Rabu, 24 Mei 2017

RESUME : PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN MICHAELLE BROWERS



PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN
MICHAELLE BROWERS

Ketika untuk pertama kalinya dalam sejarah umat Muslim menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan ekonomi oleh penjajah Barat Kristen, mereka mulai mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Sebab-sebab apakah yang menimbulkan degradasi umum pada umat Muslim modern?
Jika Islam adalah iman yang mempersatukan, mengapa banyak ragamnya di kalangan umat Muslim?
Apakah kesatuan di kalangan umat Muslim adalah harapan masuk akal yang dapat terwujud?
Mungkinkah bagi kami untuk menjadi nasionalis yang loyal dan pada saat yang bersamaan menjadi Muslim sejati?
Mengapa negara modern hanya terjadi pada negara-negara Kristen?
Apakah islam menoleransi lembaga-lembaga bebas liberal (dan) sanggupkah Islam mengadaptasi diri dengan tuntutan lembagal-lembaga tersebut?
Mengapa kami sampai pernah menjadi penyangkal ilmu pengetahuan dan memusuhi kearifan?
Siapa yang pernah membayangkan bahwa Islam yang berdasarkan pada nalar dan pemikiran akan terampas kebebasannya untuk berijtihad (interpretasi keagamaan rasional) dan terkungkung di bawah taklid (teladan para cendekiawan)?
Apa yang harus dilakukan?
Kaum Modernis Islam pertama kali mengangkat isu ini pada awal abad kesembilan belas ketika ‘beberapa negara Islam mengambil penyelenggaraan teknik dan militer Eropa, dan berbagai musafir Muslim di Eropa kembali dengan membawa kisah-kisah berpengaruh tentang progres dan pencerahan’ (Kurzman. 2002:4). Sehubungan dengan reformasi politik. Kaum Modernis Islam berusaha mengambil aspek sistem politik Eropa di satu sisi, dan menegaskan kembali islam sebagai sistem sosio-politik dalam keselarasan yang sempurna dengan modernitas di sisi yang lain. Kegagalan Kaum Modernis Islam untuk memenuhi tantangan itu turut memunculkan kekuatan revivalis islam dalam separuh kedua abad ke-20. Meski pemikiran Islam modernis masih ada sampai sekarang, pada periode kontemporer Kaum Modernis menempati ruang diskursif yang sama dengan kecenderungan pesaing Iainnya Islamis, Tradisionalis, serta Liberal Islam yang masing-masing menawarkan visi reformasinya sendiri. Dalam tulisan-tulisan kontemporer, cara penanganan permasalahan yang dihadapi masyarakat Islam telah meluaskan dan mentransformasi pemikiran politik Islam tersebut, yang selalu beragam, semakin lama semakin multivokal dan pecah dari interaksi di antara para cendekiawan yang bekerja di dalam tradisi pemikiran Islam semakin dicirikan dengan ketegangan, permusuhan, bahkan kekerasan. Ada pula suatu pemahaman yang disampaikan oleh pengamat-pengamat non-Islam, bahkan dan pihak pemikir-pemikir Islam sendiri, bahwa pemikiran politik Islam di masa kini tampaknya telah mencapai kebuntuan, sedikitnya dalam tiga isu: bagaimana menangani tradisi Islam, fungsi agama di dalam masyarakat, dan dasar organisasi politik. Memang benar bahwa isu-isu ini terus-menerus muncul kembali di dalam tiga kecenderungan teorisasi politik Islam yang dibahas di sini: modernisme Islam, Islamisme, dan liberalism Islam.
MODERNISME ISLAM
Kemunculan modernisme di dalam pemikiran Islam mirip yang disebut Nahda (renaisans atau terjaga kembali) dalam bahasa Arab. Umat muslim yang bekerja dalam tradisi ini berusaha membangkitkan kembali pemikiran Islam dengan mengukuhkan kesinambungan dengan masa lalu dan menyesuaikan hal yang mereka anggap sebagai pencapaian Eropa modern terutama, teknologi materi modern, teknik modern dalam memobilisasi dan menyelenggarakan masyarakat, serta lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen.
Sebelum abad kedelapan dan abad kesembilan, pemikir-pemikir Muslim telah terlibat dalam perbedaan pendapat mengenai cara terbaik untuk menyusun kehidupan sosio-politik Islam dengan adanya tantangan dan gerakan Syi’ah, Sufi, Mu’tazila, dan Kharijit yang muncul bersama-sama dengan terbentuknya ortodoksi Islam. Pada abad ketiga belas dan abad keempat belas, para pembaru berusaha menghidupkan kembali Islam di tengah-tengah kemunduran Kekhalifahan. Fazlur Rahman (Pakistan AS, 1919-88) menyebutkan sejumIah gerakan reformasi ‘pramodernis’ yang ‘melanda sebagian besar Dunia Muslim pada abad ketujuh belas, kedelapan belas, dan kesembilan belas’ dan memiliki kesamaan ciri dengan ‘kesadaran akan degenerasi, serta kebutuhan yang sama untuk mengobati kejahatan sosial dan meningkatkan standar moral’ (1970: 641).
Kaum Muslim sering berpendapat bahwa meski agama Kristen pada dasarnya adalah sebuah keyakinan, Islam itu lengkap dan hoIistis dalam arti menjadi jalan hidup sekaligus agama (dunya wa din). Hukum Islam (syariat) dipahami sebagai sistem komprehensif yang memuat Prinsip-prinsip yang mengatur baik hubungan manusia dengan Tuhan (‘ibadat) maupun hubungan di antara sesama manusia sendin (mu‘amalat).
Kebanyakan Kaum Modernis Islam percaya bahwa ketegangan antara Islam dan nilai-nilai modern merupakan ‘kecelakaan sejarah, bukan sifat inheren Islam’ (Kurzman, 2002: 4). Namun, tingkat kesediaan Kaum Modernis tertentu untuk mencontoh dari Barat berbeda-beda, dari mereka yang menyatakan seperti Mirza Malkom Khan (Iran, 1833-1908) bahwa ‘di dalam semua lembaga baru yang ditawarkan Eropa kepada kami, tidak ada apa pun yang bertentangan dengan semangat agama kami’ (dalam Bakhash, 1978: 15); sampai mereka yang seperti Rashid Rida (Suriah-Mesir,1865-1935) yang mengklaim umat Muslim tak hanya memperoleh pencapaian ilmiah, keterampilan teknis, dan industri maju’ milik Eropa (dalam Shahin, 1993:49), hingga mereka yang seperti Afghani, menganggap peniruan membabi buta terhadap Barat tak lebih daripada’ peniruan membabi buta terhadap masa lampau, karena ‘pengalaman dan bukti dari masa lampau telah mengajarkan kita bahwa para peniru di setiap bangsa dan mereka yang meniru adat istiadat asing merupakan celah dan kekosongan yang dapat dirembesi dominasi asing untuk memasuki sebuah negara’ (dalam Awwad, 1986: 84).
Perhatian utama dalam wacana politik Islam modernis ialah menyampaikan pemahaman yang rasional mengenai hubungan antara agama dan negara. Salah satu unsur awal pemikiran Islam modernis memberi Islam pemahaman nasionalistis yang berfokus pada pembangunan negara kuat yang mampu bersaing dengan Barat.
Tradisi Islam telah merumuskan prinsip-prinsip umum yang mengatur otoritas, tetapi tidak banyak memberikan batasan atas otoritas mutlak. Banyak Muslim, modernis berusaha membatasi kekuasaan otoriter tradisional para pemimpin yang semula diperoleh dari sumber-sumber Islam, tetapi dianggap tidak sesuai lagi dengan kepentingan Muslim, dengan rnengklairn prinsip kesepadanan di antara berbagai aspek syariat (hukum Islam) dan ideal-ideal konstitusionalisme. Menurut ortodoksi Sunni, pemimpin harus dipilih oleh kelas elite yang disebut ahl al-hall wa al-’aqd (secara harfiah, mereka yang melonggarkan dan mengikat), orang-orang dengan otoritas dan kedudukan di dalam komunitas seperti kepala suku, gubernur provinsi, pemuka negara. Namun, pemikir Islam modernis mengklaim bahwa hak istimewa ini sekarang harus jatuh ke majelis-majelis perwakilan yang anggota-anggotanya telah menjadi ‘orang-orang pemegang otoritas’ yang sedang menjabat. (1967: 72), sehingga menunjukkan bahwa urusan yang memengaruhi masyarakat umum haruslah melibatkan suatu bentuk permusyawaratan dengan rakyat.
Dalam memajukan klaim-klaim mereka, beberapa Modernis Islam memilih satu bagian di dalam Qur’an yang menasihati Muhammad untuk ‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (Surat 3, Ayat 159), lalu menginterpretasikan artinya seperti yang dilakukan Musa Kazin (Turki, 1858-1920), bahwa para pemimpin diwajibkan untuk ‘bermusyawarah bersama umat dalam setiap urusan’ (dalam Kurzman, 2002: 176). Dalam sebuah esai yang memuat ayat tersebut sebagai judulnya, Namik kemal (turki, 1840-88) menyatakan bahwa untuk ‘menjaga negara tetap dalam batas-batas keadilan’, umat Muslim wajib menjalankan dua perbaikan: (1) menjadikan tindakan pemerintah bersifat umum dan terbuka terhadap pemeriksaan, yaitu, ‘membebaskan prinsip-prinsip fundamental administrasi dan wilayah interpretasi implisit dan menjadikannya umum’, serta (2) melaksanakan ‘metode musyawarah (al-syura), yang mengambil kekuasaan legislatif dari tangan anggota pemerintahan’ dan meletakkannya kepada anggota komunitas Islam yang lebih besar (umat) (dalam Kurzman, 2002: 145
Dukunglah aku selama kamu menganggapku mengikuti jalan yang benar, dan koreksilah aku jika kamu menganggapku menyimpang. Yang lemah di antara kamu adalah kuat (bagiku) sampai aku memberikan hak mereka. Yang kuat di antara kamu adalah lemah (bagiku) sampai aku mengambil dan mereka apa yang menjadi hak yang lain. Kukatakan hal ini dan kumohon ampunan Allah untuk diriku dan untuk kamu sekalian. (dalam Kurzman. 2002: 93-4).
Berdasarkan pidato ini, Ibnu Badis mengidentifikasi 13 prinsip yang mengatur polity Islam, meliputi ‘pemerintahan tidak mungkin ada tanpa persetujuan rakyat’; ‘mengemban urusan rakyat tidak menjadikan pemimpin lebih baik daripada orang lain’; rakyat memiliki hak dan tanggung jawab untuk ‘memantau’ ‘menasihati’, ‘mengoreksi’, dan ‘mempertanyakan’ pemimpin; pemimpin wajib ‘mengumumkan rencana yang hendak dijalankan, agar rakyat mengetahui dan menyetujuinya’ hukum bersumber dari ‘kehendak rakyat’; dan ‘semua adalah sama di hadapan hukum’ (dalam Kurzman, 2002: 94-5).
Pemikir Maroko, Muhammad ‘Abd al-Jabiri (lahir 1936), menerangkan bahwa generasi yang meliputi Afghani dan Abduh kerap berupaya menjembatani tradisi Arab-Islam dan Pencerahan Eropa dengan cara mengorelasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep Eropa. Al-Jabiri berpendapat mereka menganggap sama antara demokrasi dan al-syura ‘bukan karena keduanya selaras, atau karena keduanya tidak mengenal perbedaan-perbedaan yang memisahkan keduanya’ melainkan karena ‘keduanya bertindak dengan kerangka pikir yang memerlukan tindakan ideologis dengan tujuan menenangkan ideologi-ideologi kaku di kalangan “sarjana-sarjana agama”, dan mungkin juga para pemimpin dengan meyakinkan mereka bahwa imbauan demokrasi bukan berarti menyisipkan doktrin heretis ke dalam benteng Islam’ (1994: 41).
Secara umum, Kaum Modernis Islam tidak berhasil mentransformasi gagasan mereka menjadi gerakan massa atau transformasi dasar masyarakat Islam. Meski gerakan-gerakan konstitusional menerima banyak gagasan Kaum Modernitas dan golongan-golongan agama mendukung eksperimen konstitusional yang berlangsung di Tunisia (1860), Turki (1876), Mesir (1881), dan Persia (1905), seperti yang ditunjukkan Majid Khadduri, konstitusi-konstitusi yang pada akhirnya dilaksanakan tidak sedikit pun menghiraukan prinsip-prinsip Islam, kecuali menyebut Islam sebagai agama resmi negara.
Perubahan dalam pemikiran politik Islam mulai muncul pada 1930-an, ketika keyakinan kepada nasionalisme liberal di kawasan itu mulai surut, diperparah oleh masalah ekonomi, perubahan politik yang tak terduga, dua kali perang dunia, dan berdirinya negara Israel (pada 1948). Kemunculan wacana nasionalisme sekular, sosialisme, dan fasisme yang saling bersaing melemahkan energi dan memecah-belah jajaran pemikir Islam modernis. ‘Serangkaian coups d’état militer membuat rezim-rezim yang kecewa kepada Barat liberal menjadi berkuasa dan mereka tertarik pada progres sosialisme di Rusia dan Eropa Barat’ (Donohue dan Esposito, 1982: 98).
KEBANGKITAN KEMBALI PERHATIAN KEPADA ISLAM
Menurut Yusuf al-Qaradawi (Mesir, lahir 1926) (1982; 1988), ‘kebangkitan kembali perhatian kepada Islam (al-sahwa al-Islamiyya) berhubungan langsung dengan nakba (musibah) terusirnya rakyat Palestina dari tanah: air mereka pada 1948, dan naksa (kejatuhan) yang terjadi saat Perang Enam Hari pada 1967.
Pada separuh kedua 1970-an, semua pihak menyaksikan kekorupan dan ketidakcakapan sejumlah negara sosialis dan nasionalis Arab yang ada di kawasan itu, dan kaum Islamis, yang menolak model negara Barat juga tampaknya telah mengapropriasi beberapa model sosialis Barat dengan maksud untuk merebut kekuasaan negara.
Harus dibedakan antara Revivalis Islam sering disebut sebagai ‘Fundamentalis Islam’ yang berupaya kembali pada sumber-sumber autoritatif dalam tradisi Islam dengan tujuan melegitimasikan perubahan-perubahan di masa kini, dengan tradisionalis Islam, yang menolak perubahan dan berupaya melestarikan ortodoksi Islam. Revivalis dan Modernis sama-sama menganut keyakinan yang sudah ada sebelum mereka bahwa Islam dapat dan seharusnya beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern. Namun, berbeda dengan Modernis, Revivalis sangat rnengutamakan kekhasan Islam dan enggan mengadopsi cita-cita politik Barat. Muslim tradisionalis cenderung menghindari ijtihad dan lebih memilih taklid (meniru buta) pemahaman dan tradisi Islam yang sudah teruji oleh waktu. Kaum tradisionalis atau mereka yang menyatakan bahwa turath (warisan) Islam Qur’an dan Sunah (tradisi Nabi) tidak terpengaruh oleh perubahan keadaan dan menunjukkan keberadaan sebuah tradisi yuridis terlembagakan (‘ilm al.fiqh) sebagai pelindung agama, sudah selalu ada di dalam tradisi Islam. Kaum Islamis cenderung lebih mendekati aktivisme politik daripada teologi dan juga lebih selektif (dalam mengedepankan segmen-segmen Qur’an yang mendukung tujuan mereka. Untuk tujuan kita di sini, Revivalis dan respons mereka baik terhadap Islam modernis maupun terhadap masalah masalah yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer lebih relevan dikarenakan mereka merupakan kecenderungan khas modern di dalam pemikiran politik Islam.
Gerakan baru ini muncul dengan semboyan ‘Islam adalah solusi’ (al-Islam huwa al-hall atau al-hall al-islami) dan menyerukan untuk ‘kembali kepada para pendahulu’ (al-sala)). Dan situlah lahir nama gerakan Salafiyyah, yang menganjurkan untuk kembali kepada ortodoksi cenderung ke syariat (shari’a-minded orthodoxy) yang akan memurnikan Islam dan tambahan-tambahan asing. Sumber sejarah terpenting untuk kecenderungan di dalam Islam ini ialah yuris Suriah, Taqiyal-Din Ibri Taymiyya (1236-1328), seorang pendukung setia Islam Sunni berdasarkan ketaatan yang kaku pada Qur’an dan Sunah autentik. Ibn Taymiyya menulis di tengah-tengah percekcokan yang timbul karena agresi asing dan tentara Perang Salib Kristen dan orang Mongolia, juga perjuangan perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ia yakin bahwa kedua sumber ini memuat segala pedoman keagamaan dan rohani yang diperlukan bagi umat Muslim dan kebangkitan kembali dunia Islam. Dalam karyanya yang paling terkenal, al-Siyasa al-shar’iyya (Governance According to Islamic Law), Ibn Taymiyya menegaskan perlunya pemerintahan dan kepemimpinan di semua masyarakat sebagai cara untuk menghindari perselisihan dan menjalankan firman-firman agama, dan cara jihad (perang suci) melawan orang kafir.
Mawdudi menyerukan agar kembali kepada Qur’an dan Sunah yang telah dimurnikan sebagai cara untuk menghidupkan kembali Islam. Mawdudi menyebut Islam sebagai ideologi dan menyebut negara islam sebagai negara ideologis: ‘Jelas dan kajian cermat Qur’an dan Sunah bahwa negara di dalam Islam berdasarkan pada ideologi dan tujuannya ialah menegakkan ideologi itu’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 256-7). Tema utama dalam pemikiran Mawdudi ialah konsep kedaulatan Allah (hakimiyya), yang membutuhkan gagasan bahwa manusia hanya dapat melaksanakan kekuasaan atas nama Allah dan menjalankan perintah-Nya. Ia berpendapat bahwa satu-satunya cara agar bal ini bisa benar-benar dijalankan ialah melului negara islam yang dalam ‘segala hal ... dibangun di atas hukum yang ditetapkan oleh Allah melalul Rasul-nya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 271) dan inilah tujuan politik yang dikejarnya di Pakistan.
Menurut penilaian Qutb, zarnan kontemporer adalah zaman kebodohan, ketiadaan Tuhan, dan kebingungan terang dalam gagasan jahiliah tersebut dan umat Muslim harus mundur dan masyarakat jahili mendirikan tatanan sosial Islam sejati (al-nizam al-islami) dan akhirnya, menaklukkan (kembali) tatanan bodoh yang ada (al-nizam al-jahili). Menurut perspektif ini, Islam tidak cocok dengan realitas ‘sekular’ modern dan umat Islam baru dapat tumbuh dan berkembang dengan balk bila mengabaikan realitas ini, Satu-satunya penawar bagi keadaan jahiliah saat itu terutama materialisme Barat yang dianggapnya sebagai pencemar utama jalah hakimiyya Allah: pandangan hidup Islami yang total dan sistem Islam yang diperintahkan secara ilahi. Baik Qutb maupun Mawdudi menyampaikan gagasan perjuangan politik yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan politik, di samping semua pertimbangan lain, guna mendirikan sebuah negara Islam. Mawdudi melihat Islam sebagai ‘ideologi revolusioner yang berusaha mengganti tatanan sosial seluruh dunia dan membangunnya kembali sesuai dengan ajaran-ajarannya sendiri’. Jihad’, klaim Mawdudi, adalah bagian dan pembelaan menyeluruh terhadap Islam ini. Jihad berarti perjuangan dengan kemampuan semaksimal mungkin yang dimiliki. Namun, menurut bahasa Syariat, istilah ini digunakan terutama untuk perang yang dilakukan semata-mata dengan nama Allah dan terhadap mereka yang melakukan penindasan sebagai musuh-musuh Islam. (1960: 150).
Qutb membedakan dunia menjadi dua ranah: dar al-Islam dan dar al.-harb. Ranah kedua terdiri dari setiap teritori yang aturan-aturan Islam tidak diberlakukan di dalamnya, tak peduli apakah penguasanya mengklaim sebagai Muslim (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 241-2). Meski Mawdudi menyebut jihad sebagai ‘pembelaan terhadap Islam’, Qutb sangat jelas dalam menyatakan dalam konteks ranah-ranah yang bertentangan ini bahwa jihad adalah kewajiban yang berlaku pada seluruh Muslim sejati. Agar memberi hasil yang diinginkan negara Islam’Jihad Islami’ harus memberikan umat Muslim ‘atmosfer bebas untuk melaksanakan keyakinan yang telah dipilihnya. Jihad Islami dapat sepenuhnya menghancurkan sistem-sistem politik yang berkuasa, atau menaklukkannya, memaksa sistem-sistem tersebut untuk tunduk dan menerima Jizyah (pajak yang dibayar oleh non-Muslim di sebuah negara Islam).
Pemikiran Qutb mengandung dua inovasi yang terbukti sangat signifikan bagi Kaum Islamis yang tergugah olehnya. Pertama, dengan mengumumkan bahwa bukan cuma pemerintah non-Islam, tetapi juga pemerintah-pemerintah yang dipimpin umat Muslim bisa dianggap berada dalam keadaan jahiliah, ia memberikan persetujuan Islami kepada umat Muslim untuk menentang dan menggulingkan pemerintah yang memerintah mereka. Kedua, Qutb tak cuma membuka peluang bagi pertarungan melawan pemerintah Islam yang korup atau tak layak, tetapi juga memperkenalkan kesanggupan untuk mengucilkan individu dan komunitas. ‘Perintah mutlak ini juga ada di dalam Qur’an, bahwa tak seorang pun boleh berhubungan dengan orang yang memalingkan wajahnya dan mengingat Allah dan hanya mencari dunia sebagai tujuan dan pandangannya’ (dalam Moaddel dan Talattof, 2002: 205). Qutb secara pribadi berperan dalam mencela dan menentang Kaum Modernis Mesir seperti Taha Hussayn (1889-1973). Namun, target utama Kaum Islamis ialah negara-bangsa secular di negara-negara Islam, dan tujuan akhir mereka ialah mendirikan sebuah negara Islam. Negara impian mereka akan memiliki Qur’an sebagai konstitusinya, pemimpin yang melaksanakan syariat, yang juga mengikat atasnya, dan menghidupkan syura (musyawarah). Seperti ditulis Qutb, ‘teori politik di dalam Islam bersandar pada dasar keadilan di pihak para pemimpin, kepatuhan di pihak yang dipimpin, dan kolaborasi di antara pemimpin dan yang dipimpin’ (1980: 93). Demokrasi yang berdasarkan pada gagasan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan Allah, dianggap sebagai bentuk pemerintahan jahiliah. Menurut Qutb, umat Muslim yang mendukung kedaulatan manusia di dalam politik merancukan penggunaan kekuasaan dengan sumbernya. Karena hukum islam sudah menyediakan sistem hukum dan moral yang lengkap, tidak mungkin ada pembuatan undang-undang lebih lanjut atau tidak perlu ada. Mawdudi pun mengklaim bahwa ‘sudah sangat jelas bahwa Islam yang berbicara dari sudut pandang filsafat politik adalah antiteis dan demokrasi Barat sekular itu sendiri’ (dalam Donohuc dan Esposito, 1982: 254).
Karena dicapai di bawah pengawalan para yuris, visi pemerintahan Islam ini menggambarkan suatu inovasi signifikan pada pemikiran politik Syi’ah yang biasanya berdasarkan pada penantian akan kembalinya ‘sang Imam yang belum diketahui keberadaannya’. Vilayat-I faqih didirikan berdasarkan keberadaan ‘klerus’ Syi’ah yang hierarkis dan terlembagakan (sesuatu yang tidak ada pada tradisi Sunni).
Pada akhir abad kedua puluh, ada banyak kesempatan bagi mereka untuk mengadakan rujukan seperti itu: pengangguran yang begitu lama dan menurunnya mutu pelayanan publik, kurangnya respons terhadap pendudukan Israel dan aksi-aksi militernya yang berkelanjutan (seperti pemboman desa-desa di Lebanon selatan pada 1993), meningkatnya represi terhadap Persaudaraan Muslim di Mesir sepanjang 1980-an dan 1990-an, pembatalan pemilihan umum di Aljazair setelah kemenangan suara untuk islamic Salvation Front pada Desember 1991 dan perang saudara yang menyusul kemudian, pelarangan partai Renaisans Tunisia pimpinan Rashid al-Ghannushi dan pelarangan Syrian Muslim Brethren. Namun, beberapa partai dan gerakan Islamis seperti Muslim Brethren di Jordan, secara resmi telah menerima sarana dan praktik lembaga sekular dan telah diintegrasikan ke dalam proses politik. Meski demikian, bahkan dimensi terbaru pada pemikir politik Islami ini menguatkan penilaian Robert Hefner bahwa ‘benturan peradaban’ atau ‘pandangan dunia (world Views)’ yang sesungguhnya di periode kontemporer bukan terjadi ‘di antara Barat dan suat “pihak lain” yang homogen, tetapi di antara para pembawa tradisi yang saling bersaing di dalam bangsa dan peradaban yang sama(1998:92). Meski banyak fokus di Barat telah tertuju kepada Islamisme, kecenderungan ini hanya satu dari banyak kecenderungan yang kini berlomba-tomba berebut tempat di dalam wacana Islam kontemporer.
ISLAM LIBERAL
Kemenonjolan dan kekuatan Islamisme mengalami pasang surut di sepanjang pertengahan dan bagian akhir abad kedua puluh. Pada akhir abad kedua puluh, wacana modernis dihidupkan kembali dan diperkuat bersama hal yang disebut sebagai ‘liberalisme Islam’. Menurut Kurzman, Kaum Liberal islam ‘berusaha menghidupkan kembali reputasi dan pencapaian Kaum Modernis terdahulu’ (2002:4). Unsur-unsur liberal tentu dapat ditemukan di dalam pemikiran para pemikir modernis awal tersebut, dan dalam beberapa hal, liberalisme islam memang berawal dari permulaan Nahda. Liberalisme Islam kontemporer berbeda dan baik Kaum Modernis Islam maupun Kaum Islamis dalam tiga hal.
Pertama, terhadap semboyan Islamis bahwa ‘Islam adalah solusi’, serta klaim sekularis bahwa Islam adalah masalah, Kaum Liberal Islam menyebut sebagian besar penyakit sosial dan politik disebabkan oleh kurangnya demokrasi dan hak-hak asasi, terutama kebebasan dalam berpikir. Meski pada beberapa kasus fokus pada demokrasi mungkin diinterpretasikan sebagai kompromi stratgis di pihak Islamis untuk memprotes negara-negara sekular yang rnenyingkirkan partai-partai Islam dan partisipasi, di antara para pemikir Islam liberal argumen ini terus-menerus diarahkan baik kepada negara sekular maupun negara teokratis. Menanggapi para pendukung sekularisme itu, Muhammad Shahrour (Suriah, lahir 1938) menyatakan:
Agama mustahil diabaikan karena peran normatif penting yang dimilikinya di masyarakat-masyarakat Abad Pertengahan. Kaum Liberal pernah mencoba melakukannya, dan upaya mereka untuk mengangkut rumus politik Barat ke negara-negara Arab/Muslim gagal. Kaum Marxis ingin mengadakan sekularisasi, mendekonstruksi agama, dan juga gagal. Meski demikian, di negara-negara Arab atau Islam mungkin memang ada sekularisme, tetapi tidak akan menyelesaikan apa pun.
Menanggapi Kaum Islamis, Sadek J. Sulaiman (Oman, lahir 1933) menyatakan bahwa ‘sebagai konsep dan sebagai prinsip, syura di dalam Islam tak berbeda dengan demokrasi’, dan ‘hubungan antara demokrasi dan syura menyentuh hakikat keberadaan nasional kita (qawmiyyah). Syura menentukan kualitas pengalaman kewarganegaraan kita dan dunia yang ingin kita wariskan kepada generasi yang akan datang. Secara khusus Rahman membantah penolakan Mawdudi dan Qutb terhadap demokrasi sebagai pelanggaran atas kedaulatan Allah, dengan mengklaim bahwa pandangan mereka berdasarkan atas kerancuan antara isu religio-moral dan isu politik.
‘Kedaulatan’, kata Rahman,
adalah istilah politik yang relatif baru diciptakan dan menunjukkan faktor (atau banyak faktor) tetap dan tertentu pada suatu masyarakat tempat kekuatan koersif berada dengan sepatutnya guna dipatuhi kehendaknya. Jelas sekali bahwa dalam pengertian ini Allah tidak berdaulat dan hanya manusia yang dapat dan memang berdaulat. (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 264).
Mengakui kedaulatan Allah, menurut pandangan Rahman, mencakup menerima ‘prinsip-prinsip yang dinyatakan di dalam Qur’an (yang) merupakan keadilan dan fair play’.
Pemikir-pemikir Islam Liberal berpendapat bahwa sistem demokrasi yang paling baik dalam mengodifikasi dan memelihara hak dan kewajiban akan dapat mengurangi kesewenang-wenangan dan autoritarianisme di pihak negara. Di antara nilai-nilai terpenting yang dianggap berasal dari demokrasi menurut pemikiran Islam terdapat toleransi, dan di antara hak-hak terpentìngnya terdapat kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara. Nurcholish Madjid (Indonesia, lahir 1939) menyebut kebebasan berpikir dan berbicara sebagai hak dasar terpenting yang dimiliki individu dan menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang terdengar aneh atau tidak benar pun harus dilindungi:
Tidak jarang gagasan dan pemikiran yang mulanya dianggap keliru, (di kemudian hari) diketahui benar. Selanjutnya, dalam menghadapi gagasan dan pemikiran, bahkan kekhilafan pun bisa jadi sangat berguna, karena kekhilafan akan mendorong kebenaran untuk mengungkapkan diri dan berkembang sebagai kekuatan yang hebat.
Mohamed Talbi (Tunisia, lahir 1921) menganalisis beberapa ayat Qur’an, termasuk Surat 5 Ayat 51. ‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan Aturan dan Jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)’ untuk menyatakan bahwa Islam mendukung kemerdekaan beragama dan bahwa hukuman mati tradisional untuk kemurtadan didasarkan pada salah tafsir teks keilahian (dalam Kurzman, 1998: 164).
Lebih jauh dalam konteks kebangsaan ketika umat Muslim merupakan minoritas atau hanya mayoritas marginal, pemikir-pemikir Islam liberal telah mengungkapkan kepentingan khusus pada perlindungan hak agama dan minoritas. Sejumlah pemikir menunjuk hal yang dikenal sebagai ‘Konstitusi Madinah’, perjanjian yang ditandatangani oleh Nabi : Muhammad. Di bawah konstitusi itulah berbagai kaum di Madinah, termasuk Yahudi dan pengikut politeisme, membentuk persekutuan atau federasi.
Dalam hal ini, Dokumen tersebut sangat signifikan’ (dalam Kurzman, 1998: 173). Bula menyebut masyarakat yang terbentuk di bawah perjanjian ini ‘berbudi luhur dan adil, menghormati hukum, juga demokratis, dan la mengklaim masyarakat ini berhasil mencapai ‘suatu keanekaragaman yang kaya di dalam kesatuan, atau pluralisme yang sesungguhnya’, sebab ‘tiap-tiap golongan agama dan suku menikmati otonomi legal dan kultural penuh’ (dalam Kurzman, 1998: 174). Chandra Muzaffar (Malaysia, lahir 1947) mengutip Surat 49 Ayat 13i-Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal’ untuk menyokong argumen yang mendukung toleransi di Malaysia, sebuah negara yang terdiri dari bermacam-macam golongan, tempat umat Muslim hanya merupakan mayoritas tipis (dalam Kurzman. 1998: 157).
Aspek khusus kedua dan para pemikir Islam liberal ialah bahwa mereka menghindari upaya-upaya untuk merebut kekuasaan negara, atau bahkan untuk meng-Islamisasikan negara, serta lebih berfokus kepada menghidupkan kembali etos Islam di tingkat masyarakat. Dalam konteks ini, banyak Liberal Islam yang berargumen agar tesis yang diajukan Shaykh ‘Ali ‘Abd al-Raziq (Mesir, 1888-1966) pada 1920-an, bahwa ‘Muhammad SAW adalah Utusan panggilan religius, sarat dengan religiositas, tak tercela oleh tendensi kedudukan sebagai raja atau membentuk pemerintahan’ (dalam Kurzman, 1998:29), dikaji kembali. Menurut ‘Abd al-Raziq, pemerintahan ‘adalah tujuan duniawi, dan Allah, semoga Dia selalu ditinggikan, menjadikannya sebagai persoalan yang harus diselesaikan oleh pikiran kita, dan membiarkan manusia bebas mengolahnya sesuai tuntunan yang diberikan oleh pikiran, pengetahuan, minat, hasrat, dan tendensi mereka’ (dalam Kurzman, 1998: 35).
Namun, ia menginterpretasi bagian kedua dari Surat 3 ayat 159, dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu.
Misalnya, International Forum for Islamic Dialogue (IFID) adalah satu dari banyak organisasi Islam liberal modern yang baru-baru ini ada di seluruh dunia,’ IFID menerbitkan newsletter bernama Islamic dalam bahasa Inggris dan Arab serta menyediakan situs web interaktif untuk bertukar pikiran dan mengembangkan gagasan di kalangan umat Muslim. Menurut piagam IFID, lembaga ini menegaskan dirinya menempati dan mengembangkan suatu wilayah baru pada suatu periode yang menjadi saksi ‘kemajuan masyarakat madani dan kemunduran kontrol negara’. Forum ini membedakan dialognya dan gerakan-gerakan Islamis sebelumnya yang ‘mengejar kekuasaan negara’, strategi yang oleh para pengurus Forum disebut tak hanya ‘sangat mahal dan jarang sekali tercapai’, tetapi juga tak mungkin ‘menyelesaikan masalah’ dan berpotensi ‘menjadi masalah bagi proyek Islami sebagai suatu keseluruhan’. 
Namun, pada umumnya, pemikir-pemikir Islam liberal menunjukkan pergeseran signifikan terkait penggantian argumen teokratis dengan argumen yang dimaksudkan untuk menanamkan atau melindungi etos Islam. Sebagian, seperfi Khalaf-Allah, menyatakan bahwa ‘jika ada pemerintah yang dapat disebut Islami, hal itu tentu dalam pengertian “Islam sebagai budaya” (al-Islam al-hadara) dan bukan “Islam sebagai agama” (al—Islam al-din)’ (Ayoubi, 1991: 302). Pakar hukum dari Mesir, Shaykh Muhammad Sa’id at-’Ashmawy (lahir 1932) mendukung kesimpulan yang sama, tetapi dengan berdasarkan pada premis-premis berbeda:
Ketika agama ditautkan dengan politik, ia menjadi ideologi, bukan agama, dan pengikut-pengikutnya menjadi politikus atau anggota partai. Agar berhasil, agama harus mengakui bahwa ia adalah iman akan kekuatan besar yang ditanamkan di dalam nurani manusia untuk menghubungkan Individu dengan imannya, masyarakat, kemanusiaan, dan kosmos pada umumnya. (1998: 71).
Menurut penilaian al-’Ashmawy, Kaum Islamis bersalah karena mengideologikan Islam, yaitu, mencemarkan dan mengeksploitasi iman demi tujuan duniawi serta memisah-misahkan dan memecah-belah umat Muslim.
Unsur ketiga yang membedakan sedikitnya sebagian Liberal Islam/dengan Modernis, Islamis, dan Tradisionalis berhubungan dengan pendekatan mereka terhadap isu menginterpretasikan tradisi agama atau ijtihad. Kaum Modernis Islam telah menerima ortodoksi Sunni yang mengklaim bahwa ‘pintu ijtihad’ telah ditutup pada abad-abad pertama Islam, bahwa umat Muslim di kemudian hari perlu mengikuti praktik taklid, meneladani tradisi-tradisi yang sudah mapan. Misalnya, pada pergantian abad yang Iampau, Mahmud Shukni al-Alusi (Irak, 1857-1924) menganggap ‘tesis tentang tertutupnya pintu ijtihad’ yang diajukan oleh rekan sezamannya, Yusuf al-Nabbani yang ‘bodoh’ dan ‘merana’ (Palestina-Lebanon, 1850-1932) itu, ‘palsu dan heretis’ (dalam Kurzman, 2002: 171). Kekhilafan, segala kekhilafan itu, terletak pada peniruan membabi buta dan pengekangan pikiran’ (dalam Donohue dan Esposito, 1982: 182). Afghani berpendapat bahwa umat Muslim ‘tidak boleh puas hanya dengan taklid dan leluhur mereka’ (dalam Keddie, 1968: 171). Dalam memerangi praktik taklid, Modernis Islam berusaha merehabilitasi dan memperluas hak untuk melakukan ijtihad guna menginterpretasi ulang tradisi Islam agar memenuhi kebutuhan : zaman modern, Wael Hallaq membedakan dua unsur dalam pemikiran hukum Islam kontemporer yang menawarkan visi-visi ijtihad yang saling bertentangan. Meski Turabi mungkin pantas dimasukkan di kalangan Liberal islam, berdasarkan penekanannya pada demokrasi dan pluralisme, pembedaan Hallaq mencakup sisi Kaum Liberal Islam kontemporer yang dominan dan khas. Baik unsur liberal maupun unsur utilitarian, menurut Hallaq, memiliki tujuan yang sama: ‘merumuskan kembali teori hukum dengan cara yang menyukseskan sintesis : antara nilai-nilai keagamaan dasar Islam, di satu sisi, dengan hukum substantif yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sebuah masyrakat modern dan terus berubah, di sisi yang lain’. Namun, hal yang paling membedakan dua kecenderungan ini ialah metode yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada 1982, Rahman mengatakan bahwa adalah ironi bila menghadapkan yang disebut Fundamentalis Muslim : sebagai lawan dan Modernis Muslim, sebab, selama prosedur mereka yang mengagumkan itu terus berlangsung, ucapan Kaum Modernis Muslim akan selalu tepat sama dengan ucapan kaum yang disebut sebagai Fundamentalis Muslim tersebut. Bahwa umat Muslim wajib kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli dan definitif serta menjalankan ijtihad dengan berdasarkan sumber-sumber tersebut. (1982: 142).
Baik Kaum Modernis maupun Kaum Isiamis ‘memberikan jawaban yang sama sekali berbeda untuk beberapa isu dasar sesuai dengan lingkungan mereka masing-masing’, tetapi seperti yang dilihat oleh Rahman, yang menjadi masalah bukanlah kesimpulan mereka yang berbeda, tetapi tidak adanya ‘metode’ dalam menginterpretasikan tradisi islam agar dapat memberikan interpretasi yang meyakinkan dan tepercaya serta menghapuskan interpretasi yang ‘asal-asalan’. Pemikir-pemikir Islam liberal merevisi pemahaman ortodoks terhadap hukum Islam, dengan menekankan, seperti yang dilakukan Shaykh al-’Ashmawy, bahwa ‘makna sebenarnya dari syariat adalah jalan, metode, cara’ (1999: 97). Meski tidak menyangkal karakter syariat yang mengikat, al-’Ashmawy menyangkal karakternya sebagai sistem hukum komprehensif atau kitab undang-undang hukum yang terperinci.
Dalam mendekati Qur’an, an-Na’im mengikuti metode eksegesis tradisional dengan membedakan ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Mekah dan ayat-ayat yang diwahyukan di Madinah.
Menurut pendekatan ini, ayat-ayat periode Mekah dapat diterapkan sebagai dasar hukum Islam yang menghapuskan ayat-ayat periode Madinah.
Sebaliknya, Shahrour (1990) menggunakan pendekatan linguistik untuk melukiskan berbagai makna kata-kata yang ditemukan di dalam Qur’an. Berdasarkan hal inilah Shahrour membedakan antara yang ‘disahkan secara ketuhanan (halal) dengan yang dilarang secara ketuhanan (haram) dan yang dilarang secara manusiawi (mamnu)’, dengan menyatakan bahwa ‘ajaran dasar Islam ialah bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang secara khusus itu diperbolehkan’ (1990: 141). Metode Shahrour mengilustrasikan pendekatan metodologi yang sudah umum bagi Kaum Liberal Islam. Sementara Muslim modernis mencari berbagai gagasan liberal di dalam warisan Islam, Kaum Liberal Islam meyakini bahwa warisan tersebut tidak banyak berbicara mengenai isu-isu tertentu. Al-’Ashmawy, misalnya, mengatakan bahwa ‘dari 6.000 ayat Qur’an, hanya 200 yang mengandung aspek hukum, yaitu, kira-kira sepertigapuluh dari isi Qur’an, termasuk ayat-ayat yang telah dihapuskan dengan ayat-ayat sesudahnya’ (dalam Kurzman, 1998:51).
Menurut Shahrour, musyawarah (syura) diperlukan bagi sebuah polity modern untuk menyelesaikan persoalan-persoalan legislatif didalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah, untuk menentukan jenis undang-undang yang akan mengatur aspek-aspek kehidupan yang diserahkan Allah kepada pengaturan manusia, relatif terhadap keadaan sosial, ekonomi, dan politik tertentu pada tiap-tiap komunitas politik. Beberapa Liberal Islam melanjutkan lebih jauh sampai menyatakan bahwa perselisihan pendapat mengenai interpretasi terhadap tradisi Islam inilah yang menjadikan Islam selalu hidup. ‘Di masa kita,’ kata Shahrour, ‘syura sejati berarti pluralisme sudut pandang yang sebenar-benarnya, dan demokrasi (1997: 8).
DIALOG YANG TERPUTUS-PUTUS
Pada periode kontemporer, yang diperhatikan bukan cuma berbagai interpretasi ‘yang sama sekali berbeda’ terhadap tradisi Islam, tetapi juga beberapa metode interpretasi yang sama sekali berbeda. Namun, teridentifikasi sedikitnya dua transformasi penting di dalam pemikiran politik Islam. Transformasi pertama ialah bahwa meningkatnya kemajemukan strategi interpretif yang ditakukan pemikir-pemikir Islam liberal telah membuka lebih lanjut pintu menuju sektor luas umat untuk kembali kepada teks-teks asli warisan mereka dan menawarkan interpretasi-interpretasi baru.
Seperti halnya Kaum Modernis Islam, pemikir-pemikir Islam liberal juga menawarkan cara yang menjanjikan dalam menegosiasikan konflik antara modernisasi dan warisan Islam serta memenuhi tuntutan baik modernisasi maupun warisan Islam, tetapi mereka pun menghadapi tantangan serius, Mereka tengah diserang dan dua sisi sekahigus: dikecam karena terlalu liberal, juga karena terlalu Islami. Kaum Sekularis melihat Islam liberal (juga Islam modernis) sebagai oksimoron dan menyatakan bahwa Islam terlalu kaku untuk ditransformasi atau bahwa Islam harus diturunkan ke ranah pribadi. Baik Kaum Islamis revivalis maupun Kaum Islamis tradisional berpendapat bahwa Kaum Liberal Islam tak lebih dan Kaum Sekularis yang berkedok Islam, menyangkal bahwa nilai-nilai modern memiliki tempat di dalam leksikon Islam atau mengutip nilai-nilai modern untuk menganggap liberalisme mereka kebablasan sehingga mengorbankan warisan Islam. Karya mereka sering dibaca banyak orang, tetapi mereka juga dituduh berkhianat dan heresi, serta wajib dikenai sensor, kehilangan posisi, dan mengalami kekerasan yang semuanya cenderung menimbulkan konsekuensi yang tak direncanakan, yaitu, semakin memperbesar minat pada gagasan-gagasan mereka. Melalui sebuah artikel pada 1979 yang telah dicetak ulang berkali-kali, pemikir islam liberal Hassan Hanafi menghubungkan ‘akar sejarah kebuntuan terkait kebebasan dan demokrasi pada kecenderungan kontemporer umum pemikiran kita’ dengan hilangnya kemampuan untuk mendengarkan dan membicarakan sehingga hilang pula kemampuan untuk maju. Bahkan, yang paling tidak toleran dan Kaum Islamis pun beberapa pengecam dan penghujat Hanafi yang paling buruk dalam pengertian tertentu juga menempati ruang diskursif yang sama dan setidaknya, secara sebagian, meleburkan wacana liberal dan pemikiran modernis.







0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More