Jumat, 12 Mei 2017

REVIEM BAHAYA SISTEM PRESIDENSIAL JUAN LINZ



        REVIEM
BAHAYA SISTEM PRESIDENSIAL
JUAN LINZ


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mandiri
Pada Mata Kuliah Teori Politik


Dosen : Prof. DR. Samugyo Ibnu Redjo, MA
Dr. Drs. Awan Yuswanda, M.Si

Disusun Oleh :
Nama : Ade Surahman
NPM : L23.016.0021





PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG







KATA PENGANTAR


Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, karena atas rahmat dan karunia-Nya penyusunan review Jurnal The Perils of Presidentialism Linz, Juan J. (Juan José) ini dapat diselesaikan.
Penyusunan review Jurnal ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Teori Politik pada program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas  Langlangbuana Bandung.
            Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnuredjo, MA, dan Dr. Drs. Awan Yuswanda, M.Si., selaku dosen mata kuliah Teori Politik yang telah membimbing sehingga review Jurnal ini dapat diselesaikan.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan review Jurnal ini dirasakan banyak mendapat berbagai kesulitan, namun atas Rahmat Ilahi Robbi dan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat diatasi.
Akhir kata, semoga review Jurnal ini bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi perkembangan Metode Penelitian Sosial di Indonesia.

Bandung, Maret 2017

Penyusun
 




REVIEW
BAHAYA SISTEM PRESIDENSIAL
Juan Linz

Menurut sejarah keunggulan demokrasi parlementer bukan sebuah kebetulan. Kehati-hatian dalam membandingkan sitem parlementer dengan sistem presidesial mengarah kepada kesimpulan bahwa pada keseimbangan, yang pertama lebih kondusif untuk demokrasi yang stabil daripada yang terakhir. Kesimpulan ini berlaku terutama ke negara-negara dengan perpecahan politik yang mendalam dan banyak partai politik; untuk seperti negara, sistem parlementer umumnya menawarkan harapan yang lebih baik dari mempertahankan demokrasi.
SISTEM PARLEMENTER VERSUS SISTEM PRESIDENSIAL
Rezim parlementer menurut Linz adalah sebuah satu-satunya lembaga demokrasi yang legitimet adalah parlemen. Otoritas pemerintah benar-benar tergantung pada kepercayaan parlemen. Menurut rezim parlementer perdana menteri terlihat lebih baik dari presiden.
Paradigma sistem presidensial secara mendasar memang meletakkan kekuasaan Presiden yang demikian besar di bawah konstitusi untuk membentuk kabinet dan perangkatnya. Selain itu, Presiden tidak hanya kepala eksekutif, melainkan sekaligus pula kepala negara. Pemerintahannya dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu tertentu dan tidak bergantung pada mosi kepecayaan parlemen. Dalam sistem presidensial presiden dapat berhenti atau diberhentikan antar pemilu dengan dasar adanya impeachment atau dakwaan/tuntutan.
Syarat-syarat negara Presidensial yang stabil
1.    Presiden harus dipilih langsung oleh rakyat, oleh karenanya presiden memiliki hak yang kuat secara demokratis.
2.    Presiden harus dipilih untuk masa jabatan tertentu
Tetapi yang paling menonjol adalah bahwa dalam sistem presidensial, para legislator, terutama bila mereka mewakili partai-partai kuat yang menawarkan berbagai alternatif ideologis dan politik yang jelas, mungkin pula menuntut legitimasi demokrasi. Tuntutan ini dilontarkan bila mayoritas legislatif menentukan suatu pilihan politik yang berlawanan dengan pilihan yang ditentukan presiden. Dalam keadaan seperti ini, siapa yang memiliki tuntutan yang lebih kuat untuk berbicara atas nama rakyat karena keduanya memperoleh keuasaan dari rakyat.
Pada sistem presidensial, presiden dan parlemen sama-sama memiliki basis legitimasi yang kuat (dual legitimacy). Kekuatan yang berimbang ini memiliki tendensi konflik yang bersifat laten karena masing-masing memiliki kekuasaan. Konflik akan timbul dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan pengakomodasian kepentingan. Dalam keadaan seperti ini, siapa yang memiliki tuntutan yang lebih kuat untuk berbicara atas nama rakyat karena keduanya memperoleh keuasaan dari rakyat.
Juan J. Linz mengungkapkan bahwa masa jabatan presiden yang sudah pasti mengandung kelemahan, masa jabatan ini memecah belah proses politik ke dalam periode-periode yang tidak berhubungan sehingga tidak memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian sebagaimana dituntut oleh keadaan.
Dalam perbandingan berikut akan ditunjukkan beberapa kritik dan perbandingan antara sistem pemerintahan itu yang diadaptasi dari Juan Linz dalam tabel Kritik Linz diatas menjelaskan secara teoritis berbagai potensi yang mungkin akan terjadi dalam berbagai sistem pemerintahan. Secara potensial dari tabel itu terlihat bahwa sistem parlementer memberi peluang bagi stabilitas politik maupun kelanjutan demokrasi yang lebih baik. Menurut statistik memang sistem parlementer lebih bisa bertahan di banyak negara baik yang sedang berkembang maupun yang sudah matang kehidupan politiknya.
Tabel perbandingan Presidential versus Parlemeter

Presidential
Parlementer
Hubungan kelembagaan
Tidak harmonis
Harmonis
Masa Jabatan Pemerintah
Pasti
Flexible
Keterwakilan
Zero Sum Game
Power-sharing
Gaya Memerintah
Kurang kompromis
Kompromis
Kesempatan memerintah
Semua orang
Anggota partai saja

-       Hubungan Legislatif-Eksekutif
Dalam hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif, pada kabinet presidensial secara teoritis disebutkan ada insentif akan terjadi konflik karena Presiden sebagaimana DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dan merasa memiliki legitimasi yang kuat untuk berbicara atas suatu kebijakan. Karena asal usul dan kelangsungan keduanya adalah independen, kedua lembaga ini kurang memiliki mekanisme kelembagaan untuk mendorong kerjasama di antara keduanya. Konstituten mereka berbeda dan mereka juga tidak bergantung satu dengan yang lain. Dalam situasi demikian konflik antara keduanya bisa muncul dan meledak pada satu saat.
Sebaliknya dalam sistem parlementer, insentif konflik yang kuat tidak terjadi karena pemerintah yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (PM) dipilih oleh parlemen dan parlemen bisa mengganti PM dengan mosi tidak percaya bila ia dianggap tidak layak lagi memerintah. Dalam sistem semi-Presidensial, potensi konflik besar kalau Presiden dan PM (juga parlemen) berasal dari partai yang berbeda. Namun dalam praktek politik, bila di banyak negara maju seperti Eropa Barat, sistem parlementer bisa berjalan dengan baik, karena partai yang telah terdisiplin dengan garis ideologi dan program yang jelas, lain halnya dengan di dunia ketiga. Dalam sistem parlementer, kemungkinan pemerintahan bisa digantikan justru merupakan insentif untuk menggoyang pemerintahan terus menerus, dan untuk menggalang kemungkinan koalisi pemerintahan baru. Di negara-negara yang baru menerapkan sistem demokrasi, sistem parlementer sangat rapuh dan penuh intrik dan konflik yang menyebabkan pemerintahan jatuh bangun. Kasus yang dapat dilihat di sini adalah di Thailand, Pakistan, Indonesia di masa demokrasi parlementer dan Bangladesh belakangan ini dimana konflik dalam parlemen telah melahirkan deadlock yang bahkan menyebabkan terjadi kudeta seperti di Thailand semasa PM Thaksin Sinawatra dan konflik berdarah. Demikian juga, pada sistem semi-presidential, hubungan antara parlemen dan pemerintah berpotensi konflik, karena Presiden yang menunjuk PM biasanya belum tentu disetujui oleh parlemen atau pun kalau disetujui, berbagai kebijakan PM bisa menjadi sasaran kritik anggota parlemen.
Jadi di sini dalam hal potensi konflik yang menyangkut hubungan antar lembaga eksekutif dan legislatif, ketiga sistem mempunyai probabilitas konflik yang sama. Semuanya tergantung pada komposisi anggota parlemen, apakah berasal dari Partai yang sama dengan Presiden maka kemungkinan besar hubungan antar lembaga itu akan lebih congruence daripada bila dari partai yang berbeda, walaupun untuk kasus Thailand dan Pakistan, faktor militer juga memainkan peran politik penting.
-       Masa Jabatan Dalam aspek yang kedua yaitu tentang masa jabatan pemerintahan,
Linz menganggap sistem Presidensial lemah dan membahayakan stabilitas politik, karena batas waktu yang diberikan seringkali membuat penyesuaian terhadap situasi yang berubah sangat sulit. Presiden yang kehilangan dukungan baik dari rakyat, partai bahkan dari partainya sendiri tidak dapat diganti karena belum habis masa jabatannya. Sementara upaya konstitusional untuk menggantikannya juga biasanya berbelit-belit, seperti kasus Presiden Bill Clinton di AS, Abdurrahman Wahid di Indonesia dan Joseph Estrada di Filipina. Dalam keadaan demikian bila krisis sudah sangat akut, kemungkinan kudeta militer dan people power besar kemungkinan akan terjadi.
Dalam kasus ini, sistem parlementer dianggap lebih baik karena bisa memecahkan persoalan serupa dengan melakukan perubahan dalam pemerintahan melaui mosi tidak percaya di parlemen. Ini dimungkinakan karena pemerintah sangat bergantung pada perlemen yang memilihnya. Hanya saja seperti dikatakan di muka, di dunia ketiga, kesempatan untuk mengganti pemerintahan ini juga merupakan sumber potensial untuk konflik. Ia dijadikan insentif untuk terus menggoyang suatu koalisi pemerintahan sampai jatuh. Artinya dalam sistem parlementer tidak ada jaminan bahwa pemerintahan akan terhindar dari konflik yang akut. Kemungkinan kudeta militer juga bisa terjadi karena krisis, kolusi, korupsi dan intrik politik berkepanjangan dalam pemerintahan, seperti yang terjadi dengan sistem parlementer di Pakistan dan Thailand beberapa tahun lalu.
Presiden yang memerintah bersama PM kadang-kadang juga harus bertanggungjawab pada parlemen, namun pada saat yang sama ia merasa berada dalam sistem presidential yang harus bertanggungjawab pada rakyat pemilihnya. Menurut Duverger yang dikutip Lijphard sistem ini sebenarnya lebih banyak aspek presidensialnya daripada parlementer.
Dalam hal masa jabatan, kritik terhadap presidensial, sebenarnya lemah dalam beberapa hal. Pertama, sistem presidensial juga mengenal mekanisme untuk menggulingkan presiden (pemerintahan) yang korup dan melanggar hukum. Hanya saja di sini mekanisme lebih complicated daripada sistem parlementer. Presiden dapat diganti kalau ia memang benar-benar melanggar konstitusi, melanggar hukum atau skandal politik yang besar lainnya. Mekanisme impeachment misalnya, memungkinkan Presiden untuk digulingkan. Kedua, untuk negara-negara dunia ketiga, selayaknya diperlukan jenjang masa pemerintahan yang pasti, untuk membuktikan apakah Presiden bisa memenuhi program yang dijanjikannya. Ia seharusnya tidak dijatuhkan di tengah jalan karena hal-hal yang menyangkut kebijakan rutin pemerintahan, sebagaimana yang terjadi dengan sistem parlementer.
Seringnya pergantian pemerintahan menyebabkan berbagai kebijakan negara yang harus dilakukan dalam jangka panjang secara konsisten, seperti pembangunan ekonomi dan pembangunan politik terbengkalai.
-       Keterwakilan
Aspek ketiga dari sistem pemerintahan yang mendapat sorotan adalah masalah keterwakilan dalam pemerintahan. Sistem Presidential di anggap lemah karena hanya mewakili sebagian orang dan bisa saja sebagian orang itu sebetulnya tidak mencapai mayoritas diatas 50% dari pemilih, karena prinsip winner-take-all. Contoh yang paling baru adalah di AS baru-baru ini di mana George W. Bush, Presiden sekarang memperoleh suara yang lebih kecil daripada saingannya. Sebaliknya sistem parlementer dianggap lebih representative karena sharing kekuasaan dan pembentukan koalisi antar berbagai partai politik termasuk juga dengan partai-partai kecil minoritas. Karena dipilih langsung, seorang Presiden juga bisa merasa tidak perlu melakukan koalisi atau konsesi ke kelompok oposisi.
Dalam contoh praktek politik, sebenarnya tidak ada jaminan adanya perasaan keterwakilan seperti di atas. Dalam sistem parlementer bisa juga terjadi dominasi partai-partai besar dengan meninggalkan partai kecil lainnya. Bukan hanya di dunia ketiga di mana terdapat sistem yang mempunyai satu partai dominan seperti di Malaysia, Singapore dan Jepang, tetapi di Inggris dan Australia, salah satu dari partai besar di sana sering menang mutlak di atas 50% sehingga tidak perlu koalisi dengan partai lain. Yang terjadi di sini dengan demikian adalah suatu sistem mayoritas yang ekstrim. Kelemahan tidak representativenya seorang Presiden karena suaranya yang tidak populer bisa diatas dengan mengubah sistem pemilu. Di beberapa negara termasuk Indonesia, seorang Presiden disyaratkan harus mencapai target jumlah suara tertentu seperti di atas 50% suara pemilih baru bisa disyahkan menjadi Presiden. Sebelum mencapai target suara itu, maka akan diadakan pemilihan ronde kedua. Ini akan mendorong partai-partai untuk berkoalisi, misalnya dalam mengajukan satu paket Presiden dan Wakilnya agar nantinya mencapai target suara mayoritas dalam Pemilu. Dalam konteks demikian seringkali Presiden terpilih berasal dari partai yang kecil namun popular di mata masyarakat.
Keunggulan lain dari sistem Presidensial adalah berjalannya mekanisme checks and balances. Sebagai contoh adalah sistem di Amerika, bila salah satu partai menang pemilu pemilihan presiden, partai lainnya seringkali menguasai kursi di parlemen baik senat maupun House of Representative. Ini akan memudahkan checks terhadap kebijakan eksekutif. Dengan demikian masyarakat memiliki pilihan yang lebih luas untuk mengontrol pemerintahan.
Selain itu sistem presidensial bisa dikatakan lebih unggul dan lebih demokratis daripada sistem parlementer, karena rakyat diberi kesempatan untuk memilih langsung figure penguasa paling tinggi yakni presiden. Presiden dengan demikian punya kedekatan emosional dengan rakyat, apalagi bila kemudian presiden itu berhasil merepresentasikan diri sebagai pemimpin bangsa secara keseluruhan, bukan lagi bertindak sebagai wakil dari kelompok atau partainya. Ia bisa menjadi simbol kesatuan nasional yang dapat mempersatukan berbagai kelompok etnis, golongan, agama dan kelas. Dalam sistem Presidensial, kesempatan untuk berpartisipasi dalam memilih bagi para pemilih juga lebih besar. Mereka punya kesempatan memilih dua kali yakni memilih Pre siden dan memilih anggota parlemen.
Para pemilih dengan pertimbangan keseimbangan kekuasaan misalnya, bisa saja memilih satu partai atau kandidat untuk lembaga legislatif, namun mendukung partai dan calon lain untuk kepala pemerintahan. Melalui pemilihan langsung, rakyat juga punya hak langsung untuk tidak memilih lagi seorang kadidat Presiden dari partai tertentu, karena tidak memenuhi keinginan mereka. Jadi di sini prinsip akuntabilitas dan identifikasi terhadap keberhasilan dan kegagalan Presiden dapat lebih mudah diukur dan dipertanggungjawabkan di depan rakyat.
-       Gaya Kepemimpinan
Aspek keempat menyangkut soal gaya kepemimpinan. Menurut kritik di atas seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat akan merasa mendapatkan mandat yang besar dan cenderung untuk menekankan kebijakan dan kampanye populis. Dukungan populis yang besar kepada seorang Presiden sering merupakan insentif bagi dia untuk kurang toleran pada oposisi dan mudah mengatasnamakan rakyat. Demikian juga sistem semi-Presidensial tidak menawarkan jaminan lebih baik, karena bila Presiden yang terpilih sangat partisan, sementara anggota parlemen mayoritas bukan dari partainya, maka akan terjadi berbagai konflik dan deadlock dalam menetapkan kebijakan negara. Sebaliknya dalam sistem parlementer, pada pendukung sistem ini berpendapat bahwa seorang PM harus lebih hati-hati dan mempertimbangkan berbagai pendapat koalisi partai dalam mengambil kebijakan dan langkah politik.
Memang dalam sistem Presidensial, kecenderungan Presiden untuk menekankan kebijakan dan kampanye polulis sering terjadi seperti di Filipina semaca Estrada dan Hugo Chaves di Venezuela, Namun soal kekhawatiran terhadap gaya kepemimpinan yang cenderung populis sebenarnya juga terjadi dalam sistem parlementer. Di Thailand misalnya bekas PM Thaksin Sinawatra sangat populis dengan menawarkan pinjaman lunak, pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis kepada rakyat.
-       Kesempatan Memerintah
Tentang aspek kelima bahwa dalam sistem Presidensial, diteorikan bahwa orang di luar partai punya kemungkinan lebih besar daripada dalam sistem Parlementer untuk menjadi Presiden. Hal ini akan mempunyai pengaruh negatif karena individu yang dipilih lewat suara popular ini kurang bergantung pada partai politik. Dia mungkin akan memerintah dengan cara populis dan mengabaikan aspek kelembagaan. Sebenarnya dalam sistem parlementer kemungkinan yang sama juga bisa terjadi terutama kalau partai politik tidak siap dengan calon dan kadernya sendiri.
Partai politik di dunia ketiga, kurang siap dengan calon-calon sendiri untuk tampil bersaing. Rekruitmen politik masih lemah pada partai-partai ini dan mereka terpaksa mengusung calon lain termasuk dari kalangan militer misalnya. Berkaitan dengan kemungkinan ia lebih bebas untuk bertindak tanpa terikat kepada partai yang mencalonkannya, sekali lagi hal ini juga tergantung pada kepribadian presiden yang terpilih dan aturan UUD yang dibuat dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Pembatasan yang dibuat UU dapat memaksa Presiden untuk berkompromi dengan keinginan dari legislatif misalnya. Dari uraian singkat di atas agak nya memang tidak ada jaminan bahwa suatu sistem akan menjurus ketingkat keterwakilan yang tinggi dan menjamin stabilitas politik. Namun cukup jelas bahwa sistem Presiden sial mempunyai beberapa potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Beberapa kelemahan dalam sistem presidensial yang bisaanya disebutkan oleh para pendukung sistem parlementer bisa diatasi baik dengan mengakomodasi sistem itu maupun dengan membuat aturan perundang-undangan
Paradoks sistem Presidensial
Pada satu pihak melahirkan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi pada pihak lain cenderung melahirkan personalisasi kekuasaan. Kecenderungan tersebut, akan mengakibatkan terjadinya perubahan dari prinsip kerjasama dan kolektivitas kepada kompetisi dan individualitas.
Implikasinya pada pergeseran nilai-nilai dari kolektivitas bangsa kepada individualitas warga negara. Situasi ini sedikit banyak akan menggerus kesadaran warga negara sebagai bangsa dan menyeret rakyat ke dalam kesadaran yang lebih mengutamakan kedudukannya sebagai warga negara dengan tuntutan yang sangat kuat atas kebebasan dan hak-hak individualitas
Mungkin cara terbaik untuk merangkum perbedaan mendasar antara sistem presiden dan parlemen adalah untuk mengatakan bahwa sementara parlementarisme menanamkan fleksibilitas untuk proses politik, presidensialisme membuatnya agak kaku. Para pendukung presidensialisme mungkin menjawab bahwa ini kekakuan adalah keuntungan, untuk itu penjaga karakteristik politik parlemen terhadap ketidakpastian dan ketidakstabilan. Tapi sementara kebutuhan untuk otoritas dan prediktabilitas akan tampak untuk mendukung presidensialisme, ada perkembangan mulai tak terduga dari kematian incumbent kesalahan serius dalam penilaian yang dilakukan di bawah tekanan situasi yang nakal membuat aturan presiden kurang dapat diprediksi dan sering lemah dibandingkan dengan perdana menteri
Itu Yang terakhir selalu bisa berusaha untuk menopang legitimasi dan otoritasnya, baik melalui mosi percaya atau pembubaran parlemen dan berikutnya pemilu baru. Selain itu, perdana menteri dapat diubah tanpa harus menciptakan krisis rezim.
Pertimbangan semacam ini membayangi secara luas terutama selama periode transisi rezim dan konsolidasi, ketika kekakuan dari konstitusi presiden harus tampak menguntungkan memang dibandingkan dengan prospek adaptasi yang menawarkan sistem parlementer.
ZERO-SUM PEMILU
Sistem Presidensial selalu bermasalah, hal ini dikarenakan prinsip “the winner takes all” yang inheren dalam sistem presidensial, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakan politiknya atas nama rakyat, dibandingkan lembaga parlemen (DPR) yang didominasi kepentingan partisan dari partai-partai politik.
Fenomena zero-sum-game. Tidak ada mekanisme power sharing yang terbentuk antara eksekutif dan parlemen, sehingga masing-masing akan memenangkan dirinya (the winner takes all ). Jika demikian, mekanisme koalisi akan terbentuk dalam wacana memperoleh kekuasaan.
Bahaya yang ditimbulkan dari pemilihan presiden zero-sum, diperparah oleh kekakuan pada jabatan presiden dalam jangka waktu tertentu. Pemenang dan pecundang yang tajam didefinisikan untuk seluruh periode mandat presiden. Dalam pemilihan presiden zero sum, yang kalah harus menunggu setidaknya empat atau lima tahun tanpa akses ke kekuasaan eksekutif dan patronase (dukungan/binaan). Zero-sum game di rezim presiden meningkatkan pertaruhan pemilihan presiden dan pasti memperparah ketegangan pejabat dan polarisasi.
Lebih lanjut Juan Linz mengemukakan bahwa problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi yang relatif tinggi. Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit tetapi bahkan membuka peluang terjadinya kelumpuhan pemerintahan. Dan masalah tersebut bertambah rumit lagi jika tidak ada satu partai pun yang menguasai mayoritas di parlemen (DPR). Masalah menjadi semakin kompleks jika lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal (presiden dan wakil presiden) berasal dari dua partai yang berbeda (cohabitation). Presiden berasal dari parpol lebih kecil, sedangkan wakil presiden berasal dari parpol yang lebih besar.
CONTOH SPANYOL
Politik Spanyol sejak Franco jelas terasa pengaruh moderat dari sistem parlementer; tanpa itu, transisi ke pemerintah populer dan konsolidasi kekuasaan demokratis mungkin telah mengambil yang jauh berbeda dan banyak kasar saja. Sekarang saya menambahkan catatan moderat dari saya sendiri. Saya tidak menyarankan bahwa polarisasi yang sering muncul dari pemilihan presiden secara bersamaan tak terelakkan dari pemerintah presiden. Dalam kondisi ini moderasi dan konsensus yang sudah ada sebelumnya, kampanye presiden tidak mungkin untuk membuktikan berbahaya memecah belah.
GAYA POLITIK PRESIDEN
Presiden mungkin merasa sulit untuk menggabungkan perannya sebagai kepala simbolik dari pemerintahan dengan perannya sebagai kepala eksekutif yang efektif dan pertempuran pemimpin partisan untuk mempromosikan partainya dan programnya. Sebuah sistem presidensial, sebagai lawan dari monarki konstitusional atau republik dan kepala negara, tidak memungkinkan pembedaan peran yang baik.
Mungkin konsekuensi paling penting dari hubungan langsung yang ada antara presiden dan para pemilih sebagai satu-satunya wakil yang terpilih dari seluruh orang dan risiko yang menyertainya bahwa ia akan cenderung menyamakan pendukungnya dengan "orang-orang" secara keseluruhan. Ini artinya gaya politik presiden kurang menguntungkan bagi demokrasi daripada gaya politik parlemen. Rasa menjadi wakil seluruh bangsa dapat menyebabkan presiden untuk menjadi toleran terhadap oposisi. "perasaan memiliki kekuasaan independen, mandat dari rakyat kemungkinan akan memberikan presiden rasa kekuasaan dan misi yang mungkin tidak sesuai dengan pluralitas terbatas yang dia pilih.
Berbeda dengan presiden, perdana menteri biasanya anggota parlemen yang, bahkan saat ia duduk di bangku pemerintah, tetap menjadi bagian dari lembaga yang lebih besar. Tidak adanya di rezim presiden dari seorang raja atau "presiden republik "yang dapat bertindak secara simbolis seorang tokoh netral dapat memberikan pemberat moral dalam krisis atau bertindak sebagai moderator antara perdana menteri dan lawannya yang mungkin termasuk tidak hanya musuh parlemen, tetapi para pemimpin militer juga. Sebuah parlemen Rezim memiliki pembicara atau anggota ketua parlemen yang bisa mengerahkan beberapa menahan pengaruh atas musuh parlemen, termasuk perdana menteri sendiri, siapa pemimpin yang berbicara setelah semua anggota berada di ruangan.
MASALAH LEGITIMASI GANDA
Seorang presiden, dapat melindungi anggota kabinetnya dari kritik jauh lebih efektif daripada kemampuan seorang perdana menteri, yang anggota kabinet secara teratur diseret sebelum parlemen untuk menjawab pertanyaan atau bahkan, menghadapi kecaman dalam kasus yang ekstrim.
Masalah kemandegan atau konflik antara eksekutif dan legisatif yang bisa mengakibatkan “jalan buntu” dan “kelumpuan” yang diakibatkan karena akibat dari ko-eksistensi dari lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam sistem presidensial apabila terdapat pertentangan antara kedua badan ini, maka tidak ada sumber daya institusional untuk memecahkannya. Beda dengan sistem parlementer yang terdapat mosi tidak percaya untuk tetap menjaga eksekutif dan legislatif sejalan dalam sistem parlementer.
Juan Linz memandang bahwa masalah kebuntuan dalam sistem presidensial muncul dari ”legitimasi ganda dari dua organ independent yang dipilih rakyat itu, tetapi Linz juga menekankan bahwa yang lebih legitimed adalah yang melalui pemungutan suara, dalam sistem preidensial dengan kombinasi sistem multi partai menimbulkan “Matahari Kembar” atau muncul dua organ kekuasaan yang keduanya berebut legitimasi rakyat. Dan biasanya presiden akan mendasarkan pada legitimasi terpilihnya dia sebagai presiden dengan jumlah suara dan dukungan dari rakyat yang lebih besar daripada lembaga legislatif dan seringkali digunakan untuk membenarkan tuntutan dominasinya atas badan legislatif.
Juan J Linz mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri.
ISU STABILITAS
Krisis pemerintah dan perubahan menteri dari rezim parlemen tentu saja dikecualikan oleh jangka waktu tertentu, tapi stabilitas besar ini dibeli dengan harga kekakuan sama besar. Fleksibilitas dalam menghadapi situasi terus berubah ini bukan setelan kuat sistem presidensial. Menggantikan presiden yang telah kehilangan kepercayaan partainya atau orang-orang adalah proposisi yang sangat sulit. Apakah dalam sistem parlementer krisis pemerintahan yang terjadi bisa menjadi krisis rezim full-blown dalam sistem presidensial.
Kekakuan yang sama terlihat ketika incumbent meninggal atau menderita cacat saat menjabat. Dalam kasus terakhir, ada godaan untuk menyembunyikan kelemahan presiden hingga akhir masa jabatannya. Dalam hal kematian Presiden, pengunduran diri, impeachment, atau ketidakmampuan, konstitusi presiden sangat sering memastikan secara otomatis dan suksesi langsung tanpa peralihan atau kekosongan kekuasaan. Tapi lembaga suksesi wakil presiden, telah bekerja dengan baik di negara Inggris, mungkin tidak berfungsi begitu lancar di tempat lain.
Linz mengatakan bahwa sistem presidensialisme lebih rentan terhadap bahaya instabilitas atau kehancuran demokrasi (Democratic Breakdown) dibandingkan sistem parlementer. Untuk mengurangi resiko instabilitas ini, Linz menyarankan agar negara-negara yang telah mengadopsi sistem presidensialisme seperti Amerika Latin supaya mengganti sistem pemerintahannya menjadi parlementerisme. Menurut Linz, problem instabilitas demokrasi disebabkan oleh dua alasan sebagai berikut:
Pertama, presidensialisme tidak punya katup pengaman layaknya sistem parlementerisme, yaitu mosi tidak percaya yang memungkinkan pembubaran pemerintah saat terjadi krisis tanpa harus menghapus konstitusi. Kedua, presidensialisme menciptakan dorongan-dorongan dan kondisi-kondisi yang justru pertama-tama bisa memicu terjadinya krisis semacam itu, dan terutama yang bisa menggangu relasi antara lembaga eksekutif dan legislatif. Presidensialisme mengobarkan permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan yang popular, dengan meniadakan mekanisme konstitusional dalam menyelesaikan konflik-konflik yang serius. Pemisahan yang ketat ini menyiratkan bahwa para presiden tidak punya opsi untu membubarkan lembaga legislatif dan lembaga legislatif tidak punya opsi untuk mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif. Ketiadaan opsi tersebut dapat mendorong salah satu atau beberapa partai menggunakan cara-cara inskonstitusional di luar opsi-opsi tersebut dalam situasi konflik sehingga mengancam stabilitas demokrasi presidensial itu sendiri.
Resiko lain dari problem instabilitas demokrasi adalah kemungkinan adanya ekspansi kekuatan presiden yang dapat melahirkan otoritarianisme. Selain itu, ada juga kemungkinan intervensi militer ketika permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan berubah menjadi krisis. Semua ini menjadikan sistem presidensial rentan mengalami instabilitas demokrasi, jika bukan kehancuran demokrasi.

FAKTOR WAKTU
Semua pemimpin politik harus khawatir tentang ambisi lingkaran kedua para pemimpin, kadang-kadang karena mereka berebut untuk posisi di urutan suksesi dan kadang-kadang karena intrik-intrik mereka. Tetap dan tanggal pasti suksesi bahwa konstitusi presiden menetapkan hanya dapat memperburuk kekhawatiran incumbent pada skor ini. Ini menambah keinginan untuk kontinuitas, dan tidak memerlukan lompatan logika untuk memprediksi bahwa Presiden akan memilih sebagai kapten dan penggantinya jelas seseorang yang lebih mungkin untuk membuktikan laki-laki yang ok daripada pemimpin atas haknya sendiri.
Suksesi tak terelakkan juga menciptakan semacam ketegangan yang khas antara mantan presiden dan penggantinya. Manusia mungkin baru merasa didorong untuk menegaskan kemerdekaan dan membedakan dirinya dari pendahulunya, meskipun kedua mungkin milik partai yang sama. Presiden yang berusia, untuk bagian itu, setelah kehormatan diketahui unik dan kekuatan memahami yang datang dengan kantornya, akan selalu merasa sulit untuk mendamaikan dirinya berada di luar kekuasaan untuk selamanya, tanpa prospek kembali bahkan jika incumbent baru gagal total. Pertentangan dan prustasi publik seperti Partai dan koalisi mungkin terpecah. Mereka bisa juga menyebabkan intrik, seperti ketika karya mantan Presiden masih menonjol di belakang layar untuk mempengaruhi suksesi berikutnya atau ke melemahkan kebijakan atau pimpinan partai incumbent.
Tentu saja masalah yang sama juga dapat muncul dalam sistem parlementer ketika seorang pemimpin terkemuka menemukan dirinya keluar dari kantor tapi bersemangat untuk kembali. Tapi rezim parlemen dapat lebih mudah mengurangi kesulitan tersebut untuk sejumlah alasan. kegentingan yang harus dipertahankan adalah persatuan partai, rasa hormat yang diberikan tokoh partai terkemuka, dan perdana menteri baru tertarik kesadaran bahwa ia membutuhkan bantuan pendahulunya bahkan jika yang terakhir tidak duduk di bangku pemerintah atau sisi yang sama dari semua rumah, ini berkontribusi pada pemeliharaan kerukunan. Pihak pemimpin yang sama dapat bergantian sebagai perdana menteri; masing-masing tahu bahwa yang lain dapat diminta untuk menggantikannya setiap saat dan bahwa konfrontasi untuk kedua adalah mahal, sehingga mereka berbagi kekuasaan. Sebuah logika yang sama berlaku untuk hubungan antara pemimpin partai yang bersaing atau koalisi parlemen.
Terkait kendala waktu dengan sistem presidensial, karakter pemilihan presiden dikombinasikan dengan zero-sum, kemungkinan untuk membuat seperti kontes lebih dramatis dan memecah belah dari pemilihan parlemen. Penyusunan politik dalam sistem parlementer itu mungkin terjadi kembali antara pemilu dan selama dalam kampanye pemilu legislatif ruang publik harus terjadi dalam sistem presidensial, di mana mereka adalah bagian penting dari proses membangun koalisi menang…..Sebuah rezim presiden menyisakan jauh lebih sedikit ruang untuk membangun konsensus secara implisit, pergeseran koalisi, dan pembuatan kompromi yang, meskipun bijaksana, sulit di depan umum untuk mempertahankan.
SISTEM PARLEMENTER DAN STABILITAS POLITIK
Linz menyatakan bahwa sistem presidensial tidak menjamin demokrasi berjala secara stabil. Sebaliknya, demokrasi yang paling stabil di dunia adalah Amerika Serikat yang memiliki konstitusi presiden. Meskipun benar bahwa sistem parlementer lebih fleksibel akan tetapi dalam pembentukan kelembagaan demokrasi diperlukan adaptasi dan konsolidasi, itu tidak berarti bahwa hanya semacam rezim parlementer akan melakukan. Memang, untuk menyelesaikan analisis yang perlu merenungkan jenis terbaik konstitusi parlemen dan ciri institusional yang spesifik.
Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sistem parlementer tidak akan pernah mengalami krisis serius atau bahkan kerusakan. Dalam analisis akhir, semua rezim, bagaimanapun dirancang bijaksana, harus tergantung untuk preservasi (pelestarian) mereka atas dukungan masyarakat luas, kekuatan besar, kelompok, dan institusi. Mereka mengandalkan pada konsensus publik yang mengakui sebagai otoritas sah satu kekuatan yang diperoleh melalui cara yang sah dan demokratis. Mereka bergantung juga pada kemampuan pemimpin untuk memerintah, untuk menginspirasi kepercayaan, untuk menghormati batas-batas kekuasaan mereka, dan untuk mencapai gelar yang memadai dari konsensus. Meskipun kualitas ini yang paling dibutuhkan dalam sistem presidensial, justru ada hal yang paling sulit untuk mereka dicapai. Ketergantungan pada kualitas pribadi seorang pemimpin dalam politik kebajikan sebagai seorang negarawan, jika Anda akan kursus berisiko, untuk satu hal yang kita tidak pernah tahu jika orang seperti itu bisa ditemukan untuk mengisi jabatan presiden. Tapi sementara tidak ada konstitusi presiden dapat menjamin Washington, Juirez, atau Lincoln, tidak ada Rezim parlemen dapat menjamin Adenauer atau Churchill baik. mengingat seperti dihindari ketidakpastian, tujuan esai ini hanya untuk membantu memulihkan perdebatan tentang peran lembaga-lembaga demokratis alternatif dalam membangun polities demokratis yang stabil.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan baik presidensil dan parlementer saling menunjukan kelebihan masing-masing dalam menata pemerintahan negara. Dalam menerapkan sistem presidensial membuktikan bila terjadi kegagalan itu bukanlah disebabkan semata-mata karena kelemahan sistem presidensial itu sendiri, tapi karena sistem presidensial itu tidak dilaksanakan secara murni dan tidak pula didukung oleh mekanisme konstitusi yang memadai. Sistem pemerintahan parlementer menekankan kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk dan memiliki kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More