Menurut Qutb, umat Muslim yang mendukung kedaulatan manusia di dalam
politik merancukan penggunaan kekuasaan dengan sumbernya. Karena hukum islam
sudah menyediakan sistem hukum dan moral yang lengkap, tidak mungkin ada
pembuatan undang-undang lebih lanjut atau tidak perlu ada. Mawdudi pun
mengklaim bahwa ‘sudah sangat jelas bahwa Islam yang berbicara dari sudut
pandang filsafat politik adalah antiteis dan demokrasi Barat sekular itu
sendiri’ (dalam Donohuc dan Esposito, 1982: 254).
Karena dicapai di bawah pengawalan para
yuris, visi pemerintahan Islam ini menggambarkan suatu inovasi signifikan pada
pemikiran politik Syi’ah yang biasanya berdasarkan pada penantian akan
kembalinya ‘sang Imam yang belum diketahui keberadaannya’. Vilayat-I faqih
didirikan berdasarkan keberadaan ‘klerus’
Syi’ah yang hierarkis dan terlembagakan (sesuatu yang tidak ada pada
tradisi Sunni).
Pada akhir abad kedua puluh, ada banyak
kesempatan bagi mereka untuk mengadakan rujukan seperti itu: pengangguran yang
begitu lama dan menurunnya mutu pelayanan publik, kurangnya respons terhadap
pendudukan Israel dan aksi-aksi militernya yang berkelanjutan (seperti pemboman
desa-desa di Lebanon selatan pada 1993), meningkatnya represi terhadap
Persaudaraan Muslim di Mesir sepanjang 1980-an dan 1990-an, pembatalan
pemilihan umum di Aljazair setelah kemenangan suara untuk islamic Salvation
Front pada Desember 1991 dan perang saudara yang menyusul kemudian, pelarangan
partai Renaisans Tunisia pimpinan Rashid al-Ghannushi dan pelarangan Syrian
Muslim Brethren. Namun, beberapa partai dan gerakan Islamis seperti Muslim
Brethren di Jordan, secara resmi telah menerima sarana dan praktik lembaga
sekular dan telah diintegrasikan ke dalam proses politik. Meski demikian,
bahkan dimensi terbaru pada pemikir politik Islami ini menguatkan penilaian
Robert Hefner bahwa ‘benturan peradaban’ atau ‘pandangan dunia (world Views)’ yang sesungguhnya di
periode kontemporer bukan terjadi ‘di antara Barat dan suat “pihak lain” yang
homogen, tetapi di antara para pembawa tradisi yang saling bersaing di dalam
bangsa dan peradaban yang sama(1998:92). Meski banyak fokus di Barat telah
tertuju kepada Islamisme, kecenderungan ini hanya satu dari banyak
kecenderungan yang kini berlomba-tomba berebut tempat di dalam wacana Islam
kontemporer.
ISLAM LIBERAL
Kemenonjolan
dan kekuatan Islamisme mengalami pasang surut di sepanjang pertengahan dan
bagian akhir abad kedua puluh. Pada akhir abad kedua puluh, wacana modernis
dihidupkan kembali dan diperkuat bersama hal yang disebut sebagai ‘liberalisme
Islam’. Menurut Kurzman, Kaum Liberal islam ‘berusaha menghidupkan kembali
reputasi dan pencapaian Kaum Modernis terdahulu’ (2002:4). Unsur-unsur liberal
tentu dapat ditemukan di dalam pemikiran para pemikir modernis awal tersebut,
dan dalam beberapa hal, liberalisme islam memang berawal dari permulaan Nahda.
Liberalisme Islam kontemporer berbeda dan baik Kaum Modernis Islam maupun Kaum
Islamis dalam tiga hal.
Pertama, terhadap semboyan Islamis bahwa
‘Islam adalah solusi’, serta klaim sekularis bahwa Islam adalah masalah, Kaum
Liberal Islam menyebut sebagian besar penyakit sosial dan politik disebabkan
oleh kurangnya demokrasi dan hak-hak asasi, terutama kebebasan dalam berpikir.
Meski pada beberapa kasus fokus pada demokrasi mungkin diinterpretasikan
sebagai kompromi stratgis di pihak Islamis untuk memprotes negara-negara sekular
yang rnenyingkirkan partai-partai Islam dan partisipasi, di antara para pemikir
Islam liberal argumen ini terus-menerus diarahkan baik kepada negara sekular
maupun negara teokratis. Menanggapi para pendukung sekularisme itu, Muhammad
Shahrour (Suriah, lahir 1938) menyatakan:
Agama
mustahil diabaikan karena peran normatif penting yang dimilikinya di
masyarakat-masyarakat Abad Pertengahan. Kaum Liberal pernah mencoba
melakukannya, dan upaya mereka untuk mengangkut rumus politik Barat ke
negara-negara Arab/Muslim gagal. Kaum Marxis ingin mengadakan sekularisasi,
mendekonstruksi agama, dan juga gagal. Meski demikian, di negara-negara Arab
atau Islam mungkin memang ada sekularisme, tetapi tidak akan menyelesaikan apa
pun.
Menanggapi Kaum Islamis, Sadek J. Sulaiman
(Oman, lahir 1933) menyatakan bahwa ‘sebagai konsep dan sebagai prinsip, syura
di dalam Islam tak berbeda dengan demokrasi’, dan ‘hubungan antara demokrasi
dan syura menyentuh hakikat keberadaan nasional kita (qawmiyyah). Syura menentukan kualitas pengalaman kewarganegaraan
kita dan dunia yang ingin kita wariskan kepada generasi yang akan datang.
Secara khusus Rahman membantah penolakan Mawdudi dan Qutb terhadap demokrasi
sebagai pelanggaran atas kedaulatan Allah, dengan mengklaim bahwa pandangan mereka
berdasarkan atas kerancuan antara isu religio-moral dan isu politik.
‘Kedaulatan’,
kata Rahman,
adalah
istilah politik yang relatif baru diciptakan dan menunjukkan faktor (atau
banyak faktor) tetap dan tertentu pada suatu masyarakat tempat kekuatan koersif
berada dengan sepatutnya guna dipatuhi kehendaknya. Jelas sekali bahwa dalam
pengertian ini Allah tidak berdaulat dan hanya manusia yang dapat dan memang
berdaulat. (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 264).
Mengakui kedaulatan Allah, menurut pandangan
Rahman, mencakup menerima ‘prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalam Qur’an
(yang) merupakan keadilan dan fair play’.
Pemikir-pemikir Islam Liberal berpendapat
bahwa sistem demokrasi yang paling baik dalam mengodifikasi dan memelihara hak
dan kewajiban akan dapat mengurangi kesewenang-wenangan dan autoritarianisme di
pihak negara. Di antara nilai-nilai terpenting yang dianggap berasal dari
demokrasi menurut pemikiran Islam terdapat toleransi, dan di antara hak-hak
terpentìngnya terdapat kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara. Nurcholish
Madjid (Indonesia, lahir 1939) menyebut kebebasan berpikir dan berbicara
sebagai hak dasar terpenting yang dimiliki individu dan menyatakan bahwa
gagasan-gagasan yang terdengar aneh atau tidak benar pun harus dilindungi:
Tidak
jarang gagasan dan pemikiran yang mulanya dianggap keliru, (di kemudian hari)
diketahui benar. Selanjutnya, dalam menghadapi gagasan dan pemikiran, bahkan
kekhilafan pun bisa jadi sangat berguna, karena kekhilafan akan mendorong
kebenaran untuk mengungkapkan diri dan berkembang sebagai kekuatan yang hebat.
Mohamed Talbi (Tunisia, lahir 1921)
menganalisis beberapa ayat Qur’an, termasuk Surat 5 Ayat 51. ‘Untuk tiap-tiap
umat di antara kamu, kami berikan Aturan dan Jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)’ untuk menyatakan
bahwa Islam mendukung kemerdekaan beragama dan bahwa hukuman mati tradisional
untuk kemurtadan didasarkan pada salah tafsir teks keilahian (dalam Kurzman,
1998: 164).
Lebih jauh dalam konteks kebangsaan ketika
umat Muslim merupakan minoritas atau hanya mayoritas marginal, pemikir-pemikir
Islam liberal telah mengungkapkan kepentingan khusus pada perlindungan hak
agama dan minoritas. Sejumlah pemikir menunjuk hal yang dikenal sebagai
‘Konstitusi Madinah’, perjanjian yang ditandatangani oleh Nabi : Muhammad. Di
bawah konstitusi itulah berbagai kaum di Madinah, termasuk Yahudi dan pengikut
politeisme, membentuk persekutuan atau federasi.
Dalam hal ini, Dokumen tersebut sangat
signifikan’ (dalam Kurzman, 1998: 173). Bula menyebut masyarakat yang terbentuk
di bawah perjanjian ini ‘berbudi luhur dan adil, menghormati hukum, juga
demokratis, dan la mengklaim masyarakat ini berhasil mencapai ‘suatu
keanekaragaman yang kaya di dalam kesatuan, atau pluralisme yang sesungguhnya’,
sebab ‘tiap-tiap golongan agama dan suku menikmati otonomi legal dan kultural
penuh’ (dalam Kurzman, 1998: 174). Chandra Muzaffar (Malaysia, lahir 1947)
mengutip Surat 49 Ayat 13i-Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal’ untuk menyokong argumen
yang mendukung toleransi di Malaysia, sebuah negara yang terdiri dari
bermacam-macam golongan, tempat umat Muslim hanya merupakan mayoritas tipis
(dalam Kurzman. 1998: 157).
Aspek khusus kedua dan para pemikir Islam
liberal ialah bahwa mereka menghindari upaya-upaya untuk merebut kekuasaan
negara, atau bahkan untuk meng-Islamisasikan negara, serta lebih berfokus
kepada menghidupkan kembali etos Islam di tingkat masyarakat. Dalam konteks
ini, banyak Liberal Islam yang berargumen agar tesis yang diajukan Shaykh ‘Ali
‘Abd al-Raziq (Mesir, 1888-1966) pada 1920-an, bahwa ‘Muhammad SAW adalah
Utusan panggilan religius, sarat dengan religiositas, tak tercela oleh tendensi
kedudukan sebagai raja atau membentuk pemerintahan’ (dalam Kurzman, 1998:29),
dikaji kembali. Menurut ‘Abd al-Raziq, pemerintahan ‘adalah tujuan duniawi, dan
Allah, semoga Dia selalu ditinggikan, menjadikannya sebagai persoalan yang
harus diselesaikan oleh pikiran kita, dan membiarkan manusia bebas mengolahnya
sesuai tuntunan yang diberikan oleh pikiran, pengetahuan, minat, hasrat, dan
tendensi mereka’ (dalam Kurzman, 1998: 35).
Namun, ia menginterpretasi bagian kedua dari
Surat 3 ayat 159, dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu.
Misalnya, International Forum for Islamic
Dialogue (IFID) adalah satu dari banyak organisasi Islam liberal modern yang
baru-baru ini ada di seluruh dunia,’ IFID menerbitkan newsletter bernama
Islamic dalam bahasa Inggris dan Arab serta menyediakan situs web interaktif
untuk bertukar pikiran dan mengembangkan gagasan di kalangan umat Muslim.
Menurut piagam IFID, lembaga ini menegaskan dirinya menempati dan mengembangkan
suatu wilayah baru pada suatu periode yang menjadi saksi ‘kemajuan masyarakat
madani dan kemunduran kontrol negara’. Forum ini membedakan dialognya dan
gerakan-gerakan Islamis sebelumnya yang ‘mengejar kekuasaan negara’, strategi
yang oleh para pengurus Forum disebut tak hanya ‘sangat mahal dan jarang sekali
tercapai’, tetapi juga tak mungkin ‘menyelesaikan masalah’ dan berpotensi
‘menjadi masalah bagi proyek Islami sebagai suatu keseluruhan’.
Namun, pada umumnya, pemikir-pemikir Islam
liberal menunjukkan pergeseran signifikan terkait penggantian argumen teokratis
dengan argumen yang dimaksudkan untuk menanamkan atau melindungi etos Islam.
Sebagian, seperfi Khalaf-Allah, menyatakan bahwa ‘jika ada pemerintah yang dapat
disebut Islami, hal itu tentu dalam pengertian “Islam sebagai budaya” (al-Islam
al-hadara) dan bukan “Islam sebagai agama” (al—Islam
al-din)’ (Ayoubi, 1991: 302). Pakar hukum dari Mesir, Shaykh Muhammad Sa’id
at-’Ashmawy (lahir 1932) mendukung kesimpulan yang sama, tetapi dengan
berdasarkan pada premis-premis berbeda:
Ketika agama ditautkan dengan politik, ia
menjadi ideologi, bukan agama, dan pengikut-pengikutnya menjadi politikus atau
anggota partai. Agar berhasil, agama harus mengakui bahwa ia adalah iman akan
kekuatan besar yang ditanamkan di dalam nurani manusia untuk menghubungkan
Individu dengan imannya, masyarakat, kemanusiaan, dan kosmos pada umumnya.
(1998: 71).
Menurut penilaian al-’Ashmawy, Kaum Islamis
bersalah karena mengideologikan Islam, yaitu, mencemarkan dan mengeksploitasi
iman demi tujuan duniawi serta memisah-misahkan dan memecah-belah umat Muslim.
Unsur ketiga yang membedakan sedikitnya
sebagian Liberal Islam/dengan Modernis, Islamis, dan Tradisionalis berhubungan
dengan pendekatan mereka terhadap isu menginterpretasikan tradisi agama atau
ijtihad. Kaum Modernis Islam telah menerima ortodoksi Sunni yang mengklaim
bahwa ‘pintu ijtihad’ telah ditutup pada abad-abad pertama Islam, bahwa umat
Muslim di kemudian hari perlu mengikuti praktik taklid, meneladani
tradisi-tradisi yang sudah mapan. Misalnya, pada pergantian abad yang Iampau,
Mahmud Shukni al-Alusi (Irak, 1857-1924) menganggap ‘tesis tentang tertutupnya
pintu ijtihad’ yang diajukan oleh rekan sezamannya, Yusuf al-Nabbani yang ‘bodoh’
dan ‘merana’ (Palestina-Lebanon, 1850-1932) itu, ‘palsu dan heretis’ (dalam
Kurzman, 2002: 171). Kekhilafan, segala kekhilafan itu, terletak pada peniruan
membabi buta dan pengekangan pikiran’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 182).
Afghani berpendapat bahwa umat Muslim ‘tidak boleh puas hanya dengan taklid dan
leluhur mereka’ (dalam Keddie, 1968: 171). Dalam memerangi praktik taklid,
Modernis Islam berusaha merehabilitasi dan memperluas hak untuk melakukan
ijtihad guna menginterpretasi ulang tradisi Islam agar memenuhi kebutuhan :
zaman modern, Wael Hallaq membedakan dua unsur dalam pemikiran hukum Islam
kontemporer yang menawarkan visi-visi ijtihad yang saling bertentangan. Meski
Turabi mungkin pantas dimasukkan di kalangan Liberal islam, berdasarkan
penekanannya pada demokrasi dan pluralisme, pembedaan Hallaq mencakup sisi Kaum
Liberal Islam kontemporer yang dominan dan khas. Baik unsur liberal maupun
unsur utilitarian, menurut Hallaq, memiliki tujuan yang sama: ‘merumuskan
kembali teori hukum dengan cara yang menyukseskan sintesis : antara nilai-nilai
keagamaan dasar Islam, di satu sisi, dengan hukum substantif yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sebuah masyrakat modern dan terus berubah, di sisi yang
lain’. Namun, hal yang paling membedakan dua kecenderungan ini ialah metode
yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada 1982, Rahman mengatakan bahwa adalah
ironi bila menghadapkan yang disebut Fundamentalis Muslim : sebagai lawan dan
Modernis Muslim, sebab, selama prosedur mereka yang mengagumkan itu terus
berlangsung, ucapan Kaum Modernis Muslim akan selalu tepat sama dengan ucapan
kaum yang disebut sebagai Fundamentalis Muslim tersebut. Bahwa umat Muslim
wajib kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli dan definitif serta
menjalankan ijtihad dengan berdasarkan sumber-sumber tersebut. (1982: 142).
Baik Kaum Modernis maupun Kaum Isiamis
‘memberikan jawaban yang sama sekali berbeda untuk beberapa isu dasar sesuai
dengan lingkungan mereka masing-masing’, tetapi seperti yang dilihat oleh Rahman,
yang menjadi masalah bukanlah kesimpulan mereka yang berbeda, tetapi tidak
adanya ‘metode’ dalam menginterpretasikan tradisi islam agar dapat memberikan
interpretasi yang meyakinkan dan tepercaya serta menghapuskan interpretasi yang
‘asal-asalan’. Pemikir-pemikir Islam liberal merevisi pemahaman ortodoks
terhadap hukum Islam, dengan menekankan, seperti yang dilakukan Shaykh
al-’Ashmawy, bahwa ‘makna sebenarnya dari syariat adalah jalan, metode, cara’
(1999: 97). Meski tidak menyangkal karakter syariat yang mengikat, al-’Ashmawy
menyangkal karakternya sebagai sistem hukum komprehensif atau kitab
undang-undang hukum yang terperinci.
Dalam mendekati Qur’an, an-Na’im mengikuti
metode eksegesis tradisional dengan membedakan ayat-ayat yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad di Mekah dan ayat-ayat yang diwahyukan di Madinah.
Menurut pendekatan ini, ayat-ayat periode
Mekah dapat diterapkan sebagai dasar hukum Islam yang menghapuskan ayat-ayat
periode Madinah.
Sebaliknya, Shahrour (1990) menggunakan
pendekatan linguistik untuk melukiskan berbagai makna kata-kata yang ditemukan
di dalam Qur’an. Berdasarkan hal inilah Shahrour membedakan antara yang
‘disahkan secara ketuhanan (halal) dengan yang dilarang secara ketuhanan
(haram) dan yang dilarang secara manusiawi (mamnu)’,
dengan menyatakan bahwa ‘ajaran dasar Islam ialah bahwa segala sesuatu yang
tidak dilarang secara khusus itu diperbolehkan’ (1990: 141). Metode Shahrour
mengilustrasikan pendekatan metodologi yang sudah umum bagi Kaum Liberal Islam.
Sementara Muslim modernis mencari berbagai gagasan liberal di dalam warisan
Islam, Kaum Liberal Islam meyakini bahwa warisan tersebut tidak banyak
berbicara mengenai isu-isu tertentu. Al-’Ashmawy, misalnya, mengatakan bahwa
‘dari 6.000 ayat Qur’an, hanya 200 yang mengandung aspek hukum, yaitu,
kira-kira sepertigapuluh dari isi Qur’an, termasuk ayat-ayat yang telah
dihapuskan dengan ayat-ayat sesudahnya’ (dalam Kurzman, 1998:51).
Menurut Shahrour, musyawarah (syura) diperlukan bagi sebuah polity modern untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan legislatif didalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh
Allah, untuk menentukan jenis undang-undang yang akan mengatur aspek-aspek
kehidupan yang diserahkan Allah kepada pengaturan manusia, relatif terhadap
keadaan sosial, ekonomi, dan politik tertentu pada tiap-tiap komunitas politik.
Beberapa Liberal Islam melanjutkan lebih jauh sampai menyatakan bahwa
perselisihan pendapat mengenai interpretasi terhadap tradisi Islam inilah yang
menjadikan Islam selalu hidup. ‘Di masa kita,’ kata Shahrour, ‘syura sejati
berarti pluralisme sudut pandang yang sebenar-benarnya, dan demokrasi (1997:
8).
DIALOG YANG TERPUTUS-PUTUS
Pada
periode kontemporer, yang diperhatikan bukan cuma berbagai interpretasi ‘yang
sama sekali berbeda’ terhadap tradisi Islam, tetapi juga beberapa metode
interpretasi yang sama sekali berbeda. Namun, teridentifikasi sedikitnya dua
transformasi penting di dalam pemikiran politik Islam. Transformasi pertama
ialah bahwa meningkatnya kemajemukan strategi interpretif yang ditakukan
pemikir-pemikir Islam liberal telah membuka lebih lanjut pintu menuju sektor
luas umat untuk kembali kepada teks-teks asli warisan mereka dan menawarkan
interpretasi-interpretasi baru.
Seperti halnya Kaum Modernis Islam, pemikir-pemikir
Islam liberal juga menawarkan cara yang menjanjikan dalam menegosiasikan
konflik antara modernisasi dan warisan Islam serta memenuhi tuntutan baik
modernisasi maupun warisan Islam, tetapi mereka pun menghadapi tantangan
serius, Mereka tengah diserang dan dua sisi sekahigus: dikecam karena terlalu
liberal, juga karena terlalu Islami. Kaum Sekularis melihat Islam liberal (juga
Islam modernis) sebagai oksimoron dan menyatakan bahwa Islam terlalu kaku untuk
ditransformasi atau bahwa Islam harus diturunkan ke ranah pribadi. Baik Kaum
Islamis revivalis maupun Kaum Islamis tradisional berpendapat bahwa Kaum
Liberal Islam tak lebih dan Kaum Sekularis yang berkedok Islam, menyangkal
bahwa nilai-nilai modern memiliki tempat di dalam leksikon Islam atau mengutip
nilai-nilai modern untuk menganggap liberalisme mereka kebablasan sehingga
mengorbankan warisan Islam. Karya mereka sering dibaca banyak orang, tetapi
mereka juga dituduh berkhianat dan heresi, serta wajib dikenai sensor,
kehilangan posisi, dan mengalami kekerasan yang semuanya cenderung menimbulkan
konsekuensi yang tak direncanakan, yaitu, semakin memperbesar minat pada
gagasan-gagasan mereka. Melalui sebuah artikel pada 1979 yang telah dicetak
ulang berkali-kali, pemikir islam liberal Hassan Hanafi menghubungkan ‘akar
sejarah kebuntuan terkait kebebasan dan demokrasi pada kecenderungan
kontemporer umum pemikiran kita’ dengan hilangnya kemampuan untuk mendengarkan
dan membicarakan sehingga hilang pula kemampuan untuk maju. Bahkan, yang paling
tidak toleran dan Kaum Islamis pun beberapa pengecam dan penghujat Hanafi yang
paling buruk dalam pengertian tertentu juga menempati ruang diskursif yang sama
dan setidaknya, secara sebagian, meleburkan wacana liberal dan pemikiran
modernis.
0 komentar:
Posting Komentar