TEORI POLITIK
DEMOKRATIS
JOHN S. DRYZEK
DEMOKRASI YANG
KELEBIHAN
Penjelasan
tentang keadaan teori demokratis dapat ditulis dengan menguraikan dan
menjajarkan makna dan ke-54 kata sifat ini. Daftar ini panjang; ada banyak
demokrasi di dalamnya, setidaknya secara teori, dan murnkin dalam praktik.
Kategori-kategori yang diwakili dengan
adjektiva tadi bukannya tidak mungkin diterapkan pada waktu yang bersamaan.
Walau ada pertentangan biner yang nyata (agregatif melawan deliberatif,
partisipatif melawan representatif, banyak kombinasi yang masuk akal dan
memiliki pendukung serta pengkritik.
Kategoni-kategori yang diwakili oleh
adjektiva tadi tidak Iengkap dalam arti kolektif. Perbincangan tentang
perkembangan demokratis tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, (Ini
bagus; mungkin kelangsungan perbincangan ini memang intrinsik dengan demokrasi
itu sendiri, meski hanya untuk demokrasi yang dikonseptualisasik, oleh sebagian
dari kategori-kategori tersebut.)
Persoalan-persoalan
inilah yang menentukan perkumpulan demokratis, jumlah komunikasi tentang
demokrasi. Dalam batas-batas ini ditemukam wilayah penting tempat para praktisi
mengkaji apa arti kekuasaan oleh rakyat dan persamaan politis yang disiratkan
di masyarakat-masyarakat komplek kontemporer yang juga menghargai kemerdekaan
dan efisiensi. Mesiki senang rasanya bisa menetapkan dengan lebih tepat
sejumlah masalah yang sama yang hendak diupayakan penyelesaiannya oleh
teoretikus-teoretikus demokratis, juga sejumlah standar untuk membuat solusi
yang pantas, saya yakin hal itu mustahil, sebab standar-standar tersebut muncul
dalam proses dialog di kalangan teoretikus (dan lain-lain; dan muatannya bisa
berubah seiring dengan waktu.
Kegagalan yang paling mencolok ialah lawan
otoriter demokrasi yang sudah berjalan lama. Pada 1989 Robert Dahi
mengorganisasi pernyataan penting tentang demokrasi dan pembelaan untuknya
dengan menggunakan pengawalan pembandinga gagasan bahwa sebagian elite
mengetahui apa yang terbaik untuk masyarakat sekaligus memiliki keahlian yang
sesuai untuk melaksanakan program itu. Pada 2004 upaya itu tidak layak lagi.
Kegagalan lain meliputi demokrasi rakyat, demokrasi di tempat kerja, demokrasi
komunitas (dalam arti mobilisasi seluruh komunitas), pertanian kolektif,
demokrasi yuridis Theodore Lowi (1969), dan mungkin sosialisme demokratis.
Meski demikian, hanya segelintir demokrasi yang benar-benar gagal dan jumlahnya
pun selalu lebih sedikit daripada kegagalan demokrasi baru, jadi, seiring
waktu, teori demokrasi tidak lan adalah demokrasi itu sendiri yang menjadi
semakin berbeda dan semakin kompleks.
Inilah
pendekatan Giovanni Sartori, misalnya, yang menggambarkan bukunya tentang teori
demokratis sebagai ‘terutama, usaha bersih-bersih rumah, tugas menyingkirkan
keserampangan (dalam argumen) dan kemoratmaritan (dalam konsepsi)’ (1987:xi).
Pendekatan seperti itu tidak akan cukup karena dua alasan. Pertama, sebagian
dari hal yang membuat demokrasi menarik baik dalam teori maupun praktik ialah
penyangsian seputar esensinya. Kedua, segala pencarian akan makna esensial
demokrasi dirusak oleh historikus-historikus konseptual yang menunjuk kebetulan
historis tak terelakkan yang menimpa konsep-konsep politis utama seperti
demokrasi (Hanson, 1989), serta bahwa makna demokrasi itu sendini merupakan bagian
dari politik pada waktu khusus dan tempat khusus.
Sejarah konseptual akan memadai untuk teori
politik tentang sejarah mode gagasan. Bahkan, sejarah yang baik sekali milik
Russell Hanson (1989) bermanfaat karena mengingatkan kita bahwa baru pada abad
kesembilan belas demokrasi sebagai sebuah konsep tidak lagi dicerca secara
universal dan mulai menarik konotasi-konotasi positif. Di Amerika Serikat, hal
ini umumnya timbul sebagai akibat kepedulian populis dan Jacksonian kepada
‘Demokrasi’, maksudnya, kepada rakyat jelata melawan plutokrasi. Namun, walau
perlu, sejarah konseptual tidak memadai bagi orang-orang berpandangan kritis
dan evaluative yang ingin menyumbang bagi kelanjutan percakapan tentang
perkembangan demokratis. Selain itu, sejarah konseptual memang tidak membekali
kita untuk mengatasi variasi radikal pada suatu era (seperti masa sekarang
ini), berbeda dengan perubahan lintas era. Hanson sendiri menghadapi variasi
sekarang hanya dengan menyesali fakta bahwa tampaknya demokrasi telah
dikosongkan dan makna, disusul dengan dalih agar mengembalikan
konotasi-konotasi berkelas dan istilah tersebut (1989: 85-6).
Cara
untuk mengatasi variasi ialah dengan mengisolasikan dan membandingkan
model-model utama demokrasi, Contoh, inilah pendekatan yang diambil David Held
(1996) dalam survei buki teks terbaik di bidang itu. Jadi, survei Held adalah
bacaan penting, tetapi hanya dalam mencakup ragam pemikiran kontemporer yang
menarik tentang demokrasi.
Karena
ada banyak adjektiva untuk membatasi dan menerangkan demokrasi, maka ada banyak
persekutuari tidak sepaham tentang apa yang bisa, harus, dan tidak seharusnya
menjadi demokrasi. Selain itu, lain penjelasan tentang demokrasi lain pula
pentìngnya persekutuan yang diperselisihkan.
Meski demokrasi muncul dalam banyak variasi,
kini arus yang dominan dalam teori demokratis ialah arus deliberatif. Titik
awal yang kedua ialah pandangan yang sangat lain terhadap demokrasi itu sendiri
yang sama-sama dianut oleh sebagian besar orang yang mendalami demokrasi di
dunia nyata. Bahkan, penggambaran variasi demokrasi dalam teori dan praktik
yang saya mulai pasti mengagetkan ilmuwan politik yang mendalami politik
komparatif tentang demokrasi, juga para pengamat yang lebih jurnalistik
terhadap masa hidup dan zaman demokrasi sekarang ini. Bagi kelompok yang kedua
ini, yang mencolok pada demokrasi kontemporer bukanlah variasinya, melainkan
keseragamannya. Berlalunya Soviet sebagai alternatif dan sirnanya sosialisme
demokratis di Barat dalam waktu yang bersamaan mengisyaratkan kepada kelompok
ini akan adanya kemenangan global model demokrasi liberal, elektoralis, elitis,
kapitalis, dan minimalis yang jelas makna dan intensinya.
Model kapitalis liberal ini mencakup banyak
sekali hal yang penting tentang demokrasi di dunia nyata. Yang harus diutamakan
ialah rnemisahkan hubungan antara demokrasi deliberatif dan model liberal
minimalis yang digunakan Kaum Komparativis.
PERALIHAN KE ARAH
DELIBERATIF
Peralihan
ke arah deliberatif terjadi di dalam teori demokratis pada awal 1990-an. Namun,
sebelum itu sudah ada pendahulunnya, dan Aristoteles dan polis Athena. Kaum Konservatif seperti Edmund Burke (menurutnya
deliberasi berkonotasi dengan pemikiran masak yang berlawanan dengan tindakan
tergesa-gesa), juga kaum liberal seperti John Stuart Mill dan John Dewey (untuk
sejarah yang bagus, lihat pengantar untuk Bohman dan Rehg, 1997). Bila dilihat
ke masa lampau, ‘demokrasi kuat’ Benjamin Barber (1984) terlihat sebagai
jembatan antara demokrasi paritisipatif dan demokrasi deliberatif, mengingat
penekanannya pada ‘pembicaraan demokratis yang kuat’. Namun, sebelum 1990, para
teoretiKus pada umumnya menginterpretasikan demokrasi dalam hubungannya dengan
agregasi kepentingan atau preferensi anggota demi melalui mekanisme seperti
pemungutan suara dan perwakilan yang menghasilkan keputusan-keputusan kolektif.
Keputusan itu sendiri harus dijustifikasi
oleh orang-orang tersebut dalam hal-hal yang, berdasarkan pemikiran masa), bisa
mereka terima. Dalam arti yang lebih formal, deliberasi mengandung aspek
argumentatif, informasional, dalam (reflective),
dan sosial yang terakhir ini mengacu pada kesetiakawanan yang lahir di kalangan
para peserta deliberasi. Aspek dalam (reflective)
berarti bahwa preferensi, keputusan, dan pandangan yang dianggap sudah tetap
pada model-model agregatif dianggap mudah berubah dalam deliberasi.
Mengingat begitu banyak teoretikus demokratis
yang kini mengibarkan bendera deliberatif, juga mazhab pemikiran mereka yang
menurut sejarah berbeda-beda (konservatisme, liberalisme, dan teori kritis)
seharusnya ada banyak sekali variasi di kalangan Demokrat deliberative. Baik
atau buruk, demokrasi deliberatif terutama dibaurkan dengan konstitusionalisme
liberal, yang dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan menyelesaikan
perbedaan di antara kepentingan-kepentingan yang lebih dulu ditetapkan sebelum
interaksi politis dibawah kumpulan aturan dan hak netral.
Pembauran terjadi dalam tiga cara (lihat
Dryzek, 2000: 10-17). Pertama, komitmen kepada prinsip-prinsip deliberatif
dapat digunakan untuk menjustifikasi sebagian (tetapi tidak semua) hak yang
sudah lama dijunjung tinggi oleh Kaum liberal. Argumen ini berlaku dengan
paling lugas untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul, juga, dengan sedikit
lebih meluas, untuk kebebasan beragama dan persamaan politik (Cohen, 1996).
Kedua, konstitusi-konstitusi liberal dapat diinterpretasikan sebagai alat yang
memajukan deliberasi. Ketiga, pembuatan konstitusi dapat dilihat sebagai proses
deliberatif dalam arti kuintesens, dituntun oleh nalar publik yang tidak memihak,
meskipun politik normal di bawah konstitusi adalah agregatif, strategis, dan
dikendalikan kepentingan-kepentingan yang memihak. Teoretikus deliberatif yang
mengutamakan pembuatan konstitutsi meliputi Bruce Ackerman (1991), David
Estlund (1993), dan Rawls (1993) (yang juga menghendaki deliberasi bertuntun
nalar publik untuk membicarakan perkara-perkara ‘keadilan dasar’). Ranah publik
sendiri dilihat dalam istilah yang kurang memberontak daripada argumen untuk
Habermas yang dulu (contoh, 1989), dan tidak ada pengakuan akan kebutuhan apa
pun untuk mendemokrasi perekonomian, negara administratif, atau sistem hukum,
yang semuanya menerima legitimasi dengan mudah.
Sebagian liberal deliberatif bukan demokratis
dalam arti khusus. Terutama Rawis, pada akhirnya ingin memercayakan deliberasi
kepada para pakar dalam nalar publik seperti hakim-hakim Mahkamah Agung, yang
hanya harus mendeliberasi dalam arti personal kata itu, yang berbeda dari arti
interaktifnya (lihat Goodin, 2000, untuk pembelaan eksplisit deliberasi
personal yang berbeda dan deliberasi interaktif). Hal ini dibenarkan karena
Rawis memercayai nalar publik itu bersifat kesatuan, dapat dimengerti dalam
istilah-istilah yang sama oleh semua individu yang berpikir, sehingga paling
dimengerti oleh individu (individu) yang paling memenuhi syarat.
Konstitusionalisme liberal menegaskan hal yang tak pelak merupakan lokasi
pentingnegara, tetapi yang mungkin semakin dibatasi oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi yang menentukan isi kebijakan publik.
Para Pengkritik
Deliberasi
Demokrasi deliberatif punya tiga kelompok
pengkritik, yang di luar itu tak memiiki kesamaan sedikit pun: teoretikus
pilihan sosial, Demokrat perbedaan, dan Egalitarian skeptis.
Penjelasan pilihan sosial tentang demokrasi
memperoleh pengaruhnya dan demonstrasi Kenneth Arrow (1951) tentang
kemustahilan segala bentuk mekanisme pilihan kolektif, misalnya, sistem
pemungutan suara, yang secara bersamaan juga mewujudkan kumpulan kondisi yang
tidak berbahaya (suara bulat, tanpa pemerintahan diktator, ketransitifan,
domain preferensi tanpa batas, dan kebebasan dan alternatif-alternatif yang tak
relevan). Mengingat bahwa lain mekanisme lain pula hasil yang akan diberikan
dan distribusi prelerensi yang identik, maka tidak ada yang namanya kehendak
rakyat yang bebas dari mekanisme yang memastikannya. Akibatnya demokrasi
dikosongkan dan makna nya.
Lapangan
pilihan publik yang terbentuk oleh keduanya menjadi rumah bagi banyak
pertunjukan kesewenang-wenangan, kepincangan, kedegilan, dan pemubaziran dalam
politik demokratis. Selain Riker yang mengungkapkan kekosongan di pusat
demokrasi, teoretikus-teoretikus pilihan publik mengemukakan bahwa:
·
Dalam
sistem politik sebesar apa pun, pemungutan suara adalah irasional.
·
Aturan
mayoritas mengakibatkan pemerasan Pareto-suboptimal terhadap golongan-golongan
minoritas.
·
Wakil-wakil
terpilih yang mementingkan kepentingan sendiri paling-paling membuat
program-program yang menguntungkan konstituennya sendiri dengan mengorbankan
kepentingan umum, yang terburuk dengan sengaja merancang program-program yang
tak kepalang tanggung buruknya sampai-sampai campur tangan mereka sendiri
dibutuhkan agar keuntungan dihasilkan.
·
Besarnya
belanja negara pada umumnya merupakan konsekuensi birokrat-birokrat egois yang
memaksimumkan anggaran. Para birokrat bersekongkol dengan kelompok kepentingan
khusus dan politikus-poiltikus pendukungnya untuk mengalihkan sumber daya
negara bagi keuntungan mereka sendiri.
·
Secara
umum, ‘koalisi distribusional’ seperti serikat pekerja dan pemberi pekerjaan
menjamin hukum dan kebijakan agar melindungi hak-hak istimewa mereka sendiri
dengan mengorbankan efisiensi ekonomis.
·
Politik
demokratis tidak bertanggung jawab dalam arti intrinsic sebab semua aktornya
mencari keuntungari untuk diri sendiri sambil menimpakan kerugian pada orang
lain; akibatnya ialah permainan jumlah-negatif dengan harga total melebihi
manfaat total.
Semakin banyak uraian pilihan rasional yang
sangat matematis tentang politik rasional yang dijumpai di (misalnya)
halaman-halaman American Political Science
Review memiliki agenda politis yang kurang nyata.
Lalu, apa yang tersisa dari pilihan publik
sebagai teori demokratîs? Jawabannya, pilihan publik menyediakan sejumlah
peringatan tentang akan jadi seperti apa politik demokratis nantinya bila
aktor-aktor politik berlaku dengan gaya Homo
economicus, dan jika tidak ada mekanisme untuk mengekang
kecenderungan-kecenderungan perilaku ini dan segenap konsekuensinya. Demokrasi
deliberatif menyediakan baik paradigma komunikatif keperseorangan (personhood)
maupun mekanisme-mekanisme untuk mengendalikan Nomo economicus berikut segenap interaksinya ini (alternatif
nondeliberatif dapat dijumpai di dalam gagasan Shepsie pada 1979 tentang
ekuilibrium yang dipicustruktur).
Demokrat deliberatif dapat menjawab bahwa ada
mekanisme yang intrinsik dengan deliberasi yang bertindak menyusun preferensi
dengan cara-cara yang menyelesaikan permasalahan pilihan sosia! (Dryzek dan
List, 2003). Meski pengkritik pilihan sosial terhadap demokrasi mengkhawatirkan
keanekaragaman tak terkendali yang dapat digiatkan deliberasi. Pada taraf yang
lebih besar atau lebih kecil. Demokrat perbedaan mendapat pengaruh dan teori
posmodern tentang identitas dan perbedaan.. yang meyakini esensi demokrasi
dilihat dalam hubungannya dengan perjumpaan kreatif dengan orang-orang yang
beridentitas lain (contoh. Connolly, 1991). Namun, Demokrat perbedaan
mempermasalahkan komunikasi dan mencela bentuk-bentuk komunikasi yang dianggap
netral yang ditegaskan. ‘Demokrasi komunikatif’ Young akan menonjolkan salam, retorika,
dan bercerita (atau kesaksian, atau narasi) juga argumen bentuk-bentuk
komunikasi yang diyakininya lebih terjangkau oleh golongan minoritas yang tak
diuntungkan. Hal ini mengingatkan pada advokasi Young sebelumnya (1990) tentang
perwakilan terjamin dan kekuasaan veto atas kebijakan-kebijakan yang
memengaruhi kebijakan bagi golongan yang tidak diuntungkan.
Malahan trio itu harus ditampilkan untuk
menghadapi uji tanpa paksaan, kapasitas untuk merangsang pemikiran masak, dan
kemampuan untuk menghubungkan yang partikular dan yang general (Dryzek. 2000:
6-—71).
Kelompok pengkritik deliberasi ketiga yang
saya namakan Kaum Egalitarian skeptis mendukung penjelasan demokrasì yang lebih
tradisional terhadap perubahan ke arah deliberatif. Dalam hal ini, mereka yang
berkepentingan untuk memperbaiki mutu demokrasi harus mengupayakan penyamaan
kekuasaan; di sinii, isu-isu demokrasi dihubungkan dengan keadilan distributif.
Goodin (2000) rnenerangkan bahwa deliberasi adalah aktivitas yang tak pemah
dalam arti realistis melibatkan lebih dan segelintir orang. Saward (2000)
percaya bahwa pertimbangan-pertimbangan seperti itu berarti bahwa karenanya
Kaum Egalitarian harus menolak kecendeungan aristokratis deliberasi yang pasti
mengecualikan mereka yang berpreferensi non deliberatif; dalam hal ini,
memperluas demokrasi dengan gaya yang lebih langsung (contoh, dengan
memperbanyak penggunaan referendum) akan jauh lebih baik.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh
Demokrat deliberative guna menanggapi tuduhan Kaum Skeptik bahwa deliberasi
hanya akan menjadi aktivitas elite. Dalam jajak pendapat deliberatif Fishkin
(1995), para peserta sebuah forum deliberatif dipìlih secara acak dan populasi,
dan pada akhir proses mengisi kuesioner. Jun-jun warga juga direkrut dengan
pemilihan acak, tetapi pada akhir proses menghasilkan rekomendasi kebijakan
yang dibuat dan disepakati oleh para anggota jun. bukan kuesioner (Smith dan
Wales, 2000). Fishkin menyatakan bahwa jajak pendapat deliberatif
menggarnbarkan sepenti apa pendapat umum kelak bila semua orang mampu melakukan
deliberasi; hat yang sama dapat dikatakan untuk jun-jun warga. Atau, Kaum
Demokrat deliberatif dapat membeni Kesempatan agar deliberasi bisa hidup
bersama-sama dengan aneka ragam mekanisme untuk mencapai keputusan yang mengikat,
yang terjadi saat mereka memberikan suara mclalui referendum, pemilihan umum,
atau lembaga legislatif, keputusan pengadilan, konsensus di kalangan para
stakcholdcr pada suatu ¡su, atau bahkan fiat administratif. Dalam arti lehih
rad ¡ka!, mereka mungkin memikirkan cara-cara ketika persaingan deliberatif
wacana di ranah publik mampu memberikan hasil kolektif tak hanya metalui
pengaruh tak langsungnya terhadap kebijakan publik, tetapi juga melalui
perubahan budaya dan tindakan paragovemmental (Dryzek, 2000).
Sebelum meninggalkan peralihan ke arah
deliberatif dan para pengkritiknya, satu lagi argumen menentang deliberasi yang
mungkin perlu dipertimbangkan. Keputusan-keputusan seperti itu mungkin mencakup
ketidaksepalcatan penihal (misalnya) apa yang menjadi kebaikan bersama. Jadi,
tidak boleh ada faksi (yang mengurangi jumlah efektif pemilih), dan mungkin
tidak boleh ada komunikasi. Setidaknya, irtilah pandangan Rousseau sendiri:
deliberasi hanya menjadi persoalan pemikiran masak internal saja, bukan komunikasi.
Namun, seperti diterangkan Robert Goodin (2002: 125) dan lain-lainnya, diskusi
itu boleh saja asalkan orang kemudian melaksanakart keputusan mandiri mereka
sendiri saat memberikan suara. Kemudian, Good in menyangsikan suatu demokrasi
epistemik yang berpangkal dan Rousseau dan teorema jun derigan menunjukkan
bahwa dalam konteks dinamis, implikasinya ialah bahwa golongan minoritas hams
dengan segera dan secara rasional menghentika perlawanan mereka jika ditentang
suara mayoritas. Baik atau buruk, pendekatan deliberatif menetapkan agenda
untuk teori demokrasi kontemporer. Namun, jelas masih ada banyak sekali yang
perlu diperdebatkan, baik di kalangan rnereka yang sama-sama menganut onientasi
deliberatif maupun mereka yang menolaknya. Meski demikian, ada sarjana-sarjana
demokrasi yang masih belum tersentuh oleh pendekatan deliberatif, dan kepada
merekalah saya akan beralih kini.
MINIMALISME LIBERAL
DAN ALTERNATIF-ALTERNATIFNYA
Model demokrasi paling populer di kalangan
sarjana politik komparatif, terutama mereka di lapangan transisi dan
konsolidasi demokratis yang sedang berkembang, Harapan mereka dan demokrasi
jauh lebih sedikit daripada harapan Demokrat deliberatif. Model ini pada
dasarnya pernah diusulkan lama berselang oleh Schumpeter (1942): demokrasi hanyalah
persaingan di kalangan elite yang memperebutkan persetujuan rakyat yang
memberikan hak untuk memerintah. Pada 1950-an gagasan ini menjadi fondasi untuk
teori-teori ‘empiris tentang demokrasi yang puas dengan peran apatis massa yang
bodoh dan mungkin otoriter (Berelson, 1952; Sartori 1962). Namun, model-model
itu masìh hidup di kalangan transitolog dan kondisiolog, yang melihat tanda
suatu demokrasi terkonsolidasi sebagai kumpulan pihak berkelakuan baik yang
mewakili kepentingan-kepentingan material yang terlibat dalam persaingan
pemilihan yang diatur dengan aturan konstitusional (lihat, contohnya, Di Palma,
1990; Huntington, 1991; Mueller, 1996; Schedler, 1998). Warganegara yang aktif
tidak punya peran dalam model-model tersebut. Apa yang menyebabkan kepopuleran
model elektoralis minimalis ini? Sebagian karena model ini memberikan pengaruh
analitis kuat bagi mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bagi
sarjana-sarjana demikian, karakter demokrasi yang dapat disangsikan di dalam
teori politik itu adalah suatu nuansa ketika tiba waktunya menemukan
indikator-indikator empiris guna membandingkan negeri-negeri yang berbeda dan
menelusuri transisi dan konsolidasi demokratis di negeri-negeri khusus.
Barangkali penyebab yang lebih utama untuk
kepopuleran mininialisme liberal itu ialah keselarasannya dengan perkembangan
yang menyaksikan marketisasi kapitalis dan demokratisasi bergerak bersama-sama.
Sejak pertengahan 1970-an, adopsi sistem demokratis liberal oleh semakin banyak
negara berlangsung seiring sejalan dengan ekspansi global kapitalisme. Tentu
sudah lama menjadi perhatian bahwa ada korelasi antara kapitalisme dan
demokrasi liberal. Penyebab tepati keberadaan korelasi tersebut masih menjadi
bahan perdebatan. Bupset (1959), penyebabnya adalah persoalan kapitalisme yang
menghasilkan suatu kelas menengah yang memiliki segenap kebajikan demokratis
kanan, yaitu, tenggang rasa dan sikap moderat. Bagi Rueschemeyer Stephens, dan
Stephens (1992), jawabannya justru terletak pada fakta bahwa kapitalisme menghasilkan
suatu kelas pekerja dengan kepetingan khusus pada redistribusi yang dimajukan
oleh waralaba univsal efektif. Bagi Adam Przeworski et al. (2000), bukan
kapitalisme yang menyebabkan demokrasi, sebab negara-negara bisa menjadi
demokratis pada segala tingkat pembangunan. Namun, kapitalisme menghasilkan
kekayaan yang nantinya menyediakan perlindungan terhadap tergulingnya
demokrasi.
Seperti dikatakan Lindblom (1982) di antara
yang lain, konteks pasar kapitalis secara otomatis menghukum pemerintah yang mengejar
kebijakan yang meruntuhkan kepercayaan investor atau calon investor karena
menyebabkan divestasi dan pelarian modal. Akibatnya, terlalu banyak demokrasi
negara berarti ketidaktentuan yang membahayakan dalam kebijakan publik (Dryzek,
1996). Mungkin arti demokrasi bukan lagi ‘negara tempe rakyat papa, yang
memegang kekuasaan, dapat membunuh sebagian dan membuang yang lain, kemudian
membagi-bagi jabatan di antara warga yang tersisa, biasanya dengan menarik
indian’, seperti define B Plato untuk negara di dalam Republik. Namun, selalu
ada kemungkinan bahwa terlalu banyak demokrasi mungkin akan mengurangi
ketidaksamaan yang mendasari terciptanya kekayaan efektif, karena itu,
tampaknya model minimalis cocok dengan cara yang khas dengan ekononi politik
kapitalis liberal kontemporer.
Kombinasi kapitalisme dan demokrasi minimalis
liberal ini barang kali memperoleh ulasan yang paling positif (dan sedikit
Hegel) dalam, triumfalisme ‘akhir sejarah’ Francis Fukuyama (1989; 1992).
Sartori ingin menyudahi urusan dengan para pengkritik: ‘pemenangnya ialah
demokrasi yang liberal secara keseluruhan, bukan hanya pemerintah yang dipilih
oleh rakyat terbanyak, tetapi juga, dan secara tak terpisahkan, pemerintah
konstitusional; maksudnya, “demokrasi formal” yang mengendalikan penggunaan
kekuasaan, yang sampai saat itu sering diremehkan’ (1991: 437).
Sikap lebih kritis yang cenderung diambil
teoretikus demokrasi menyoroti batasan-batasan atas demokrasi yang disebabkan
oleh dominansi global demokrasi liberal minimalis ditambah kapitalisme ini.
Sebagian dan respons tersebut mungkin mencakup penguatan dan demokratisasi
lembaga-lembaga internasional sebagai respons terhadap migrasi kekuatan politik
dan negara ke ekonomi politik lintas bangsa. Inilah, contoh, pendekatan yang
diambil oleh Held dan sesama penganjur suatu demokrasi kosmopolitan yang
mencakup Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum PBB yang lebih
kuat, referendum lintas-negara, dan otoritas peradilan, otoritas militer, dan
otoritas ekonomi internasional yang bertanggung jawab terhadap badan
parlementer regional dan global (Held, 1995; Archibugi. Held dan Köhler, 1998).
Atau, jika demokrasi negara hanya bisa minimalis, teoretikus dapat menjelajahi
lokasi-lokasi nonnegara untuk mencari demokrasi.
Namun, pembelaan Riker gagal karena
analisisnya sendiri menunjukkan bahwa tidak ada kehendak dan para pemilih yang
bebas dari mekanisme yang dianggap mengukurnya dan hal ini harus mencakup
kehendak untuk memakzulkan para tiran atau yang tidak cakap (Coleman dan Ferejohn,
1986: 22).
Teori dan Praktik
Demokrasi
Penerimaan terhadap model minimalis akan
membuat sebagian besar teori demokratis tidak diperlukan lagi. Namun,
minimalisme sendiri gagal karena alasan-alasan berikut ini. Teoretikus
demokratis berada pada posisi yang sangat baik untuk menyoroti
kegagalan-kegagalan tersebut dan memindahkan percakapan di luar
kegagalan-kegagalan itu.
Pertama, minimalisme membolehkan
bentuk-bentuk demokrasi yang sangat lemah, sampai-sampai nyaris tak pantas
menyandang sebutan ‘demokratis’. Contoh, hal yang disebut demokrasi delegatif
oleh Gullermo O’Donnel (1994) ternyata lolos uji minimalis. Menurut demokrasi
delegatif, yang terutama dijumpai di Amerika Latin, tetapi
juga
di negara-negara pascakomunis, para pemimpin tunduk kepada pemilihan regular,
tetapi selain itu juga memerintah tanpa akuntabilitas, tanpa pengertian apa pun
bahwa janji-janji semasa pemilihan perlu diingat, dan tanpa batasan
konstitusional (kecuali tentu saja batasan yang menetapkan pemilihan bebas
regular). Demokrasi delegatif sama sekali tidak rnenghiraukan hal yang oleh
Philip Pettit (1999) dinamakan aspek penyangsian demokrasi, yang berlawanan
dengan aspek elektoralnya. Berdasarkan aspek ini, jaminan akan kebebasan
(didefinisikan sebagai nondominasi) ialah kesanggupan warga untuk menyangsikan
isi ke putusan-keputusan kolektif di bawah ketentuan-ketentuan yang jujur, baik
melalui akses ke pengadilan, lembaga legislatif, atau tinjauan adminisiratif.
Kedua, minimalisme tidak peka terhadap
variasi bentuk-bentuk yang dapat diambil demokrasi dalam praktik juga dalam
teori, menyebabkan salah interpretasi atas peristiwa dan perkembangan, serta
mengurangi pengaruh analitis yang merupakan salah satu justifikasi utama
minimalisme. Contoh, dalam pengaruh suatu model liberal untuk demokrasi, Juan
Linz dan Alfred Stepan (1996) mencemaskan demokrasi di Polandia dan Republik
Ceska pascakomunis dikarenakan warisan jenis politik yang mencirikan masyarakat
madani mereka yang tak menguntungkan di era Soviet: ‘Masyarakat madani etis menggambarkan
“kebenaran”, tetapi masyarakat politis pada suatu demokrasi terkonsolidasí
normalnya menggambarkan “kepentingan-kepentingan”’ (1996: 272). Namun, jenìs
politik yang mereka cela tak hanya selaras dengan searah republik yang lebih
dalam pada kedua negeri ini (kembali ke abad ke-18 di Polandia), tetapi juga
selaras dengan teori politik republik warga kontemporer (Sandel, 1996). Dalam
hal ini, praktik dan wacana yang disesalkan Linz dan Stepan sebenarnya
menyediakan sumber daya bagi mereka yang berminat mengonsolidasi dan
memperdalam demokrasi (Dryzek dan Holmes, 2002: Bab 14 dan Bab 15).
Praktik dan sikap tersebut mungkin juga
meliputi atribut-atribut warga yang disuburkan dalam kehidupan berkumpul yang,
menurut Robert Putnam (1993; 2000), adalah kunci untuk ‘membuat demokrasi
berhasil’. Bagi Putnam, orientasi warga yang dianut secara luas yang tidak
dapat direduksi menjadi kepentingan material pribadi diperlukan untuk mendukung
demokrasi negara melawan klientelisme asusila (seperti di Italia selatan) atau
individualisme yang menjadi-jadi (seperti di Arnerika Serikat dalam beberapa
dasawarsa belakangan ini).
Variasi sistem demokratis yang teramati di
negara-bangsa kontemporer yang lolos uji minimalis: masyarakat madani
libertarian dan demokrasi sosial, masyarakat madani elitis dan pluralis,
masyarakat madani presidensial dan parlementer, masyarakat madani nasionalis
dan kosmpolitan, masyarakat madani padat dan lemah. Alasan ketiga penyebab
tidak layaknya minimalisme ialah bahwa minimalisme tidak tepat untuk
demokratisasi seperti yang dipahami oleh banyak aktor politik di sistem-sistem
transisional. Aktor yang lebih idealistis seperti Vaclav Havel, Presiden
Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceska itu, melihat eksperimentasi
lanjutan dengan bentuk-bentuk demokrasi dan dialog tentangnya di pusat proyek
demokratis (Lienesch, 1992: 1012; tentang gagasan demokrasi sebagai sebuah
proyek yang belum selesai, lihat juga Downs, 1987: 146). Meski idealisme Havel
mungkin menempatkannya ke dalam golongan minoritas, minimalisme tidak berlaku
adil untuk variasi konsepsi-konsepsi yang digunakan elite politik dan rakyat
jelata di masyarakat-masyarakat ini ketika menjadi ekspektasi dan harapan
mereka untuk demokrasi (untuk bukti tentang ke-13 negara pascakomunis, lihat
Dryzek dan Holmes, 2002).
Jenis pertimbangan tersebut menyiratkan bahwa
mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata (dan terutama transisi-transisi
demokratis) seharusnya lebih sering mendengarkan teoretikus demokratis. Namun,
kebalikannyalah yang terjadi: teoretikus demokratis yang harus lebih
memerhatikan batasan dan kemungkinan di dunia nyata yang sesungguhnya dapat
dibantu jelaskan oleh ilmu sosial empiris. Contoh, Young (1992), yang menaruh
perhatian pada model demokrasi asosiatif yang diusulkan Joshua Cohen dan Joel
Rogers (1992), menghendaki tugas pertama negara ialah mengorganisasi golongan
minoritas tertindas menjadi kekuatan yang sanggup menjalankan kekuasaan riil.
Ini bukan jenis negara yang keberadaannya masuk akal untuk didalilkan, terutama
mengingat banyaknya batasan dan imperatif yang harus dipatuhi negara riil.
Garis pertahanan terakhir sang teoretikus di sini mungkin bahwa abstraksi
serupa itu diperlukan untuk mempertahankan jarak yang kritis, untuk menyajikan
cita-cita berlawanan-dengan fakta yang mengungkap cacat-cacat pada situasi
dunia nyata dalam bentuk yang sebenarnya. Tidak mungkinkah kritik yang peka
dalam arti kontekstual bisa lebih produktif? Dan bukankah wacana tentang teori
demokratis yang melulu mengacu pada dirinya sendiri dan tertutup justru menjadi
tidak demokratis dalam arti refleksif karena memisahkan diri dan mereka yang
berjuang untuk memajukan, membela, mengembangkan, dan memperdalam demokrasi?
(Pendekatan yang sangat refleksif terhadap teori demokratis akan dimulai dengan
konsepsi-konsepsi populer lentang demokrasi; lihat Dryzek dan Berejikian1
1993).
Alasan tambahan penyebab teoretikus
demokratis harus lebih memerhatikan praktik demokratis ialah, kadang-kadang
permasalahan yang menarik perhatian teoretikus demokratis sesungguhnya dapat
ditemukan solusinya di praktik politik. Contoh, David Schlosberg (1999)
mengatakan bahwa masalah keterlibatan melintasi perbedaan mendalam yang
dikenali teoretikus-teoretikus posmodem sebagai tantangan utama demokratis,
telah berhasil ditangani melalui praktik politik gerakan keadilan lingkungan di
Amerika Serikat. Dan fakta bahwa ada banyak pihak perantara menunjukkan bahwa
gap itu dapat dijembatani.
KESIM PU LAN
Ukuran
kesuksesan teori demokratis ialah sejauh mana teori itu mampu melonggarkan
cengkeraman minimalisme liberal terhadap mereka yang mendalami polilik
komparatif antara demokrasi dan demokratisasi. Ukuran kedua yang lebih menuntut
dapat dijumpai pada sejauh mana teori demokratis mampu menyumbang bagi
percakapan global tentang perkembangan demokratis, di demokrasi-demokrasi
liberal yang mapan dan ajang lintas bangsa, juga masyarakat transisional dan
demokrasi demokrasi baru. Namun, teoretikus politik demokratis, tepatnya karena
ini merupakan teori politik demokratis, dalam hal ini tidak segampang itu
meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan sebagian besar bidang lain dalam
teori politik.
0 komentar:
Posting Komentar