Senin, 04 Maret 2019

Malapetaka Politik Akibat Runtuhnya Khilafah

Malapetaka Politik Akibat Runtuhnya Khilafah

©KH. Shiddiq Al Jawi

Setelah hancurnya Khilafah, berbagai malapetaka politik menimpa umat Islam. Yang paling penting adalah : (1) diterapkannya sistem demokrasi, (2) terpecahbelahnya negeri-negeri muslim berdasar nasionalisme, (3), para penguasa negeri-negeri Islam didikte oleh negara-negara imperialis-kapitalis, (4) kekuatan militer di negeri-negeri Islam tunduk kepada kepentingan negara-negara imperialis-kapitalis, (5) berdirinya negara Israel di tanah rampasan milik umat Islam.

Pertama, Penerapan demokrasi yang memberikan hak membuat hukum kepada manusia, bukan kepada Allah.
Demokrasi adalah format sistem politik standar dalam idideologi kapitalisme, yang dipraktikkan dalam bentuk sistem pemerintahan republik. Ketika kehidupan mengalami sekularisasi, yakni agama tidak lagi mengatur berbagai urusan kehidupan, maka konsekuensinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan kehidupan, bukan Tuhan (agama). Dari sinilah lahir demokrasi, yang memberikan kewenangan menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Tuhan. Inilah makna hakiki dari prinsip kedaulatan (soreignty/as siyadah) di tangan rakyat.

Adapun berbagai dimensi makna dari demokrasi, seperti prinsip kekuasaan di tangan rakyat, adanya hak rakyat untuk memilih dan mengontrol penguasa, persamaan kedudukan di antara rakyat, penyebaran keadilan, kebolehan perbedaan pendapat, penyelenggaraan pemilu, dan sebagainya, sesungguhnya adalah ide-ide derivatif dan operasional yang tercabang dari prinsip substansialnya, yakni kedaulatan rakyat.
Maka dari itu, pada saat Khilafah hancur dan kemudian diterapkan demokrasi, artinya adalah bahwa manusia telah menggantikan peran Allah SWT sebagai pembuat hukum (Asy Syari’). Hukum-hukum Allah dibuang dan sebagai gantinya, diterapkan hukum-hukum buatan manusia. Sungguh, ini adalah malapetaka yang sangat besar. Sebab penerimaan dan penerapan demokrasi berarti tindak pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti hukum Allah dan membuang hukum thaghut buatan manusia. (Na’udzu billah min dzalik !)

Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur’an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath’i tadi menegaskan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan hukum Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik. Allah SWT berfirman :

“Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (T.Q.S. Al Maaidah : 44)

“Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang dzalim.” (T.Q.S. Al Maaidah : 45)

“Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.” (T.Q.S. Al Maaidah : 47)

Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, seraya mengingkari hak Allah dalam menetapkan hukum –seperti halnya orang-orang yang meyakini demokrasi– maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Al Qur’an yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut –yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan mengingkari hak membuat hukum yang dimiliki Allah– berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath’i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath’i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.
Karena itu, hancurnya Khilafah telah mendatangkan musibah besar karena kemudian terbukalah pintu lebar bagi negeri-negeri Islam untuk menerapkan ide demokrasi yang kufur. Sungguh sangat menyedihkan, negeri-negeri Islam itu telah menetapkan prinsip kedaulatan rakyat dalam konstitusi mereka, mengikuti format politik negara-negara Barat yang imperialis.

Kedua, Negeri-negeri muslim terpecah-belah menjadi banyak negara berdasar paham nasionalisme.

Sebagai akibat tiadanya institusi pemersatu umat Islam, yakni Khilafah, kini umat Islam yang satu terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berasaskan paham kebangsaan (nation-state). Ini adalah suatu kondisi yang sangat jauh dari tabiat asli umat Islam sebagai umat yang satu, yang wajib hidup dalam negara yang satu dengan seorang Khalifah yang satu.

Sungguh, sejarah telah membuktikan bahwa eksistensi negara-bangsa bagi Umat Islam adalah sebuah kondisi yang abnormal yang menghancurkan persatuan umat. Kaum muslimin tak pernah mengenal paham nasionalisme sepanjang sejarahnya sampai adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para missionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok missionaris –sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika– didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun saat itu upaya mereka belum berhasil. Namun pada tahun 1857, mereka mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit), dengan nama Al Madrasah Al Wataniyah. Nama sekolah ini menyimbolkan esensi misi Al Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-watan).

Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa’ah Badawi Rafi’ At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah.

Sepanjang masa kemerosotan Khilafah, kaum kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplemetasikan. Dari sinilah lahir negara-negara Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa ini tiada lain adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka.

Munculnya negara-bangsa Indonesia juga tak lepas dari rekayasa penjajah menyebarkan nasionalisme dan patriotisme di Dunia Islam. Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19, menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda. Dampak momumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya gerakan-gerakan pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya.

Cengkeraman paham nasionalisme di tubuh umat akibat rekayasa penjajah ini, disertai hancurnya Khilafah sebagai pemersatu umat, telah membuat kesatuan umat Islam porak-poranda dan hancur-lebur. Ikatan Islam berdasar Aqidah Islamiyah digantikan ikatan kebangsaan berdasar kesamaan identitas etnis, bahasa, atau budaya. Sungguh Allah SWT tidak meridhai umat Islam terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara seperti sekarang ini. Allah SWT berfirman :

“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (TQS. Ali Imran : 103)

Sabda Rasulullah SAW :

“Barangsiapa datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang Khalifah), dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan menceraiberaikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)

Nash-nash seperti di atas mewajibkan umat untuk bersatu, di bawah satu negara Khilafah dan satu Imam, tidak dibenarkan umat memiliki lebih dari seorang Imam. Abdurrahman Al Jaziri menegaskan :

“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— bersepakat pula bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.”

Maka dari itu, runtuhnya Khilafah merupakan malapetaka besar bagi umat ini, karena dengan itu umat Islam menjadi terpecah-belah atas dasar paham nasionalisme yang kufur.

Ketiga, Para penguasa negeri-negeri Islam dikendalikan dan didikte oleh negara-negara imperialis-kapitalis Barat.
Setelah umat Islam terpecah belah, maka dengan sendirinya mereka menjadi lemah dan dapat dikendalikan dan dikontrol oleh para penjajah. Berlakulah di sini kaidah ‘devide et impera’ (farriq tasud) (pecah belahlah, lalu kuasai).

Karena itu, terpecahbelah-nya umat Islam –akibat hancurnya Khilafah—membawa dampak buruk berikutnya, yakni para penguasa negeri-negeri Islam kemudian dapat dikendalikan dan dikontrol sesuai program negara-negara imperialis.

Hal ini misalnya dapat dilihat sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pada saat itu banyak negara jajahan yang menuntut kemerdekaan. Menghadapi tantangan ini, negara-negara kapitalis (terutama AS, Inggris, Perancis) kemudian melakukan konsolidasi dan merekayasa langkah-langkah untuk melanggengkan imperialisme melalui cara-cara baru. Pada Juli 1944 negara-negara penjajah itu mengadakan pertemuan di Bretton Woods (AS) yang hasilnya di bidang politik adalah : pembentukan PBB (1945) dan deklarasi HAM (1945). Di bidang ekonomi hasilnya adalah : pembentukan World Bank/IBRD (1946), pendirian IMF (1947), dan pendirian GATT (1947). Semua langkah ini tiada lain adalah teknik-teknik baru untuk terus melestarikan imperialisme di dunia.

Bagi Indonesia khususnya, pengaruh kuat negara-negara kapitalis-imperialis terhadap kebijakan pemerintah Indonesia nampak sangat telanjang, bukan rahasia lagi. Pemerintah tak malu-malu menempatkan dirinya sebagai budak negara-negara penjajah yang kafir itu. Sekedar contoh, kebijakan pemerintah untuk menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik) sebesar rata-rata 16% tahun 2002 juga kenaikkan harga BBM sebesar 20%-25% awal 2002, jelas menunjukkan tunduknya mereka kepada keinginan para penjajah, meskipun mereka menutup-nutupinya dengan sejuta kebohongan yang sangat memuakkan, seperti untuk menutup defisit APBN, maraknya penyelundupan BBM keluar negeri, subsidi yang salah sasaran, dan sebagainya.

Kalau dahulu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid masih merasa “enggan” untuk menyengsarakan rakyat, kini pemerintahan Megawati tidak lagi merasa “ewuh-pakewuh” sedikit pun. Abdurrahman Wahid pernah membongkar alasan kebijakannya yang kontroversial untuk menaikkan harga BBM. Tatkala menjawab pertanyaan salah seorang jamaah seusai salat Jumat di Mesjid Baiturrahim, Istana Merdeka (18 Mei 2001), dia menyatakan: “Sebenarnya bagi pemerintah, menaikkan harga itu juga tidak enak. Pemerintah tidak ingin menaikkan apa-apa. Hanya saja, kita terikat peraturan IMF yang tidak boleh ada subsidi.”

Jadi yang dilakukan pemerintah di bawah rezim Megawati tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Mereka secara terang-terangan telah mengutamakan kepentingan IMF yang dikendalikan oleh AS, daripada kepentingan rakyatnya sendiri. Sikap mereka mencabut subsidi BBM, listrik dan menaikkan tarif telepon, jelas merupakan kebijakan yang didiktekan oleh IMF. Padahal, menyerahkan urusan umat Islam kepada kaum kafir –seperti IMF— adalah suatu tindakan yang diharamkan Islam. Allah SWT berfirman :

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`min” (TQS. An Nisaa` : 141).

Namun kenyataan pahit seperti inilah yang dihadapi umat Islam saat ini. Semua itu tak lain karena lemahnya kekuatan politik penguasa negeri-negeri Islam yang terpecah-belah, setelah hancurnya payung pemersatu kekuatan umat Islam, Khilafah Islamiyah.

Keempat, Kekuatan militer di negeri-negeri Islam tunduk kepada kepentingan negara-negara imperialis-kapitalis Barat untuk mempertahankan sistem kehidupan sekuler.
Pada saat kejayaan Khilafah, kekuatan militernya didedikasikan untuk kepentingan Islam semata, yakni untuk menjaga eksistensi negara Khilafah, menjaga penerapan Syariat Islam, menjamin keamanan rakyat, dan menyebarkan risalah Islam ke luar negeri melalui jalan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Namun setelah Khilafah lenyap dan berdiri negara-negara sekuler, kekuatan militer di Dunia Islam –seperti halnya para penguasanya—akhirnya mengalami perubahan orientasi untuk kemudian tunduk kepada ideologi dan kepentingan negara-negara imperialis, yakni mempertahankan sistem sekuler yang ada.

Hal ini misalnya terjadi di Aljazair awal 90-an tatkala kekuatan militer membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan FIS yang bercita-cita menghancurkan sekularisme dan mendirikan Khilafah. Di Turki, ketika Arbakan (pemimpin partai Refah) tahun 1996 terpilih sebagai perdana menteri –berkoalisi dengan Tansu Chiller—Arbakan harus tunduk di bawah institusi militer yang fanatik kepada sekularisme. Kekuatan militer Uzbekisten juga dimanfaatkan untuk menangkapi dan menyiksa para aktivis Hizbut Tahrir yang bercita-cita mendidikan Khilafah.

Sangat memilukan, kekuatan militer yang seharusnya digunakan untuk kepentingan Islam, ternyata malah diabdikan untuk membela kepentingan dan ideologi sekuler penjajah. Para penguasa dan para petinggi militer tega melakukan semua itu hanya untuk memperkaya diri sendiri, walaupun harus membunuh rakyatnya sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, untuk mendapatkan loyalitas negara-negara di Dunia Islam, Amerika Serikat tak segan-segan memberi dana besar untuk memerangi Islam.

Ketika Megawati mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Bush guna membicarakan hubungan militer Indonesia-AS di Washington DC 20/9/2001, Jurubicara Gedung Putih Ary Fleitcher menyatakan, AS akan memberi hadiah kepada Indonesia sebesar 130 juta US dolar atas dukungan Indonesia terhadap politik AS memerangi terorisme. Hadiah itu kemungkinan besar berupa pemulihan kembali bantuan militer kepada Indonesia yang terputus akibat kasus Timor Timur.

Itulah perilaku penguasa negeri ini, yang tega bersekutu dengan penjajah untuk memerangi rakyatnya sendiri dengan imbalan sejumlah uang. Kekuatan militer yang seharusnya untuk melindungi rakyat, kini dengan “hadiah” AS akan diarahkan untuk menumpahkan darah rakyatnya sendiri dengan dalih memerangi terorisme. Inilah salah satu malapetaka yang memilukan akibat hancurnya Khilafah, sehingga kemudian kekuatan militer di negeri-negeri Islam bukan digunakan untuk kemaslahatan Islam, melainkan diabdikan kepada negara-negara imperialis-kapitalis Barat untuk mempertahankan paham sekularisme yang kufur.

Keenam, Berdirinya negara Israel di tanah rampasan milik umat Islam.
Pada saat Khilafah masih eksis, cita-cita kaum Yahudi untuk mendirikan negara Israel di Palestina gagal total. Namun masalahnya menjadi lain tatkala konstelasi politik Timur Tengah berubah akibat hancurnya Khilafah dan wilayah-wilayah bekas kekuasaannya dibagi-bagi di antara negara-negara imperialis. Israel akhirnya berdiri di tanah Palestina pada tahun 1948.

Sejarah mencatat, Qurrah Shu Affandi, seorang petinggi Freemasonry dari Turki pernah berusaha menyuap Sultan Abdul Hamid II (menjadi Khalifah 1876-1909) dengan imbalan agar kaum Yahudi diberi tanah di Palertina. Petinggi Freemasonry itu berkata kepada Khalifah,”Saya datang sebagai wakil dari gerakan Freemasonry untuk memberikan kehormatan kepada Anda. Saya harap Anda bersedia menerima 5 juta lira emas sebagai hadiah untuk Anda pribadi. Di samping itu kami pinjamkan 100 juta lira emas untuk kas negara tanpa bunga selama satu tahun. Namun kami harap Anda memberikan sebagian hak-hak khusus kepada kami untuk menguasai tanah Palestina.” Sultan Abdul Hamid II lalu marah dan berkata kepada ajudannya,”Tahukah kamu apa yang diinginkan babi ini ?” Lalu Sultan berkata kepada wakil Freemasonry itu,”Enyahlah kamu dari hadapanku, hai orang hina !” Orang Yahudi itu lalu keluar dan terus pergi ke Italia. Dari sana dia mengirim surat kepada Sultan, isinya : “Anda telah menolak tawaran kami. Ongkos penolakan ini akan menimpa Anda pribadi, dan juga akan banyak menimpa kekuasaan Anda.”

Sejak saat itu, kaum Yahudi yang kafir berusaha keras untuk menghancurkan Khilafah dengan berbagai cara, karena ini dianggap sebagai jalan untuk mendirikan negara Yahudi yang menjadi cita-cita mereka. Setelah Khilafah jatuh pada 1924, upaya zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina berhasil terwujud pada tahun 1948 berkat rekayasa negara-negara penjajah kafir melalui kekuatan PBB.

=================
#KhilafahRuntuh1924
#KhilafahAjaranIslam

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More