BAB 3
KEADAAN POLITIK
DEWASA INI:
MENURUN ATAUKAH
TIMBUL KEMBALI
Walaupun dalam perjalanan sejarahnya filsafat
politik menempati kedudukan yang penting, tapi tradisi yang memungk inkan lahirnya karya-karya para filsuf yang
terkenal boleh dikatakan hampir berakhir. Dayid Easton, Alfred Cobban dan
sejumlah penulis kontemporer lainnya berpendapat bahwa teori politik, yang bagi
mereka termasuk pula filsafat politik, kini tengah mengalami kemerosotan yang
tajam. Kalau mereka hanya bicara tentang “kemerosotan”, yang lain lebih bicara
tentang posisinya yang terpojok,atau sudah “mati” kata Peter Laslett dan Robert
A, DahI. Bahkan di Oxford, tempat asal teori politik klasik, pernyataan bahwa
teori politik telah mati atau sedang melaju mundur bukanlah barang baru. Untuk
mendukung penilaian tersebut mereka menyatakan bahwa sejak Marx dan Mill (dan
barangkali juga Laski) kini sudah tidak ada lagi filsuf politik yang menonjol.
Dalam menjelaskan gejala tersebut. Easton mengemukakan bahwa umumnya
gagasan-gagasan politik itu lahir dan berkembang pada saat terjadi perubahan
atau pergolakan sosial. Hal ini terbukti dan kemunculan karya-karya mereka saat
itu. Ketika terjadi pergolakan sosial di Yunani Kuno, ketika terjadi kekacauan
sebagai akibat sengketa agama dan politik padaabad ke-16 dan ke-17 di Inggris,
dan ketika gagasan-gagasan politik melahirkan revolusi besar di Perancis pada
abad ke-18, saat itulah karya-karya dari para filsuf besar itu lahir, Lebih
lanjut Easton menegaskan bahwahal itu kembali berulang ketika pada pertengahan
abad ke-20 terjadi perubahan budaya yang mendasar dan konflik sosial yang
meluas di beberapa bagian dunia, meski pada bagian dunia lainnya pemikiran
politik itu tidak berkembang secara berarti. Tahun 1951 sekali lagi ini
menegaskan bahwa pemikiran politik yang ada saat ini lebih banyak berpijak pada
gagasan-gagasan lama, dan sialnya upaya untuk mengembangkan sintesa-sintesa
politik baru amatlah kecil. Parahnya lagi, landasan untuk bisa memunculkan
fikiran kreatif tidak dipersiapkan, Melihat kenyataan inilahsejumlah penulis
telah mencoha mencari tahu penyebabnya.
KEMEROSOTAN TEORI
POLITIK: SEBAB-SEBAB UTAMA
Easton menyebut “kemiskinan”, “kemiskinan”
dan “kemerosotan teoripolitik” itu sebagai akibat langsung dan pernyataan para
ilmuan politik kontemporer yang: (a) hidup secara parasit dari gagasan-gagasan
yang telah usang dan (b) gagal mengembangkan suatu sintesa politik baru,
Menurutnya mereka terlalu sibuk dengan analisa pemikiran politik abad-abad
sebelumnya disamping dalam menelusuri falsafah politik individu dan Iingkungan
hidup yang melingkupi pemikir tersebut,ini mungkin merupakan kerja istimewa
dalam menemukan fakta historis, tetapi menurut Easton analis: historis semacam
ini merupakan penyebab utama hancurnya aktivitas mental yang hidup dalam
peradaban tinggi dan yang muncul dari kebutuhan manusia yang universal. Dengan
kata lain, pada waktu-waktu belakangan ini para ilmuwan politik lebih suka
memusatkan perhatiannya pada hubungan nilai dan lingkungan yang melahirkannya
ketimbang pada upaya untuk mencoba menciptakan konsep nilai yang baru yang
dapat mendukung kebutuhan mereka. Tidak heran kalau tenaga dan fikirannya tidak
lagi banyak tercurah pada tugas tradisionalnya untuk merumuskan kembati pokok
nilai (content of values) di setiap masa, atau dalam pengembangan teori yang
sistematis tentang perilaku politik dan bekerjanya lembaga-lembaga politik,
suatu tugas yang oleh para ahli ekonomi dan sosiologi telah dikerjakan dengan
baik. Mereka teIah berusaha memberikan koherensi dari kesatuan pada riset-riset
empiris dengan membangun teori-teori umum, yang justru diabaikan oleh ilmuwan
politik. Dalam hal ini Easton sendiri tidak melulu menyorot kesalahan yang ada
pada teori politik modern, melainkan juga pada keseluruhan teori politik yang
telah berkembang hingga kini. Menurutnya, suatu teori tidak hanya
menanganinilai tetapi juga fakta, karena itulah suatu teori perlu
mensistematisikan dasar-dasar empirisnya. Kegagalan teori politik untuk
melakukan tugas itulah yang dikeluhkan Easton.Teoripolitik ternyata lebib
bersifat spekulatif dan kurang berlandaskan pada observasi yang seksama
terhadap peristiwa politik,kontemporer dan pengetahuan tentang sejarah manusia.
Manusia tak hanya tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa lalu,
tapi juga ingin menyaksikan apa yang akan terjadi pada masa
mendatang,inimenyangkut pernyataan-pernyataan yang berorientasi pada nilai (value oriented), atauyang disebut Easton
sebagai suatu ‘teorinilai” (value theory),
Berbedadengan penganut mazhab “perilaku” yang lain, Easton bukanlah orang yang
tidak setuju dengan teorinilai, sekalipun seperti juga yang lain
lebihmementingkan teori kausal. Ia memandang teorinilai, yang dalam
tulisan-tulisan politik kinicenderung ditinggalkan, bukanlah tidak penting,’
“HISTORISISME”
Easton tampaknya begitu berang terhadap
Dunning, Sabine Melllwaindan Lindsay, yang begitu banyak nenghabiskan waktunya
untuk menelaahgagasan-gagasan politik masa lalu. Para penulis ini kurang
tertarik untukmenghubungkan informasi tentang arti, konsistensi dan
perkembangankesejarahan nilai-nilai politik baik yang kontemporer atau yang
telahlampau. Easton membagi ahli politik masa kini ke dalam empat kategori:
1.
Penganut
faham kelembagaan, seperti Carlyle dan Melliwain yang tampaknya lebih tertarik
untuk menelusuri asal-usul gagasan dansudutpandang bahwa gagasan itu telah
memberi rasionalisasi padakepentingan-kepentingan politik dan pengembangan
kelembagaandaripada menentukan bagaimana gagasan tersebut
mempengaruhiperistiwa-peristiwa masa kini.
2.
Interaksionis,
seperti Allen dan kadang-kadang Carlyle, yang mencobamenguraikan interaksi
antara gagasan dan lembaga yang memberikanpengaruh besar terhadap proses
perubahan sosial pada setiap negara.
3.
Materialis,
termasuk Dunning, Sabine dan banyak lagi sarjana yang lain,yang menelaah teori
politik untuk menemukan dan mengungkapkanlatar-belakang budaya dan sejarah yang
mempengaruhi pemikiranpolitik pada masa tertentu, Para penulis yang mewakili
mayoritas inimencoba memahami ideologi dalam pengertian matriks
budayakeseluruhan.
4.
Kelompok
keempat diwakili oleh Lindsay, yang lebih tertarik pada nilai-nilai kontemporer
tertentu seperti demokrasi, dan senang menelusuri perkembangan sejarah ya,
dengan tujuan menentukan banyaknya dukungan sejarah pada nilai tersebut. Mereka
nampaknya percaya bahwa nilai-nilai yang telah diuji oleh waktu berhak untuk
mendapat pengakuan.
Easton memandang semua penulis kontemporer
tersebut sebagaihistoricit, muksudnya adalah bahwa “mereka tidak menggunakan
sejarahnilaisebagai alat untuk merangsang fikiran mereka guna mencari
kemungkinan mendalilkan kembali tujuan-tujuan politik”, melainkan untuk
memahami kondisi yang telah menimbulkan ideologi sistem atau nilai tertentu.
Ini merupakan tugas utamanya para sejarawan, bukan ilmuwan politik. Selama
lebih dari dua ribu tahun, sejak kaum Sophist dan Socrates hinggaHegel dan
Marx, para pemikir politik telah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar dan telah mencoba menjawabnya denganmaksud untuk menetapkan
nilai-nilai tertentu bagi masyarakat. Baru padaabad kedua puluh, Easton
menyayangkan bahwa pemikir politik telahmengambil alih peranan ahil sejarah dan
menolak mengatasi masalah-masalah sosial atau berusaha mencari pemecahannya.
Penulis seperli Dewey,Barker, Croce, dan Laski merupakan kekecualian, tapi mayoritas
penulisilmu politik abad kedua puluh berpatokan pada pendekatan historis”,
danhal inilah yang menurut Easton lebh “berhasil menghancurkan teorinilai”.
“RELATIVISME MORAL”
Easton
cenderung berpendapat bahwa kemerosotan teori politikdisebabkan juga oleh
tumbuhnya sikap nisbi terhadap nilaiyangdisebutnya sebagai “relativisme
moral’seperti yang muncul dalam tulisan-tulisan Hume dan terkristalisasi dalam
ilmu sosial abad/ke-20 oleh Max Weber, Bermula dengan Hume dan berakhir dengan
Comte sertaMarx, usaha untuk memisahkan nilai dan fakta itu dilakukan. Menurut
mereka nilai merupakan cormin kecenderungan individu atau kelompok,dan
kecenderungan tersebut menjadi cermin pengalaman hidupnyamasing-masing. Kalau
nilai semata merupakan cermin kecenderungan individu atau kelompok, maka yang
perlu dilakukan oleh seorang peneliti adalah menghubungkannya dengan kondisi
politik, sosial dan ekonomidalam masyarakat.Nilai, berdasarkan pandangan di
atas, tak dapatdipindahkan dan periode sejarah yang satu ke yang lain, Karena
itu pulaía tidak dapat diharapkan penerapannya pada situasi masa kini.
Merosotnya perhatian pada nilai-nilai kreatif
dan berkembangnyarelativisme moral boleh dikatakan merupakam akibat dari
situasi historisEropa pada tahun 1848 dan 1918, yaitu ketika ada kesatuan
pendapat yangbelum pernahterjadi sebelumnya tentang nilai-nilai di duniaBarat.
Kapitalisme, nasionalisme dan demokrasi telah menjadi nilai-nilai yang
diterimaoleh seluruh Eropa, dan sedikit demi sedikit mulaimenyebar ke
benua-benualain. Baru pada tahun 1917 ketika suatu sistem politik dan sistem
nilai yangberbeda berkembang di Rusia, konsep-konsep tersebut tertantangi
(meskikemudian menyesuaikan diri dengan konsep nasionalisme). Kemudian jugapada
akhir tahun dua puluhan dan awal tahun tiga puluhan, dengan munculnya kaum
Fasis, Nazi dan sistem-sistem militer di Italia, Jerman dan Jepang,konsep
demokrasi benar-benar dikepalai. Dan sejak itulah konflik di antaraberbagai
sistemnilai yang ada mulai menajam dan mengeras. Situasi sepertiini seharusnya
membangkitkan reaksi para pemikir politik. Easton herankenapa dalam situasi
baru yang demikian tak ada usaha untuk menempatkannilai-nilai lama di bawah
“analisa yang kritis dan rekonstruksi imajinatif’. Menurut Easton penyebab
utamanya adalah karena ilmu politik dan ilmuilmu lain banyak dipengaruhi oleh
Max, Weber, yang memisahkan nilai-nilai politik dan penelitian empiris. Karl
Mannheim dan para ahli sosiologi lain saat ini memilikì pandangan bahwa nilai
adalah bagian yang integral dan kepribadian, yang tak dapatdilepas seperti
halnya seseorang membuka bajunya.Nilai-nilaiini mempengaruhi kita pada setiap
tahap pekerjaan risetpada saat kira memilihmasalah yang diteliti, dalamcara
kita menerjemahkan hasil, dan dalammenentukan saran-saran yang mungkin kita
ajukan agar hasil tersebut dapatberguna bagi masyaraka. Dengan kata lain,
ilmuwan politik bukan hanyapenganalisa nilai tapi juga pembangunan nilai.
Seharusnya tidak mungkinbagi seorang ilmuwan sosial untuk memisahkan diri
darimasalah-masalahsosial yang penting pada zamannya, Jika seorang ilmuwan
sosial melakukan risetnya di dalam sebuah lingkungan yang tertutup rapat dari
pengaruh nilai, maka selalu ada bahaya bahwa ia menghabiskan waktunya menangani
masalah-masalah yang hampir tak ada relevansinya bagi masyarakat. Mengejar ilmu
pengetahuan adalah sebuah kegiatan yang penting, tapi kitatak boleh lupa bahwa
pengetahuan diperoleh untuk tujuan tertentu. “Pengetahuan untuk apa”,
pertanyaan yang sekaligus merupakan judul bukuRobert S, Lynd ini adalah sebuah
pertanyaan yang penting. Disayangkan bahwa dalam usaha mencariilmu politik yang
bebasnilai, beberapa orangteoritisi politik modern menghindari pertanyaan di
atas.
Gagasan
bahwa “riset dan perkembngan konstruksif dan nilai-nilaiadalah bagian integral
dari studi politik”, sebagaimana diuraikan Easton dalam pidatonya sebagai ketua
pada pertemuan American Political ScienceAssociation tahun 1969, dapat
ditelusuri kembali sampai pada tulisan-tulisannya yang terdahulu tentang hal
ini, ketika la menganjurkan ‘latihan bagi ilmuwan sosial dalambidang analisa
dan rekonstruksi sistemnilai.’Menurut Easton, seorang ilmuwan politik harus
bereaksi dengan tanggap terhadap persoalan masyarakat yang mendesak dan
kebutuhan sosial yang sedang muncul selain mencoba mengetengahkan sistem nilai
yang canggih. Ia menulis bahwa “Teori politik kreatif masa lalu telah terlibat
dengan usahmengatur konsepsi kebutuhan zamannyayakni mengaitkan pengetahuan
tentang fakta-fakta politik dengan tujuan-tujuan politik.” Jikateori yang
kritis dihidupkan kembali, maka akan “terdapat kembali sebuah jembatan antara
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan pengetahuan ilmu-ilmu sosial”. Tiada alasan,
tulis Faston, mengapa ilmuwan politik harus membatasi diri pada tugas memahami
hubungan-hubungan politik sebagaimana adanya, tanpa mempertanyakan hubungan
politik yang lama atau menciptakan sintesa politik baru.Teorinilai yang
difahami berdasarkan pengertian kreatif, seharusnya memainkan peranan yang
penting dalam studi-studi politik. Dalam pandangan Easton, bukan hanya ditinggalkannya
teorinilaisebagai aktivitas kreatif, dan digantikannya oleh
historisisme,melainkan juga tidak adanya perhatian terhadap teori perilaku
politik yang empiris,kausal dan sistematis, yang telah menyebabkan kemerosotan
teori politik.
KEKACAUAN ANTARA ILMU
PENGETAHUAN DAN TEORI
Sebab
lain, yang dipandang oleh Easton sebagai penyebab merosotnya teori politik
adalah kenyataan bahwa kita dalam waku tiga perempat abadterakhir telah
menggunakan ilmu pengetahuan dan teor isecara salah, danmengacaukan ilmu pengetahuan
dengan teori, dan lupa bahwa teorilebihluasdari ilmu pengetahuan. Menggunakan
metode ilmiah dalam tugas risetmeskipun pentingadalah berbeda dengan
mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada riset yang telah dilakukan,
betapapun ilmiahsipatnya. Mereka yang menganggap dirinya ilmuwan politik pada
umumnyaberusaha mengumpulkan fakta dan berdasarkan fakta-fakta itu
merekamencoba mengembangkan mekanisme alternatif untuk memperbaikistruktur dan
proses politik. Percobaan ini mungkin bersifat ilmiah, tetapibelum pasti
berkembang dengan sendirinya menjadi sebuah teori, kecualikalau kita mampu
mengidentitikasikan variabel-variabel kehidupan politikyang terutama dan
menetapkan hubungannya satu sama lain. Kalau kitamengecualikan beberapa orang
ilmuwan politik, Merriam, Freidrich,Simon,Lasswell, dan beberapa orang
lainnyamaka kita akan menemukanbahwa sebagian besar ilmuwan politik modern,
setelah sengaja mengalihkan perhatian mereka dari insitusi kepada proses dan
kadang-kadang motifdi bawah dampak sosiologi dan psikologibelum juga
mulaimengembangkan sebuah kerangka konseptual yang cukup bagi studi
ilmupolitik. Mempelajari proses dan motivasi adalah pentingpasti lebihpenting
dari pada studi tentang lembaga tetapi tak dapat dengan sendirinya membangun
teori, Kaum tradisionalis dan behaviouralis telah melibatkan diri terlalu lama
dalam perdebatan apakah yang seharusnya terjadi lebih penting daripada apa yang
sudah ada, dan sebaliknya, dan apakah wawasan saja yang diperlukan guna
pernahaman politik yang mencukupi,ataukah observasi terhadap gejala politik
yang nyata juga penting. Kaum“behavioralis’ dengan suara bulat telah menyatakan
pentingnya apa yangsudah ada, tetapi mereka hampir tak pernah berusaha mencari
tahu mengapadan bagaimana yang sudah ada itu menjadi ada, Di sinilah letak
peran teori.
HYPERFAKTUALISME”
Ilmu
politik, menurut Easton, sudah terlalu Lama didominasi oleh Hyperfaktualisme.
Pada umumnya Bryce yang dipersalahkan tetah memberikan tekanan yang berlebihan
pada hyperfaktualisme. Tapi harus dikatakandemi kebaikan Bryce bahwa dalam
pekerjaannya yang terdahulu, misalnyadalam American Commonwealth, ia tidak
mengabaikan teori, ia hanya tidaksuka pada pembentukan sistem, terutama pada
filsafat sejarah dan analisahukumJermanyang disebutnya ideologomachies.
Tanyanya, “apayang mungkin lebih kosong, lebih kering dan beku dan gersang
daripadatulisan-tulisan sok-tahu tentang kedaulatan seperti yang kita temukan
dalamJohn Austin dan beberapa orang penulis yang lebih baru?”, Dalam
tulisan-tulisannya yang terdahulu Brycemenekankan perlunya mengumpulkanfakta
melalui hipotesa dan teori, dan menolak anggapan bahwa ia meremehkan
generalisasi sejarah atauteori politik. la menyatakan bahwastudi tentang
fakta-fakta dimaksudkan untuk “tujuan karena itu sulituntuk tidak setuju dengan
Eastonketika ia menulis bahwaa ,teoritanpafakta bagaikan kapal dengan nakhoda
yang baik tetapi dengan limas yangrusak”. Tapi kalau kesibukan pengumpulan
fakta menghabiskan energy sehingga tidak dapat melihat fakta-fakta itu dalam
bobot teoritis maka nilaiakhir riset fakta ini sendiri bisa hilang.
KONDISI DUNIA
KONTEMPORER
Seperti Easton,Cobban juga berpendapat bahwa
teori politik sedang merosot, dan ia tidak terlalu optimis teori politik akan
hidup kembali. Ia menulis bahwa telah ada tradisi intelektual di Barat selama
lebih 2.500 tahun, mencakup keyakinan terhadap interaksi konstan antara gagasan
daninstitusi, yang satu mengubah yang lain. Tapi tiada sintesa seperti ini yang
muncul dalam zaman kita ataupun sejak beberapa waktu lampaumenurut Cobban sejak
abad ke-18. Kita selalu dapat berkata bahwa pemikir politik yang besar tidak
bisa timbul begitu saja, dan jarak satu abad atau lebih dalam sejarah teori
politik mungkin tidak perlu dicemaskan benar. Pada masa lampau sejarah
perkembangan teori politik juga terputus-putus, seperti dalam abad-abad setelah
memuncaknya gagasan politik Yunani dalam tulisan-rulisan Plato dan Aristoteles.
Bahkan jika Natural Law School dan konsep yurisprudensi Romawi dilihat sebagai
suatu kontinuitas, pemikiran politik telah mati selama puncak kejayaan
KekaisaranRomawi.Cobban khawatir bahwa kondisi dunia dewasa ini serupa dengan keadaan
masa Kekaisaran Romawi; dan jika hal ini berlangsung untuk periode yang lebih
lama, maka ada bahaya bahwa sungai pemikiran
politik
dapat menjadi kering. Di antara kondisi inheren dalam pemikiran politik dunia modern.
la menyebutkan adanya perluasan kegiatan kenegaraan, kontrol yang luas dan
birokrasi terhadap semua kegiatan kemasyarakatan dan terciptanya “mesin”
militer yang besar.
Cobban mengakui bahwa baik di dunia komunis
maupun di dunia Barat, angkatan bersenjata tidaklah di atas sipil, akan tetapi
pada zamanRomawi pun kelompok legion lama berada pada kedudukan yang
tidakmenonjol. Dalam duniakomunis, bentuk organisasi partainya menandakanadanya
pemerintahan oligarki kecil, munculnya suatu super bureaucrat atau ketua partai
mengambil kesimpulan dan penguasaan prinsip, dan kalautidak begitu maka hal itu
tak punya nilai ilmiah. Tapi setelah ia melanjutkanpekerjaannya, dan mencoba merumuskan
kembali teori untuk memberikanorientasi empiris, maka teori menjadi tergantung
pada pengumpulan fakta,dan ada saatnya teori hampir tak tampak. Sebenarnya
Bryce hanyalah produkpositivisme sejarah pada akhir abad kesembilan belas, yang
menekankanpengumpulan data positif sebagai cara untuk menciptakan kembali
masayang lalu, dan ia mendapat kesulitan untuk mengatasi keadaan itu.
Kepentingan tulisan-tulisannya tentang politik terletak pada
caranyamenggambarkan situasi yang dapat dilihat dan dimengertinya
berdasarkanobservasi dan studi tentang fakta-fakta, ltulah metode sejarah yang
sudah diterima, tetapi tidak seperti Hegel dan lain-lainnya yang telah
mencobamengembangkan sebuah filsafat dan sejarah, Bryce tetap puas dalam sikap membatasi
diri pada empirisisme yang tidak diolah.
Kebiasaan ini masih terus mempengaruhi ilmu
politik hingga tahundua puluhan, ketika kecenderungan umum di fihak ilmuwan
politik adalahmencari “masalah-masalah penting yang dapat dhjadikan bahan riset
tanpaada usaha untuk mengetahui bahwa suatu gejala politik sebaiknya
dapatdimengerti, bukan dengan cara menggambarkan seteliti mungkin berbagai
variabel yang ada berdasarkan penemuan empiris, tetapi dengan jalanmenganalisa
variabel-varabel yang ditemukan sebagai tipe-tipe tertentudalam segala situasi
politik, Misalnya “The National Conferences on theScience of Polities
(1922-24)” memusatkan perhatian terbesar pada pengembangan teknik-teknik baru
untuk pengumpulan data. Tak dapat diragukanbahwa para ilmuwan politik selama
tahun-tahun terakhir telah maju denganpesat dalam hal mengembangkan teknik yang
canggih untuk memahamiperilaku dalam pemberian suara, pendapat umum,
kepemimpinan legislatiftapi hampir tak mampu memberikan orietasi teori pada
studi mereka, suatukeadaan yang oleh Easton disebut sebagai “kurang gizi dalam
bidang teoridan kejenuhan dalam bidang fakta”. Dalam hal usaha mencari detail
ilmuwanpolitik seperti telah kehilangan pandangan politik yang menyeluruh,
dangagal menumbuhkan alat-alat canggih yang dapat digunakan dengan baikuntuk
studi semacam itu. Perhatian mereka sebagian besar menetap padamasalah-masalah
tertentu yang membutuhkan penyelesaian, dan mereka semakin tidak tergerak untuk
melihat hubungan yang ada kaitannya dandengan sistem sebagai keseluruhan. Oleh
pemegang kekuasaan, dan pembentukan mekanisme penindasan (represi) untuk
digunakan terhadapmereka yang tak sejalan, sedang mesin partai tersebut tidak
kurang kuasanya dibandingkan dengan mesin militer. Kita mungkin hendak
menyangkaladanya keadaan tersebut dalam dunia demokrasi. Tetapi Cobban
tidakyakin, ia melihat kesamaan yang ada di antara dua bagian dunia tersebut.
Meskipun gagasan politik yang dominan dalam duniaBarat adalah demokrasi, namun
hampir tidak ada ahliteori politik dewasa ini. Konsep demokrasi berasal dan
abad ke-18, tetapi pada abad ke-19 tiada usaha untukmembentuknya kembali sesuai
dengan perubahan kebutuhan. Abad ke- 19adalah awal mula nasionalisme,
komunisme, dan fasisme, dan bukan tumbuhnya demokrasi, Demokrasi telah menjadi
formula tanpa makna. “Uanglogam”, tulisCobban, “tetap merupakan alat tukar yang
sah meskipun sudahaus terpakai. Akan tetapi gagasan politik perlu pembentukan
kembali secara periodik jika hendak tetap mempunyai nilai. Dalam beberapa
decade terakhir ini ada sejumlah penulis yang mempunyai pendapat yang
cukupberbobot tentangsituasi politik masa kini.Cobban menyebut Ferrero,
BertranddeJouvenel, Bertrand Russel, E.H,Carr, Reinhold Niebuhr, Harold
Lasswell,dan Hans Morgenthau. Tetapi mereka memandang negara dari segi powerdan
tidak memasukkan etika ke dalam lapangan politik. Setiap atom yangmembentuk
masyarakat dikumpulkan bersama dilempar dan dihancurkanoleh power yang tak
diciptakannya dan tak dapat dikontrolnya. Jaditidaklah mengherankan bahwa teori
polilik sedang merosot. Toynbee dapat mengatakan bahwa hancurnya suatu
peradaban mungkin berarti Iahirnyasuatu agama, akan tetapi hal itu tidak akan
memuaskan seorang ilmuwanpolitik.
Kemudian hari, Cobbanmencoba mengubah sedikit pendapatnya danmenyatakan
bahwa keadaannya masih belum terlambat paling tidak di satu bagian dunia.
Birokrasi belum menjadi realita pemerintahan di negara Barat mana pun, pretorian guard ataupun partai politik
belum menjadi majikan.
KONDISI INTERNAL ILMU
POLITIK
Jika kondisi eksternal masyarakat tak dapat
dipandang sebagai faktorpenentu dalam kemerosotan teoripolitik, alternatif
satu-satunya adalahkondisi internal, yaitu adanya kesalahan dalam hakikat
pemikiran politik itusendiri,Cobban yakin bahwa itulah yang terjadi bahwa ada
salah arah dalampemikiran politik dewasa ini.Cobban percaya bahwa tiadanya arah
di antarapara ilmuwan politik dewasa ini merupakan penyebab utama
kemerosotanteoripolitik masa kini. Semua pemikir politik besar masa
lalu-Miii,Bentham, Burke, Rousseau, Montesque, Locke, Hobbes, Spinoza, dan
bahkanPlato dan Anstotetes, menulis dengan tujuan praktis dan dengan
maksuduntuk mempengaruhi tingkah laku politik yang sebenarnya. Mereka
menulisuntuk mengutuk atau mendukung lembaga dan sistem politik yang ada
ataumeyakinkan orang untuk mengubahnya karena pada dasamya mereka terlibat
dengan sasaran dan tujuan masyaraka politik. Pemikiranpolitik takpernah lepas
dari kenyataan kehidupan kontemporer seperti anggapanilmuwan politik modern.
Para pemikir politik awal merupakan orang-orangyang mempunyai tujuan tertentu:
mereka ingin mengubah dan menciptakankembali masyarakatnya. Mereka terikat pada
apa yang dianggap sebagai tatanan sosial yang baik, dan mereka membawa kekuatan
gagasan danbahasa,”mereka untuk menyebarluaskan apa yang mereka anggap baik.
Teori politik dari Plato hingga Mill atau Marx pada pokoknya adalah bagiandari
moral atau etika.Cobban berpendapat bahwa perubahan yang terjadipada para
pemikir politik, yang semula terlibat tujuan ideal berubah sikapmenjadi value free, bersikap objektif, dan
menganalisa gejala-gejalapolitik secara abstrak, diakibatkan oleh pengaruh
pendekatan historis di satu fihak, dan karena pengembangan apa yang dianggap
sebagai sikap ilmiahdi fihak lain.
Bagi seorang ahli sejarah, semua gagasan dan
cara bertingkah laku dibentuk secara historis dan bersifat sementara. Ahli
sejarah tidak memiliki patokan nilai selain “keberhasilan”, dan tidak ada
ukuran selain pencapaian kekuasaan, atau kelangsungan hidup yang sedikit lebih
lama danpadalembaga dan individu lawan. Ketergantungan teoripolitik pada
sejarah dalam tahun-tahun terakhir ini, ketika ahli-ahli sejarah
cenderungmenganggap penilaian etika sebagai suatu tindakan yang tidak sah,
samadengan Machiavellisme. Tetapi akan menjadikan lebih berbahaya jika ketika
dihubungkan dengan proses sejarah, seperti yang telah dilakukan oleh Hegel dan
Marx, Keduanya melihat pada satu bagian alam yang kecil,yang sama pada negara
teritorial dan yang lain pada kelas proletariat,mereka mencampuradukkan apa
yang diinginkan dengan apa yang menjadikeharusan sejarah.
Keadaan ini diperburuk lagi oleh para
ilmuwan. Para ilmuwan politiksebelum ini, sejak Plato dan Anstoteles, menerima
dengan fikiran terbukabantuan yang diberkan oleh disiplin ilmu lain, seperti
matematika danpsikologi, bagi pernahaman politik. Akan tetapi mereka tidak
pernah berfikirbahwa metode ilmu pasi dapat diterapkan secara mutlak pada studi
politik. Tak dapat dibantah bahwa ilmu politik memiliki elemen ilmu
pengetahuandi dalam dirinya, dan tidak ada alasan untuk membantah bahwa gejala
politikdapat ditangani secara ilmiah, tetapi ilmuwan politik dewasa ini
nampaknya percaya bahwa adalah mungkin untuk mempelajari politik
denganmetode-metode yang telah terbukti berhasil dalam ilmu pasti. Mereka
lupabahwa penelitian-penelitian politik harus mencari jawab atas
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak dapat dijawab oleh metodologi ilmu
pasti,bagaimanapun pasti dan telitinya metodologi tersebut, Ilmu
pengetahuanmembantu kita memahami dan menganalisa sesuatu, tetapi tidak
menyediakan kriteria penilaian yang diharapkan dari suatu teori politik.Ini tak
berartibahwa ilmuwan politik harus mengambil bagian dalam politik
aktif.Cobbansecara tegas menyatakan bahwa berbeda dengan pada ilmu pasti,
dalamlapangan teori politik perlu dimasukkan unsurmoral, Ilmu pengetahuan
dapatmemberikan petunjuk penting dalam rangka pencapaian sasaran yang
hendakdituju, tetapi tak dapat membantu memutuskan apa sasaran yang
hendakdituju tersebut. Ilmu dapat memberikan peralatan teknis untuk pergi
kesuatu tempat tetapi tak dapat mengatakan ke mana harus pergi. Ilmu tak dapat
memberikan arah jalan tujuan yang hanya dapat diberikan oleh teori.
Falsafahteori telah mati dibunuh oleh logika kaum positivis dan para penerus
mereka.
REDUKSIONISME
IDEOLOGIS
Seperti Easton dan Cobban, Germino juga percaya
bahwa teori politik menurun pada sebagian besar abad ke- 19 dan awal abad
ke-20. Seperti jugaAlfred Cobban, ia menunjuk positivisme sebagai penyebab
kemerosotanteori politik pada periode lanjut, telapi ia juga menyebut
“ideologi” atau“doktrin politik” yang berpuncak pada Marxisme sebagai faktor
tambahanpada periode awal. Tetapi, berbeda dengan Easton dan Cobban, la
berpendapat bahwa teori politik sekarang ini sedang timbul kembal.Teoripolitik
tradisional, yang selama 150 tahun terakhir telah tertutupi oleh
kekuatan-kekuatan intelektual dan gerakan-gerakan politik disatu fihak,dan oleh
ketergila-gilaan pada “keilmiahan” difihak lain, pada masasekarang ini menurut
Germino sedang naik kembali. Bahkan pada masakejayaan positivisme ada
aliran-aliran filosofis yang menentangnya sepertidalam tulisan-tulisan
Benedetto Croce, Henri Bergson, Julien Benda,Max Scheler, dan
lain-lain.Inidiikuti oleh adanya “sisa” teori politikdalam aliran elitis
seperti yang diwakili oleh Guido Dorso, serta kemudiandihidupkannya kembali
teori politik sepenuhnya oleh Michael Oakeshott,Hannah Arendt, Bertrand
Jouvenel, Leo Strauss, dan EricVoegelin. Tanpamenyinggung telaahan terinci
mengenai pemikiran politik kontemporeryang ditekankan Germino, di sini kita
dapat memeriksa secara singkathal-hal yang dianggapnya sebagai penyebab
menurunnya teori politikpada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Di antara
sebab-sebab utama, Germino menunjuk pada reduksionismeideologis dari Tracy,
Comte, dan Marx sebagai penyebab terpenting. Tracymerupakan orang pertama yang
menggunakan istilah “ideologi” sebagaisuatu “ilmu untuk menentukan asal mula
gagasan. Tracy berkeyakinanbahwa semua pikiran adalah cerminan dari, dan
ditentukan oleh, pengalamanpancaindera, dan dunia yang dapat ditangkap oleh
panca-indera adalahrealita tunggal. Baginya, ideologi sama saja dengan bagian
dari zoology, dankecerdasan manusia dapat diperiksa dan digambarkan sama
seperti memeriksadan menggambarkan sifat suatu zat kalau tanaman, atau suatu
keadaanmenakjubkan dalam kehidupan suatu binaang. Bagi Tracy,
Metafisikahanyalah ilusi dan fantasi, merupakan hasilimajinasi demi
kesenanganorang dan bukan untuk mengatur orang. Pengetahuan baginya hanya
terdiriatas ide-ide yang berhubungan dengan pengalaman yang “nyata”,
yaitupengalaman panca indera. Seperti Condillsc, Helvetius dan para pemikir
prarevulusi lainnya di Perancis. Tracy percaya bahwa tiada sumber gagasanlain
selain perasaan bahwa semua pemikiran akhirnya dapat ditelusuri hingga pada
perasaan sentio ergo sum (saya
merasa, karena itu saya ada). Dan dengan menelusuri semua gagasan sampai pada
pengalaman pancaindera, dapat diciptakan suatu ilmu baru tentang,manusia untuk
menjadipetunjuk bagi keseluruhan kehidupan politik dan ekonomi ummatmanusia.
Seseorang yang dapat membedah suatu ide (dengan menelusuri sampai pada
asal-usulnya yaitu pengalaman panca,indera) dapat menggunakan ilmu ini untuk
membentuk kembali tatanan sosial baru tempat manusia dapat dididik dan dibentuk
kembali untuk disesuaikan dengankebutuhan masyarakat yang diniginkan, Kata
“ideoiogi” tidak lagi dipakaidalam pengertian yang digunakan Tracy, sekarang
kata itu berarti suatu perangkat gagasan apa pun yang digunakan untuk mendukung
sistempolitik atau ekonomi tertentu. Tetapi Tracy telah memulai suatu
gerakanfikiran yang berpuncak pada “reduksionisme ideologis” Karl Marx.
“AUGUST COMTE DAN
POSITIVISME”
August Comte umumnya dipandang sebagai bapak
positivism.Comte,seoran ahli matematik, mencoba membentuk pekerja filosofis
berdasarkan suatu definisi ilmu yang baru, ilmu yang sasarannya terbatas
padapenggambaran. Penggambaran atau deskripsi ini merupakan kebalikan dari
penjelasan dan juga, yang mengarah pada kemungkinan peramalan kejadiandan
akhirnya pada pengendalian kejadian tersebut.
Positivisme” menurut Comte adalah penerapan
metode empiris danilmiahtiada setiap lapangan penelitian. Positivisme ini
menunjukkan suatupenolakan terhadap setiap bentuk pengetahuan yang berlandaskan
pemikiran bahwa ada realita lain di luar eksistensi material. Menurut
Comte,sosiologi adalah ilmu yang mencari hukum-hukum yang mengatur tìngkahlaku
manusia dengan kepastian seperti pada ilmu pasti. Sekali manusiamenemukan bahwa
evolusi dunia nyata diatur oleh hukum-hukum tertentu,manusia dapat memanfaatkan
dan mempercepat “operasi”nya.Comte percayaa) dunia tertata secara rasional, dan
ada hukum-hukum perkembangan daninteraksi sosial yang dapat ditemukan; (b)
penemuan hukum-hukum tersebutadalah mungkin sebab manusia memiliki penalaran
yang cukup; (e) manusiajuga cukup berakal untuk menggunakan pengetahuan mereka
untukkepentingannya sendiri; (d) penalaran tidak hanya memungkinkan
ditemukannya hukum-hukum tingkah-Iaku sosial tetapijuga memungkinkan
manusiauntuk menemukan tujuan-tujuan nyata yang diinginkan.Comte yakin
terhadapadanya kemajuan (progress). la menafsirkan perkembangan sejarah
dalamtiga tahap: (a) tahap “teologis”, dengan kepercayaan bahwa nasib
manusiadiatur oleh kekuatan-kekuatan ketuhanan, dan sejak awal sejarah
hinggaReformasi Protestan; (b) tahap metafisika, yang merupakan zaman yangbersifat
kritis dan zaman pemberontakan yang berpuncak pada RevolusiPerancis; dan (e)
tahap “positif” atau “ilmiah”, yang merupakan zamankontemporer, ketika
pengetahuan tentang manusia dan alam menggantikanketidaktahuan, tahayul, dan
ilusi yang ada pada tahap-tahap sebelumnya,inilah masa sintesa antara tatanan
dan kemajuan.
SEDIKIT TENTANG KARL
MARX
Sementara
SpenCer juga yakin tentang adanya hukum-hukum perkembangan dan interaksi, dan
terkadang ia digambarkan sebagai sain dan tigaserangkai yang mendominasi abad
ke-19 bersama Comte dan Marx, tetapiMarxlah yang membawa reduksionisme
ideologis sampai ke puncaknya. Bagi Marx, realita tidak mempunyai struktur
selain yang diterakan olehaktivitas produktif-praktis manusia. Manusia
sendiriri tidak memiliki hakikattetapi berubah melalui interaksi dengan
lingkungan sosial dan Iingkunganalamnya. Semua pemikiran adalah pencerminan
dari Iingkungan tempatmanusia itu sendiri. Akan tetapi,jika Tracy menunjukkan
bahwa Iingkunganmenentukan manusia, Marx percaya bahwa manusia dapat
menentukannasibnya sendiri jika memiliki pengetahuan ilmiah tentang masyarakat.
Perubahan revolusioner dalam sifat positivisme dapat terjadi oleh adanyailmu
Komunisme (Marxis). Jika Tracy, Comte, dan Spencer percaya bahwahukum-hukum
perkembangan manusia dapatlah ditemukan, Marx percayabahwa ia telah
menemukannya.
Dengan
menolak tiga sumber tradisi humanis teosentris Baratyaitufilsafat Yunani,
Yudaisme, dan Kristen, Marx mengungkapkan bahwapada masa yang akan datang,
manusia sebagai kreator dapat merupakansenjata paling berkuasa dalam perubahan
sosial. Marx percaya pada adanyakesatuan teori dan praktek,‘bukan kesadaran
yang menentukan kehidupanmelainkan kehidupan yang menentukan kesadaran”.
Perkembangan masyarakat materiallah yang menciptakan perbedaan semu antara
teori danpraktek, jiwa dan benda, eksistensi duniaini dan dunia yang lain.
MenurutMarx,teori adalah pembantu kepentingan material praktis. “Teori’ komunis
bagi Marx bukan saja penggambaran atau penjelasan tentang realita
kehidupanmasyarakat dan manusia, ataupun ramalan masa datang, melainkan
jugasemata yang diperlukan bagi penghancuran masyarakatkelas dan sebuah cetak
biru bagi pembentukan dunia baru, berlandaskan pengetahuan bahwamanusia dapat
menciptakan dirinya sendirii.
“POSITIVISASI
ILMU-ILMU SOSIAL”
Di
dalam Iingkungan demikianlah gerakan “positivisasi ilmu-ilmusosial” tumbuh,
Positivisme seperti yang dinyatakan oleh Arnold Brecht,menjadi sinonim dan
gerakan “pemurnian metodologis” dan bersamasama dengan gerakan Positivisme
Logis dan Filsafat Linguistis yang mengikuti jejaknya, mendorong perkembangan
yang dahsyat dari suatu gerakanintelektual yang mendukung diadakannya pemisahan
sempuma antara“fakta” dan nilai”.Benih gagasan bahwa “nilai tak ada
sangkut-pautnyadengan “fakta” dapat ditelusuri kembali sampai ada Kant dan
Mill, namunkeduanya telah mencoba membangun jembatan antara nilai” dan
“fakta”,yang masing-masing dicirikan oleh Brecht sebagai “jembatan moral”
dan“jembatan kebahagiaan”. Lahirnya Gulf Doctrine(lagi-lagi suatu istilah
yangdigunakan oleh Brecht untuk pemisahan logis antara “yang ada” (is) dengan“yang seharusnya” (ought) dapat ditelusuri kembali pada
sejumlah pemikirJerman seperti Arnold Kitz (lahir 1807), Julius von Kirchmann
(1802-1894),Wilhelm Windelband (1848-1915), para penganut Kant Baru
(Neo-Kantians) Heinrich Rickert (1863-1936), dan Georg Simmel (1 858-1918), dan
dianggaptelah mencapai puncaknya dalam tulisan-tulisan ahil sosiologi Max
Weber(1864 -19201, yang dianggap berjasa telah memprakarsai Neo-Positivisme
atau Positivisme post-Comte, yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan
“behavioralisme” dalam ilmu politik. Bahkan judul makalahArnold Kitz yang
dibuat dalam tahun 1864, yakniSeyn und
Sallen (“yangada” dan “yang seharusnya”) menunjukkan adanya kesadaran yang
mendalam tentang perbedaan antara Sein (waktu itu dieja Seyn, “yang ada”)dengan
Sallen (“yang seharusnya”). la menulis, “Dari kenyataan bahwasesuatu ‘ada’,
dapat diartikan bahwa sesuatu yang lain pernah ada atau akanada, tapi tidak
pernah berarti bahwa sesuatu ‘seharusnya ada’,” lima tahunkemudian dalam
bukunya tentang konsep-konsep dasar hukum dan moral,Kirchmann menarik perbedaan
yang jelas antara asal psikologis pengertian“yang seharusnya” dengan ciri
logisnya, lalu menekankan bahwa yang sainakan mungkin didapatkan sebagai
turunan (derivasi) dan yang lain, Dengan cara serupa, numun dengan ketenarannya
sebagai seorang filsuf yang jauhlebih besar, Windelband menekankan kembali
perbedaan antara Naturgesetzeatau
hukum alam (“yang ada”) dengan norma-norma (“yang seharusnya”). Kaum
Neo-Kantian, di antaranya Rickert dan Simmel, mengembangkangagasan itu lebih
lanjut,Rickert berbicara lentang perbedaan antara Being(kenyataan) dan Meaning
(arti)yang tidak nyatadan tidak ada, dan menekankan hahwa dalam pembicaraan
logis setiap tipe Meaning harus benar-benardipisahkan dari tipe Being yang mana pun, Akhirnya yang
berbicara tentangsubjek ini dengan lebih jelas dan tegas daripada siapa pun
juga sampai saat ituadalah Simmel, ketika ia menulis “Dalam setiap kasus
menarik kesimpulanlogis dan ‘yang ada’ kepada ‘yang seharusnya’ adalah salah.”
“Dengananalisa logis (zergliederung)
dalam kasus manapun kita tak dapat menemukan mengapa ‘yang seharusnya’
mengandung sifatnya yang khas, begitu puladari adanya sifat khas itu mengapa
kita harus berbuat demikian.
MAX WEBER:
NEO-POSITIVISME
“Pada permulaan abad kedua puluh, terutama di
bawah dampak gagasan-gagasan Weber,” tulis Easton, “ilmuwan sosial telah
menerima sebagai sesuatu yang benar dan tak dapat dipertanyakan segala sesuatu
yang telah dipelajarinya sebagai mahasiswa yang belum berpengalaman, yakni
bahwa nilai-nilai politik harus dipisahkan secara tegas dari riset empiris.
MakaIah Weber Objectivity of Knowledge in Social Science and Social Policy, yang
diterbitkan dalam tahun 1904, memberi pengaruh yang sangat besar pada
perkembangan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat. Dalam makalah ituMax Weber
berusaha menetapkan perbedaan yang ketat antara pengetahuan empiris dengan
pertimbangan nilai (valuejudgemen),
yangdiakuinya sebagai pendekatan yang tidak baru, melainkan hanya merupakan
penerapan hasil-hasil logika modern yang telah diketahui secara luas tentang
persoalan kita sendiri. la menulis, “Mereka yang mengenal karya ahli-ahli
logika modernakan segera tahu bahwa segala apa yang penting dalam tulisan ini
ada kaitannya dengan pekerjaan mereka,” Yang dimaksudnya adalah Windeihand, Simmels,
dan Rickert, la tak setuju dengan pandangan kaum Marxian tentang kehidupan
ekonomi masyarakat yang diatur oleh: (a) hukum-hukum alamyang tak dapat diubah,
dan (b) asas-asas evolusi yang jelas, dan keseluruhanusaha untuk
mengidentifikasikannya dengan penilaian normatif. Tentangapa yang sebenamya
dimaksudkan oleh Max Weber terdapat sejumlahkekacauan. Bagi Max Weber !“wertf reiheit” tidak mengandung
pengertianseperti apa yang sekarang digambarkan sebagai “ilmu pengetahuan
tanpanilai”. Ia tidak menolak adanya “perkaitan nilai” (valeu-relatedness),
antarasemua cabang ilmu pengetahuan seperti yang biasa dikatakan.Ia menegaskan
bahwa dengan kata ituia tidak bermaksud menyatakan bahwa semua pertimbangan
nilai harus dijauhkan dari diskusi ilmiah pada umumnya,tetapi bahwa ilmu
pengetahuan hanya memainkan peran terbatas dalam persoalan pertimbangan nilai.
Perlakuan ilmiah yang paling jauh terhadap Pertimbangan nilai hanyalah sampai
pada tingkat menerangkan. Tindakan mengambil keputusan, tulis Weber dengan
jelas, ‘bukan tugas yang dapatdilakukan oleh ilmu pengetahuan, itu adalah tugas
orang yang mau melakukannya: ia menimbang-nimbang dan memilih dari antara
nilai-nilaiyang ada hubungannya menurut hati nuraninya sendiri dan menurut
pandangan pribadinya tentang dunia,” “Soal apakah orang yang
menyatakanpertimbangan nilaiini ‘seharusnya’ mengikuti standar-standar
tertinggiadalah urusannya sendiri yang terlibat di sini adalah kemauan dan
hatinurani, bukan pengetahuan empiris,” la mempertegas maksudnya ketikaberkata
bahwa “suatu ilmu empiris tak dapat menyuruh orang untuk melakukan apa ‘yang
seharusnya’, hanyalah apa yang ‘dapat’ dilakukan, dandalam keadaan tertentu apa
yang ‘ingin’ dilakukan,” Arbold Brecht menulis,“Dengan segala penegasannya
tentang batasan-batasan ilmu pengetahuanMax Weber sendiri tak pernah berhenti
mempercayai adanya nilai-nilaitertinggi (ultimate),
la juga tak pernah memandang rendah terhadap pentingnya kepercayaan demikian
bagi kepribadian dan martabat manusia.Tetapi ia mengulangi lagi bahwa
“mempertimbangkan keabsahan nilai-nilai demikian adalah persoalan iman (faith),
dan bukan ilmu pengetahuan.
Di
bagian lebih lanjut dari makalah yang sama Max Weber mengembangkan teorinya
tentang “tipe-tipe ideal” (idealitypen), yang melibatkan,seperti apa yang
ditunjukkan oleh Brecht, pendekatan empiris dan bukanpendekatan normatif, yang
tujuannya menerangkan kenyataan sosial dengan cara membantu kita agar mengerti
mengapa suatu gejala tertentu berkembangdan menjadi apa yang ada, dan bukan
yang lain, la menjelaskan bahwa tipe-tipe ideal hanyalah ciptaan fikiran (mind) dan tidak pernah dapat
dijadikanstandar normatif. Tapi lambat laun Weber terdorong tanpa ampun oleh
logikapendekatannya dan mengembangkan sikap agak mencemooh terhadap nilai-nilai
dan secara relatif lebih mementingkan ilmu pengetahuan. Dalammakalahnya Science as a Vocation yang diterbitkan
satu tahun sebelumkematiannya, la mengutarakan pandangannya tentang apa yang
kemudiandikenal sebagai “netralitas etis”
(ethical neutrality) secara lebih
tegas? Lamenginginkan agar pengajar “memperlakukan subjek-subjek politik
dengansikap ilmiah”, dan tanpa ada pengaruh nilai apa pun. Berbicara
tentangdemokrasi misalnya, la “ingin berdiskusi tentang bentuknya yang
beranekaragam, ingin menganalisa caranya berfungsi, ingin mencari tahu
akibatakibat apa yang ditanggung oleh seseorang bagi kondisi hidupnya, ingin
mempertentangkannya dengan bentuk-bentuk lain yang tidak demokratisdan berusaha
sedemikian rupa sehingga mahasiswa mampu menemukan titik tempatnya berdiri
karena cita-cita yang dipunyainya sendiri(stellung
nehmen kann). “Tapi dampak ajaran Max Weher adalah kenyataan bahwa
pemikiran normatif yang merupakan sesuatu yang tidakterpisahkan dariteori
politik selama ini menjadi berkurang nilainya. Bagidia, bukan tugas ilmu-ilmu
sosial untuk “menawarkan norma-norma dan cita-cita yang mengikat” dan
“menyediakan resep untuk praktek”. Pada saatbanyak terjadi perbenturan nilai di
dalam jiwa Eropa, Weber mengajarkan,dan mempraktekkan netralitas etis”, Tanpa
banyak menyadari bahwa bersama-sama dengan dibuangnya air kotor ideologi dan
bak mandi, ia jugamembuang, bayi teori politik.
Germino
rupanya yakin bahwa teori politik tak dapat tumbuh bersamaPositivisme:
“kebangkitan penuh teori politik kritis tidak mungkin dicapai ditengah alam
diskusi yang positivistis”.Ia menyayangkan kecenderungansementara tidak pada
waktu ini untuk berusaha “mempersatukan kembali’komponen disiplin yang
tradisional dan yang behavioralistis dan mencobamembangun jembatan antara
posisi yang bersaingan, Ia mengakui bahwatidak semua penganut Positivisme dapat
dimasukkan ke dalam satu golongan. Ada variasi penekanan dan berdasarkan itu ia
ingin membagi merekadalam empat goLongan utama:
1.
Secara
reIatif terbuka dan tidak dogmatis seperti Weber dan Brechtyang peka terhadap
keterbatasan dan kesulitan yang dikarenakantindak pemisahan fakta dengan nilai
dan benar-benar berhasil menyisihkan sebagian kecil kenyataan yang mengandung
asas-asas rasionalyang krtis.
2.
Kaum
“Hybristic” di sini la menempatkan kaum
behavioralis yangekstrim dan tokoh-tokoh perekayasa sosial ‘(sociaI engineers),
sepertiSimon dan Lasswell, “yang telah ditulari golongan “hybris Comtean”dan
yang mendukung adanya “suatu masyarakat tertutup yang dapatdimanipulir dengan
kedok objektiviras”, dan yang menyelundupkannilai-nilai “dengan kedok fakta
atau rencana berdasarkan konsep.”
3.
Kaum
Hyperfaktualistis, di siniia menempatkan kelompokumum ilmuwan politik yang
dengan bangga menamakan diri behavioralis, jumlahnya agak besar, tapi tidak
begitu penting”, tak punya kecangihan intelektual” dan terlibat dalam “riset
tentangfakta tanpa pengertian yang jelas bagaimana cara mengatur
ataumenghubungkan fakta itu”;
4.
Kaum
Positivis Axiologis (Axiological Positivists) seperti Easton,Dwilight Waldo dan
Cobban, yang mengaku bahwa pertimbangannilai tidak dan tak akan menjadi ilmiah,
tetapi disamping itu meyakinkan bahwa tidak hanya merupakan “kepantasan”, tapi
juga “keharusan bagi fihak ilmuwan politik untuk melakukan spekulasi nilai.
Namun Germino yakin buhwa tak ada aliran
Positivisme, betapapunlunak, yang akan membawa akibat lain kecuali “suatu
kemunduran dalamsejarah pemikiran politik dan sosial”.
Meskipun demikian Positivisme terus mempengaruhi
perkembanganilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh, terutama di bidang ilmu
politik,psikologi akademis dan sosiologi, yang disebut “ilmu-ilmu
behaviouralis”
Pada saat Perang Dunia Pertama”, seperti yang
ditunjukkan olehDonald Atwell Zoll, “ilmu-ilmu sosial telah menjadi usaha
besar. Tujuanutamanya ialah memberikan pandangan ilmiah dan alat metodologi
yang sama kepada studi tentang persoalan manusia seperti apa yang menjadi
ciri-ciri ilmu aIam”. Ia menggambarkan dasar filsafatnya sebagai “secarasubstansi
neo-positivistis”, dan menyimpulkan dasar-dasarnya yang utamake dalam delapan
bagian di bawah ini: (1) Keyakinan akan determinismesebab-akibat (causal); (2)
penolakan atas hal-hal yang metafisis dan analisaabstrak yang berhubungan
dengan itu, (3) Kepercayaan akan perlunyamenemukan “hukum-hukum” tingkah-laku
manusia; (dedikasi terhadap“objektivitas” ilmiah; (5) metodologi yang empiris
dan sebagian besarkuantitatif (6) perkawinan relativisme nilai dengan kultural;
(7) kepercayaan pada atomisme sosial; dan (8) pilihan atas organisasi
yangpluralistis dan demokratis. Dalam bidang psikologi orientasi
neo-positivistis mengambil bentuk teori-teori fisikalis (Physicalist) tentang rangsangandanreaksi, seperti Pavlov atau behaviouralisme John Watson,
dan di bidang sosioiogidalambentukdominasi analisa kuantitatit yang deskriptif,
maka di bidang studi-studi politik juga timbul behaviouralismedalam arti bahwa
penelitian tentang tingkah-laku manusia dianggap lebihberarti daripada diskusi
tentang prinsip-prinsip yang abstrak atau analisa Kelembagaan. Penerbitan Human
Nature in Politics karya Graham Wallasdan Process of Government karya Arthur
Bentley pada tahun 1908 dapatdianggap sebagai peristiwa besar dalam
perkembangan ini. Namun gerakanitu maju secara lebih efektif di Amerika Serikat
seperti yang dapat dilihatdari karya William James, Mary Follet, John Dewey,
dan Herbert Mead. Comte mempengaruhi satu generasi pemikir di Eropa, antara
lain LS ,Mill di Inggris, P,J, Proudhon, Emile Durkhem dan Lucien Levy-Bruhl
diPerancis, dan Ludwig Feuerbach dan Ernest Mach di Jerman.
Positivisme abad kesembilan belas terutama
menekankan pandanganmenyeluruh dan usaha filosofis yang menyontoh orientasi
ilmu-ilmu, terutamailmu alam, sambil menolak bahwa hipotesa yang metafisik
dapat dipercaya,dan orientasiilmiah yang sebagian besar empiris dan
kuantitatif. Keandalannya yang utama terletak pada kemampuannya meramal gejala
dengan caramenggunakan metode ilmiah yang tepat untuk nempeIajari
tingkah-lakumanusia, perorangan dan sosial, Apa yang dapat diramalkan secara
sosialdapat direncanakan.Positivisme memandang manusia sebagai suatu organisme
psiko-biologis semata yang secara substansi tidak berbeda denganjenis-jenis
makluk yang lainnya.Positivisme juga menganjurkan netralitas nilai dan mempertahankan
relativisme etis. Ciri-ciri Positivisme abadkesembilan belas ini sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam abad kedua puluh. Dalam
gerakan itu terdapat simpungun-simpangan,meskipun baik Emile Durkhem maupun Max
Weber masing-masingtelah mempengaruhi perkembangannya dengan caranya
sendiri, tidakdapat dianggap sebagai
seorang positivis dalam artinya yang murni. Sambil menyuarakan sikap positivis
yang anti metalisik. Durkhem jugamerasakan kebutuhan untuk mengakui adanya
komponen moral dalam penelitian sosial, dan karena itu ia mendapat julukan
“positivis canggih”(sophisticated
positivist). Bukan sekedar seorang fisikalis, ia berusahamencari jalan
tengah antara Positivisme primitif dengan idealisme barudan menganggap gejala
nilai sebagai bagian yang vital dalam analisa sosial,Max Weber, seringkali
disebut seorang positivis baru (neo-positivist) terutama tertarik untuk
menciptakan metode yang berlaku untuk analisasosial - metode Verstehen,
mengerti yang harus mengatasi tingkatansekedar data dan pembicaraan yang
diperlukan secara sempit. NamunWeber percaya akan keabsahan “hukum-hukum”
tingkah-laku manusiayang ditentukan secaraempiris dan menganggap bahwa
hukum-hukumini dapat diramalkan dan selanjutnya bahwa hukum-hukum ini dapat
dijadikan dasar bagi penilaian normatif. Weber tidak menyangkal
adanyapredisposisi nilai pada pengamat adalah faktor yang tak dapat
dihindarkan, tapi la masih percaya bahwa ia harus bertahan pada “netralitas
nilai”dalam analisanya tentang gejala. Pandangan seperti itu
telahmemberikanpengaruh yang sangat besar, tidak saja pada analisanya sendiri
tentangbirokrasi atau karisima, yang keduanya tidak disetujuinya,
namundiakuinya sebagai bagian dari realitas sosial yang tak dapat dihindari
tapi juga pada sikap ilmu-ilmu sosial yang sedang tumbuh.
PERINGATAN
POSITIVISME
Pada tahun 1960-an pengaruh Positivisme
menurun, dan orang dapatmenyaksikan pemunculan kembali filsafat spekulatif
bahkan di Inggrisyang merupakan benteng analisa linguistis. Orang Eropa yang
takpernahmenaruh banyak perhatian pada Positivisme terus menyibukkan diri
dengan bermacam ragam ilmu gejala (phenomenology) dan realisme baru
(neorealism). Juga ilmu sosial Amerika yang dicap positivis
perlahan-lahanmenurun, sebagian disebabkan oleh serangan terhadapnya dariradikalismesosial
baru dengan semangat moralistisnya yang kuat dan sebagian lagidisebabkanoleh
kritik yang sangat gencar terhadap pengakuannya atasobjektivitas sosial dan
netralitas nilai dan terhadap kekurangan dasarilmiahnya. Objektivitas ilmu
sosial neo-positivis sekarang mulai dianggapsebagai suatu ‘sikap pura-pura
suatu kecenderungan ideologis” yangmenuju‚ada introduksi pertimbangan nilai
yang menyeluruh di bawahkedok keharusan ilmìah, dan pengakuannya akan cap
ilmiah sebagaipengrtian “ilmu” berdasarkan pendapat yang sudah tak berlaku
“ilmu”seperti yang diartikan orang dalam abad kesembilan belas, seperti
dalambuku Canons of Induction karya
Mill. Sebagai akibat kemajuan yang luarbiasa di bidang biologi, genetika, dan
neurofisiologi, ilmu pengetahuansekarang mengembangkan dasar-dasar yang sama
sekali baru, dan ilmu-ilmu sosial belum dapat menyesuaikan diri dengannya.
Dasar-dasar inisecaraluas dapat didefinisikan sebagai: (1) Kepercayaan pada
adanyakonsep-konsep yang tak terbatas kemungkinannya, yang evolusinya
tergantung dan kebaikan dan kegunaan konsep itu, dan bukan dan “kebenaran”dalam
arti tiruan dan suatu tujuan dan “pola akbar” (grand design) yangdapat
diuraikan, dengan kata lain penolakan terhadap apa yang disebut olehMilton
Munitz “teori alam sekali tembak (one-shot
theoryof the universe);(2) penggantian “teori kebenaran menurut
persetujuan” ‘(correspondencetheory of
truth) dengan “teori kebenaran yang konsisten” coherence theoryof truth); dan (3) penerimaan keabsahan peragaan
yang didasarkan padakebutuhan logis disamping konformasi empiric. Penekanan
sekarang iniadalah pada makhluk individual yang dipandang sebagai hakim
yangmenentukan letak kepentingannya sendiri dan bukan pada sekelompok elityang
menentukan masyarakat karena kemampuan ilmiah dan pengetahuannormatifnya.
TEORI POLITIK:
PERUBAHAN DAN KONTINUITAS
Interpretasi
lain yang diberikan sehubungan dengan kemerosotan teoripolitik adalah bahwa
teori politik tidak merosot melainkan berubah bentuk. Teori politik masa lalu
mencakup dua aktivitas: (1) pada tingkatan praktis,berusaha menjelaskan
bagaimana pemerintahan berfungsi, atau apa asalmulanya, atau mengapa
pemerintahan tersebut dipatuhi, dan (2) pada tingkatan filosofis, mencoba
meletakkan tujuan dan sasaran negara dan mengusulkan jalan yang harus ditempuh
untuk sampai pada tujuan tersebut. JohnPlamenatz menunjukkan bahwa kedua
aktivitas tersebut berbeda dan takdapat dipertukarkan satu dan lainnya.
Mengenai hal yang kedua yaitu aspek filosofis teori politik berbeda dari waktu
ke waktu, dan orang ke orang, dandarinegara ke negara, karena sifatnya yang
spekulatif. Karena teori-teorispekulatif ini juga mempengaruhi tindakan, maka
perlu dipelajari secarahistoric waktu dan keadaan pada saat munculnya teori
tersebut. Dengandemikian Durkheim tidak salah ketika mengatakan bahwa filsuf
politiksering berusaha membentukkembali sejarahdengan caranya sendiri
danmemaksakan nilai-nilai pribadi atau kelompok dalam usahanya tersebut. Halini
mempersulit penjelasan ilmiah atas fakta karena teori semacam ituhanya berfungsi
untuk membenarkan apa yang dìinginkan olehfilsuf yang bersangkutan, meskipun
kita tak dapat mengatakannya sebagai khayalanatau sekedar selera semata.
Mungkin saja teori-teori itu hanya teori-teorianatau teori yang ngaco. Weldon
termenung dengan teori-teori semacam ituketika melihat bahwa konsep politik
semata hanya diperlukan untukpenganalisaan ilmiah guna menutupi
ketidakpentingannya, kesederhanaandan ketakbergunaannya saja. Teori politik
dari Plato sampai Hegel, umumnya adalah kreasi dari orang-orang yang sebenarnya
lebih merupakan filsuf. Karena itu wajar kalau filsafat politik mereka adalah
bagian dari falsafah umumnya. Baru belum lama ini saja disadari bahwa
“kebenaran” ataurasionalitas dari suatu bentuk organisasi politik atau
kebijakan politiktidaklah dapat disimpulkan dari prnsip-prnsip logika atau
metafisika.
Tetapi bahkan pada masa lalu pun teori
politik tak selalu merupakanturunan atau cabang dari suatu filsafat. Ada
pemikir seperti Tocqueville,Graham, Wallace, Bagehot, dan Baines, dan banyak
lagi, yang telah mengambil pandangan sosiologis terhadap politik. Bahkan
Hobbes, dalamLeviathan, lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan prakis
danpada filosofis. Rousseau terutama bukanlah filsuf, meskipun Green,Bosanquet
dan idealis lainnya mengembangkan suatu filsafat yang berasal dari analisa
sosiologis mereka. Yang dapat dikatakan adalah bahwapendekatan-pendekaan
inifilosofis, sosiologis, dan ideologis telahmenurun tahun-tahun terakhir ini
berhadapan dengan penelaahan sosial danpolitik yang empiris dan terinci. Tapi
halini tidak berarti Teori politik atauberteori tentang politik sudah menurun.
Yang terjadi, seperti yang dikatakanPartridge, adalah bahwa ilmu politik
memisahkan diri darialiran filsafat, danseperti ekonomi dan ilmu sosial lain, sampai
pada titik di mana ilmuwanpolitik harus menghadapi masalah yang umum, termasuk
analisa konseptualyang dahulu hanya dilakukan oleh filsafat. Ilmuwan politik
masa kinimelakukan analisa konseptual pada tingkat kecanggihan dan kerumitan
yang hampir tak dapat dicapat oleh para filsuf. Batas antara filsafat dan ilmu
politik sedang dirumuskan kembali dan dibuatlah pembedaan tajam
antarapertanyaan filosofis dan pertanyaan empiris. Dengan perkataan lain,
teoripolitik tidak lagi dikerjakan oleh filsuf dan ahli sosiologi, melainkan
olehilmuwan politik yang telah mengembangkan kemampuan yang cukup tinggiuntuk
menghadapi masalah-masalah dalam bidangnya.
Bahwa
teori politik, bahkan dalam pengertian sebagai filsafat politik,tidaklah mati
ataupun merosot adalah pandangan yang disuarakan oleh Isaiah Berlin. la
menentang pandangan bahwa dapat terjadi satu jenismasyarakat, apakah
teknokratis atau utilitarian. Thomis atau komunis,ataupun Platonis atau
anarkis dan jika pun orang dapat
menerimapandangan tentang tujuan masyarakat yang monistik, terlalu
dipermudah,dan dibuat-buat sedemikian itu, akan selalu terdapat perbedaan
dalammengartikan tujuan-tujuan tersebut di antara orang-orang yang berheda
dandalam situasi yang berlainan. Berlin menulis: “Menganggap bahwa pernah
ada
ataumungkin ada suatu zaman tanpa filsafat politik sama dengan beranggapan
bahwa karena ada zaman kepercayaan (ages
of Faith), makaada juga atau mungkin ada zaman tanpa kepercayaan sama
sekali.Iniadalah suatu pandangan yang tak dapat diterima, tidak ada aktivitas
manusia yang tidak mencakup pandangan umum: skeptisisme, sinisisme,penolakan
untuk menyibukkan diri dengan hal-hal abstrak atau mempertanyakan nilai-nilai,
oportunisme yang keras, ketidaksukaan terhadaptindakan berteori, semua variasi
nihilisme itu, yang semuanya merupakanposisi metafisis dan etis, tentu juga
merupakan sikap memihak.
Percobaan-percobaan ahli filsafat abad ke- 18
untuk mengubah politikmenjadi filsafat terutama filsafat moral dan politik,
gagal, karena rupanyamereka berfikir bahwa politik yang menempatkan manusia
sebagai subjek utama, dapat mempelajarinya dengan cara memisahkannya dan apa
yangmenentukan kemanusiaannya, yakninilai-nilainya, dan bahwa nilai-nilaidapat
diperlukan sebagai bahan induksi dan hipotesa, walaupun nilai-nilaiituselalu
akan diperdebatkan. “Selama keingintahuan yang rasional ada keinginan akan
pembenaran dan penjelasan dalam anti motif dan alasan-alasan, dan bukan hanya
dalam pengertian sebab atau korelasi fungsionalatau kemungkinan-kemungkinan
statistik’ tulis Berlin, “maka teori politiktak akan hilang dari muka bumi,
meskipun banyak saingannya sepertisosiologi, analisa filsafat, psikologi
sosial, ilmu politik, ekonomi, yurisprudensi, semantik, mungkin akan mengklaim
telah menghilangkan apayang dibayangkan sebagai wilayahnya. Dalam kenyataannya
teoripolitik sedang maju, baik pada tingkat behavioural maupun tradisional.
Ílmuwan politik behavioural seperti
Easton, Lasswell atau Deutschsedang membuka dimensi-dimensi baru untuk studi
persoalan-persoalanpolitik. Tetapi berdampingan dengan itu jenis pemikiran
sosial yangtumbuh karena dorongan-dorongan moral juga sedang berkembang.
Kitamenemukan ahli-ahli fitsafat politik terkemuka yang terlibat
dalampenelitian tentang masalah-masalah yang mempengaruhi masyarakat danmengembangkan
teori-teori politik tentang anomi, penghapusanpribadi (de-personalization) perpecahan (atomization),
dan sebagainyayang biasa terdapat di dalam masyarakat industri berskala besar,
dan jugateori-teoripolitik mengenai masalah-masalah apa yang dianggap
peleburan“kelompok” (community) dan
pendewaan negara. Berlin menyimpulkan,“Neo-Marxisme, neo-Thomisme,
nasionalisme, historisisme, eksistensialisme, liberalisme anti-esensi dan
sosialisme, penggantian ajaran-ajaran tentang hak-hak serta hukum-hukum alami
dengan ajaran-ajaran denganpengertian empiris, penemuan-penemuan yang
dihasilkan dengan keterampilanmenggunakan contoh-contoh yang diambil dan teknik
ekonomi dan ilmuilmuyang ada kaitannya untuk bidang tingkah-laku politik, dan
penggabungan,kombinasi, dan akibat-akibat yang timbul karena pelaksanaan
ide-ide ini, tidak menunjuk pada kematian sebuah radisi besar, tapi, kalau ada,
padaperkembangan-perkembangan baru yang tak dapat diramalkan.
TEORI POLITIK,
FILSAFAT POLITIK, DAN IDEOLOGI
Menurut
Easton teori politik terdiri dari tiga unsur: (I) Keklerangantentang
fakta-fakta atau deskriptif (2) Teori murni, atau teori sebab-akibatyang
berusaha mencari hubungan yang dianggap ada antara fakta-fakta, dan(3)
teorinilai yang menentukan keterangan-keterangan preferensi yangmerupakan
tujuan, maka ilmuwan politik harus memikirkan juga jalan apa tujuan itu dapat
dicapai. Hal ini hanya dimungkinkan denganbantuan sebuah teori sebab-akibat
yang berlaku umum, yang mempelajari hubungan antara fakta-fakta.
Faktapentingartinya,tapi seleksi dan pengumpulan fakta sendiri mengisyaratkan
adanya sebuah teori, paling tidak dibawah alam sadar. Fakta-fakta dan hubungan
timbal-balik antara bermacam-macam fakta selalu ditentukan oleh selera
pengamat, dan seleksi dilakukanmenurut rangka kepentingan yang menetapkan
kedudukan serta relevansifakta-fakta itu. Ketika muncul ke alam sadar maka
rangka kepentingan itumembentuk sebuah teori. Tanpa sedikit asumsi teori
mustahil dapat memilih fakta-fakta yang berarti.Karena itu fakta dapat
didefinisikan sebagai“kenyataan yang khusus disusun untuk kepentingan sebuah
teorit. Karenaitu fakta dan teori saling bergantungan satu sama lain. Fakta
tanpa teorimerupakan tumpukan bagian-bagian yang tak berguna dan tak ada
artinya. Teori yang tidak berakar pada fakta adalah spekulasi murni.
Pengumpulan data dengan cara-cara yang dapat diterima, tulis Easton, “tidak
dengansendirinya memberikan pengetahuan yang cukup pada kita.
Pengetahuanmenjadi kritis dan dapat diandalkan kalau sifatnya semakin umum dan
semakin konsisten dalam pengaturan intern, pendeknya kalau pengetahuan itu
merupakanketerangan-keterangan yang sistematis dan berlaku umumdan dapat
diberlakukan terhadap sejumlah besar kasus-kasus khusus.
Easton
tidak percaya kalau perilaku politik tak bisa dipelajari dengan,pendekatan
teori, Perilaku manusia, termasuk perilaku politik, mempunyaikesamaan tertentu
yang selalu dapat digunakan sebagai dasar ramalan, tapihal ini hanya bisa
dilakukan dengan bantuan pendekatan teori. Easton percaya bahwa pendekatan
seperti itu dapat mengambil salah-satu dari tigabentuk (a) generalisasi tunggal
(singular generalization,) yang
berarti keterangan tentang kesamaan yang telah diamati antara dua vanabel yang
terpisah dan mudah dikenali; (b) teori sintesis atan teori standar sempit (narrow-gauge theory) atau sekumpulan
keterangan yang saling berkaitan yang digunakan untuk menggabungkan data yang
terdapat dalam suatu...
0 komentar:
Posting Komentar