Selasa, 23 Mei 2017

TEORI POLITIK DEMOKRATIS JOHN S. DRYZEK DEMOKRASI YANG KELEBIHAN





TEORI POLITIK DEMOKRATIS
JOHN S. DRYZEK
DEMOKRASI YANG KELEBIHAN
Penjelasan tentang keadaan teori demokratis dapat ditulis dengan menguraikan dan menjajarkan makna dan ke-54 kata sifat ini. Daftar ini panjang; ada banyak demokrasi di dalamnya, setidaknya secara teori, dan murnkin dalam praktik.
Kategori-kategori yang diwakili dengan adjektiva tadi bukannya tidak mungkin diterapkan pada waktu yang bersamaan. Walau ada pertentangan biner yang nyata (agregatif melawan deliberatif, partisipatif melawan representatif, banyak kombinasi yang masuk akal dan memiliki pendukung serta pengkritik.
Kategoni-kategori yang diwakili oleh adjektiva tadi tidak Iengkap dalam arti kolektif. Perbincangan tentang perkembangan demokratis tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, (Ini bagus; mungkin kelangsungan perbincangan ini memang intrinsik dengan demokrasi itu sendiri, meski hanya untuk demokrasi yang dikonseptualisasik, oleh sebagian dari kategori-kategori tersebut.)
Persoalan-persoalan inilah yang menentukan perkumpulan demokratis, jumlah komunikasi tentang demokrasi. Dalam batas-batas ini ditemukam wilayah penting tempat para praktisi mengkaji apa arti kekuasaan oleh rakyat dan persamaan politis yang disiratkan di masyarakat-masyarakat komplek kontemporer yang juga menghargai kemerdekaan dan efisiensi. Mesiki senang rasanya bisa menetapkan dengan lebih tepat sejumlah masalah yang sama yang hendak diupayakan penyelesaiannya oleh teoretikus-teoretikus demokratis, juga sejumlah standar untuk membuat solusi yang pantas, saya yakin hal itu mustahil, sebab standar-standar tersebut muncul dalam proses dialog di kalangan teoretikus (dan lain-lain; dan muatannya bisa berubah seiring dengan waktu.
Kegagalan yang paling mencolok ialah lawan otoriter demokrasi yang sudah berjalan lama. Pada 1989 Robert Dahi mengorganisasi pernyataan penting tentang demokrasi dan pembelaan untuknya dengan menggunakan pengawalan pembandinga gagasan bahwa sebagian elite mengetahui apa yang terbaik untuk masyarakat sekaligus memiliki keahlian yang sesuai untuk melaksanakan program itu. Pada 2004 upaya itu tidak layak lagi. Kegagalan lain meliputi demokrasi rakyat, demokrasi di tempat kerja, demokrasi komunitas (dalam arti mobilisasi seluruh komunitas), pertanian kolektif, demokrasi yuridis Theodore Lowi (1969), dan mungkin sosialisme demokratis. Meski demikian, hanya segelintir demokrasi yang benar-benar gagal dan jumlahnya pun selalu lebih sedikit daripada kegagalan demokrasi baru, jadi, seiring waktu, teori demokrasi tidak lan adalah demokrasi itu sendiri yang menjadi semakin berbeda dan semakin kompleks.
Inilah pendekatan Giovanni Sartori, misalnya, yang menggambarkan bukunya tentang teori demokratis sebagai ‘terutama, usaha bersih-bersih rumah, tugas menyingkirkan keserampangan (dalam argumen) dan kemoratmaritan (dalam konsepsi)’ (1987:xi). Pendekatan seperti itu tidak akan cukup karena dua alasan. Pertama, sebagian dari hal yang membuat demokrasi menarik baik dalam teori maupun praktik ialah penyangsian seputar esensinya. Kedua, segala pencarian akan makna esensial demokrasi dirusak oleh historikus-historikus konseptual yang menunjuk kebetulan historis tak terelakkan yang menimpa konsep-konsep politis utama seperti demokrasi (Hanson, 1989), serta bahwa makna demokrasi itu sendini merupakan bagian dari politik pada waktu khusus dan tempat khusus.
Sejarah konseptual akan memadai untuk teori politik tentang sejarah mode gagasan. Bahkan, sejarah yang baik sekali milik Russell Hanson (1989) bermanfaat karena mengingatkan kita bahwa baru pada abad kesembilan belas demokrasi sebagai sebuah konsep tidak lagi dicerca secara universal dan mulai menarik konotasi-konotasi positif. Di Amerika Serikat, hal ini umumnya timbul sebagai akibat kepedulian populis dan Jacksonian kepada ‘Demokrasi’, maksudnya, kepada rakyat jelata melawan plutokrasi. Namun, walau perlu, sejarah konseptual tidak memadai bagi orang-orang berpandangan kritis dan evaluative yang ingin menyumbang bagi kelanjutan percakapan tentang perkembangan demokratis. Selain itu, sejarah konseptual memang tidak membekali kita untuk mengatasi variasi radikal pada suatu era (seperti masa sekarang ini), berbeda dengan perubahan lintas era. Hanson sendiri menghadapi variasi sekarang hanya dengan menyesali fakta bahwa tampaknya demokrasi telah dikosongkan dan makna, disusul dengan dalih agar mengembalikan konotasi-konotasi berkelas dan istilah tersebut (1989: 85-6).
Cara untuk mengatasi variasi ialah dengan mengisolasikan dan membandingkan model-model utama demokrasi, Contoh, inilah pendekatan yang diambil David Held (1996) dalam survei buki teks terbaik di bidang itu. Jadi, survei Held adalah bacaan penting, tetapi hanya dalam mencakup ragam pemikiran kontemporer yang menarik tentang demokrasi.
Karena ada banyak adjektiva untuk membatasi dan menerangkan demokrasi, maka ada banyak persekutuari tidak sepaham tentang apa yang bisa, harus, dan tidak seharusnya menjadi demokrasi. Selain itu, lain penjelasan tentang demokrasi lain pula pentìngnya persekutuan yang diperselisihkan.
Meski demokrasi muncul dalam banyak variasi, kini arus yang dominan dalam teori demokratis ialah arus deliberatif. Titik awal yang kedua ialah pandangan yang sangat lain terhadap demokrasi itu sendiri yang sama-sama dianut oleh sebagian besar orang yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bahkan, penggambaran variasi demokrasi dalam teori dan praktik yang saya mulai pasti mengagetkan ilmuwan politik yang mendalami politik komparatif tentang demokrasi, juga para pengamat yang lebih jurnalistik terhadap masa hidup dan zaman demokrasi sekarang ini. Bagi kelompok yang kedua ini, yang mencolok pada demokrasi kontemporer bukanlah variasinya, melainkan keseragamannya. Berlalunya Soviet sebagai alternatif dan sirnanya sosialisme demokratis di Barat dalam waktu yang bersamaan mengisyaratkan kepada kelompok ini akan adanya kemenangan global model demokrasi liberal, elektoralis, elitis, kapitalis, dan minimalis yang jelas makna dan intensinya.
Model kapitalis liberal ini mencakup banyak sekali hal yang penting tentang demokrasi di dunia nyata. Yang harus diutamakan ialah rnemisahkan hubungan antara demokrasi deliberatif dan model liberal minimalis yang digunakan Kaum Komparativis.
PERALIHAN KE ARAH DELIBERATIF
Peralihan ke arah deliberatif terjadi di dalam teori demokratis pada awal 1990-an. Namun, sebelum itu sudah ada pendahulunnya, dan Aristoteles dan polis Athena. Kaum Konservatif seperti Edmund Burke (menurutnya deliberasi berkonotasi dengan pemikiran masak yang berlawanan dengan tindakan tergesa-gesa), juga kaum liberal seperti John Stuart Mill dan John Dewey (untuk sejarah yang bagus, lihat pengantar untuk Bohman dan Rehg, 1997). Bila dilihat ke masa lampau, ‘demokrasi kuat’ Benjamin Barber (1984) terlihat sebagai jembatan antara demokrasi paritisipatif dan demokrasi deliberatif, mengingat penekanannya pada ‘pembicaraan demokratis yang kuat’. Namun, sebelum 1990, para teoretiKus pada umumnya menginterpretasikan demokrasi dalam hubungannya dengan agregasi kepentingan atau preferensi anggota demi melalui mekanisme seperti pemungutan suara dan perwakilan yang menghasilkan keputusan-keputusan kolektif.
Keputusan itu sendiri harus dijustifikasi oleh orang-orang tersebut dalam hal-hal yang, berdasarkan pemikiran masa), bisa mereka terima. Dalam arti yang lebih formal, deliberasi mengandung aspek argumentatif, informasional, dalam (reflective), dan sosial yang terakhir ini mengacu pada kesetiakawanan yang lahir di kalangan para peserta deliberasi. Aspek dalam (reflective) berarti bahwa preferensi, keputusan, dan pandangan yang dianggap sudah tetap pada model-model agregatif dianggap mudah berubah dalam deliberasi.
Mengingat begitu banyak teoretikus demokratis yang kini mengibarkan bendera deliberatif, juga mazhab pemikiran mereka yang menurut sejarah berbeda-beda (konservatisme, liberalisme, dan teori kritis) seharusnya ada banyak sekali variasi di kalangan Demokrat deliberative. Baik atau buruk, demokrasi deliberatif terutama dibaurkan dengan konstitusionalisme liberal, yang dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan menyelesaikan perbedaan di antara kepentingan-kepentingan yang lebih dulu ditetapkan sebelum interaksi politis dibawah kumpulan aturan dan hak netral.
Pembauran terjadi dalam tiga cara (lihat Dryzek, 2000: 10-17). Pertama, komitmen kepada prinsip-prinsip deliberatif dapat digunakan untuk menjustifikasi sebagian (tetapi tidak semua) hak yang sudah lama dijunjung tinggi oleh Kaum liberal. Argumen ini berlaku dengan paling lugas untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul, juga, dengan sedikit lebih meluas, untuk kebebasan beragama dan persamaan politik (Cohen, 1996). Kedua, konstitusi-konstitusi liberal dapat diinterpretasikan sebagai alat yang memajukan deliberasi. Ketiga, pembuatan konstitusi dapat dilihat sebagai proses deliberatif dalam arti kuintesens, dituntun oleh nalar publik yang tidak memihak, meskipun politik normal di bawah konstitusi adalah agregatif, strategis, dan dikendalikan kepentingan-kepentingan yang memihak. Teoretikus deliberatif yang mengutamakan pembuatan konstitutsi meliputi Bruce Ackerman (1991), David Estlund (1993), dan Rawls (1993) (yang juga menghendaki deliberasi bertuntun nalar publik untuk membicarakan perkara-perkara ‘keadilan dasar’). Ranah publik sendiri dilihat dalam istilah yang kurang memberontak daripada argumen untuk Habermas yang dulu (contoh, 1989), dan tidak ada pengakuan akan kebutuhan apa pun untuk mendemokrasi perekonomian, negara administratif, atau sistem hukum, yang semuanya menerima legitimasi dengan mudah.
Sebagian liberal deliberatif bukan demokratis dalam arti khusus. Terutama Rawis, pada akhirnya ingin memercayakan deliberasi kepada para pakar dalam nalar publik seperti hakim-hakim Mahkamah Agung, yang hanya harus mendeliberasi dalam arti personal kata itu, yang berbeda dari arti interaktifnya (lihat Goodin, 2000, untuk pembelaan eksplisit deliberasi personal yang berbeda dan deliberasi interaktif). Hal ini dibenarkan karena Rawis memercayai nalar publik itu bersifat kesatuan, dapat dimengerti dalam istilah-istilah yang sama oleh semua individu yang berpikir, sehingga paling dimengerti oleh individu (individu) yang paling memenuhi syarat. Konstitusionalisme liberal menegaskan hal yang tak pelak merupakan lokasi pentingnegara, tetapi yang mungkin semakin dibatasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi yang menentukan isi kebijakan publik.
Para Pengkritik Deliberasi
Demokrasi deliberatif punya tiga kelompok pengkritik, yang di luar itu tak memiiki kesamaan sedikit pun: teoretikus pilihan sosial, Demokrat perbedaan, dan Egalitarian skeptis.
Penjelasan pilihan sosial tentang demokrasi memperoleh pengaruhnya dan demonstrasi Kenneth Arrow (1951) tentang kemustahilan segala bentuk mekanisme pilihan kolektif, misalnya, sistem pemungutan suara, yang secara bersamaan juga mewujudkan kumpulan kondisi yang tidak berbahaya (suara bulat, tanpa pemerintahan diktator, ketransitifan, domain preferensi tanpa batas, dan kebebasan dan alternatif-alternatif yang tak relevan). Mengingat bahwa lain mekanisme lain pula hasil yang akan diberikan dan distribusi prelerensi yang identik, maka tidak ada yang namanya kehendak rakyat yang bebas dari mekanisme yang memastikannya. Akibatnya demokrasi dikosongkan dan makna nya.
Lapangan pilihan publik yang terbentuk oleh keduanya menjadi rumah bagi banyak pertunjukan kesewenang-wenangan, kepincangan, kedegilan, dan pemubaziran dalam politik demokratis. Selain Riker yang mengungkapkan kekosongan di pusat demokrasi, teoretikus-teoretikus pilihan publik mengemukakan bahwa:
·         Dalam sistem politik sebesar apa pun, pemungutan suara adalah irasional.
·         Aturan mayoritas mengakibatkan pemerasan Pareto-suboptimal terhadap golongan-golongan minoritas.
·         Wakil-wakil terpilih yang mementingkan kepentingan sendiri paling-paling membuat program-program yang menguntungkan konstituennya sendiri dengan mengorbankan kepentingan umum, yang terburuk dengan sengaja merancang program-program yang tak kepalang tanggung buruknya sampai-sampai campur tangan mereka sendiri dibutuhkan agar keuntungan dihasilkan.
·         Besarnya belanja negara pada umumnya merupakan konsekuensi birokrat-birokrat egois yang memaksimumkan anggaran. Para birokrat bersekongkol dengan kelompok kepentingan khusus dan politikus-poiltikus pendukungnya untuk mengalihkan sumber daya negara bagi keuntungan mereka sendiri.
·         Secara umum, ‘koalisi distribusional’ seperti serikat pekerja dan pemberi pekerjaan menjamin hukum dan kebijakan agar melindungi hak-hak istimewa mereka sendiri dengan mengorbankan efisiensi ekonomis.
·         Politik demokratis tidak bertanggung jawab dalam arti intrinsic sebab semua aktornya mencari keuntungari untuk diri sendiri sambil menimpakan kerugian pada orang lain; akibatnya ialah permainan jumlah-negatif dengan harga total melebihi manfaat total.
Semakin banyak uraian pilihan rasional yang sangat matematis tentang politik rasional yang dijumpai di (misalnya) halaman-halaman American Political Science Review memiliki agenda politis yang kurang nyata.
Lalu, apa yang tersisa dari pilihan publik sebagai teori demokratîs? Jawabannya, pilihan publik menyediakan sejumlah peringatan tentang akan jadi seperti apa politik demokratis nantinya bila aktor-aktor politik berlaku dengan gaya Homo economicus, dan jika tidak ada mekanisme untuk mengekang kecenderungan-kecenderungan perilaku ini dan segenap konsekuensinya. Demokrasi deliberatif menyediakan baik paradigma komunikatif keperseorangan (personhood) maupun mekanisme-mekanisme untuk mengendalikan Nomo economicus berikut segenap interaksinya ini (alternatif nondeliberatif dapat dijumpai di dalam gagasan Shepsie pada 1979 tentang ekuilibrium yang dipicustruktur).
Demokrat deliberatif dapat menjawab bahwa ada mekanisme yang intrinsik dengan deliberasi yang bertindak menyusun preferensi dengan cara-cara yang menyelesaikan permasalahan pilihan sosia! (Dryzek dan List, 2003). Meski pengkritik pilihan sosial terhadap demokrasi mengkhawatirkan keanekaragaman tak terkendali yang dapat digiatkan deliberasi. Pada taraf yang lebih besar atau lebih kecil. Demokrat perbedaan mendapat pengaruh dan teori posmodern tentang identitas dan perbedaan.. yang meyakini esensi demokrasi dilihat dalam hubungannya dengan perjumpaan kreatif dengan orang-orang yang beridentitas lain (contoh. Connolly, 1991). Namun, Demokrat perbedaan mempermasalahkan komunikasi dan mencela bentuk-bentuk komunikasi yang dianggap netral yang ditegaskan. ‘Demokrasi komunikatif’ Young akan menonjolkan salam, retorika, dan bercerita (atau kesaksian, atau narasi) juga argumen bentuk-bentuk komunikasi yang diyakininya lebih terjangkau oleh golongan minoritas yang tak diuntungkan. Hal ini mengingatkan pada advokasi Young sebelumnya (1990) tentang perwakilan terjamin dan kekuasaan veto atas kebijakan-kebijakan yang memengaruhi kebijakan bagi golongan yang tidak diuntungkan.
Malahan trio itu harus ditampilkan untuk menghadapi uji tanpa paksaan, kapasitas untuk merangsang pemikiran masak, dan kemampuan untuk menghubungkan yang partikular dan yang general (Dryzek. 2000: 6-—71).
Kelompok pengkritik deliberasi ketiga yang saya namakan Kaum Egalitarian skeptis mendukung penjelasan demokrasì yang lebih tradisional terhadap perubahan ke arah deliberatif. Dalam hal ini, mereka yang berkepentingan untuk memperbaiki mutu demokrasi harus mengupayakan penyamaan kekuasaan; di sinii, isu-isu demokrasi dihubungkan dengan keadilan distributif. Goodin (2000) rnenerangkan bahwa deliberasi adalah aktivitas yang tak pemah dalam arti realistis melibatkan lebih dan segelintir orang. Saward (2000) percaya bahwa pertimbangan-pertimbangan seperti itu berarti bahwa karenanya Kaum Egalitarian harus menolak kecendeungan aristokratis deliberasi yang pasti mengecualikan mereka yang berpreferensi non deliberatif; dalam hal ini, memperluas demokrasi dengan gaya yang lebih langsung (contoh, dengan memperbanyak penggunaan referendum) akan jauh lebih baik.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh Demokrat deliberative guna menanggapi tuduhan Kaum Skeptik bahwa deliberasi hanya akan menjadi aktivitas elite. Dalam jajak pendapat deliberatif Fishkin (1995), para peserta sebuah forum deliberatif dipìlih secara acak dan populasi, dan pada akhir proses mengisi kuesioner. Jun-jun warga juga direkrut dengan pemilihan acak, tetapi pada akhir proses menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dibuat dan disepakati oleh para anggota jun. bukan kuesioner (Smith dan Wales, 2000). Fishkin menyatakan bahwa jajak pendapat deliberatif menggarnbarkan sepenti apa pendapat umum kelak bila semua orang mampu melakukan deliberasi; hat yang sama dapat dikatakan untuk jun-jun warga. Atau, Kaum Demokrat deliberatif dapat membeni Kesempatan agar deliberasi bisa hidup bersama-sama dengan aneka ragam mekanisme untuk mencapai keputusan yang mengikat, yang terjadi saat mereka memberikan suara mclalui referendum, pemilihan umum, atau lembaga legislatif, keputusan pengadilan, konsensus di kalangan para stakcholdcr pada suatu ¡su, atau bahkan fiat administratif. Dalam arti lehih rad ¡ka!, mereka mungkin memikirkan cara-cara ketika persaingan deliberatif wacana di ranah publik mampu memberikan hasil kolektif tak hanya metalui pengaruh tak langsungnya terhadap kebijakan publik, tetapi juga melalui perubahan budaya dan tindakan paragovemmental (Dryzek, 2000).
Sebelum meninggalkan peralihan ke arah deliberatif dan para pengkritiknya, satu lagi argumen menentang deliberasi yang mungkin perlu dipertimbangkan. Keputusan-keputusan seperti itu mungkin mencakup ketidaksepalcatan penihal (misalnya) apa yang menjadi kebaikan bersama. Jadi, tidak boleh ada faksi (yang mengurangi jumlah efektif pemilih), dan mungkin tidak boleh ada komunikasi. Setidaknya, irtilah pandangan Rousseau sendiri: deliberasi hanya menjadi persoalan pemikiran masak internal saja, bukan komunikasi. Namun, seperti diterangkan Robert Goodin (2002: 125) dan lain-lainnya, diskusi itu boleh saja asalkan orang kemudian melaksanakart keputusan mandiri mereka sendiri saat memberikan suara. Kemudian, Good in menyangsikan suatu demokrasi epistemik yang berpangkal dan Rousseau dan teorema jun derigan menunjukkan bahwa dalam konteks dinamis, implikasinya ialah bahwa golongan minoritas hams dengan segera dan secara rasional menghentika perlawanan mereka jika ditentang suara mayoritas. Baik atau buruk, pendekatan deliberatif menetapkan agenda untuk teori demokrasi kontemporer. Namun, jelas masih ada banyak sekali yang perlu diperdebatkan, baik di kalangan rnereka yang sama-sama menganut onientasi deliberatif maupun mereka yang menolaknya. Meski demikian, ada sarjana-sarjana demokrasi yang masih belum tersentuh oleh pendekatan deliberatif, dan kepada merekalah saya akan beralih kini.
MINIMALISME LIBERAL DAN ALTERNATIF-ALTERNATIFNYA
Model demokrasi paling populer di kalangan sarjana politik komparatif, terutama mereka di lapangan transisi dan konsolidasi demokratis yang sedang berkembang, Harapan mereka dan demokrasi jauh lebih sedikit daripada harapan Demokrat deliberatif. Model ini pada dasarnya pernah diusulkan lama berselang oleh Schumpeter (1942): demokrasi hanyalah persaingan di kalangan elite yang memperebutkan persetujuan rakyat yang memberikan hak untuk memerintah. Pada 1950-an gagasan ini menjadi fondasi untuk teori-teori ‘empiris tentang demokrasi yang puas dengan peran apatis massa yang bodoh dan mungkin otoriter (Berelson, 1952; Sartori 1962). Namun, model-model itu masìh hidup di kalangan transitolog dan kondisiolog, yang melihat tanda suatu demokrasi terkonsolidasi sebagai kumpulan pihak berkelakuan baik yang mewakili kepentingan-kepentingan material yang terlibat dalam persaingan pemilihan yang diatur dengan aturan konstitusional (lihat, contohnya, Di Palma, 1990; Huntington, 1991; Mueller, 1996; Schedler, 1998). Warganegara yang aktif tidak punya peran dalam model-model tersebut. Apa yang menyebabkan kepopuleran model elektoralis minimalis ini? Sebagian karena model ini memberikan pengaruh analitis kuat bagi mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata. Bagi sarjana-sarjana demikian, karakter demokrasi yang dapat disangsikan di dalam teori politik itu adalah suatu nuansa ketika tiba waktunya menemukan indikator-indikator empiris guna membandingkan negeri-negeri yang berbeda dan menelusuri transisi dan konsolidasi demokratis di negeri-negeri khusus.
Barangkali penyebab yang lebih utama untuk kepopuleran mininialisme liberal itu ialah keselarasannya dengan perkembangan yang menyaksikan marketisasi kapitalis dan demokratisasi bergerak bersama-sama. Sejak pertengahan 1970-an, adopsi sistem demokratis liberal oleh semakin banyak negara berlangsung seiring sejalan dengan ekspansi global kapitalisme. Tentu sudah lama menjadi perhatian bahwa ada korelasi antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Penyebab tepati keberadaan korelasi tersebut masih menjadi bahan perdebatan. Bupset (1959), penyebabnya adalah persoalan kapitalisme yang menghasilkan suatu kelas menengah yang memiliki segenap kebajikan demokratis kanan, yaitu, tenggang rasa dan sikap moderat. Bagi Rueschemeyer Stephens, dan Stephens (1992), jawabannya justru terletak pada fakta bahwa kapitalisme menghasilkan suatu kelas pekerja dengan kepetingan khusus pada redistribusi yang dimajukan oleh waralaba univsal efektif. Bagi Adam Przeworski et al. (2000), bukan kapitalisme yang menyebabkan demokrasi, sebab negara-negara bisa menjadi demokratis pada segala tingkat pembangunan. Namun, kapitalisme menghasilkan kekayaan yang nantinya menyediakan perlindungan terhadap tergulingnya demokrasi.
Seperti dikatakan Lindblom (1982) di antara yang lain, konteks pasar kapitalis secara otomatis menghukum pemerintah yang mengejar kebijakan yang meruntuhkan kepercayaan investor atau calon investor karena menyebabkan divestasi dan pelarian modal. Akibatnya, terlalu banyak demokrasi negara berarti ketidaktentuan yang membahayakan dalam kebijakan publik (Dryzek, 1996). Mungkin arti demokrasi bukan lagi ‘negara tempe rakyat papa, yang memegang kekuasaan, dapat membunuh sebagian dan membuang yang lain, kemudian membagi-bagi jabatan di antara warga yang tersisa, biasanya dengan menarik indian’, seperti define B Plato untuk negara di dalam Republik. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa terlalu banyak demokrasi mungkin akan mengurangi ketidaksamaan yang mendasari terciptanya kekayaan efektif, karena itu, tampaknya model minimalis cocok dengan cara yang khas dengan ekononi politik kapitalis liberal kontemporer.
Kombinasi kapitalisme dan demokrasi minimalis liberal ini barang kali memperoleh ulasan yang paling positif (dan sedikit Hegel) dalam, triumfalisme ‘akhir sejarah’ Francis Fukuyama (1989; 1992). Sartori ingin menyudahi urusan dengan para pengkritik: ‘pemenangnya ialah demokrasi yang liberal secara keseluruhan, bukan hanya pemerintah yang dipilih oleh rakyat terbanyak, tetapi juga, dan secara tak terpisahkan, pemerintah konstitusional; maksudnya, “demokrasi formal” yang mengendalikan penggunaan kekuasaan, yang sampai saat itu sering diremehkan’ (1991: 437).
Sikap lebih kritis yang cenderung diambil teoretikus demokrasi menyoroti batasan-batasan atas demokrasi yang disebabkan oleh dominansi global demokrasi liberal minimalis ditambah kapitalisme ini. Sebagian dan respons tersebut mungkin mencakup penguatan dan demokratisasi lembaga-lembaga internasional sebagai respons terhadap migrasi kekuatan politik dan negara ke ekonomi politik lintas bangsa. Inilah, contoh, pendekatan yang diambil oleh Held dan sesama penganjur suatu demokrasi kosmopolitan yang mencakup Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum PBB yang lebih kuat, referendum lintas-negara, dan otoritas peradilan, otoritas militer, dan otoritas ekonomi internasional yang bertanggung jawab terhadap badan parlementer regional dan global (Held, 1995; Archibugi. Held dan Köhler, 1998). Atau, jika demokrasi negara hanya bisa minimalis, teoretikus dapat menjelajahi lokasi-lokasi nonnegara untuk mencari demokrasi.
Namun, pembelaan Riker gagal karena analisisnya sendiri menunjukkan bahwa tidak ada kehendak dan para pemilih yang bebas dari mekanisme yang dianggap mengukurnya dan hal ini harus mencakup kehendak untuk memakzulkan para tiran atau yang tidak cakap (Coleman dan Ferejohn, 1986: 22).
Teori dan Praktik Demokrasi
Penerimaan terhadap model minimalis akan membuat sebagian besar teori demokratis tidak diperlukan lagi. Namun, minimalisme sendiri gagal karena alasan-alasan berikut ini. Teoretikus demokratis berada pada posisi yang sangat baik untuk menyoroti kegagalan-kegagalan tersebut dan memindahkan percakapan di luar kegagalan-kegagalan itu.
Pertama, minimalisme membolehkan bentuk-bentuk demokrasi yang sangat lemah, sampai-sampai nyaris tak pantas menyandang sebutan ‘demokratis’. Contoh, hal yang disebut demokrasi delegatif oleh Gullermo O’Donnel (1994) ternyata lolos uji minimalis. Menurut demokrasi delegatif, yang terutama dijumpai di Amerika Latin, tetapi
juga di negara-negara pascakomunis, para pemimpin tunduk kepada pemilihan regular, tetapi selain itu juga memerintah tanpa akuntabilitas, tanpa pengertian apa pun bahwa janji-janji semasa pemilihan perlu diingat, dan tanpa batasan konstitusional (kecuali tentu saja batasan yang menetapkan pemilihan bebas regular). Demokrasi delegatif sama sekali tidak rnenghiraukan hal yang oleh Philip Pettit (1999) dinamakan aspek penyangsian demokrasi, yang berlawanan dengan aspek elektoralnya. Berdasarkan aspek ini, jaminan akan kebebasan (didefinisikan sebagai nondominasi) ialah kesanggupan warga untuk menyangsikan isi ke putusan-keputusan kolektif di bawah ketentuan-ketentuan yang jujur, baik melalui akses ke pengadilan, lembaga legislatif, atau tinjauan adminisiratif.
Kedua, minimalisme tidak peka terhadap variasi bentuk-bentuk yang dapat diambil demokrasi dalam praktik juga dalam teori, menyebabkan salah interpretasi atas peristiwa dan perkembangan, serta mengurangi pengaruh analitis yang merupakan salah satu justifikasi utama minimalisme. Contoh, dalam pengaruh suatu model liberal untuk demokrasi, Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) mencemaskan demokrasi di Polandia dan Republik Ceska pascakomunis dikarenakan warisan jenis politik yang mencirikan masyarakat madani mereka yang tak menguntungkan di era Soviet: ‘Masyarakat madani etis menggambarkan “kebenaran”, tetapi masyarakat politis pada suatu demokrasi terkonsolidasí normalnya menggambarkan “kepentingan-kepentingan”’ (1996: 272). Namun, jenìs politik yang mereka cela tak hanya selaras dengan searah republik yang lebih dalam pada kedua negeri ini (kembali ke abad ke-18 di Polandia), tetapi juga selaras dengan teori politik republik warga kontemporer (Sandel, 1996). Dalam hal ini, praktik dan wacana yang disesalkan Linz dan Stepan sebenarnya menyediakan sumber daya bagi mereka yang berminat mengonsolidasi dan memperdalam demokrasi (Dryzek dan Holmes, 2002: Bab 14 dan Bab 15).
Praktik dan sikap tersebut mungkin juga meliputi atribut-atribut warga yang disuburkan dalam kehidupan berkumpul yang, menurut Robert Putnam (1993; 2000), adalah kunci untuk ‘membuat demokrasi berhasil’. Bagi Putnam, orientasi warga yang dianut secara luas yang tidak dapat direduksi menjadi kepentingan material pribadi diperlukan untuk mendukung demokrasi negara melawan klientelisme asusila (seperti di Italia selatan) atau individualisme yang menjadi-jadi (seperti di Arnerika Serikat dalam beberapa dasawarsa belakangan ini).
Variasi sistem demokratis yang teramati di negara-bangsa kontemporer yang lolos uji minimalis: masyarakat madani libertarian dan demokrasi sosial, masyarakat madani elitis dan pluralis, masyarakat madani presidensial dan parlementer, masyarakat madani nasionalis dan kosmpolitan, masyarakat madani padat dan lemah. Alasan ketiga penyebab tidak layaknya minimalisme ialah bahwa minimalisme tidak tepat untuk demokratisasi seperti yang dipahami oleh banyak aktor politik di sistem-sistem transisional. Aktor yang lebih idealistis seperti Vaclav Havel, Presiden Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceska itu, melihat eksperimentasi lanjutan dengan bentuk-bentuk demokrasi dan dialog tentangnya di pusat proyek demokratis (Lienesch, 1992: 1012; tentang gagasan demokrasi sebagai sebuah proyek yang belum selesai, lihat juga Downs, 1987: 146). Meski idealisme Havel mungkin menempatkannya ke dalam golongan minoritas, minimalisme tidak berlaku adil untuk variasi konsepsi-konsepsi yang digunakan elite politik dan rakyat jelata di masyarakat-masyarakat ini ketika menjadi ekspektasi dan harapan mereka untuk demokrasi (untuk bukti tentang ke-13 negara pascakomunis, lihat Dryzek dan Holmes, 2002).
Jenis pertimbangan tersebut menyiratkan bahwa mereka yang mendalami demokrasi di dunia nyata (dan terutama transisi-transisi demokratis) seharusnya lebih sering mendengarkan teoretikus demokratis. Namun, kebalikannyalah yang terjadi: teoretikus demokratis yang harus lebih memerhatikan batasan dan kemungkinan di dunia nyata yang sesungguhnya dapat dibantu jelaskan oleh ilmu sosial empiris. Contoh, Young (1992), yang menaruh perhatian pada model demokrasi asosiatif yang diusulkan Joshua Cohen dan Joel Rogers (1992), menghendaki tugas pertama negara ialah mengorganisasi golongan minoritas tertindas menjadi kekuatan yang sanggup menjalankan kekuasaan riil. Ini bukan jenis negara yang keberadaannya masuk akal untuk didalilkan, terutama mengingat banyaknya batasan dan imperatif yang harus dipatuhi negara riil. Garis pertahanan terakhir sang teoretikus di sini mungkin bahwa abstraksi serupa itu diperlukan untuk mempertahankan jarak yang kritis, untuk menyajikan cita-cita berlawanan-dengan fakta yang mengungkap cacat-cacat pada situasi dunia nyata dalam bentuk yang sebenarnya. Tidak mungkinkah kritik yang peka dalam arti kontekstual bisa lebih produktif? Dan bukankah wacana tentang teori demokratis yang melulu mengacu pada dirinya sendiri dan tertutup justru menjadi tidak demokratis dalam arti refleksif karena memisahkan diri dan mereka yang berjuang untuk memajukan, membela, mengembangkan, dan memperdalam demokrasi? (Pendekatan yang sangat refleksif terhadap teori demokratis akan dimulai dengan konsepsi-konsepsi populer lentang demokrasi; lihat Dryzek dan Berejikian1 1993).
Alasan tambahan penyebab teoretikus demokratis harus lebih memerhatikan praktik demokratis ialah, kadang-kadang permasalahan yang menarik perhatian teoretikus demokratis sesungguhnya dapat ditemukan solusinya di praktik politik. Contoh, David Schlosberg (1999) mengatakan bahwa masalah keterlibatan melintasi perbedaan mendalam yang dikenali teoretikus-teoretikus posmodem sebagai tantangan utama demokratis, telah berhasil ditangani melalui praktik politik gerakan keadilan lingkungan di Amerika Serikat. Dan fakta bahwa ada banyak pihak perantara menunjukkan bahwa gap itu dapat dijembatani.
KESIM PU LAN
Ukuran kesuksesan teori demokratis ialah sejauh mana teori itu mampu melonggarkan cengkeraman minimalisme liberal terhadap mereka yang mendalami polilik komparatif antara demokrasi dan demokratisasi. Ukuran kedua yang lebih menuntut dapat dijumpai pada sejauh mana teori demokratis mampu menyumbang bagi percakapan global tentang perkembangan demokratis, di demokrasi-demokrasi liberal yang mapan dan ajang lintas bangsa, juga masyarakat transisional dan demokrasi demokrasi baru. Namun, teoretikus politik demokratis, tepatnya karena ini merupakan teori politik demokratis, dalam hal ini tidak segampang itu meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan sebagian besar bidang lain dalam teori politik.






0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More