REVIEM
BAHAYA SISTEM PRESIDENSIAL
JUAN LINZ
Diajukan Sebagai Salah
Satu Tugas Mandiri
Pada Mata Kuliah Teori Politik
Dosen
: Prof. DR. Samugyo Ibnu Redjo, MA
Dr.
Drs. Awan Yuswanda, M.Si
Disusun
Oleh :
Nama
: Ade Surahman
NPM
: L23.016.0021
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ilahi Robbi,
karena atas rahmat dan karunia-Nya penyusunan review Jurnal “The Perils of Presidentialism Linz,
Juan J. (Juan José)”
ini dapat diselesaikan.
Penyusunan review
Jurnal ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Teori Politik pada
program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnuredjo, MA, dan Dr. Drs. Awan Yuswanda, M.Si., selaku
dosen mata kuliah Teori Politik yang telah membimbing sehingga review
Jurnal ini dapat diselesaikan.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan review Jurnal ini dirasakan banyak
mendapat berbagai kesulitan, namun atas Rahmat Ilahi Robbi dan bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat diatasi.
Akhir kata, semoga review Jurnal ini bermanfaat khususnya bagi saya dan
umumnya bagi perkembangan Metode
Penelitian Sosial di
Indonesia.
Bandung,
Maret 2017
Penyusun
REVIEW
BAHAYA
SISTEM PRESIDENSIAL
Juan
Linz
Menurut sejarah keunggulan
demokrasi parlementer bukan sebuah kebetulan. Kehati-hatian dalam membandingkan
sitem parlementer dengan sistem presidesial mengarah kepada kesimpulan bahwa pada keseimbangan, yang pertama lebih kondusif untuk demokrasi yang
stabil daripada yang terakhir. Kesimpulan ini berlaku terutama
ke negara-negara dengan
perpecahan politik yang mendalam dan banyak partai politik; untuk seperti
negara, sistem parlementer umumnya menawarkan harapan yang lebih baik dari mempertahankan
demokrasi.
SISTEM
PARLEMENTER VERSUS SISTEM PRESIDENSIAL
Rezim parlementer menurut
Linz adalah sebuah satu-satunya lembaga demokrasi yang legitimet adalah
parlemen. Otoritas pemerintah benar-benar tergantung pada kepercayaan parlemen.
Menurut rezim parlementer perdana
menteri terlihat lebih baik dari presiden.
Paradigma sistem
presidensial secara mendasar memang meletakkan kekuasaan Presiden yang demikian
besar di bawah konstitusi untuk membentuk kabinet dan perangkatnya. Selain itu,
Presiden tidak hanya kepala eksekutif, melainkan sekaligus pula kepala negara.
Pemerintahannya dipilih langsung oleh
rakyat untuk jangka waktu tertentu dan tidak bergantung pada mosi kepecayaan
parlemen. Dalam sistem presidensial presiden dapat berhenti atau diberhentikan
antar pemilu dengan dasar adanya impeachment
atau dakwaan/tuntutan.
Syarat-syarat negara Presidensial yang
stabil
1. Presiden harus dipilih langsung oleh
rakyat, oleh karenanya presiden memiliki
hak yang kuat secara demokratis.
2. Presiden harus dipilih untuk masa
jabatan tertentu
Tetapi
yang paling menonjol adalah bahwa dalam sistem presidensial, para legislator,
terutama bila mereka mewakili partai-partai kuat yang menawarkan berbagai
alternatif ideologis dan politik yang jelas, mungkin pula menuntut legitimasi
demokrasi. Tuntutan ini dilontarkan bila mayoritas legislatif menentukan suatu
pilihan politik yang berlawanan dengan pilihan yang ditentukan presiden. Dalam
keadaan seperti ini, siapa yang memiliki tuntutan yang lebih kuat untuk
berbicara atas nama rakyat karena keduanya memperoleh keuasaan dari rakyat.
Pada sistem presidensial,
presiden dan parlemen sama-sama memiliki basis legitimasi yang kuat (dual legitimacy). Kekuatan yang
berimbang ini memiliki tendensi konflik yang bersifat laten karena
masing-masing memiliki kekuasaan. Konflik akan timbul dalam hal kebijakan yang
berkaitan dengan pengakomodasian kepentingan. Dalam keadaan seperti ini, siapa yang memiliki tuntutan yang
lebih kuat untuk berbicara atas nama rakyat karena keduanya memperoleh keuasaan
dari rakyat.
Juan
J. Linz mengungkapkan bahwa masa jabatan presiden yang sudah pasti mengandung
kelemahan, masa jabatan ini memecah belah proses politik ke dalam
periode-periode yang tidak berhubungan sehingga tidak memberikan kesempatan
untuk melakukan berbagai penyesuaian sebagaimana dituntut oleh keadaan.
Dalam perbandingan berikut
akan ditunjukkan beberapa kritik dan perbandingan antara sistem pemerintahan
itu yang diadaptasi dari Juan Linz dalam tabel Kritik Linz diatas menjelaskan
secara teoritis berbagai potensi yang mungkin akan terjadi dalam berbagai
sistem pemerintahan. Secara potensial dari tabel itu terlihat bahwa sistem
parlementer memberi peluang bagi stabilitas politik maupun kelanjutan demokrasi
yang lebih baik. Menurut statistik memang sistem parlementer lebih bisa
bertahan di banyak negara baik yang sedang berkembang maupun yang sudah matang
kehidupan politiknya.
Tabel perbandingan Presidential versus
Parlemeter
|
Presidential
|
Parlementer
|
Hubungan
kelembagaan
|
Tidak harmonis
|
Harmonis
|
Masa
Jabatan Pemerintah
|
Pasti
|
Flexible
|
Keterwakilan
|
Zero
Sum Game
|
Power-sharing
|
Gaya
Memerintah
|
Kurang
kompromis
|
Kompromis
|
Kesempatan
memerintah
|
Semua orang
|
Anggota partai saja
|
- Hubungan
Legislatif-Eksekutif
Dalam
hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif, pada kabinet presidensial
secara teoritis disebutkan ada insentif akan terjadi konflik karena Presiden
sebagaimana DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dan merasa memiliki
legitimasi yang kuat untuk berbicara atas suatu kebijakan. Karena asal usul dan
kelangsungan keduanya adalah independen, kedua lembaga ini kurang memiliki
mekanisme kelembagaan untuk mendorong kerjasama di antara keduanya. Konstituten
mereka berbeda dan mereka juga tidak bergantung satu dengan yang lain. Dalam situasi
demikian konflik antara keduanya bisa muncul dan meledak pada satu saat.
Sebaliknya
dalam sistem parlementer, insentif konflik yang kuat tidak terjadi karena
pemerintah yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (PM) dipilih oleh
parlemen dan parlemen bisa mengganti PM dengan mosi tidak percaya bila ia
dianggap tidak layak lagi memerintah. Dalam sistem semi-Presidensial, potensi konflik
besar kalau Presiden dan PM (juga parlemen) berasal dari partai yang berbeda. Namun
dalam praktek politik, bila di banyak negara maju seperti Eropa Barat, sistem
parlementer bisa berjalan dengan baik, karena partai yang telah terdisiplin dengan
garis ideologi dan program yang jelas, lain halnya dengan di dunia ketiga.
Dalam sistem parlementer, kemungkinan pemerintahan bisa digantikan justru
merupakan insentif untuk menggoyang pemerintahan terus menerus, dan untuk
menggalang kemungkinan koalisi pemerintahan baru. Di negara-negara yang baru
menerapkan sistem demokrasi, sistem parlementer sangat rapuh dan penuh intrik
dan konflik yang menyebabkan pemerintahan jatuh bangun. Kasus yang dapat
dilihat di sini adalah di Thailand, Pakistan, Indonesia di masa demokrasi
parlementer dan Bangladesh belakangan ini dimana konflik dalam parlemen telah
melahirkan deadlock yang bahkan menyebabkan terjadi kudeta seperti di Thailand
semasa PM Thaksin Sinawatra dan konflik berdarah. Demikian juga, pada sistem semi-presidential,
hubungan antara parlemen dan pemerintah berpotensi konflik, karena Presiden
yang menunjuk PM biasanya belum tentu disetujui oleh parlemen atau pun kalau
disetujui, berbagai kebijakan PM bisa menjadi sasaran kritik anggota parlemen.
Jadi
di sini dalam hal potensi konflik yang menyangkut hubungan antar lembaga
eksekutif dan legislatif, ketiga sistem mempunyai probabilitas konflik yang
sama. Semuanya tergantung pada komposisi anggota parlemen, apakah berasal dari
Partai yang sama dengan Presiden maka kemungkinan besar hubungan antar lembaga
itu akan lebih congruence daripada
bila dari partai yang berbeda, walaupun untuk kasus Thailand dan Pakistan, faktor
militer juga memainkan peran politik penting.
- Masa
Jabatan Dalam aspek yang kedua yaitu tentang masa jabatan pemerintahan,
Linz
menganggap sistem Presidensial lemah dan membahayakan stabilitas politik,
karena batas waktu yang diberikan seringkali membuat penyesuaian terhadap
situasi yang berubah sangat sulit. Presiden yang kehilangan dukungan baik dari
rakyat, partai bahkan dari partainya sendiri tidak dapat diganti karena belum
habis masa jabatannya. Sementara upaya konstitusional untuk menggantikannya juga
biasanya berbelit-belit, seperti kasus Presiden Bill Clinton di AS, Abdurrahman
Wahid di Indonesia dan Joseph Estrada di Filipina. Dalam keadaan demikian bila
krisis sudah sangat akut, kemungkinan kudeta militer dan people power besar kemungkinan
akan terjadi.
Dalam
kasus ini, sistem parlementer dianggap lebih baik karena bisa memecahkan
persoalan serupa dengan melakukan perubahan dalam pemerintahan melaui mosi
tidak percaya di parlemen. Ini dimungkinakan karena pemerintah sangat
bergantung pada perlemen yang memilihnya. Hanya saja seperti dikatakan di muka,
di dunia ketiga, kesempatan untuk mengganti pemerintahan ini juga merupakan
sumber potensial untuk konflik. Ia dijadikan insentif untuk terus menggoyang
suatu koalisi pemerintahan sampai jatuh. Artinya dalam sistem parlementer tidak
ada jaminan bahwa pemerintahan akan terhindar dari konflik yang akut. Kemungkinan
kudeta militer juga bisa terjadi karena krisis, kolusi, korupsi dan intrik
politik berkepanjangan dalam pemerintahan, seperti yang terjadi dengan sistem
parlementer di Pakistan dan Thailand beberapa tahun lalu.
Presiden
yang memerintah bersama PM kadang-kadang juga harus bertanggungjawab pada
parlemen, namun pada saat yang sama ia merasa berada dalam sistem presidential yang
harus bertanggungjawab pada rakyat pemilihnya. Menurut Duverger yang dikutip
Lijphard sistem ini sebenarnya lebih banyak aspek presidensialnya daripada
parlementer.
Dalam
hal masa jabatan, kritik terhadap presidensial, sebenarnya lemah dalam beberapa
hal. Pertama, sistem presidensial juga mengenal mekanisme untuk menggulingkan presiden
(pemerintahan) yang korup dan melanggar hukum. Hanya saja di sini mekanisme
lebih complicated daripada sistem parlementer. Presiden dapat diganti kalau ia
memang benar-benar melanggar konstitusi, melanggar hukum atau skandal politik
yang besar lainnya. Mekanisme impeachment misalnya, memungkinkan Presiden untuk
digulingkan. Kedua, untuk negara-negara dunia ketiga, selayaknya diperlukan
jenjang masa pemerintahan yang pasti, untuk membuktikan apakah Presiden bisa
memenuhi program yang dijanjikannya. Ia seharusnya tidak dijatuhkan di tengah
jalan karena hal-hal yang menyangkut kebijakan rutin pemerintahan, sebagaimana
yang terjadi dengan sistem parlementer.
Seringnya
pergantian pemerintahan menyebabkan berbagai kebijakan negara yang harus
dilakukan dalam jangka panjang secara konsisten, seperti pembangunan ekonomi
dan pembangunan politik terbengkalai.
- Keterwakilan
Aspek
ketiga dari sistem pemerintahan yang mendapat sorotan adalah masalah
keterwakilan dalam pemerintahan. Sistem Presidential di anggap lemah karena
hanya mewakili sebagian orang dan bisa saja sebagian orang itu sebetulnya tidak
mencapai mayoritas diatas 50% dari pemilih, karena prinsip winner-take-all. Contoh yang paling baru adalah di AS baru-baru ini
di mana George W. Bush, Presiden sekarang memperoleh suara yang lebih kecil
daripada saingannya. Sebaliknya sistem parlementer dianggap lebih
representative karena sharing kekuasaan dan pembentukan koalisi antar berbagai
partai politik termasuk juga dengan partai-partai kecil minoritas. Karena
dipilih langsung, seorang Presiden juga bisa merasa tidak perlu melakukan koalisi atau konsesi ke kelompok
oposisi.
Dalam
contoh praktek politik, sebenarnya tidak ada jaminan adanya perasaan
keterwakilan seperti di atas. Dalam sistem parlementer bisa juga terjadi
dominasi partai-partai besar dengan meninggalkan partai kecil lainnya. Bukan
hanya di dunia ketiga di mana terdapat sistem yang mempunyai satu partai
dominan seperti di Malaysia, Singapore dan Jepang, tetapi di Inggris dan Australia,
salah satu dari partai besar di sana sering menang mutlak di atas 50% sehingga tidak
perlu koalisi dengan partai lain. Yang terjadi di sini dengan demikian adalah
suatu sistem mayoritas yang ekstrim. Kelemahan tidak representativenya seorang
Presiden karena suaranya yang tidak populer bisa diatas dengan mengubah sistem
pemilu. Di beberapa negara termasuk Indonesia, seorang Presiden disyaratkan
harus mencapai target jumlah suara tertentu seperti di atas 50% suara pemilih
baru bisa disyahkan menjadi Presiden. Sebelum mencapai target suara itu, maka
akan diadakan pemilihan ronde kedua. Ini akan mendorong partai-partai untuk
berkoalisi, misalnya dalam mengajukan satu paket Presiden dan Wakilnya agar
nantinya mencapai target suara mayoritas dalam Pemilu. Dalam konteks demikian
seringkali Presiden terpilih berasal dari partai yang kecil namun popular di
mata masyarakat.
Keunggulan
lain dari sistem Presidensial adalah berjalannya mekanisme checks and balances. Sebagai contoh adalah sistem di Amerika, bila salah
satu partai menang pemilu pemilihan presiden, partai lainnya seringkali
menguasai kursi di parlemen baik senat maupun House of Representative. Ini akan memudahkan checks terhadap kebijakan eksekutif. Dengan demikian masyarakat memiliki
pilihan yang lebih luas untuk mengontrol pemerintahan.
Selain
itu sistem presidensial bisa dikatakan lebih unggul dan lebih demokratis
daripada sistem parlementer, karena rakyat diberi kesempatan untuk memilih
langsung figure penguasa paling tinggi yakni presiden. Presiden dengan demikian
punya kedekatan emosional dengan rakyat, apalagi bila kemudian presiden itu
berhasil merepresentasikan diri sebagai pemimpin bangsa secara keseluruhan,
bukan lagi bertindak sebagai wakil dari kelompok atau partainya. Ia bisa menjadi
simbol kesatuan nasional yang dapat mempersatukan berbagai kelompok etnis, golongan,
agama dan kelas. Dalam sistem Presidensial, kesempatan untuk berpartisipasi
dalam memilih bagi para pemilih juga lebih besar. Mereka punya kesempatan memilih
dua kali yakni memilih Pre siden
dan memilih anggota parlemen.
Para
pemilih dengan pertimbangan keseimbangan kekuasaan misalnya, bisa saja memilih
satu partai atau kandidat untuk lembaga legislatif, namun mendukung partai dan
calon lain untuk kepala pemerintahan. Melalui pemilihan langsung, rakyat juga
punya hak langsung untuk tidak memilih lagi seorang kadidat Presiden dari partai
tertentu, karena tidak memenuhi keinginan mereka. Jadi di sini prinsip
akuntabilitas dan identifikasi terhadap keberhasilan dan kegagalan Presiden
dapat lebih mudah diukur dan dipertanggungjawabkan di depan rakyat.
- Gaya
Kepemimpinan
Aspek
keempat menyangkut soal gaya kepemimpinan. Menurut kritik di atas seorang
Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat akan merasa mendapatkan mandat yang
besar dan cenderung untuk menekankan kebijakan dan kampanye populis. Dukungan
populis yang besar kepada seorang Presiden sering merupakan insentif bagi dia
untuk kurang toleran pada oposisi dan mudah mengatasnamakan rakyat. Demikian
juga sistem semi-Presidensial tidak menawarkan jaminan lebih baik, karena bila
Presiden yang terpilih sangat partisan, sementara anggota parlemen mayoritas
bukan dari partainya, maka akan terjadi berbagai konflik dan deadlock dalam
menetapkan kebijakan negara. Sebaliknya dalam sistem parlementer, pada pendukung
sistem ini berpendapat bahwa seorang PM harus lebih hati-hati dan
mempertimbangkan berbagai pendapat koalisi partai dalam mengambil kebijakan dan
langkah politik.
Memang
dalam sistem Presidensial, kecenderungan Presiden untuk menekankan kebijakan
dan kampanye polulis sering terjadi seperti di Filipina semaca Estrada dan Hugo
Chaves di Venezuela, Namun soal kekhawatiran terhadap gaya kepemimpinan yang
cenderung populis sebenarnya juga terjadi dalam sistem parlementer. Di Thailand
misalnya bekas PM Thaksin Sinawatra sangat populis dengan menawarkan pinjaman
lunak, pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis kepada rakyat.
- Kesempatan
Memerintah
Tentang
aspek kelima bahwa dalam sistem Presidensial, diteorikan bahwa orang di luar
partai punya kemungkinan lebih besar daripada dalam sistem Parlementer untuk
menjadi Presiden. Hal ini akan mempunyai pengaruh negatif karena individu yang
dipilih lewat suara popular ini kurang bergantung pada partai politik. Dia
mungkin akan memerintah dengan cara populis dan mengabaikan aspek kelembagaan.
Sebenarnya dalam sistem parlementer kemungkinan yang sama juga bisa terjadi
terutama kalau partai politik tidak siap dengan calon dan kadernya sendiri.
Partai
politik di dunia ketiga, kurang siap dengan calon-calon sendiri untuk tampil
bersaing. Rekruitmen politik masih lemah pada partai-partai ini dan mereka
terpaksa mengusung calon lain termasuk dari kalangan militer misalnya.
Berkaitan dengan kemungkinan ia lebih bebas untuk bertindak tanpa terikat
kepada partai yang mencalonkannya, sekali lagi hal ini juga tergantung pada
kepribadian presiden yang terpilih dan aturan UUD yang dibuat dalam hubungan
antara eksekutif dan legislatif.
Pembatasan
yang dibuat UU dapat memaksa Presiden untuk berkompromi dengan keinginan dari
legislatif misalnya. Dari uraian singkat di atas agak nya memang tidak ada
jaminan bahwa suatu sistem akan menjurus ketingkat keterwakilan yang tinggi dan
menjamin stabilitas politik. Namun cukup jelas bahwa sistem Presiden sial
mempunyai beberapa potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Beberapa kelemahan
dalam sistem presidensial yang bisaanya disebutkan oleh para pendukung sistem
parlementer bisa diatasi baik dengan mengakomodasi sistem itu maupun dengan
membuat aturan perundang-undangan
Paradoks sistem Presidensial
Pada
satu pihak melahirkan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi pada pihak lain
cenderung melahirkan personalisasi kekuasaan. Kecenderungan tersebut, akan
mengakibatkan terjadinya perubahan dari prinsip kerjasama dan kolektivitas
kepada kompetisi dan individualitas.
Implikasinya
pada pergeseran nilai-nilai dari kolektivitas bangsa kepada individualitas
warga negara. Situasi ini sedikit banyak akan menggerus kesadaran warga negara
sebagai bangsa dan menyeret rakyat ke dalam kesadaran yang lebih mengutamakan
kedudukannya sebagai warga negara dengan tuntutan yang sangat kuat atas
kebebasan dan hak-hak individualitas
Mungkin cara terbaik untuk merangkum perbedaan mendasar antara
sistem presiden dan parlemen adalah untuk mengatakan
bahwa sementara parlementarisme
menanamkan fleksibilitas untuk proses politik, presidensialisme
membuatnya agak kaku. Para pendukung presidensialisme
mungkin menjawab bahwa ini kekakuan adalah keuntungan, untuk itu penjaga karakteristik
politik parlemen terhadap ketidakpastian dan ketidakstabilan. Tapi sementara kebutuhan untuk otoritas
dan prediktabilitas akan tampak untuk mendukung presidensialisme, ada perkembangan
mulai tak terduga dari kematian incumbent kesalahan serius dalam penilaian
yang dilakukan di
bawah tekanan situasi yang nakal membuat aturan presiden kurang dapat diprediksi dan sering lemah dibandingkan
dengan perdana menteri
Itu Yang
terakhir selalu bisa berusaha untuk menopang legitimasi dan otoritasnya, baik
melalui mosi percaya atau pembubaran parlemen dan
berikutnya pemilu baru. Selain itu, perdana menteri dapat
diubah tanpa harus
menciptakan krisis rezim.
Pertimbangan semacam ini membayangi secara
luas terutama selama periode
transisi rezim dan konsolidasi, ketika kekakuan dari
konstitusi presiden harus tampak menguntungkan memang dibandingkan dengan prospek
adaptasi yang menawarkan sistem
parlementer.
ZERO-SUM PEMILU
Sistem Presidensial selalu
bermasalah, hal ini dikarenakan prinsip
“the winner takes all” yang inheren
dalam sistem presidensial, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk
mengklaim pilihan-pilihan kebijakan politiknya atas nama rakyat, dibandingkan
lembaga parlemen (DPR) yang didominasi kepentingan partisan dari partai-partai
politik.
Fenomena zero-sum-game. Tidak ada mekanisme power
sharing yang terbentuk antara eksekutif dan parlemen, sehingga
masing-masing akan memenangkan dirinya (the
winner takes all ). Jika demikian, mekanisme koalisi akan terbentuk
dalam wacana memperoleh kekuasaan.
Bahaya yang ditimbulkan dari pemilihan presiden zero-sum, diperparah oleh kekakuan pada jabatan presiden dalam jangka waktu tertentu. Pemenang dan pecundang
yang tajam didefinisikan untuk seluruh periode mandat
presiden. Dalam pemilihan presiden
zero sum, yang kalah harus menunggu
setidaknya empat atau lima tahun tanpa akses ke kekuasaan eksekutif dan patronase
(dukungan/binaan). Zero-sum game di rezim
presiden meningkatkan
pertaruhan pemilihan presiden dan pasti memperparah ketegangan pejabat dan polarisasi.
Lebih
lanjut Juan Linz mengemukakan bahwa
problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan
dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi
yang relatif tinggi. Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya
merupakan kombinasi yang sulit tetapi bahkan membuka peluang terjadinya
kelumpuhan pemerintahan. Dan masalah tersebut bertambah rumit lagi jika tidak
ada satu partai pun yang menguasai mayoritas di parlemen (DPR). Masalah menjadi
semakin kompleks jika lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif
tunggal (presiden dan wakil presiden) berasal dari dua partai yang berbeda (cohabitation). Presiden berasal dari
parpol lebih kecil, sedangkan wakil presiden berasal dari parpol yang lebih
besar.
CONTOH
SPANYOL
Politik Spanyol sejak Franco jelas terasa pengaruh moderat dari sistem parlementer; tanpa itu, transisi ke pemerintah populer dan konsolidasi kekuasaan demokratis mungkin
telah mengambil yang jauh berbeda dan banyak kasar saja. Sekarang saya menambahkan catatan moderat dari saya
sendiri. Saya tidak menyarankan bahwa polarisasi yang sering muncul dari pemilihan
presiden secara bersamaan
tak terelakkan dari pemerintah presiden. Dalam kondisi ini moderasi dan
konsensus yang sudah ada sebelumnya, kampanye presiden tidak mungkin untuk membuktikan
berbahaya memecah belah.
GAYA POLITIK PRESIDEN
Presiden mungkin merasa sulit untuk menggabungkan perannya sebagai kepala
simbolik dari pemerintahan dengan perannya sebagai kepala
eksekutif yang efektif dan pertempuran pemimpin partisan untuk mempromosikan
partainya dan programnya. Sebuah sistem presidensial, sebagai lawan dari
monarki konstitusional atau republik dan kepala
negara, tidak memungkinkan pembedaan peran
yang baik.
Mungkin konsekuensi
paling penting dari hubungan langsung yang ada antara presiden dan para pemilih sebagai satu-satunya wakil yang terpilih dari seluruh orang
dan risiko yang menyertainya bahwa ia akan cenderung
menyamakan pendukungnya dengan "orang-orang" secara keseluruhan. Ini
artinya gaya politik presiden kurang menguntungkan bagi demokrasi daripada gaya
politik parlemen. Rasa menjadi wakil seluruh bangsa dapat menyebabkan
presiden untuk menjadi toleran terhadap oposisi. "perasaan memiliki kekuasaan
independen, mandat dari rakyat kemungkinan akan memberikan presiden rasa
kekuasaan dan misi yang mungkin tidak sesuai dengan pluralitas terbatas yang dia
pilih.
Berbeda dengan presiden, perdana menteri biasanya anggota parlemen yang, bahkan saat ia duduk di bangku
pemerintah, tetap
menjadi bagian dari lembaga yang lebih besar. Tidak
adanya di rezim presiden dari seorang raja atau "presiden
republik "yang dapat bertindak secara simbolis seorang
tokoh netral dapat memberikan pemberat moral dalam krisis atau bertindak sebagai
moderator antara perdana menteri dan lawannya yang
mungkin termasuk tidak hanya musuh parlemen, tetapi para pemimpin militer juga. Sebuah parlemen
Rezim memiliki pembicara atau anggota ketua parlemen yang bisa mengerahkan
beberapa menahan pengaruh atas musuh parlemen, termasuk perdana menteri sendiri, siapa pemimpin yang
berbicara setelah semua anggota berada
di ruangan.
MASALAH LEGITIMASI GANDA
Seorang presiden, dapat melindungi anggota kabinetnya dari kritik jauh lebih efektif daripada kemampuan seorang perdana menteri, yang anggota kabinet secara teratur diseret sebelum parlemen
untuk menjawab pertanyaan atau bahkan, menghadapi kecaman dalam kasus yang ekstrim.
Masalah kemandegan atau
konflik antara eksekutif dan legisatif yang bisa mengakibatkan “jalan buntu”
dan “kelumpuan” yang diakibatkan karena akibat dari ko-eksistensi dari lembaga
eksekutif dan legislatif. Dalam sistem presidensial apabila terdapat
pertentangan antara kedua badan ini, maka tidak ada sumber daya institusional
untuk memecahkannya. Beda dengan sistem parlementer yang terdapat mosi tidak
percaya untuk tetap menjaga eksekutif dan legislatif sejalan dalam sistem
parlementer.
Juan Linz memandang bahwa
masalah kebuntuan dalam sistem presidensial muncul dari ”legitimasi ganda dari
dua organ independent yang dipilih rakyat itu, tetapi Linz juga menekankan
bahwa yang lebih legitimed adalah
yang melalui pemungutan suara, dalam sistem preidensial dengan kombinasi sistem
multi partai menimbulkan “Matahari Kembar” atau muncul dua organ kekuasaan yang
keduanya berebut legitimasi rakyat. Dan biasanya presiden akan mendasarkan pada
legitimasi terpilihnya dia sebagai presiden dengan jumlah suara dan dukungan
dari rakyat yang lebih besar daripada lembaga legislatif dan seringkali
digunakan untuk membenarkan tuntutan dominasinya atas badan legislatif.
Juan J Linz mengingatkan,
secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi
bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi
logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak
hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga
pemerintahan terbelah (the divided
government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi
presidensial sendiri.
ISU STABILITAS
Krisis pemerintah dan perubahan menteri dari rezim parlemen
tentu saja dikecualikan oleh jangka waktu tertentu, tapi
stabilitas besar ini dibeli dengan harga kekakuan sama
besar. Fleksibilitas dalam
menghadapi situasi terus berubah ini bukan setelan kuat sistem presidensial. Menggantikan presiden yang telah kehilangan
kepercayaan partainya atau orang-orang adalah proposisi
yang sangat sulit. Apakah dalam sistem parlementer krisis pemerintahan yang terjadi bisa menjadi krisis rezim
full-blown dalam sistem presidensial.
Kekakuan yang sama terlihat ketika incumbent
meninggal atau menderita cacat saat menjabat. Dalam kasus terakhir, ada godaan untuk
menyembunyikan kelemahan presiden hingga akhir masa
jabatannya. Dalam hal kematian Presiden, pengunduran diri, impeachment,
atau ketidakmampuan, konstitusi presiden sangat sering memastikan
secara otomatis dan suksesi
langsung tanpa
peralihan atau kekosongan kekuasaan. Tapi lembaga suksesi wakil presiden, telah bekerja dengan baik di negara Inggris, mungkin tidak berfungsi begitu lancar di
tempat lain.
Linz
mengatakan bahwa sistem presidensialisme lebih rentan terhadap bahaya
instabilitas atau kehancuran demokrasi (Democratic
Breakdown) dibandingkan sistem parlementer. Untuk mengurangi resiko
instabilitas ini, Linz menyarankan agar negara-negara yang telah mengadopsi
sistem presidensialisme seperti Amerika Latin supaya mengganti sistem
pemerintahannya menjadi parlementerisme. Menurut Linz, problem instabilitas
demokrasi disebabkan oleh dua alasan sebagai berikut:
Pertama, presidensialisme tidak punya katup
pengaman layaknya sistem parlementerisme, yaitu mosi tidak percaya yang
memungkinkan pembubaran pemerintah saat terjadi krisis tanpa harus menghapus
konstitusi. Kedua, presidensialisme
menciptakan dorongan-dorongan dan kondisi-kondisi yang justru pertama-tama bisa
memicu terjadinya krisis semacam itu, dan terutama yang bisa menggangu relasi
antara lembaga eksekutif dan legislatif. Presidensialisme mengobarkan
permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan yang popular, dengan meniadakan
mekanisme konstitusional dalam menyelesaikan konflik-konflik yang serius.
Pemisahan yang ketat ini menyiratkan bahwa para presiden tidak punya opsi untu
membubarkan lembaga legislatif dan lembaga legislatif tidak punya opsi untuk
mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif. Ketiadaan opsi tersebut
dapat mendorong salah satu atau beberapa partai menggunakan cara-cara
inskonstitusional di luar opsi-opsi tersebut dalam situasi konflik sehingga
mengancam stabilitas demokrasi presidensial itu sendiri.
Resiko
lain dari problem instabilitas demokrasi adalah kemungkinan adanya ekspansi
kekuatan presiden yang dapat melahirkan otoritarianisme. Selain itu, ada juga
kemungkinan intervensi militer ketika permusuhan antara cabang-cabang
pemerintahan berubah menjadi krisis. Semua ini menjadikan sistem presidensial
rentan mengalami instabilitas demokrasi, jika bukan kehancuran demokrasi.
FAKTOR WAKTU
Semua pemimpin politik harus khawatir tentang ambisi lingkaran
kedua para pemimpin, kadang-kadang karena mereka berebut untuk
posisi di urutan suksesi
dan kadang-kadang karena intrik-intrik mereka. Tetap dan tanggal pasti suksesi bahwa konstitusi presiden
menetapkan hanya dapat memperburuk kekhawatiran incumbent pada skor ini. Ini
menambah keinginan
untuk kontinuitas, dan tidak memerlukan lompatan logika
untuk memprediksi bahwa Presiden akan memilih sebagai kapten dan penggantinya jelas seseorang yang lebih mungkin untuk membuktikan laki-laki
yang ok daripada pemimpin atas
haknya sendiri.
Suksesi tak terelakkan juga menciptakan semacam ketegangan
yang khas antara mantan presiden dan
penggantinya. Manusia mungkin baru merasa didorong untuk menegaskan kemerdekaan dan membedakan dirinya dari pendahulunya, meskipun kedua mungkin milik partai yang
sama. Presiden yang berusia, untuk bagian itu, setelah kehormatan diketahui unik dan
kekuatan memahami yang
datang dengan kantornya, akan selalu merasa sulit untuk mendamaikan dirinya berada di luar kekuasaan untuk selamanya, tanpa
prospek kembali bahkan
jika incumbent baru gagal total. Pertentangan dan prustasi publik seperti Partai dan koalisi mungkin terpecah. Mereka bisa juga menyebabkan intrik, seperti ketika karya mantan
Presiden masih menonjol di belakang layar untuk mempengaruhi suksesi berikutnya
atau ke melemahkan kebijakan atau pimpinan partai incumbent.
Tentu saja masalah yang sama juga dapat muncul dalam sistem parlementer
ketika seorang pemimpin terkemuka menemukan dirinya
keluar dari kantor tapi bersemangat untuk kembali. Tapi rezim parlemen dapat lebih mudah mengurangi
kesulitan tersebut untuk sejumlah alasan. kegentingan yang harus dipertahankan adalah persatuan partai, rasa hormat yang diberikan tokoh partai terkemuka, dan
perdana menteri baru tertarik kesadaran bahwa ia membutuhkan bantuan pendahulunya bahkan
jika yang terakhir tidak duduk di bangku pemerintah atau sisi yang sama dari semua rumah, ini berkontribusi pada pemeliharaan kerukunan. Pihak
pemimpin yang sama dapat bergantian sebagai perdana menteri; masing-masing tahu bahwa yang lain dapat diminta untuk menggantikannya
setiap saat dan bahwa konfrontasi untuk kedua adalah mahal, sehingga mereka berbagi kekuasaan. Sebuah logika
yang sama berlaku untuk hubungan antara pemimpin partai yang bersaing atau koalisi parlemen.
Terkait kendala waktu dengan sistem presidensial, karakter pemilihan presiden
dikombinasikan dengan zero-sum, kemungkinan untuk membuat seperti kontes lebih dramatis dan memecah belah dari pemilihan
parlemen. Penyusunan politik dalam sistem parlementer itu mungkin terjadi kembali antara pemilu dan selama dalam kampanye pemilu
legislatif ruang publik harus terjadi dalam sistem presidensial, di mana mereka
adalah bagian penting dari proses membangun koalisi
menang…..Sebuah rezim presiden menyisakan jauh lebih sedikit ruang untuk
membangun konsensus
secara implisit, pergeseran koalisi, dan
pembuatan kompromi
yang, meskipun bijaksana, sulit di depan umum untuk mempertahankan.
SISTEM
PARLEMENTER DAN
STABILITAS POLITIK
Linz menyatakan bahwa sistem
presidensial tidak menjamin demokrasi berjala secara stabil. Sebaliknya, demokrasi yang paling stabil di dunia adalah
Amerika Serikat
yang memiliki konstitusi presiden.
Meskipun benar bahwa sistem parlementer
lebih fleksibel akan tetapi dalam pembentukan kelembagaan demokrasi diperlukan
adaptasi dan konsolidasi, itu tidak berarti bahwa hanya
semacam rezim parlementer akan melakukan. Memang, untuk menyelesaikan analisis yang
perlu merenungkan jenis
terbaik konstitusi parlemen dan ciri institusional yang spesifik.
Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sistem parlementer tidak akan pernah mengalami krisis serius
atau bahkan kerusakan. Dalam analisis akhir, semua rezim, bagaimanapun dirancang bijaksana, harus tergantung untuk preservasi (pelestarian) mereka atas dukungan masyarakat luas, kekuatan besar, kelompok, dan institusi. Mereka
mengandalkan pada konsensus publik yang mengakui sebagai otoritas sah satu kekuatan yang diperoleh melalui cara yang sah dan
demokratis. Mereka bergantung juga pada kemampuan pemimpin untuk memerintah, untuk menginspirasi
kepercayaan, untuk menghormati batas-batas kekuasaan mereka, dan untuk mencapai gelar yang memadai
dari konsensus. Meskipun kualitas ini yang paling dibutuhkan dalam sistem presidensial,
justru ada hal yang paling sulit untuk mereka dicapai. Ketergantungan
pada kualitas pribadi
seorang pemimpin dalam politik kebajikan sebagai seorang negarawan,
jika Anda akan
kursus berisiko, untuk satu hal yang kita tidak pernah tahu jika orang seperti itu bisa ditemukan untuk mengisi jabatan presiden. Tapi sementara tidak ada konstitusi presiden
dapat menjamin Washington, Juirez, atau Lincoln, tidak
ada Rezim parlemen dapat menjamin Adenauer atau Churchill baik. mengingat seperti
dihindari ketidakpastian, tujuan esai ini hanya untuk
membantu memulihkan
perdebatan tentang peran lembaga-lembaga demokratis alternatif dalam
membangun polities demokratis yang stabil.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa sistem pemerintahan baik presidensil dan parlementer saling
menunjukan kelebihan masing-masing dalam menata pemerintahan negara. Dalam
menerapkan sistem presidensial membuktikan bila terjadi kegagalan itu bukanlah
disebabkan semata-mata karena kelemahan sistem presidensial itu sendiri, tapi
karena sistem presidensial itu tidak dilaksanakan secara murni dan tidak pula
didukung oleh mekanisme konstitusi yang memadai. Sistem pemerintahan
parlementer menekankan kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik.
Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil,
seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem
parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan
kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala
negara ditunjuk dan memiliki kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa
sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa
sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini
0 komentar:
Posting Komentar