Selasa, 23 Mei 2017

Resume BAB III. Keadaan Politik Dewasa ini



BAB 3
KEADAAN POLITIK DEWASA INI:
MENURUN ATAUKAH TIMBUL KEMBALI

Walaupun dalam perjalanan sejarahnya filsafat politik menempati kedudukan yang penting, tapi tradisi yang memungk inkan lahirnya karya-karya para filsuf yang terkenal boleh dikatakan hampir berakhir. Dayid Easton, Alfred Cobban dan sejumlah penulis kontemporer lainnya berpendapat bahwa teori politik, yang bagi mereka termasuk pula filsafat politik, kini tengah mengalami kemerosotan yang tajam. Kalau mereka hanya bicara tentang “kemerosotan”, yang lain lebih bicara tentang posisinya yang terpojok,atau sudah “mati” kata Peter Laslett dan Robert A, DahI. Bahkan di Oxford, tempat asal teori politik klasik, pernyataan bahwa teori politik telah mati atau sedang melaju mundur bukanlah barang baru. Untuk mendukung penilaian tersebut mereka menyatakan bahwa sejak Marx dan Mill (dan barangkali juga Laski) kini sudah tidak ada lagi filsuf politik yang menonjol. Dalam menjelaskan gejala tersebut. Easton mengemukakan bahwa umumnya gagasan-gagasan politik itu lahir dan berkembang pada saat terjadi perubahan atau pergolakan sosial. Hal ini terbukti dan kemunculan karya-karya mereka saat itu. Ketika terjadi pergolakan sosial di Yunani Kuno, ketika terjadi kekacauan sebagai akibat sengketa agama dan politik padaabad ke-16 dan ke-17 di Inggris, dan ketika gagasan-gagasan politik melahirkan revolusi besar di Perancis pada abad ke-18, saat itulah karya-karya dari para filsuf besar itu lahir, Lebih lanjut Easton menegaskan bahwahal itu kembali berulang ketika pada pertengahan abad ke-20 terjadi perubahan budaya yang mendasar dan konflik sosial yang meluas di beberapa bagian dunia, meski pada bagian dunia lainnya pemikiran politik itu tidak berkembang secara berarti. Tahun 1951 sekali lagi ini menegaskan bahwa pemikiran politik yang ada saat ini lebih banyak berpijak pada gagasan-gagasan lama, dan sialnya upaya untuk mengembangkan sintesa-sintesa politik baru amatlah kecil. Parahnya lagi, landasan untuk bisa memunculkan fikiran kreatif tidak dipersiapkan, Melihat kenyataan inilahsejumlah penulis telah mencoha mencari tahu penyebabnya.

KEMEROSOTAN TEORI POLITIK: SEBAB-SEBAB UTAMA
Easton menyebut “kemiskinan”, “kemiskinan” dan “kemerosotan teoripolitik” itu sebagai akibat langsung dan pernyataan para ilmuan politik kontemporer yang: (a) hidup secara parasit dari gagasan-gagasan yang telah usang dan (b) gagal mengembangkan suatu sintesa politik baru, Menurutnya mereka terlalu sibuk dengan analisa pemikiran politik abad-abad sebelumnya disamping dalam menelusuri falsafah politik individu dan Iingkungan hidup yang melingkupi pemikir tersebut,ini mungkin merupakan kerja istimewa dalam menemukan fakta historis, tetapi menurut Easton analis: historis semacam ini merupakan penyebab utama hancurnya aktivitas mental yang hidup dalam peradaban tinggi dan yang muncul dari kebutuhan manusia yang universal. Dengan kata lain, pada waktu-waktu belakangan ini para ilmuwan politik lebih suka memusatkan perhatiannya pada hubungan nilai dan lingkungan yang melahirkannya ketimbang pada upaya untuk mencoba menciptakan konsep nilai yang baru yang dapat mendukung kebutuhan mereka. Tidak heran kalau tenaga dan fikirannya tidak lagi banyak tercurah pada tugas tradisionalnya untuk merumuskan kembati pokok nilai (content of values) di setiap masa, atau dalam pengembangan teori yang sistematis tentang perilaku politik dan bekerjanya lembaga-lembaga politik, suatu tugas yang oleh para ahli ekonomi dan sosiologi telah dikerjakan dengan baik. Mereka teIah berusaha memberikan koherensi dari kesatuan pada riset-riset empiris dengan membangun teori-teori umum, yang justru diabaikan oleh ilmuwan politik. Dalam hal ini Easton sendiri tidak melulu menyorot kesalahan yang ada pada teori politik modern, melainkan juga pada keseluruhan teori politik yang telah berkembang hingga kini. Menurutnya, suatu teori tidak hanya menanganinilai tetapi juga fakta, karena itulah suatu teori perlu mensistematisikan dasar-dasar empirisnya. Kegagalan teori politik untuk melakukan tugas itulah yang dikeluhkan Easton.Teoripolitik ternyata lebib bersifat spekulatif dan kurang berlandaskan pada observasi yang seksama terhadap peristiwa politik,kontemporer dan pengetahuan tentang sejarah manusia. Manusia tak hanya tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa lalu, tapi juga ingin menyaksikan apa yang akan terjadi pada masa mendatang,inimenyangkut pernyataan-pernyataan yang berorientasi pada nilai (value oriented), atauyang disebut Easton sebagai suatu ‘teorinilai” (value theory), Berbedadengan penganut mazhab “perilaku” yang lain, Easton bukanlah orang yang tidak setuju dengan teorinilai, sekalipun seperti juga yang lain lebihmementingkan teori kausal. Ia memandang teorinilai, yang dalam tulisan-tulisan politik kinicenderung ditinggalkan, bukanlah tidak penting,’

“HISTORISISME
Easton tampaknya begitu berang terhadap Dunning, Sabine Melllwaindan Lindsay, yang begitu banyak nenghabiskan waktunya untuk menelaahgagasan-gagasan politik masa lalu. Para penulis ini kurang tertarik untukmenghubungkan informasi tentang arti, konsistensi dan perkembangankesejarahan nilai-nilai politik baik yang kontemporer atau yang telahlampau. Easton membagi ahli politik masa kini ke dalam empat kategori:
1.    Penganut faham kelembagaan, seperti Carlyle dan Melliwain yang tampaknya lebih tertarik untuk menelusuri asal-usul gagasan dansudutpandang bahwa gagasan itu telah memberi rasionalisasi padakepentingan-kepentingan politik dan pengembangan kelembagaandaripada menentukan bagaimana gagasan tersebut mempengaruhiperistiwa-peristiwa masa kini.
2.    Interaksionis, seperti Allen dan kadang-kadang Carlyle, yang mencobamenguraikan interaksi antara gagasan dan lembaga yang memberikanpengaruh besar terhadap proses perubahan sosial pada setiap negara.
3.    Materialis, termasuk Dunning, Sabine dan banyak lagi sarjana yang lain,yang menelaah teori politik untuk menemukan dan mengungkapkanlatar-belakang budaya dan sejarah yang mempengaruhi pemikiranpolitik pada masa tertentu, Para penulis yang mewakili mayoritas inimencoba memahami ideologi dalam pengertian matriks budayakeseluruhan.
4.    Kelompok keempat diwakili oleh Lindsay, yang lebih tertarik pada nilai-nilai kontemporer tertentu seperti demokrasi, dan senang menelusuri perkembangan sejarah ya, dengan tujuan menentukan banyaknya dukungan sejarah pada nilai tersebut. Mereka nampaknya percaya bahwa nilai-nilai yang telah diuji oleh waktu berhak untuk mendapat pengakuan.
Easton memandang semua penulis kontemporer tersebut sebagaihistoricit, muksudnya adalah bahwa “mereka tidak menggunakan sejarahnilaisebagai alat untuk merangsang fikiran mereka guna mencari kemungkinan mendalilkan kembali tujuan-tujuan politik”, melainkan untuk memahami kondisi yang telah menimbulkan ideologi sistem atau nilai tertentu. Ini merupakan tugas utamanya para sejarawan, bukan ilmuwan politik. Selama lebih dari dua ribu tahun, sejak kaum Sophist dan Socrates hinggaHegel dan Marx, para pemikir politik telah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan telah mencoba menjawabnya denganmaksud untuk menetapkan nilai-nilai tertentu bagi masyarakat. Baru padaabad kedua puluh, Easton menyayangkan bahwa pemikir politik telahmengambil alih peranan ahil sejarah dan menolak mengatasi masalah-masalah sosial atau berusaha mencari pemecahannya. Penulis seperli Dewey,Barker, Croce, dan Laski merupakan kekecualian, tapi mayoritas penulisilmu politik abad kedua puluh berpatokan pada pendekatan historis”, danhal inilah yang menurut Easton lebh “berhasil menghancurkan teorinilai”.
“RELATIVISME MORAL”
Easton cenderung berpendapat bahwa kemerosotan teori politikdisebabkan juga oleh tumbuhnya sikap nisbi terhadap nilaiyangdisebutnya sebagai “relativisme moral’seperti yang muncul dalam tulisan-tulisan Hume dan terkristalisasi dalam ilmu sosial abad/ke-20 oleh Max Weber, Bermula dengan Hume dan berakhir dengan Comte sertaMarx, usaha untuk memisahkan nilai dan fakta itu dilakukan. Menurut mereka nilai merupakan cormin kecenderungan individu atau kelompok,dan kecenderungan tersebut menjadi cermin pengalaman hidupnyamasing-masing. Kalau nilai semata merupakan cermin kecenderungan individu atau kelompok, maka yang perlu dilakukan oleh seorang peneliti adalah menghubungkannya dengan kondisi politik, sosial dan ekonomidalam masyarakat.Nilai, berdasarkan pandangan di atas, tak dapatdipindahkan dan periode sejarah yang satu ke yang lain, Karena itu pulaía tidak dapat diharapkan penerapannya pada situasi masa kini.
Merosotnya perhatian pada nilai-nilai kreatif dan berkembangnyarelativisme moral boleh dikatakan merupakam akibat dari situasi historisEropa pada tahun 1848 dan 1918, yaitu ketika ada kesatuan pendapat yangbelum pernahterjadi sebelumnya tentang nilai-nilai di duniaBarat. Kapitalisme, nasionalisme dan demokrasi telah menjadi nilai-nilai yang diterimaoleh seluruh Eropa, dan sedikit demi sedikit mulaimenyebar ke benua-benualain. Baru pada tahun 1917 ketika suatu sistem politik dan sistem nilai yangberbeda berkembang di Rusia, konsep-konsep tersebut tertantangi (meskikemudian menyesuaikan diri dengan konsep nasionalisme). Kemudian jugapada akhir tahun dua puluhan dan awal tahun tiga puluhan, dengan munculnya kaum Fasis, Nazi dan sistem-sistem militer di Italia, Jerman dan Jepang,konsep demokrasi benar-benar dikepalai. Dan sejak itulah konflik di antaraberbagai sistemnilai yang ada mulai menajam dan mengeras. Situasi sepertiini seharusnya membangkitkan reaksi para pemikir politik. Easton herankenapa dalam situasi baru yang demikian tak ada usaha untuk menempatkannilai-nilai lama di bawah “analisa yang kritis dan rekonstruksi imajinatif’. Menurut Easton penyebab utamanya adalah karena ilmu politik dan ilmuilmu lain banyak dipengaruhi oleh Max, Weber, yang memisahkan nilai-nilai politik dan penelitian empiris. Karl Mannheim dan para ahli sosiologi lain saat ini memilikì pandangan bahwa nilai adalah bagian yang integral dan kepribadian, yang tak dapatdilepas seperti halnya seseorang membuka bajunya.Nilai-nilaiini mempengaruhi kita pada setiap tahap pekerjaan risetpada saat kira memilihmasalah yang diteliti, dalamcara kita menerjemahkan hasil, dan dalammenentukan saran-saran yang mungkin kita ajukan agar hasil tersebut dapatberguna bagi masyaraka. Dengan kata lain, ilmuwan politik bukan hanyapenganalisa nilai tapi juga pembangunan nilai. Seharusnya tidak mungkinbagi seorang ilmuwan sosial untuk memisahkan diri darimasalah-masalahsosial yang penting pada zamannya, Jika seorang ilmuwan sosial melakukan risetnya di dalam sebuah lingkungan yang tertutup rapat dari pengaruh nilai, maka selalu ada bahaya bahwa ia menghabiskan waktunya menangani masalah-masalah yang hampir tak ada relevansinya bagi masyarakat. Mengejar ilmu pengetahuan adalah sebuah kegiatan yang penting, tapi kitatak boleh lupa bahwa pengetahuan diperoleh untuk tujuan tertentu. “Pengetahuan untuk apa”, pertanyaan yang sekaligus merupakan judul bukuRobert S, Lynd ini adalah sebuah pertanyaan yang penting. Disayangkan bahwa dalam usaha mencariilmu politik yang bebasnilai, beberapa orangteoritisi politik modern menghindari pertanyaan di atas.
Gagasan bahwa “riset dan perkembngan konstruksif dan nilai-nilaiadalah bagian integral dari studi politik”, sebagaimana diuraikan Easton dalam pidatonya sebagai ketua pada pertemuan American Political ScienceAssociation tahun 1969, dapat ditelusuri kembali sampai pada tulisan-tulisannya yang terdahulu tentang hal ini, ketika la menganjurkan ‘latihan bagi ilmuwan sosial dalambidang analisa dan rekonstruksi sistemnilai.’Menurut Easton, seorang ilmuwan politik harus bereaksi dengan tanggap terhadap persoalan masyarakat yang mendesak dan kebutuhan sosial yang sedang muncul selain mencoba mengetengahkan sistem nilai yang canggih. Ia menulis bahwa “Teori politik kreatif masa lalu telah terlibat dengan usahmengatur konsepsi kebutuhan zamannyayakni mengaitkan pengetahuan tentang fakta-fakta politik dengan tujuan-tujuan politik.” Jikateori yang kritis dihidupkan kembali, maka akan “terdapat kembali sebuah jembatan antara kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan pengetahuan ilmu-ilmu sosial”. Tiada alasan, tulis Faston, mengapa ilmuwan politik harus membatasi diri pada tugas memahami hubungan-hubungan politik sebagaimana adanya, tanpa mempertanyakan hubungan politik yang lama atau menciptakan sintesa politik baru.Teorinilai yang difahami berdasarkan pengertian kreatif, seharusnya memainkan peranan yang penting dalam studi-studi politik. Dalam pandangan Easton, bukan hanya ditinggalkannya teorinilaisebagai aktivitas kreatif, dan digantikannya oleh historisisme,melainkan juga tidak adanya perhatian terhadap teori perilaku politik yang empiris,kausal dan sistematis, yang telah menyebabkan kemerosotan teori politik.
KEKACAUAN ANTARA ILMU PENGETAHUAN DAN TEORI
Sebab lain, yang dipandang oleh Easton sebagai penyebab merosotnya teori politik adalah kenyataan bahwa kita dalam waku tiga perempat abadterakhir telah menggunakan ilmu pengetahuan dan teor isecara salah, danmengacaukan ilmu pengetahuan dengan teori, dan lupa bahwa teorilebihluasdari ilmu pengetahuan. Menggunakan metode ilmiah dalam tugas risetmeskipun pentingadalah berbeda dengan mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada riset yang telah dilakukan, betapapun ilmiahsipatnya. Mereka yang menganggap dirinya ilmuwan politik pada umumnyaberusaha mengumpulkan fakta dan berdasarkan fakta-fakta itu merekamencoba mengembangkan mekanisme alternatif untuk memperbaikistruktur dan proses politik. Percobaan ini mungkin bersifat ilmiah, tetapibelum pasti berkembang dengan sendirinya menjadi sebuah teori, kecualikalau kita mampu mengidentitikasikan variabel-variabel kehidupan politikyang terutama dan menetapkan hubungannya satu sama lain. Kalau kitamengecualikan beberapa orang ilmuwan politik, Merriam, Freidrich,Simon,Lasswell, dan beberapa orang lainnyamaka kita akan menemukanbahwa sebagian besar ilmuwan politik modern, setelah sengaja mengalihkan perhatian mereka dari insitusi kepada proses dan kadang-kadang motifdi bawah dampak sosiologi dan psikologibelum juga mulaimengembangkan sebuah kerangka konseptual yang cukup bagi studi ilmupolitik. Mempelajari proses dan motivasi adalah pentingpasti lebihpenting dari pada studi tentang lembaga tetapi tak dapat dengan sendirinya membangun teori, Kaum tradisionalis dan behaviouralis telah melibatkan diri terlalu lama dalam perdebatan apakah yang seharusnya terjadi lebih penting daripada apa yang sudah ada, dan sebaliknya, dan apakah wawasan saja yang diperlukan guna pernahaman politik yang mencukupi,ataukah observasi terhadap gejala politik yang nyata juga penting. Kaum“behavioralis’ dengan suara bulat telah menyatakan pentingnya apa yangsudah ada, tetapi mereka hampir tak pernah berusaha mencari tahu mengapadan bagaimana yang sudah ada itu menjadi ada, Di sinilah letak peran teori.
HYPERFAKTUALISME”
Ilmu politik, menurut Easton, sudah terlalu Lama didominasi oleh Hyperfaktualisme. Pada umumnya Bryce yang dipersalahkan tetah memberikan tekanan yang berlebihan pada hyperfaktualisme. Tapi harus dikatakandemi kebaikan Bryce bahwa dalam pekerjaannya yang terdahulu, misalnyadalam American Commonwealth, ia tidak mengabaikan teori, ia hanya tidaksuka pada pembentukan sistem, terutama pada filsafat sejarah dan analisahukumJermanyang disebutnya ideologomachies. Tanyanya, “apayang mungkin lebih kosong, lebih kering dan beku dan gersang daripadatulisan-tulisan sok-tahu tentang kedaulatan seperti yang kita temukan dalamJohn Austin dan beberapa orang penulis yang lebih baru?”, Dalam tulisan-tulisannya yang terdahulu Brycemenekankan perlunya mengumpulkanfakta melalui hipotesa dan teori, dan menolak anggapan bahwa ia meremehkan generalisasi sejarah atauteori politik. la menyatakan bahwastudi tentang fakta-fakta dimaksudkan untuk “tujuan karena itu sulituntuk tidak setuju dengan Eastonketika ia menulis bahwaa ,teoritanpafakta bagaikan kapal dengan nakhoda yang baik tetapi dengan limas yangrusak”. Tapi kalau kesibukan pengumpulan fakta menghabiskan energy sehingga tidak dapat melihat fakta-fakta itu dalam bobot teoritis maka nilaiakhir riset fakta ini sendiri bisa hilang.
KONDISI DUNIA KONTEMPORER
Seperti Easton,Cobban juga berpendapat bahwa teori politik sedang merosot, dan ia tidak terlalu optimis teori politik akan hidup kembali. Ia menulis bahwa telah ada tradisi intelektual di Barat selama lebih 2.500 tahun, mencakup keyakinan terhadap interaksi konstan antara gagasan daninstitusi, yang satu mengubah yang lain. Tapi tiada sintesa seperti ini yang muncul dalam zaman kita ataupun sejak beberapa waktu lampaumenurut Cobban sejak abad ke-18. Kita selalu dapat berkata bahwa pemikir politik yang besar tidak bisa timbul begitu saja, dan jarak satu abad atau lebih dalam sejarah teori politik mungkin tidak perlu dicemaskan benar. Pada masa lampau sejarah perkembangan teori politik juga terputus-putus, seperti dalam abad-abad setelah memuncaknya gagasan politik Yunani dalam tulisan-rulisan Plato dan Aristoteles. Bahkan jika Natural Law School dan konsep yurisprudensi Romawi dilihat sebagai suatu kontinuitas, pemikiran politik telah mati selama puncak kejayaan KekaisaranRomawi.Cobban khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini serupa dengan keadaan masa Kekaisaran Romawi; dan jika hal ini berlangsung untuk periode yang lebih lama, maka ada bahaya bahwa sungai pemikiran
politik dapat menjadi kering. Di antara kondisi inheren dalam pemikiran politik dunia modern. la menyebutkan adanya perluasan kegiatan kenegaraan, kontrol yang luas dan birokrasi terhadap semua kegiatan kemasyarakatan dan terciptanya “mesin” militer yang besar.
Cobban mengakui bahwa baik di dunia komunis maupun di dunia Barat, angkatan bersenjata tidaklah di atas sipil, akan tetapi pada zamanRomawi pun kelompok legion lama berada pada kedudukan yang tidakmenonjol. Dalam duniakomunis, bentuk organisasi partainya menandakanadanya pemerintahan oligarki kecil, munculnya suatu super bureaucrat atau ketua partai mengambil kesimpulan dan penguasaan prinsip, dan kalautidak begitu maka hal itu tak punya nilai ilmiah. Tapi setelah ia melanjutkanpekerjaannya, dan mencoba merumuskan kembali teori untuk memberikanorientasi empiris, maka teori menjadi tergantung pada pengumpulan fakta,dan ada saatnya teori hampir tak tampak. Sebenarnya Bryce hanyalah produkpositivisme sejarah pada akhir abad kesembilan belas, yang menekankanpengumpulan data positif sebagai cara untuk menciptakan kembali masayang lalu, dan ia mendapat kesulitan untuk mengatasi keadaan itu. Kepentingan tulisan-tulisannya tentang politik terletak pada caranyamenggambarkan situasi yang dapat dilihat dan dimengertinya berdasarkanobservasi dan studi tentang fakta-fakta, ltulah metode sejarah yang sudah diterima, tetapi tidak seperti Hegel dan lain-lainnya yang telah mencobamengembangkan sebuah filsafat dan sejarah, Bryce tetap puas dalam sikap membatasi diri pada empirisisme yang tidak diolah.
Kebiasaan ini masih terus mempengaruhi ilmu politik hingga tahundua puluhan, ketika kecenderungan umum di fihak ilmuwan politik adalahmencari “masalah-masalah penting yang dapat dhjadikan bahan riset tanpaada usaha untuk mengetahui bahwa suatu gejala politik sebaiknya dapatdimengerti, bukan dengan cara menggambarkan seteliti mungkin berbagai variabel yang ada berdasarkan penemuan empiris, tetapi dengan jalanmenganalisa variabel-varabel yang ditemukan sebagai tipe-tipe tertentudalam segala situasi politik, Misalnya “The National Conferences on theScience of Polities (1922-24)” memusatkan perhatian terbesar pada pengembangan teknik-teknik baru untuk pengumpulan data. Tak dapat diragukanbahwa para ilmuwan politik selama tahun-tahun terakhir telah maju denganpesat dalam hal mengembangkan teknik yang canggih untuk memahamiperilaku dalam pemberian suara, pendapat umum, kepemimpinan legislatiftapi hampir tak mampu memberikan orietasi teori pada studi mereka, suatukeadaan yang oleh Easton disebut sebagai “kurang gizi dalam bidang teoridan kejenuhan dalam bidang fakta”. Dalam hal usaha mencari detail ilmuwanpolitik seperti telah kehilangan pandangan politik yang menyeluruh, dangagal menumbuhkan alat-alat canggih yang dapat digunakan dengan baikuntuk studi semacam itu. Perhatian mereka sebagian besar menetap padamasalah-masalah tertentu yang membutuhkan penyelesaian, dan mereka semakin tidak tergerak untuk melihat hubungan yang ada kaitannya dandengan sistem sebagai keseluruhan. Oleh pemegang kekuasaan, dan pembentukan mekanisme penindasan (represi) untuk digunakan terhadapmereka yang tak sejalan, sedang mesin partai tersebut tidak kurang kuasanya dibandingkan dengan mesin militer. Kita mungkin hendak menyangkaladanya keadaan tersebut dalam dunia demokrasi. Tetapi Cobban tidakyakin, ia melihat kesamaan yang ada di antara dua bagian dunia tersebut. Meskipun gagasan politik yang dominan dalam duniaBarat adalah demokrasi, namun hampir tidak ada ahliteori politik dewasa ini. Konsep demokrasi berasal dan abad ke-18, tetapi pada abad ke-19 tiada usaha untukmembentuknya kembali sesuai dengan perubahan kebutuhan. Abad ke- 19adalah awal mula nasionalisme, komunisme, dan fasisme, dan bukan tumbuhnya demokrasi, Demokrasi telah menjadi formula tanpa makna. “Uanglogam”, tulisCobban, “tetap merupakan alat tukar yang sah meskipun sudahaus terpakai. Akan tetapi gagasan politik perlu pembentukan kembali secara periodik jika hendak tetap mempunyai nilai. Dalam beberapa decade terakhir ini ada sejumlah penulis yang mempunyai pendapat yang cukupberbobot tentangsituasi politik masa kini.Cobban menyebut Ferrero, BertranddeJouvenel, Bertrand Russel, E.H,Carr, Reinhold Niebuhr, Harold Lasswell,dan Hans Morgenthau. Tetapi mereka memandang negara dari segi powerdan tidak memasukkan etika ke dalam lapangan politik. Setiap atom yangmembentuk masyarakat dikumpulkan bersama dilempar dan dihancurkanoleh power yang tak diciptakannya dan tak dapat dikontrolnya. Jaditidaklah mengherankan bahwa teori polilik sedang merosot. Toynbee dapat mengatakan bahwa hancurnya suatu peradaban mungkin berarti Iahirnyasuatu agama, akan tetapi hal itu tidak akan memuaskan seorang ilmuwanpolitik.  Kemudian hari, Cobbanmencoba mengubah sedikit pendapatnya danmenyatakan bahwa keadaannya masih belum terlambat paling tidak di satu bagian dunia. Birokrasi belum menjadi realita pemerintahan di negara Barat mana pun, pretorian guard ataupun partai politik belum menjadi majikan.
KONDISI INTERNAL ILMU POLITIK
Jika kondisi eksternal masyarakat tak dapat dipandang sebagai faktorpenentu dalam kemerosotan teoripolitik, alternatif satu-satunya adalahkondisi internal, yaitu adanya kesalahan dalam hakikat pemikiran politik itusendiri,Cobban yakin bahwa itulah yang terjadi bahwa ada salah arah dalampemikiran politik dewasa ini.Cobban percaya bahwa tiadanya arah di antarapara ilmuwan politik dewasa ini merupakan penyebab utama kemerosotanteoripolitik masa kini. Semua pemikir politik besar masa lalu-Miii,Bentham, Burke, Rousseau, Montesque, Locke, Hobbes, Spinoza, dan bahkanPlato dan Anstotetes, menulis dengan tujuan praktis dan dengan maksuduntuk mempengaruhi tingkah laku politik yang sebenarnya. Mereka menulisuntuk mengutuk atau mendukung lembaga dan sistem politik yang ada ataumeyakinkan orang untuk mengubahnya karena pada dasamya mereka terlibat dengan sasaran dan tujuan masyaraka politik. Pemikiranpolitik takpernah lepas dari kenyataan kehidupan kontemporer seperti anggapanilmuwan politik modern. Para pemikir politik awal merupakan orang-orangyang mempunyai tujuan tertentu: mereka ingin mengubah dan menciptakankembali masyarakatnya. Mereka terikat pada apa yang dianggap sebagai tatanan sosial yang baik, dan mereka membawa kekuatan gagasan danbahasa,”mereka untuk menyebarluaskan apa yang mereka anggap baik. Teori politik dari Plato hingga Mill atau Marx pada pokoknya adalah bagiandari moral atau etika.Cobban berpendapat bahwa perubahan yang terjadipada para pemikir politik, yang semula terlibat tujuan ideal berubah sikapmenjadi value free, bersikap objektif, dan menganalisa gejala-gejalapolitik secara abstrak, diakibatkan oleh pengaruh pendekatan historis di satu fihak, dan karena pengembangan apa yang dianggap sebagai sikap ilmiahdi fihak lain.
Bagi seorang ahli sejarah, semua gagasan dan cara bertingkah laku dibentuk secara historis dan bersifat sementara. Ahli sejarah tidak memiliki patokan nilai selain “keberhasilan”, dan tidak ada ukuran selain pencapaian kekuasaan, atau kelangsungan hidup yang sedikit lebih lama danpadalembaga dan individu lawan. Ketergantungan teoripolitik pada sejarah dalam tahun-tahun terakhir ini, ketika ahli-ahli sejarah cenderungmenganggap penilaian etika sebagai suatu tindakan yang tidak sah, samadengan Machiavellisme. Tetapi akan menjadikan lebih berbahaya jika ketika dihubungkan dengan proses sejarah, seperti yang telah dilakukan oleh Hegel dan Marx, Keduanya melihat pada satu bagian alam yang kecil,yang sama pada negara teritorial dan yang lain pada kelas proletariat,mereka mencampuradukkan apa yang diinginkan dengan apa yang menjadikeharusan sejarah.
Keadaan ini diperburuk lagi oleh para ilmuwan. Para ilmuwan politiksebelum ini, sejak Plato dan Anstoteles, menerima dengan fikiran terbukabantuan yang diberkan oleh disiplin ilmu lain, seperti matematika danpsikologi, bagi pernahaman politik. Akan tetapi mereka tidak pernah berfikirbahwa metode ilmu pasi dapat diterapkan secara mutlak pada studi politik. Tak dapat dibantah bahwa ilmu politik memiliki elemen ilmu pengetahuandi dalam dirinya, dan tidak ada alasan untuk membantah bahwa gejala politikdapat ditangani secara ilmiah, tetapi ilmuwan politik dewasa ini nampaknya percaya bahwa adalah mungkin untuk mempelajari politik denganmetode-metode yang telah terbukti berhasil dalam ilmu pasti. Mereka lupabahwa penelitian-penelitian politik harus mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak dapat dijawab oleh metodologi ilmu pasti,bagaimanapun pasti dan telitinya metodologi tersebut, Ilmu pengetahuanmembantu kita memahami dan menganalisa sesuatu, tetapi tidak menyediakan kriteria penilaian yang diharapkan dari suatu teori politik.Ini tak berartibahwa ilmuwan politik harus mengambil bagian dalam politik aktif.Cobbansecara tegas menyatakan bahwa berbeda dengan pada ilmu pasti, dalamlapangan teori politik perlu dimasukkan unsurmoral, Ilmu pengetahuan dapatmemberikan petunjuk penting dalam rangka pencapaian sasaran yang hendakdituju, tetapi tak dapat membantu memutuskan apa sasaran yang hendakdituju tersebut. Ilmu dapat memberikan peralatan teknis untuk pergi kesuatu tempat tetapi tak dapat mengatakan ke mana harus pergi. Ilmu tak dapat memberikan arah jalan tujuan yang hanya dapat diberikan oleh teori. Falsafahteori telah mati dibunuh oleh logika kaum positivis dan para penerus mereka.
REDUKSIONISME IDEOLOGIS
Seperti Easton dan Cobban, Germino juga percaya bahwa teori politik menurun pada sebagian besar abad ke- 19 dan awal abad ke-20. Seperti jugaAlfred Cobban, ia menunjuk positivisme sebagai penyebab kemerosotanteori politik pada periode lanjut, telapi ia juga menyebut “ideologi” atau“doktrin politik” yang berpuncak pada Marxisme sebagai faktor tambahanpada periode awal. Tetapi, berbeda dengan Easton dan Cobban, la berpendapat bahwa teori politik sekarang ini sedang timbul kembal.Teoripolitik tradisional, yang selama 150 tahun terakhir telah tertutupi oleh kekuatan-kekuatan intelektual dan gerakan-gerakan politik disatu fihak,dan oleh ketergila-gilaan pada “keilmiahan” difihak lain, pada masasekarang ini menurut Germino sedang naik kembali. Bahkan pada masakejayaan positivisme ada aliran-aliran filosofis yang menentangnya sepertidalam tulisan-tulisan Benedetto Croce, Henri Bergson, Julien Benda,Max Scheler, dan lain-lain.Inidiikuti oleh adanya “sisa” teori politikdalam aliran elitis seperti yang diwakili oleh Guido Dorso, serta kemudiandihidupkannya kembali teori politik sepenuhnya oleh Michael Oakeshott,Hannah Arendt, Bertrand Jouvenel, Leo Strauss, dan EricVoegelin. Tanpamenyinggung telaahan terinci mengenai pemikiran politik kontemporeryang ditekankan Germino, di sini kita dapat memeriksa secara singkathal-hal yang dianggapnya sebagai penyebab menurunnya teori politikpada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Di antara sebab-sebab utama, Germino menunjuk pada reduksionismeideologis dari Tracy, Comte, dan Marx sebagai penyebab terpenting. Tracymerupakan orang pertama yang menggunakan istilah “ideologi” sebagaisuatu “ilmu untuk menentukan asal mula gagasan. Tracy berkeyakinanbahwa semua pikiran adalah cerminan dari, dan ditentukan oleh, pengalamanpancaindera, dan dunia yang dapat ditangkap oleh panca-indera adalahrealita tunggal. Baginya, ideologi sama saja dengan bagian dari zoology, dankecerdasan manusia dapat diperiksa dan digambarkan sama seperti memeriksadan menggambarkan sifat suatu zat kalau tanaman, atau suatu keadaanmenakjubkan dalam kehidupan suatu binaang. Bagi Tracy, Metafisikahanyalah ilusi dan fantasi, merupakan hasilimajinasi demi kesenanganorang dan bukan untuk mengatur orang. Pengetahuan baginya hanya terdiriatas ide-ide yang berhubungan dengan pengalaman yang “nyata”, yaitupengalaman panca indera. Seperti Condillsc, Helvetius dan para pemikir prarevulusi lainnya di Perancis. Tracy percaya bahwa tiada sumber gagasanlain selain perasaan bahwa semua pemikiran akhirnya dapat ditelusuri hingga pada perasaan sentio ergo sum (saya merasa, karena itu saya ada). Dan dengan menelusuri semua gagasan sampai pada pengalaman pancaindera, dapat diciptakan suatu ilmu baru tentang,manusia untuk menjadipetunjuk bagi keseluruhan kehidupan politik dan ekonomi ummatmanusia. Seseorang yang dapat membedah suatu ide (dengan menelusuri sampai pada asal-usulnya yaitu pengalaman panca,indera) dapat menggunakan ilmu ini untuk membentuk kembali tatanan sosial baru tempat manusia dapat dididik dan dibentuk kembali untuk disesuaikan dengankebutuhan masyarakat yang diniginkan, Kata “ideoiogi” tidak lagi dipakaidalam pengertian yang digunakan Tracy, sekarang kata itu berarti suatu perangkat gagasan apa pun yang digunakan untuk mendukung sistempolitik atau ekonomi tertentu. Tetapi Tracy telah memulai suatu gerakanfikiran yang berpuncak pada “reduksionisme ideologis” Karl Marx.
“AUGUST COMTE DAN POSITIVISME”
August Comte umumnya dipandang sebagai bapak positivism.Comte,seoran ahli matematik, mencoba membentuk pekerja filosofis berdasarkan suatu definisi ilmu yang baru, ilmu yang sasarannya terbatas padapenggambaran. Penggambaran atau deskripsi ini merupakan kebalikan dari penjelasan dan juga, yang mengarah pada kemungkinan peramalan kejadiandan akhirnya pada pengendalian kejadian tersebut.
Positivisme” menurut Comte adalah penerapan metode empiris danilmiahtiada setiap lapangan penelitian. Positivisme ini menunjukkan suatupenolakan terhadap setiap bentuk pengetahuan yang berlandaskan pemikiran bahwa ada realita lain di luar eksistensi material. Menurut Comte,sosiologi adalah ilmu yang mencari hukum-hukum yang mengatur tìngkahlaku manusia dengan kepastian seperti pada ilmu pasti. Sekali manusiamenemukan bahwa evolusi dunia nyata diatur oleh hukum-hukum tertentu,manusia dapat memanfaatkan dan mempercepat “operasi”nya.Comte percayaa) dunia tertata secara rasional, dan ada hukum-hukum perkembangan daninteraksi sosial yang dapat ditemukan; (b) penemuan hukum-hukum tersebutadalah mungkin sebab manusia memiliki penalaran yang cukup; (e) manusiajuga cukup berakal untuk menggunakan pengetahuan mereka untukkepentingannya sendiri; (d) penalaran tidak hanya memungkinkan ditemukannya hukum-hukum tingkah-Iaku sosial tetapijuga memungkinkan manusiauntuk menemukan tujuan-tujuan nyata yang diinginkan.Comte yakin terhadapadanya kemajuan (progress). la menafsirkan perkembangan sejarah dalamtiga tahap: (a) tahap “teologis”, dengan kepercayaan bahwa nasib manusiadiatur oleh kekuatan-kekuatan ketuhanan, dan sejak awal sejarah hinggaReformasi Protestan; (b) tahap metafisika, yang merupakan zaman yangbersifat kritis dan zaman pemberontakan yang berpuncak pada RevolusiPerancis; dan (e) tahap “positif” atau “ilmiah”, yang merupakan zamankontemporer, ketika pengetahuan tentang manusia dan alam menggantikanketidaktahuan, tahayul, dan ilusi yang ada pada tahap-tahap sebelumnya,inilah masa sintesa antara tatanan dan kemajuan.
SEDIKIT TENTANG KARL MARX
Sementara SpenCer juga yakin tentang adanya hukum-hukum perkembangan dan interaksi, dan terkadang ia digambarkan sebagai sain dan tigaserangkai yang mendominasi abad ke-19 bersama Comte dan Marx, tetapiMarxlah yang membawa reduksionisme ideologis sampai ke puncaknya. Bagi Marx, realita tidak mempunyai struktur selain yang diterakan olehaktivitas produktif-praktis manusia. Manusia sendiriri tidak memiliki hakikattetapi berubah melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan Iingkunganalamnya. Semua pemikiran adalah pencerminan dari Iingkungan tempatmanusia itu sendiri. Akan tetapi,jika Tracy menunjukkan bahwa Iingkunganmenentukan manusia, Marx percaya bahwa manusia dapat menentukannasibnya sendiri jika memiliki pengetahuan ilmiah tentang masyarakat. Perubahan revolusioner dalam sifat positivisme dapat terjadi oleh adanyailmu Komunisme (Marxis). Jika Tracy, Comte, dan Spencer percaya bahwahukum-hukum perkembangan manusia dapatlah ditemukan, Marx percayabahwa ia telah menemukannya.
Dengan menolak tiga sumber tradisi humanis teosentris Baratyaitufilsafat Yunani, Yudaisme, dan Kristen, Marx mengungkapkan bahwapada masa yang akan datang, manusia sebagai kreator dapat merupakansenjata paling berkuasa dalam perubahan sosial. Marx percaya pada adanyakesatuan teori dan praktek,‘bukan kesadaran yang menentukan kehidupanmelainkan kehidupan yang menentukan kesadaran”. Perkembangan masyarakat materiallah yang menciptakan perbedaan semu antara teori danpraktek, jiwa dan benda, eksistensi duniaini dan dunia yang lain. MenurutMarx,teori adalah pembantu kepentingan material praktis. “Teori’ komunis bagi Marx bukan saja penggambaran atau penjelasan tentang realita kehidupanmasyarakat dan manusia, ataupun ramalan masa datang, melainkan jugasemata yang diperlukan bagi penghancuran masyarakatkelas dan sebuah cetak biru bagi pembentukan dunia baru, berlandaskan pengetahuan bahwamanusia dapat menciptakan dirinya sendirii.
“POSITIVISASI ILMU-ILMU SOSIAL”
Di dalam Iingkungan demikianlah gerakan “positivisasi ilmu-ilmusosial” tumbuh, Positivisme seperti yang dinyatakan oleh Arnold Brecht,menjadi sinonim dan gerakan “pemurnian metodologis” dan bersamasama dengan gerakan Positivisme Logis dan Filsafat Linguistis yang mengikuti jejaknya, mendorong perkembangan yang dahsyat dari suatu gerakanintelektual yang mendukung diadakannya pemisahan sempuma antara“fakta” dan nilai”.Benih gagasan bahwa “nilai tak ada sangkut-pautnyadengan “fakta” dapat ditelusuri kembali sampai ada Kant dan Mill, namunkeduanya telah mencoba membangun jembatan antara nilai” dan “fakta”,yang masing-masing dicirikan oleh Brecht sebagai “jembatan moral” dan“jembatan kebahagiaan”. Lahirnya Gulf Doctrine(lagi-lagi suatu istilah yangdigunakan oleh Brecht untuk pemisahan logis antara “yang ada” (is) dengan“yang seharusnya” (ought) dapat ditelusuri kembali pada sejumlah pemikirJerman seperti Arnold Kitz (lahir 1807), Julius von Kirchmann (1802-1894),Wilhelm Windelband (1848-1915), para penganut Kant Baru (Neo-Kantians) Heinrich Rickert (1863-1936), dan Georg Simmel (1 858-1918), dan dianggaptelah mencapai puncaknya dalam tulisan-tulisan ahil sosiologi Max Weber(1864 -19201, yang dianggap berjasa telah memprakarsai Neo-Positivisme atau Positivisme post-Comte, yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan “behavioralisme” dalam ilmu politik. Bahkan judul makalahArnold Kitz yang dibuat dalam tahun 1864, yakniSeyn und Sallen (“yangada” dan “yang seharusnya”) menunjukkan adanya kesadaran yang mendalam tentang perbedaan antara Sein (waktu itu dieja Seyn, “yang ada”)dengan Sallen (“yang seharusnya”). la menulis, “Dari kenyataan bahwasesuatu ‘ada’, dapat diartikan bahwa sesuatu yang lain pernah ada atau akanada, tapi tidak pernah berarti bahwa sesuatu ‘seharusnya ada’,” lima tahunkemudian dalam bukunya tentang konsep-konsep dasar hukum dan moral,Kirchmann menarik perbedaan yang jelas antara asal psikologis pengertian“yang seharusnya” dengan ciri logisnya, lalu menekankan bahwa yang sainakan mungkin didapatkan sebagai turunan (derivasi) dan yang lain, Dengan cara serupa, numun dengan ketenarannya sebagai seorang filsuf yang jauhlebih besar, Windelband menekankan kembali perbedaan antara Naturgesetzeatau hukum alam (“yang ada”) dengan norma-norma (“yang seharusnya”). Kaum Neo-Kantian, di antaranya Rickert dan Simmel, mengembangkangagasan itu lebih lanjut,Rickert berbicara lentang perbedaan antara Being(kenyataan) dan Meaning (arti)yang tidak nyatadan tidak ada, dan menekankan hahwa dalam pembicaraan logis setiap tipe Meaning harus benar-benardipisahkan dari tipe Being yang mana pun, Akhirnya yang berbicara tentangsubjek ini dengan lebih jelas dan tegas daripada siapa pun juga sampai saat ituadalah Simmel, ketika ia menulis “Dalam setiap kasus menarik kesimpulanlogis dan ‘yang ada’ kepada ‘yang seharusnya’ adalah salah.” “Dengananalisa logis (zergliederung) dalam kasus manapun kita tak dapat menemukan mengapa ‘yang seharusnya’ mengandung sifatnya yang khas, begitu puladari adanya sifat khas itu mengapa kita harus berbuat demikian.
MAX WEBER: NEO-POSITIVISME
“Pada permulaan abad kedua puluh, terutama di bawah dampak gagasan-gagasan Weber,” tulis Easton, “ilmuwan sosial telah menerima sebagai sesuatu yang benar dan tak dapat dipertanyakan segala sesuatu yang telah dipelajarinya sebagai mahasiswa yang belum berpengalaman, yakni bahwa nilai-nilai politik harus dipisahkan secara tegas dari riset empiris. MakaIah Weber Objectivity of Knowledge in Social Science and Social Policy, yang diterbitkan dalam tahun 1904, memberi pengaruh yang sangat besar pada perkembangan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat. Dalam makalah ituMax Weber berusaha menetapkan perbedaan yang ketat antara pengetahuan empiris dengan pertimbangan nilai (valuejudgemen), yangdiakuinya sebagai pendekatan yang tidak baru, melainkan hanya merupakan penerapan hasil-hasil logika modern yang telah diketahui secara luas tentang persoalan kita sendiri. la menulis, “Mereka yang mengenal karya ahli-ahli logika modernakan segera tahu bahwa segala apa yang penting dalam tulisan ini ada kaitannya dengan pekerjaan mereka,” Yang dimaksudnya adalah Windeihand, Simmels, dan Rickert, la tak setuju dengan pandangan kaum Marxian tentang kehidupan ekonomi masyarakat yang diatur oleh: (a) hukum-hukum alamyang tak dapat diubah, dan (b) asas-asas evolusi yang jelas, dan keseluruhanusaha untuk mengidentifikasikannya dengan penilaian normatif. Tentangapa yang sebenamya dimaksudkan oleh Max Weber terdapat sejumlahkekacauan. Bagi Max Weber !“wertf reiheit” tidak mengandung pengertianseperti apa yang sekarang digambarkan sebagai “ilmu pengetahuan tanpanilai”. Ia tidak menolak adanya “perkaitan nilai” (valeu-relatedness), antarasemua cabang ilmu pengetahuan seperti yang biasa dikatakan.Ia menegaskan bahwa dengan kata ituia tidak bermaksud menyatakan bahwa semua pertimbangan nilai harus dijauhkan dari diskusi ilmiah pada umumnya,tetapi bahwa ilmu pengetahuan hanya memainkan peran terbatas dalam persoalan pertimbangan nilai. Perlakuan ilmiah yang paling jauh terhadap Pertimbangan nilai hanyalah sampai pada tingkat menerangkan. Tindakan mengambil keputusan, tulis Weber dengan jelas, ‘bukan tugas yang dapatdilakukan oleh ilmu pengetahuan, itu adalah tugas orang yang mau melakukannya: ia menimbang-nimbang dan memilih dari antara nilai-nilaiyang ada hubungannya menurut hati nuraninya sendiri dan menurut pandangan pribadinya tentang dunia,” “Soal apakah orang yang menyatakanpertimbangan nilaiini ‘seharusnya’ mengikuti standar-standar tertinggiadalah urusannya sendiri yang terlibat di sini adalah kemauan dan hatinurani, bukan pengetahuan empiris,” la mempertegas maksudnya ketikaberkata bahwa “suatu ilmu empiris tak dapat menyuruh orang untuk melakukan apa ‘yang seharusnya’, hanyalah apa yang ‘dapat’ dilakukan, dandalam keadaan tertentu apa yang ‘ingin’ dilakukan,” Arbold Brecht menulis,“Dengan segala penegasannya tentang batasan-batasan ilmu pengetahuanMax Weber sendiri tak pernah berhenti mempercayai adanya nilai-nilaitertinggi (ultimate), la juga tak pernah memandang rendah terhadap pentingnya kepercayaan demikian bagi kepribadian dan martabat manusia.Tetapi ia mengulangi lagi bahwa “mempertimbangkan keabsahan nilai-nilai demikian adalah persoalan iman (faith), dan bukan ilmu pengetahuan.
Di bagian lebih lanjut dari makalah yang sama Max Weber mengembangkan teorinya tentang “tipe-tipe ideal” (idealitypen), yang melibatkan,seperti apa yang ditunjukkan oleh Brecht, pendekatan empiris dan bukanpendekatan normatif, yang tujuannya menerangkan kenyataan sosial dengan cara membantu kita agar mengerti mengapa suatu gejala tertentu berkembangdan menjadi apa yang ada, dan bukan yang lain, la menjelaskan bahwa tipe-tipe ideal hanyalah ciptaan fikiran (mind) dan tidak pernah dapat dijadikanstandar normatif. Tapi lambat laun Weber terdorong tanpa ampun oleh logikapendekatannya dan mengembangkan sikap agak mencemooh terhadap nilai-nilai dan secara relatif lebih mementingkan ilmu pengetahuan. Dalammakalahnya Science as a Vocation yang diterbitkan satu tahun sebelumkematiannya, la mengutarakan pandangannya tentang apa yang kemudiandikenal sebagai “netralitas etis” (ethical neutrality) secara lebih tegas? Lamenginginkan agar pengajar “memperlakukan subjek-subjek politik dengansikap ilmiah”, dan tanpa ada pengaruh nilai apa pun. Berbicara tentangdemokrasi misalnya, la “ingin berdiskusi tentang bentuknya yang beranekaragam, ingin menganalisa caranya berfungsi, ingin mencari tahu akibatakibat apa yang ditanggung oleh seseorang bagi kondisi hidupnya, ingin mempertentangkannya dengan bentuk-bentuk lain yang tidak demokratisdan berusaha sedemikian rupa sehingga mahasiswa mampu menemukan titik tempatnya berdiri karena cita-cita yang dipunyainya sendiri(stellung nehmen kann). “Tapi dampak ajaran Max Weher adalah kenyataan bahwa pemikiran normatif yang merupakan sesuatu yang tidakterpisahkan dariteori politik selama ini menjadi berkurang nilainya. Bagidia, bukan tugas ilmu-ilmu sosial untuk “menawarkan norma-norma dan cita-cita yang mengikat” dan “menyediakan resep untuk praktek”. Pada saatbanyak terjadi perbenturan nilai di dalam jiwa Eropa, Weber mengajarkan,dan mempraktekkan netralitas etis”, Tanpa banyak menyadari bahwa bersama-sama dengan dibuangnya air kotor ideologi dan bak mandi, ia jugamembuang, bayi teori politik.
Germino rupanya yakin bahwa teori politik tak dapat tumbuh bersamaPositivisme: “kebangkitan penuh teori politik kritis tidak mungkin dicapai ditengah alam diskusi yang positivistis”.Ia menyayangkan kecenderungansementara tidak pada waktu ini untuk berusaha “mempersatukan kembali’komponen disiplin yang tradisional dan yang behavioralistis dan mencobamembangun jembatan antara posisi yang bersaingan, Ia mengakui bahwatidak semua penganut Positivisme dapat dimasukkan ke dalam satu golongan. Ada variasi penekanan dan berdasarkan itu ia ingin membagi merekadalam empat goLongan utama:
1.    Secara reIatif terbuka dan tidak dogmatis seperti Weber dan Brechtyang peka terhadap keterbatasan dan kesulitan yang dikarenakantindak pemisahan fakta dengan nilai dan benar-benar berhasil menyisihkan sebagian kecil kenyataan yang mengandung asas-asas rasionalyang krtis.
2.    Kaum “Hybristic”  di sini la menempatkan kaum behavioralis yangekstrim dan tokoh-tokoh perekayasa sosial ‘(sociaI engineers), sepertiSimon dan Lasswell, “yang telah ditulari golongan “hybris Comtean”dan yang mendukung adanya “suatu masyarakat tertutup yang dapatdimanipulir dengan kedok objektiviras”, dan yang menyelundupkannilai-nilai “dengan kedok fakta atau rencana berdasarkan konsep.”
3.    Kaum Hyperfaktualistis, di siniia menempatkan kelompokumum ilmuwan politik yang dengan bangga menamakan diri behavioralis, jumlahnya agak besar, tapi tidak begitu penting”, tak punya kecangihan intelektual” dan terlibat dalam “riset tentangfakta tanpa pengertian yang jelas bagaimana cara mengatur ataumenghubungkan fakta itu”;
4.    Kaum Positivis Axiologis (Axiological Positivists) seperti Easton,Dwilight Waldo dan Cobban, yang mengaku bahwa pertimbangannilai tidak dan tak akan menjadi ilmiah, tetapi disamping itu meyakinkan bahwa tidak hanya merupakan “kepantasan”, tapi juga “keharusan bagi fihak ilmuwan politik untuk melakukan spekulasi nilai.
Namun Germino yakin buhwa tak ada aliran Positivisme, betapapunlunak, yang akan membawa akibat lain kecuali “suatu kemunduran dalamsejarah pemikiran politik dan sosial”.
Meskipun demikian Positivisme terus mempengaruhi perkembanganilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh, terutama di bidang ilmu politik,psikologi akademis dan sosiologi, yang disebut “ilmu-ilmu behaviouralis”
Pada saat Perang Dunia Pertama”, seperti yang ditunjukkan olehDonald Atwell Zoll, “ilmu-ilmu sosial telah menjadi usaha besar. Tujuanutamanya ialah memberikan pandangan ilmiah dan alat metodologi yang sama kepada studi tentang persoalan manusia seperti apa yang menjadi ciri-ciri ilmu aIam”. Ia menggambarkan dasar filsafatnya sebagai “secarasubstansi neo-positivistis”, dan menyimpulkan dasar-dasarnya yang utamake dalam delapan bagian di bawah ini: (1) Keyakinan akan determinismesebab-akibat (causal); (2) penolakan atas hal-hal yang metafisis dan analisaabstrak yang berhubungan dengan itu, (3) Kepercayaan akan perlunyamenemukan “hukum-hukum” tingkah-laku manusia; (dedikasi terhadap“objektivitas” ilmiah; (5) metodologi yang empiris dan sebagian besarkuantitatif (6) perkawinan relativisme nilai dengan kultural; (7) kepercayaan pada atomisme sosial; dan (8) pilihan atas organisasi yangpluralistis dan demokratis. Dalam bidang psikologi orientasi neo-positivistis mengambil bentuk teori-teori fisikalis (Physicalist) tentang rangsangandanreaksi, seperti Pavlov atau behaviouralisme John Watson, dan di bidang sosioiogidalambentukdominasi analisa kuantitatit yang deskriptif, maka di bidang studi-studi politik juga timbul behaviouralismedalam arti bahwa penelitian tentang tingkah-laku manusia dianggap lebihberarti daripada diskusi tentang prinsip-prinsip yang abstrak atau analisa Kelembagaan. Penerbitan Human Nature in Politics karya Graham Wallasdan Process of Government karya Arthur Bentley pada tahun 1908 dapatdianggap sebagai peristiwa besar dalam perkembangan ini. Namun gerakanitu maju secara lebih efektif di Amerika Serikat seperti yang dapat dilihatdari karya William James, Mary Follet, John Dewey, dan Herbert Mead. Comte mempengaruhi satu generasi pemikir di Eropa, antara lain LS ,Mill di Inggris, P,J, Proudhon, Emile Durkhem dan Lucien Levy-Bruhl diPerancis, dan Ludwig Feuerbach dan Ernest Mach di Jerman.
Positivisme abad kesembilan belas terutama menekankan pandanganmenyeluruh dan usaha filosofis yang menyontoh orientasi ilmu-ilmu, terutamailmu alam, sambil menolak bahwa hipotesa yang metafisik dapat dipercaya,dan orientasiilmiah yang sebagian besar empiris dan kuantitatif. Keandalannya yang utama terletak pada kemampuannya meramal gejala dengan caramenggunakan metode ilmiah yang tepat untuk nempeIajari tingkah-lakumanusia, perorangan dan sosial, Apa yang dapat diramalkan secara sosialdapat direncanakan.Positivisme memandang manusia sebagai suatu organisme psiko-biologis semata yang secara substansi tidak berbeda denganjenis-jenis makluk yang lainnya.Positivisme juga menganjurkan netralitas nilai dan mempertahankan relativisme etis. Ciri-ciri Positivisme abadkesembilan belas ini sangat mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh. Dalam gerakan itu terdapat simpungun-simpangan,meskipun baik Emile Durkhem maupun Max Weber masing-masingtelah mempengaruhi perkembangannya dengan caranya sendiri,  tidakdapat dianggap sebagai seorang positivis dalam artinya yang murni. Sambil menyuarakan sikap positivis yang anti metalisik. Durkhem jugamerasakan kebutuhan untuk mengakui adanya komponen moral dalam penelitian sosial, dan karena itu ia mendapat julukan “positivis canggih”(sophisticated positivist). Bukan sekedar seorang fisikalis, ia berusahamencari jalan tengah antara Positivisme primitif dengan idealisme barudan menganggap gejala nilai sebagai bagian yang vital dalam analisa sosial,Max Weber, seringkali disebut seorang positivis baru (neo-positivist) terutama tertarik untuk menciptakan metode yang berlaku untuk analisasosial - metode Verstehen, mengerti yang harus mengatasi tingkatansekedar data dan pembicaraan yang diperlukan secara sempit. NamunWeber percaya akan keabsahan “hukum-hukum” tingkah-laku manusiayang ditentukan secaraempiris dan menganggap bahwa hukum-hukumini dapat diramalkan dan selanjutnya bahwa hukum-hukum ini dapat dijadikan dasar bagi penilaian normatif. Weber tidak menyangkal adanyapredisposisi nilai pada pengamat adalah faktor yang tak dapat dihindarkan, tapi la masih percaya bahwa ia harus bertahan pada “netralitas nilai”dalam analisanya tentang gejala. Pandangan seperti itu telahmemberikanpengaruh yang sangat besar, tidak saja pada analisanya sendiri tentangbirokrasi atau karisima, yang keduanya tidak disetujuinya, namundiakuinya sebagai bagian dari realitas sosial yang tak dapat dihindari tapi juga pada sikap ilmu-ilmu sosial yang sedang tumbuh.
PERINGATAN POSITIVISME
Pada tahun 1960-an pengaruh Positivisme menurun, dan orang dapatmenyaksikan pemunculan kembali filsafat spekulatif bahkan di Inggrisyang merupakan benteng analisa linguistis. Orang Eropa yang takpernahmenaruh banyak perhatian pada Positivisme terus menyibukkan diri dengan bermacam ragam ilmu gejala (phenomenology) dan realisme baru (neorealism). Juga ilmu sosial Amerika yang dicap positivis perlahan-lahanmenurun, sebagian disebabkan oleh serangan terhadapnya dariradikalismesosial baru dengan semangat moralistisnya yang kuat dan sebagian lagidisebabkanoleh kritik yang sangat gencar terhadap pengakuannya atasobjektivitas sosial dan netralitas nilai dan terhadap kekurangan dasarilmiahnya. Objektivitas ilmu sosial neo-positivis sekarang mulai dianggapsebagai suatu ‘sikap pura-pura suatu kecenderungan ideologis” yangmenuju‚ada introduksi pertimbangan nilai yang menyeluruh di bawahkedok keharusan ilmìah, dan pengakuannya akan cap ilmiah sebagaipengrtian “ilmu” berdasarkan pendapat yang sudah tak berlaku “ilmu”seperti yang diartikan orang dalam abad kesembilan belas, seperti dalambuku Canons of Induction karya Mill. Sebagai akibat kemajuan yang luarbiasa di bidang biologi, genetika, dan neurofisiologi, ilmu pengetahuansekarang mengembangkan dasar-dasar yang sama sekali baru, dan ilmu-ilmu sosial belum dapat menyesuaikan diri dengannya. Dasar-dasar inisecaraluas dapat didefinisikan sebagai: (1) Kepercayaan pada adanyakonsep-konsep yang tak terbatas kemungkinannya, yang evolusinya tergantung dan kebaikan dan kegunaan konsep itu, dan bukan dan “kebenaran”dalam arti tiruan dan suatu tujuan dan “pola akbar” (grand design) yangdapat diuraikan, dengan kata lain penolakan terhadap apa yang disebut olehMilton Munitz “teori alam sekali tembak (one-shot theoryof the universe);(2) penggantian “teori kebenaran menurut persetujuan” ‘(correspondencetheory of truth) dengan “teori kebenaran yang konsisten” coherence theoryof truth); dan (3) penerimaan keabsahan peragaan yang didasarkan padakebutuhan logis disamping konformasi empiric. Penekanan sekarang iniadalah pada makhluk individual yang dipandang sebagai hakim yangmenentukan letak kepentingannya sendiri dan bukan pada sekelompok elityang menentukan masyarakat karena kemampuan ilmiah dan pengetahuannormatifnya.
TEORI POLITIK: PERUBAHAN DAN KONTINUITAS
Interpretasi lain yang diberikan sehubungan dengan kemerosotan teoripolitik adalah bahwa teori politik tidak merosot melainkan berubah bentuk. Teori politik masa lalu mencakup dua aktivitas: (1) pada tingkatan praktis,berusaha menjelaskan bagaimana pemerintahan berfungsi, atau apa asalmulanya, atau mengapa pemerintahan tersebut dipatuhi, dan (2) pada tingkatan filosofis, mencoba meletakkan tujuan dan sasaran negara dan mengusulkan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan tersebut. JohnPlamenatz menunjukkan bahwa kedua aktivitas tersebut berbeda dan takdapat dipertukarkan satu dan lainnya. Mengenai hal yang kedua yaitu aspek filosofis teori politik berbeda dari waktu ke waktu, dan orang ke orang, dandarinegara ke negara, karena sifatnya yang spekulatif. Karena teori-teorispekulatif ini juga mempengaruhi tindakan, maka perlu dipelajari secarahistoric waktu dan keadaan pada saat munculnya teori tersebut. Dengandemikian Durkheim tidak salah ketika mengatakan bahwa filsuf politiksering berusaha membentukkembali sejarahdengan caranya sendiri danmemaksakan nilai-nilai pribadi atau kelompok dalam usahanya tersebut. Halini mempersulit penjelasan ilmiah atas fakta karena teori semacam ituhanya berfungsi untuk membenarkan apa yang dìinginkan olehfilsuf yang bersangkutan, meskipun kita tak dapat mengatakannya sebagai khayalanatau sekedar selera semata. Mungkin saja teori-teori itu hanya teori-teorianatau teori yang ngaco. Weldon termenung dengan teori-teori semacam ituketika melihat bahwa konsep politik semata hanya diperlukan untukpenganalisaan ilmiah guna menutupi ketidakpentingannya, kesederhanaandan ketakbergunaannya saja. Teori politik dari Plato sampai Hegel, umumnya adalah kreasi dari orang-orang yang sebenarnya lebih merupakan filsuf. Karena itu wajar kalau filsafat politik mereka adalah bagian dari falsafah umumnya. Baru belum lama ini saja disadari bahwa “kebenaran” ataurasionalitas dari suatu bentuk organisasi politik atau kebijakan politiktidaklah dapat disimpulkan dari prnsip-prnsip logika atau metafisika.
Tetapi bahkan pada masa lalu pun teori politik tak selalu merupakanturunan atau cabang dari suatu filsafat. Ada pemikir seperti Tocqueville,Graham, Wallace, Bagehot, dan Baines, dan banyak lagi, yang telah mengambil pandangan sosiologis terhadap politik. Bahkan Hobbes, dalamLeviathan, lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan prakis danpada filosofis. Rousseau terutama bukanlah filsuf, meskipun Green,Bosanquet dan idealis lainnya mengembangkan suatu filsafat yang berasal dari analisa sosiologis mereka. Yang dapat dikatakan adalah bahwapendekatan-pendekaan inifilosofis, sosiologis, dan ideologis telahmenurun tahun-tahun terakhir ini berhadapan dengan penelaahan sosial danpolitik yang empiris dan terinci. Tapi halini tidak berarti Teori politik atauberteori tentang politik sudah menurun. Yang terjadi, seperti yang dikatakanPartridge, adalah bahwa ilmu politik memisahkan diri darialiran filsafat, danseperti ekonomi dan ilmu sosial lain, sampai pada titik di mana ilmuwanpolitik harus menghadapi masalah yang umum, termasuk analisa konseptualyang dahulu hanya dilakukan oleh filsafat. Ilmuwan politik masa kinimelakukan analisa konseptual pada tingkat kecanggihan dan kerumitan yang hampir tak dapat dicapat oleh para filsuf. Batas antara filsafat dan ilmu politik sedang dirumuskan kembali dan dibuatlah pembedaan tajam antarapertanyaan filosofis dan pertanyaan empiris. Dengan perkataan lain, teoripolitik tidak lagi dikerjakan oleh filsuf dan ahli sosiologi, melainkan olehilmuwan politik yang telah mengembangkan kemampuan yang cukup tinggiuntuk menghadapi masalah-masalah dalam bidangnya.
Bahwa teori politik, bahkan dalam pengertian sebagai filsafat politik,tidaklah mati ataupun merosot adalah pandangan yang disuarakan oleh Isaiah Berlin. la menentang pandangan bahwa dapat terjadi satu jenismasyarakat, apakah teknokratis atau utilitarian. Thomis atau komunis,ataupun Platonis atau anarkis  dan jika pun orang dapat menerimapandangan tentang tujuan masyarakat yang monistik, terlalu dipermudah,dan dibuat-buat sedemikian itu, akan selalu terdapat perbedaan dalammengartikan tujuan-tujuan tersebut di antara orang-orang yang berheda dandalam situasi yang berlainan. Berlin menulis: “Menganggap bahwa pernah
ada ataumungkin ada suatu zaman tanpa filsafat politik sama dengan beranggapan bahwa karena ada zaman kepercayaan (ages of Faith), makaada juga atau mungkin ada zaman tanpa kepercayaan sama sekali.Iniadalah suatu pandangan yang tak dapat diterima, tidak ada aktivitas manusia yang tidak mencakup pandangan umum: skeptisisme, sinisisme,penolakan untuk menyibukkan diri dengan hal-hal abstrak atau mempertanyakan nilai-nilai, oportunisme yang keras, ketidaksukaan terhadaptindakan berteori, semua variasi nihilisme itu, yang semuanya merupakanposisi metafisis dan etis, tentu juga merupakan sikap memihak.
Percobaan-percobaan ahli filsafat abad ke- 18 untuk mengubah politikmenjadi filsafat terutama filsafat moral dan politik, gagal, karena rupanyamereka berfikir bahwa politik yang menempatkan manusia sebagai subjek utama, dapat mempelajarinya dengan cara memisahkannya dan apa yangmenentukan kemanusiaannya, yakninilai-nilainya, dan bahwa nilai-nilaidapat diperlukan sebagai bahan induksi dan hipotesa, walaupun nilai-nilaiituselalu akan diperdebatkan. “Selama keingintahuan yang rasional ada keinginan akan pembenaran dan penjelasan dalam anti motif dan alasan-alasan, dan bukan hanya dalam pengertian sebab atau korelasi fungsionalatau kemungkinan-kemungkinan statistik’ tulis Berlin, “maka teori politiktak akan hilang dari muka bumi, meskipun banyak saingannya sepertisosiologi, analisa filsafat, psikologi sosial, ilmu politik, ekonomi, yurisprudensi, semantik, mungkin akan mengklaim telah menghilangkan apayang dibayangkan sebagai wilayahnya. Dalam kenyataannya teoripolitik sedang maju, baik pada tingkat behavioural maupun tradisional. Ílmuwan politik behavioural  seperti Easton, Lasswell atau Deutschsedang membuka dimensi-dimensi baru untuk studi persoalan-persoalanpolitik. Tetapi berdampingan dengan itu jenis pemikiran sosial yangtumbuh karena dorongan-dorongan moral juga sedang berkembang. Kitamenemukan ahli-ahli fitsafat politik terkemuka yang terlibat dalampenelitian tentang masalah-masalah yang mempengaruhi masyarakat danmengembangkan teori-teori politik tentang anomi, penghapusanpribadi (de-personalization) perpecahan (atomization), dan sebagainyayang biasa terdapat di dalam masyarakat industri berskala besar, dan jugateori-teoripolitik mengenai masalah-masalah apa yang dianggap peleburan“kelompok” (community) dan pendewaan negara. Berlin menyimpulkan,“Neo-Marxisme, neo-Thomisme, nasionalisme, historisisme, eksistensialisme, liberalisme anti-esensi dan sosialisme, penggantian ajaran-ajaran tentang hak-hak serta hukum-hukum alami dengan ajaran-ajaran denganpengertian empiris, penemuan-penemuan yang dihasilkan dengan keterampilanmenggunakan contoh-contoh yang diambil dan teknik ekonomi dan ilmuilmuyang ada kaitannya untuk bidang tingkah-laku politik, dan penggabungan,kombinasi, dan akibat-akibat yang timbul karena pelaksanaan ide-ide ini, tidak menunjuk pada kematian sebuah radisi besar, tapi, kalau ada, padaperkembangan-perkembangan baru yang tak dapat diramalkan.
TEORI POLITIK, FILSAFAT POLITIK, DAN IDEOLOGI
Menurut Easton teori politik terdiri dari tiga unsur: (I) Keklerangantentang fakta-fakta atau deskriptif (2) Teori murni, atau teori sebab-akibatyang berusaha mencari hubungan yang dianggap ada antara fakta-fakta, dan(3) teorinilai yang menentukan keterangan-keterangan preferensi yangmerupakan tujuan, maka ilmuwan politik harus memikirkan juga jalan apa tujuan itu dapat dicapai. Hal ini hanya dimungkinkan denganbantuan sebuah teori sebab-akibat yang berlaku umum, yang mempelajari hubungan antara fakta-fakta. Faktapentingartinya,tapi seleksi dan pengumpulan fakta sendiri mengisyaratkan adanya sebuah teori, paling tidak dibawah alam sadar. Fakta-fakta dan hubungan timbal-balik antara bermacam-macam fakta selalu ditentukan oleh selera pengamat, dan seleksi dilakukanmenurut rangka kepentingan yang menetapkan kedudukan serta relevansifakta-fakta itu. Ketika muncul ke alam sadar maka rangka kepentingan itumembentuk sebuah teori. Tanpa sedikit asumsi teori mustahil dapat memilih fakta-fakta yang berarti.Karena itu fakta dapat didefinisikan sebagai“kenyataan yang khusus disusun untuk kepentingan sebuah teorit. Karenaitu fakta dan teori saling bergantungan satu sama lain. Fakta tanpa teorimerupakan tumpukan bagian-bagian yang tak berguna dan tak ada artinya. Teori yang tidak berakar pada fakta adalah spekulasi murni. Pengumpulan data dengan cara-cara yang dapat diterima, tulis Easton, “tidak dengansendirinya memberikan pengetahuan yang cukup pada kita. Pengetahuanmenjadi kritis dan dapat diandalkan kalau sifatnya semakin umum dan semakin konsisten dalam pengaturan intern, pendeknya kalau pengetahuan itu merupakanketerangan-keterangan yang sistematis dan berlaku umumdan dapat diberlakukan terhadap sejumlah besar kasus-kasus khusus.
Easton tidak percaya kalau perilaku politik tak bisa dipelajari dengan,pendekatan teori, Perilaku manusia, termasuk perilaku politik, mempunyaikesamaan tertentu yang selalu dapat digunakan sebagai dasar ramalan, tapihal ini hanya bisa dilakukan dengan bantuan pendekatan teori. Easton percaya bahwa pendekatan seperti itu dapat mengambil salah-satu dari tigabentuk (a) generalisasi tunggal (singular generalization,) yang berarti keterangan tentang kesamaan yang telah diamati antara dua vanabel yang terpisah dan mudah dikenali; (b) teori sintesis atan teori standar sempit (narrow-gauge theory) atau sekumpulan keterangan yang saling berkaitan yang digunakan untuk menggabungkan data yang terdapat dalam suatu...




0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More